Tuesday, March 28, 2006

Kasih, Maafkan Aku

Malam ini terasa hatiku sangat gundah, bahkan kegundahan ini mulai terasa olehku sejak tadi siang. (mungkin) Hanya ketika shalat maghrib dan isya kegundahan itu sirna, setelah selesai shalat, kegundahan itu mengahampiriku kembali. Kucoba meruntut kejadian yang kualami siang tadi dan mencoba mencari penyebab kegundahan itu. Akhirnya kutemukan juga, ternyata penyebab kegundahan itu karena aku mengetahui dia menjadi penyedih, dia sedang sedih. Ya, aku yakin inilah sebabnya hatiku jadi gundah sekaligus sedih. Aku tahu keadaannya dari mail yang dikirimkan kepadaku sebagai komentarnya dari Kasih, Jangan Kau Paksa Aku.

Hati ini memang sudah sangat sayang dan mencintainya, sehingga (kurasakan) kesedihannya adalah kesedihanku juga. Jika dia bersedih, hati inipun ikut bersedih. Ya Allah kau Maha Tahu akan suasana hatiku. Dan Kaulah yang menguasai jiwa ragaku seutuhnya.

Sebenarnya, hati ini mulai merasa gundah, sejak aku mengupdate tulisanku itu (Kasih, Jangan Kau Paksa Aku). Ada rasa ‘kekurangan’ dihatiku bila aku belum berterus terang semua kepadanya, terutama tentang Lia. Bahkan aku merasa, ‘ijtihad’ku kala itu (tidak mau menyebutkan ‘hakikat’ Lia kepada orang lain) adalah ‘kesalahan’, ijtihad yang salah. Kenapa salah? Hatiku menjawab sendiri penyebabnya, yaitu, karena dia sekarang bukan ‘orang lain’ lagi bagiku. Pantas dia merasa sangat sedih atas keputusan ijtihadku. Jika aku sebagai dia, maka aku juga akan merasakan seperti dia sekarang, akan timbul keraguan dan tanda tanya besar, kenapa kau tidak memberitahuku tentang Lia jika kau telah menganggapku sebagai kekasihmu yang satu?

Di coretan ini, aku ingin mengungkapkan penyesalanku dan menyampaikan permohonan maafku (maaf yang sebesar-besarnya) yang kesekian kalinya. Kasih, Maafkan Aku! Aku sungguh tak sanggup mendengar kamu bersedih dan hilang keceriaan. Apalah arti keberadaan diriku, bila hanya menyebabkanmu bersedih dan tak ceria lagi? Bila aku disuruh memilih antara aku gembira atas kesediahanmu dan kamu bersedih atas kegembiraanku, aku akan pilih, biarlah aku bersedih asalkan kamu gembira. Itulah yang dapat kuungkapkan, sebagai gambaran bahwa, aku sungguh tak ingin kamu bersedih. Aku sungguh ingin menggembirakan dan membahagiakanmu. Ya Allah, betapa sering aku membuat dia ‘bersedih’ [walaupun tak ku sengaja]. Ya Allah, maafkan aku telah membuatnya bersedih lagi. Izinkan aku untuk menebus kesalahanku.

Sebagai tebusan ‘dosaku’ dan penyesalanku, juga agar dapat menghilangkan kegundahanku, aku akan ceritakan siapa Lia kepadanya. Aku tidak mau bila dia menjadi ‘tidak periang’ serta ucapan dan sikapnya menjadi ‘berbeda’ padaku. Aku ingin menghilangkan ganjalan di hatinya. Aku ingin dia merasa senang, gembira serta periang bila ‘bersama’ku. Bila demikian sungguh akupun bahagia ‘bersamanya’.

Ya Allah, Maafkan aku! Jangan Kau hilangkan kegembiraan dan kebahagiaanku dengan menjadikan dia seorang ‘penyedih’. Jangan Kau rengut kebahagiaanku dengan menghilangkan dia dari ‘sisiku’. Jadikanlah hubungan kami senantiasa berlanjut dan harmonis serta berada dalam lindungan rahmat-Mu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 26 Maret 2006

Sunday, March 26, 2006

Tuhan, Maafkan Aku

Tuhan, maafkan aku
Hanya bisa melihat
Air yang mengalir pada ronanya

Tuhan, maafkan aku
Ku hanya terpaku
Mendengar tangis lisannya

Tuhan, maafkan aku
Hanya dapat mematung
Menyaksikan kelaparannya

Tuhan, Kaupun tahu
Bukan ku tak mau membantu
ku hanya seorang pengemis

Akupun kesulitan
Berjuang untuk hidup
Karena ku tak mau bunuh diri

Bantuanku hanyalah doa
Kupanjatkan pada-Mu
Semoga mereka tergugah

Mereka yang tak kekurangan
Hidup dalam kemakmuran
Moga hati-hatinya terketuk

Mengulurkan tangan
Menghentikan tangis
Dan aliran air mata

Terima kasihku
Tuk mereka yang pengasih
Hanya Kau yang membalasnya

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® Buat Bulletin IKRAR PPI-Tunisia, edisi Maret 2006

KEPEKAAN SOSIAL DALAM ISLAM

Mencermati fenomena tanah air akhir-akhir ini, dimana banyak terjadi musibah yang menimpa masyarakatnya. Musibah tsunami yang mengguncang dunia, menewaskan ratusan ribu nyawa manusia, seakan baru lengser dari ingatan kita, sudah datang musibah lain yang meresahkan masyarakat, busung lapar, demam berdaraah dan flu burung. Semua kejadian tersebut akan memaksa seorang yang memperhatikannya dengan “hati” untuk bertanya -sebagaimana saya pernah menanyakan pertanyaan itu-, kenapa musibah itu terjadi? Apakah mereka (orang-orang yang terkena tsunami) orang-orang yang “mukmin”?

Allah menghancurkan sebuah komunitas hamba-Nya tidak mesti harus hamba yang “tidak beriman” kepada-Nya, jika demikian, tentu tidak akan terjadi bencana pada orang-orang mukmin. Namun, -dengan keadilan-Nya- Allah menimpakan bencana kepada seluruh manusia. [Qs. Al-Anfal: 25] Yang membedakan, apakah bencana tersebut merupakan “ujian, azab ataukah teguran”.

Bencana yang menimpa seorang mukmin lebih bersifat ujian baginya. Apakah dengan ujian tersebut dia akan tetap beriman atau akan lupa kepada Yang Memberi bencana, dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan dirinya keluar dari koridor norma islam; berputus asa dan menganggap Allah tidak adil.

Sebagai bentuk kepekaan sosial, setelah kejadian tsunami dua tahun yang lalu, negara kita, indonesia, “kebanjian” bantuan dari manca negara. Milyaran bantuanpun “menghujani” Aceh yang telah diluluh lantakan Tsunami 2004.

Anjuran kepekaan sosial ini sebenarnya sudah sejak lama ada pada ajaran agama kita yang sempurna, islam. Karena islam sendiri merupakan agama yang diturunkan di tengah-tengah masyararat sosial dan ajarannya bukan hanya untuk segelintir komunitas saja, melainkan untuk seluruh alam -universal menurut epistemologi modern. Universalitas ajaran islam ini tidak terbatas kepada seluruh manusia, melainkan menembus alam metafisika yang ghaib, merambah alam para Jin.

Islam sendiri merupakan agama sosial. Banyak doktrin-doktrin agama yang menganjurkan umatnya untuk peka terhadap lingkungan sosial. Islam mengumpakan antara satu sama lain bagaikan satu tubuh, jika salah

seorang diantara mereka sakit, maka yang lainnya pun merasakan sakit yang sama. Perumpaan tubuh; jika kaki yang tersandung, spontan mulut mengaduh, tangan segera membelai, matapun mengucurkan air mata. Begitulah hendaknya muslim yang ideal.

Seandainya setiap orang mukmin mengingat saudara-saudaranya yang seiman dan setanah air serta mencurahkan perhatian kepada mereka dan menjalin hubungan dan kerjasama dengan mereka, mencintai kebaikan yang dirasakan oleh mereka dan membenci keburukan yang menimpanya mereka, maka hal tersebut sebagai penerapan dari firman Allah: “sesungguhnya orang orang mukmin itu bersaudara” (Qs. Al-Hujurat: 10). Dan pelaksanaan dari sabda Rasulullah:
“perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan citna sesama mereka adalah seperti tubuh yang satu. Jika ada salah satu tubuh yang mengaduh dan merasa sakit, maka sakitlah seluruh tubuh yang lain. Beliau juga bersabda dalam hadits lain: “barangsiapa yang tidak memperdulikan urusan kaum Muslim maka ia bukan termasuk golongan mereka.”

Di antara doktrin-doktrin islam yang memprovokasi umatnya untuk peka terhadap sosial masyarakat dan lingkungan, yang bersifat wajib bagi pemeluknya (yang mampu), di antaranya zakat.

Eksistensi zakat dalam islam sebuah bentuk kepekaan islam terhadap sosial. Betapa tidak, zakat (mengeluarkan sebagian harta sesuai dengan ketentuan tertentu) dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak (mustahiq) sebagai upaya pemerataan kesenjangan sosial yang bersifat materil. Fakir miskin yang kehidupannya tidak menentu dan serba kekurangan, diberikan legalitas oleh islam sebagai salah satu yang berhak menerima “sumbangan.”

Selain zakat, infak dan sedekah juga merupakan ajaran islam yang dianjurkan, memberikan sumbangan sebagai bentuk bantuan sosial sekaligus refleksi dari ajaran yang Rasulullah ajarkan.

Rasulullah telah bersabda: “Sedekah itu akan menolak bencana.” Dalam hadits lain, yang maknanya: “mintalah kesembuhan dan berobatlah kalian dengan ber¬sedekah.”

Contoh kepekaan sosial di atas dapat kita simpulkan bahwa, aktivitas kongkrit dari bentuk kepekaan sosial akan berimplementasi berbentuk perhatian, yang akan melahirkan rasa saling merasakan, selanjutnya akan menggugah hati untuk memberikan bantuan.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan melepaskan dari padanya satu kesusahan dari kesusahan Hari Kiamat. Dan barang siapa yang menolong yang sedang menderita kesukaran (kesusahan), pasti Alah akan menolongnya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutupi malu (aib) orang muslim, pasti Allah akan menutupi malunya (kejelekan) di dunia dan di akherat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

Tolong menolong (ta’awun) terhadap sesama -muslim khususnya- merupakan ajaran agama yang dianjurkan untuk dilaksanakan. Ada pepatah arab yang berbunyi, “yaddun wahid la tushoffiq” (tidak dapat bertepuk dengan sebelah tangan), kalimat ini bisa kita interpretasikan lebih jauh, bahwa, betapa pentingnya kebersamaan dan tolong menolong, karena manusia merupakan makluk sosial “mengharuskan” untuk hidup saling berdampingan. Seseorang tidak dapat mencapai yang diinginkannya tanpa adanya bantuan dari orng lain, sebagaimana halnya sebelah tangan yang tidak dapat bertepuk kecuali dengan bantuan tangan yang lainnya.

Kepekaan sosial yang diimplementasikan dengan saling menolong, merupakan hal yang bersifat “mesti”. Tanpa adanya saling tolong menolong diantara manusia dalam kehidupannya tentu mereka tidak akan bisa merasakan ketikmatan hidup di dunia, seperti makan, minum, berpakaian dan bertempat tinggal. Sebagai contoh sederhana, ketika kita makan (nasi), nasi yang berada dihadapan kita itu merupakan hasil proses dari kesungguhan “banyak tangan” dan telah melewati beberapa proses yang lama dan panjang, dimulai dari kesungguhan petani dalam menanam, memelihara hingga sampai waktunya untuk memanen. Kemudian padi yang telah dipanen pindah ketangan lain untuk digiling dan menjadi beras, kemudian dipasarkan dan akhirnya sampai kepada kita.

Allah berfirman: “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Qs. Al-maidah: 2)
Dari ayat di atas kita juga dapat melihat bahwa ada dua bentuk at-ta’awun (tolong menolong); satu, ta’awun yang dianjurkan, yaitu segala bentuk tolong-menolong dalam bentuk kebaikan yang memberikan manfaat bagi individu dan kolektif (masyarakat). Dua, ta’awun yang ditolak (dilarang), yaitu segala bentuk tolong-menolong pada ranah dosa dan kemaksiatan.

Akan tetapi, (maaf) meskipun semua masyarakat menyadari dan memahi ajaran islam, dalam hal ini pentingnya tolong-menolong, namun masih banyak di antara umat islam sendiri tidak merealisasikannya dalam aktivitas keseharian, sifat egoisme dan hanya mementingkan diri sendiri lebih mendominasi kepribadian¬nya.
Tolong menolong yang seyogyanya terjadi antara personal, juga semestinya terjadi antar masyarakat dan negara. Dunia islam -khususnya Bangsa Arab- meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah (seperti minyak, gas alam, dll.), akan tetapi mereka lemah dan fakir dalam hal pendidikan, produksi, science, teknologi, militer dan sebagainya. Sifat egoisme dan ke-aku-anlah penyebab dari semua kelemahan ini, di samping kesadaran pemahan mereka bahwa tolong menolong dan persatuan di antara mereka bisa menjamin timbulnya kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh, yang akan membuat “umat lain” menghormati dan mendengarkan sudut pandang dan wacana yang dilontarkan serta akan mengabulkan permintaan dan keinginan umat muslim.

Akibat hilangnya faktor ta’awun pada tatanan Dunia Islam -Arab khususnya- menyebabkan apa yang kita saksikan sekarang di Palestina. Tidak adanya “bantuan” dari negara-negara islam, merupakan salah satu kelemahan dan ketidakmampuan Negara Arab dan Negara Islam secara umum, yang seolah keadaannya bagaikan orang sakit, yang mengetahui penyebabnya dan sekaligus obat untuk menyembuhkan penyakitnya, namun mereka tidak memiliki keinginan untuk mengulurkan tangan, mengambil obat tersebut. Obat ini berbentuk ta’awun (tolong-menolong), koordinasi dan kebersamaan antara negara dan masyarakatnya. Umat islam sekrang bagaikan buih di atas lautan, yang jumlahnya banyak, namun apalah arti kekuatan buih. Sebagaimana yang disenyalir Rosulullah dalam salah satu kalam mulianya.
‘’Akan datang, suatu masa di mana umat islam itu sangat banyak namun mereka bagikan buih di lautan’’

Wallahu a’lam bishowab
Ulpa® Buat Bulletin IKRAR PPI-Tunisia, edisi Maret 2006

Perjalanan "Cinta"

Sengaja aku buat judul diatas, agar terlihat lebih keren dan membuat penasaran diriku sendiri untuk membaca, ketika lupa bahwa yang menulis coretan ini adalah jari-jariku sendiri.

Sebenarnya aku juga kurang paham dan tidak mengetahui dengan pasti apa yang dimaksud dengan cinta dan bagaimana cara seseorang menyulam cinta dan membuktikannya. Apakah kasih sayangku terhadap kekasihku sekarang dikatakan cinta? Apakah perhatianku terhadap ‘bidadariku’ sekarang bukti cintaku padanya?

Menurut penjelasan buku yang pernah kubaca, banyak orang yang mengartikan cinta dengan berbagai persepsi dan definisi, diantaranya:

Cinta adalah, kamu memperhitungkannya dengan beribu-ribu perhitungan.
Cinta adalah, kamu mendengarkan semua yang diucapkannya.
Cinta adalah, kamu menjadi pendengar yang baik baginya.
Cinta adalah, adanya keterbukaan diantara keduanya secara kontinyu.
Cinta adalah, kamu membaca pemikirannya dengan cepat.
Cinta adalah, memperlihatkan kegembiraanmu ketika bertemu dengannya.
Cinta adalah, saling merasakan diantara keduanya.
Cinta adalah, pengorbanan baginya.
Cinta adalah, kamu mengetahui kemampuannya.
Cinta adalah, kamu merasa tenang dengan keberadaannya disisimu.
Cinta adalah, kamu terpengaruh oleh kebiasaan sifatnya.
Cinta adalah, saling menjawab.
Cinta adalah, kamu tidak memikirkan selainnya.
Cinta adalah, kamu mengetahui hakikat dirinya.
Cinta adalah, lari dari kenangan yang menyakitkan.
Cinta adalah, kamu mengetahui suaranya diantara ratusan suara.
Cinta adalah, membuka dirimu padanya.
Cinta adalah, selalu mengikuti beritanya.
Cinta adalah, merasakan perasaan lain ketika mendengar suaranya.
Cinta adalah, kamu percaya akan kesetiaannya.
Cinta adalah, kamu memahami bahasa matanya.
Cinta adalah, kelembutan pada saat menyentuh tangannya.
Cinta adalah, merasakan tidak ada yang lebih dari dia.
Cinta adalah, kamu mengabulkan segala permintaannya.
Cinta adalah, berusaha pendekatan disaat adanya perbedaan.
Cinta adalah, kebahagiaan selalu.
Cinta adalah, adanya keinginan untuk membicarakannya pada setiap orang.
Cinta adalah, menampakkan hasratmu padanya.
Cinta adalah, kamu menanyakannya ketika dia tiada.
Cinta adalah, bersungguh-sungguh untuk memahaminya.
Cinta adalah, kelembutan dan kasih sayang.
Cinta adalah, kamu menyayanginya dan memberikan kecukupan padanya.
Cinta adalah, kamu gembira dengan kebaikannya.
Cinta adalah, kamu tidak merasa bahwa dia adalah pengacau.
Cinta adalah, menjaga ucapanmu (yang menyakitkan) padanya.
Cinta adalah, kamu mencintai kekurangannya.
Cinta adalah, kamu merasakan bahwa dia adalah pangeran/putrimu.
Cinta adalah, mencari tahu rahasianya.
Cinta adalah, berusaha menyembunyikan kejelekanmu dihadapannya.
Cinta adalah, menjadikan impiannya terwujud.
Cinta adalah, merasakan bahwa kamu akan setia padanya hingga akhir hayat.
Cinta adalah, berpengang teguh padanya.
Cinta adalah, memperbaharui hari-harimu dengannya.
Cinta adalah, merasakan bahwa dia menuntunmu kepada kehidupan yang baru.
Cinta adalah, merasakan bahwa dia merupakan bagian dari dirimu.
Cinta adalah, kamu menjaga perasaannya.
Cinta adalah, berusaha mengetahui track recordnya.
Cinta adalah, sabar dan memaafkannya.
Cinta adalah, percaya akan kesetiaannya.
Cinta adalah, mencari bersama penyebab yang menyakitinya.
Cinta adalah, selalu memperhatikan apa yang dikatakannya.
Cinta adalah, tidak mampu menolak permintaannya.
Cinta adalah, pengorbanan.
Cinta adalah, mengikuti setiap hurup yang diucapkannya.
Cinta adalah, menjaga pemberiannya.
Cinta adalah, mempersiapkan pemberian yang terbaik baginya.
Cinta adalah, merasakan penderitaannya.
Cinta adalah, memberikan kesempatan padanya untuk mengungkapkan siapa dirinya, bila dia merasa malu.
Cinta adalah, kamu selalu menjaga kesehatannya walaupun dalam keadaan sengketa.

Itulah arti cinta menurut buku yang kubaca. Memang sungguh banyak artinya, dan itu salah satu bukti bahwa, tidak ada seorangpun yang dapat memberikan definisi cinta yang jami’ mani’ (definisi yang pasti), sampai sekarang.

Yang kutahu dengan pasti dan sangat kuyakini kebenar­an dan keharusannya, hanya cinta kepada Allah. Cara membuktikan cinta kepada-Nya, dengan mengikuti jalan kekasih-Nya, yaitu Rosulullah Saw. [Qs. Al-Imron: 31]. Selain itu, yang kutahu, cinta adalah anugrah dari Ilahi.
Oh iya, disini aku tidak akan membahas cinta, tapi –sesuai dengan judul diatas- aku hanya akan menceritakan perjalanan ‘Cinta’ [pake tanda petik]. Bedakan ya antara cinta dan ‘Cinta’ yang kumaksud dicoretan ini. Makanya, agar bisa dipahami dengan baik, perlu keseriusan dan konsentrasi penuh dalam membacanya, bila perlu, cari waktu yang sangat tenang. Setelah tahajjud adalah waktu yang sangat tepat. Ceile… Sudah siap?

Baiklah aku mulai menuliskannya.

‘Cinta’ pertama mengejarku ketika aku tinggal di Kampung Bojong, Karangtengah - Cianjur, tepatnya ketika aku belajar agama di Madrasah Al-Hikmah. Tahun 1994. Saat itu aku tinggal bersama pamanku (al-marhum). Ya Allah berilah balasan yang setimpal pada pamanku atas segala kebaikannya selama aku tinggal bersamanya. Di madrasah inilah, pertama aku mulai mengenal ‘hakikat’ agamaku dengan sebenar-benarnya.

Puji syukur pada Allah, berkat pertolongan, karunia dan hidayah-Nya, ketika di pesantren ini, aku menjadi ‘bintangnya’ dalam semua pelajaran. Memang saat itu aku belajar dan menghapal semua pelajaran dengan sungguh-sungguh dan semangat. Semangat ini timbul karena kesadaranku akan kedangkalan ilmuku, khususnya ilmu agama. Tak heran semua talaran pelajaranku waktu itu, seperti; Jurumiah (ilmu nahwu), tashrifan (ilmu sharf), aqidah, tauhid, aku lalap habis. Tak pernah aku berdiri didepan teman-temanku disebabkan tidak hapal suatu ‘talaran’ pelajaran.

Di setiap perlombaan yang diadakan di madrasah aku juga selalu menjadi juara, dari mulai lomba cerdas-cermat, adzan dan pidato. Biasanya perlombaan itu diadakan bertepatan dengan moment perayaan hari-hari besar islam, seperti; Maulid Nabi, Tahun Baru Hijriyah dan Rajaban.

Aku juga sangat dekat dengan guru-guruku, bahkan aku salah seorang ‘murid kecil’ diantara sekian murid kecil beliau yang paling dekat dan mendapatkan perhatian lebih darinya. Sering aku nginap di madrasah, sekedar untuk berkhidmat (membantu) kepada beliau.

Aku tak tahu pesona apa yang menyebabkan ‘Cinta’ menghampiriku saat itu, padahal, tidak ada yang istimewa dariku. Kecuali sifat maluku yang sangat. Aku memang sangat pemalu terhadap lawan jenisku. Tak heran jika aku selalu acuhkan ‘Cinta’, bahkan salamnya aku jawab sealakadarnya ketika aku terima lewat temannya. Apakah karena aku ‘bintang pesantren’? Ah, aku tak tahu pasti. Lupakan saja!

Saat itu aku tak merespon cintanya ‘Cinta’. Mungkin saat itu karena usiaku yang masih shogir dan belum beger, dan akupun masih belum tahu apa itu ‘perasaan’. Yang jelas, endingnya, aku tidak merespon dan tetap tak ada perasaan pada ‘Cinta’.

Ketika aku di MAK (Madrasah Aliyah Keagamaan), ‘Cinta’ yang lain menghampiri dan mengharapkanku. ‘Cinta’ yang ini bukan ‘Cinta’ yang di madrasahku tadi. Karena saat ‘Cinta’ yang kedua ini menghampiriku, tempat tinggalku sudah pindah ke Sindanglaka, Karangtengah - Cianjur.

Kelebihan ‘Cinta’ ini tidak sedikit, selain orangnya baik, cantik suaranya juga merdu, karena dia seorang qoriah. Bila jadwal kelasku untuk menyampaikan Dais (dakwah islamiyyah), dia pasti jadi pembaca al-quran. Kelebihan ‘Cinta’ yang kusebutkan tadi, sama seperti yang ku dengar dari ungkapan teman-temanku yang lain.

Ada pengalaman yang khusus dengan “Cinta” yang ini, kalau ku ingat, kadang aku suka tersenyum sendiri, seperti halnya sekarang [karena aku lagi nulis cerita ini, jadi ingat kisahnya, dan tersenyum sendirian hhmm].

Begini ceritanya. Isu tentang aku dan “Cinta” ini begitu santer di pesantrenku. Sehingga mendapat perhatian khusus dari guruku sekaligus pimpinan pondok. Hingga pada akhirnya, aku diinterogasi oleh beliau. Tidak tanggung-tanggung, aku disuruh bersumpah dihadapannya. “wallahi (demi Allah) kamu tidak menyukainya?” itulah pertanyaan beliau dengan sangat serius. Untungnya, ketika itu, aku diinterogasi di dalam rumahnya, jadi kejadiannya hanya aku dan guruku serta istrinya saja yang mengetahui. Beginilah cara orang alim bertindak, tidak lantas di tempat dan dihadapan umum mencerca atau menginterogasi seseorang. Patut dicontoh. ‘’Wallahi (demi Allah) saya tidak ada hati padanya, Pak’’ itulah jawabanku kala itu, sejujurnya.

Sebagaimana telah diceritakan diatas, ‘Cinta’ yang ini juga –dengan segala keistimewaannya- tidak membuat hatiku menerima harapannya. Hatiku masih seperti kedatangan ‘Cinta’ yang pertama. Hatiku masih belum ‘merasakan’ cinta dihatiku. Mungkin saat itu, aku masih belum beger juga dan belum punya planing ‘kedepan’ sehingga membuatku tidak dapat menerima ‘Cinta’.

Dengan sikap dinginku terhadap ‘Cinta’, membuat teman-teman dekatku sering terheran-heran. Kenapa aku tidak menyukainya? Kenapa aku tidak menerimanya? Ya, inilah mungkin salah satu contoh bukti dari pernyataan, “cinta tidak dapat dipaksakan”.” Cantik itu relatif”.

Meskipun aku tidak merespon ‘perasaan’ ‘Cinta’, sikapku terhadapnya normal-normal saja, tidak membuatku ‘enggan melihatnya’. Ketika dia minta bantuan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah atau suatu pelajaran, aku tidak kikir untuk selalu membantunya. Endingnya ‘Cinta’ yang kedua inipun, berlalu begitu saja.

Setelah cukup lama berlalunya ‘Cinta’ yang kedua, datanglah ‘Cinta’ yang ketiga. Dia menghampiri dan mengejarku. ‘Cinta’ yang inipun punya kelebihan yang ‘menjanjikan’. Selain cantik, baik dia juga sudah mapan. Maksud mapan disini, karena dia sudah mempunyai pekerjaan tetap yang omset perbulannya lebih dari dua je (2 J). Namun pada ‘Cinta’ yang inipun, hatiku belum terketuk dan ingin menjadikannya sebagai ‘teman’ dalam hidupku. Aku hanya bisa menjadikannya sebagai teman. Dan telah kuyakinkan statemenku ini padanya berkali-kali. Namun dia tetap berharap, hingga memaksaku untuk mengatakan padanya, “hatiku sudah memiliki dan dimiliki Sari, kekasihku yang satu. Dan, aku akan setia kepadanya selamanya”

Perjalanan ‘Cinta’ selanjutnya. Tidak lama ini, hadirlah ‘Cinta’ yang keempat dihatiku. Aku tidak mengatakan ‘Cinta’ ini mengejarku atau menghampiriku, karena, semula aku tidak tahu isi hatinya.

Bila oleh ‘Cinta’ yang pertama, kedua dan ketiga aku dihampiri dan ‘dikejar’. Kali ini (katakan saja) aku yang mengejar ‘Cinta’. Hehe, aneh memang. Kenapa aku mengejar ‘Cinta’ yang keempat ini. Mungkin karena sekarang aku sudah beger, selain itu juga, aku pikir, sekarang sudah waktunya aku merancang masa depanku untuk berkeluarga, yang sangat dianjurkan oleh junjunanku, Rosulullah Saw. melalui kalam mulianya. Ku mulai dengan memilih calon pendampingku dengan mohon petunjuk Pengaturku. Melalui pertimbangan yang tidak sebentar, akhirnya aku memilih ‘Cinta’ yang keempat ini. Ya, memang ‘Cinta’ yang ini, mampu membuat hatiku melintir dan terpesona sekaligus jatuh bersimpuh di pangkuannya.

‘Cinta’ yang inipun memiliki banyak kelebihan yang tidak kalah oleh yang sudah-sudah. Menurut pengetahuanku tentangnya. Dia orangnya cantik, pintar, baik, sopan, tanggung jawab, dermawan, pemaaf, pandai mengatur waktu, pandai menjaga iffah, dan penurut. Itu sementara yang aku tahu sekarang. Oh hampir lupa, satu lagi, mungkin, serba ingin tahu, bisa ditambahkan dalam sifatnya juga hehe.

Maaf aku belum tahu lebih banyak lagi tentang dia, karena selama ini dia masih tertutup terhadapku. Maklum aku mendapatkan cintanya belum lama. Mungkin karena selama ini dia masih malu-malu untuk membuka dirinya, atau bisa jadi dia masih menunggu waktu yang tepat untuk menceritakan semua tentangnya terhadapku. Biarlah jika demikian, yang penting aku sudah me­mulai­nya untuk sebuah kata keterbukaan (meskipun banyak menggunakan perantara tulisan). Semoga dia tidak lama lagi berani membuka dirinya padaku. Bila memang ‘Cinta’ yang ini menganggapku sebagai cintanya, aku yakin dia akan segera terbuka, sebagaimana keterbukaanku terhadapnya. Karena aku sudah percaya dengan ‘Cinta’.

Siapakah cinta yang keempat ini? Penasaran ingin mengetahuinya? Dialah yang kujadikan alasan penolakanku terhadap ‘’Cinta’’ yang ketiga diatas. Ingin tahu namanya? Please back to top!!! :-)

Itulah perjalanan ‘Cinta’ dalam hidupku. Semoga perjalanan cintaku sudah sampai kepada jalan the end (dan aku tidak akan mengejar lagi) dengan hadirnya ‘Cinta’ di hatiku sekarang. Percayalah ‘Cinta’, cintaku hanya untukmu
Mon Ami.

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa® 24 Maret 2006












Rihlah yang Tak Lelah

Judul diatas menarik untuk dicermati, kenapa? karena dilihat dari judulnya, bisa disimpulkan bahwa rihlahku adalah titik titik…


Begini ceritanya. Eh, sebenarnya kejadiannya sudah hampir seminggu yang lalu, namun daripada bt, pulang shubuh nggak ada kerjaan, ya mending coret-coret aja di ‘buku’ curhatku ini. Disini.
Waktu itu aku dikabari temanku bahwa Universitas Az-Zaytuna akan mengadakan rihlah ke kota Kairouan. Salah satu kota di Tunis yang punya sejarah panjang. Tentu saja berita itu sangat menggugah hatiku untuk mendaftarkan diri, karena aku belum tahu Kairouan. Selama keberadaanku di Tunis ini, baru satu kali aku tour, yaitu ke kota Jerba, saat menyambut tahun baru 2006, bersama rombongan KBRI (kisahnya, Satu Tahun di Jerba). Dan yang paling membuatku tergugah untuk join rihlah ke Kairouan, karena tour itu gratis, alias tidak bayar.

Kairouan adalah kota bersejarah yang menakjubkan dalam sejarah penyebaran islam ke Afrika bagian utara. Uqbah bin Nafi' (salah seorang shahabat Nabi), menyebarkan islam ke bagian utara Benua Afrika dan mendirikan kota Kairaouan. Kota ini didirikan pada tahun 50 H sebagai pusat penyebaran islam untuk bagian barat Jazirah Arab. Kemudian pada tahun 675 M / 55 H Uqbah bin Nafi' mendirikan mesjid di kota ini yang merupakan mesjid kedua di benua Afrika setelah mesjid Amru bin Ash di Fusthat, Mesir. Pada tahun 80 H Hasan Bin Nukman merenofasi kembali mesjid Uqbah. Kemudian pada tahun 105 H Basyar Bin Shafwan memperluas areanya. Ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam. Di kota Kairouan ini shahabat Nabi Uqbah Bin Nafi' dimakamkan. Kairouan terkenal dengan kerajinan permandani.

Akhirnya aku dan bersama dua temanku serumah, sepakat untuk ikut tour ke kota itu, besok.
Dikatakan oleh koordinator rihlah, besok kita kumpul jam enam pagi di depan kampus. Karena perjalanan cukup jauh, 156 Km. Hampir memakan waktu setengah hari.

Kebiasaan di Kairo, tempat tinggalku sebelum Tunis, ‘jam karet’ bukan rahasia lagi. Bila dijanjikan (dalam suatu acara) pukul enam, pukul tujuh atau pukul delapan bahkan kadang pukul sembilan acara baru dimulai. Orang yang stanby atau on time, kadang akan tersiksa, karena dia akan menunggu sampai yang terlambat itu benar-benar kumpul. Meskipun tidak semua ‘jam karet’ menjadi pegangan semua mahasiswa Kairo.

Esok harinya, aku sudah bersiap sejak ba’da shubuh. Kukenakan pakaian yang agak rapi, agar terlihat lebih keren dan gagah dikit hehe. Rambutku juga sudah ku sisir rapi. Tas gendong kecilku yang mungil telah kuisi dengan beberapa peralatan yang dibutuhkan, seperti; quran kecil, buku bacaan dan ches-an Hp.

Sementara aku sudah siap, ada salah seorang temanku yang masih bersiap-siap, bahkan persiapannya sangat terlambat. Bayangkan saja, jam enam lebih baru bangun, lalu sholat dan siap-siap. Yang nggak kuat, ‘mendekam’ di WC nya terlalu lama. Aku dan seorang temanku yang sudah siap berangkat, demi setia kawan, akhirnya menunggunya. Hingga jam tujuh kurang dikit.

Akhirnya kami berangkat jam tujuh dari rumah. “ya, kayaknya mereka nggak akan berangkat jam enam, masih dingin”, kata-kata itu terlontar dari mulut temanku yang lama ‘mendekam’ di WC tadi, dia mengira, jam karet, di Tunis juga berlaku dan dan terjadi. Aku tidak mengomentarinya. Hanya diam seiring langkah kakiku.
Kurang lebih lima belas menit kami berjalan menuju kampus, kerena letak kampus tidak jauh dari rumahku. Letaknya dekat Masji Hawwa, yang sering ku kunjungi.

Setelah sampai disana, tidak tampak bis dan gerumulan orang yang akan rihlah. “mungkin mereka belum datang”, celoteh seorang temanku. “ah, masak jam tujuh belum ada yang datang seorangpun” jawab temanku yang lain. Ah, aku kira, kalau sudah jam tujuh lebih begini pasti sudah berangkat. Akhirnya, kami menunggu beberapa menit untuk meyakinkan. Sampai pukul tujuh tiga puluh, bis yang ditunggu belum terlihat, teman-teman juga tidak ada yang terlihat batang hidungnya seorangpun. Untuk meyakinkan, seorang temanku menelpon temannya yang juga ikut rihlah. “mereka sudah berangkat” katanya setelah menutup handponenya.

Yah, semula sudah ku bayangkan keindahan dan eksotikan kota Kairouan. Dan sudah kuazamkan untuk menceritakan perjalanan rihlahku nanti, ternyata rihlahnya tidak jadi karena terlambat. Padahal kalau jadi, ini rihlah keduaku selama di Tunis ini.
Begitulah ceritanya. Inilah yang kumaksud, rihlah yang tak lelah, karena rihlahnya tak terlaksana. Dengan kata lain, rihlah yang tak lelah = rihlah yang tak jadi, hehe…Tak apalah, mungkin lain kali bisa kesana.

"Aku berkehendak, kamu berkehendak, kehendak Allah lah yang terjadi’’

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 23 Maret 2006

Mohon dengan Sangat

Tak kusangka, curhatku malam itu (baca, Kasih Jangan Kau Paksa Aku), menghasilkan bergulirnya bola pertanyaan darinya, ternyata keterbukaan itu belum terealisasi seutuhnya, masih ada yang ditutupi, itu tidak lain kurang adanya kepercayaan, ya kepercayaan kamu kepadaku belum sepenuhnya, masih ada keraguan disana, kenapa kamu begitu? Apakah kamu masih belum yakin padaku? Itulah rangkian kalimat yang dia kirimkan padaku lewat smsnya.

Terus terang saja aku sangat sedih ketika membaca sms itu, karena aku rasakan, aku telah menunjukkan segala perhatian, kasih sayang dan rasa cintaku padanya. Hanya inilah pembuktian cinta kasihku yang dapat kulakukan sekarang. Apakah hanya dengan tidak menyebutkan identitas asli seorang Lia, bukti cintaku langsung diragukannya?

Aku sering menuliskan di coretan-coretanku sebelumnya, betapa besar harapan dan rasa cinta kasihku padanya dan bagaimana kugambarkan komitmen akan kesetiaanku terhadap cintanya. Apakah itu belum dipahami dan diyakini olehnya? Apakah dia belum membacanya?

Baiklah, kalau memang niat dan maksudku yang dicoretan kemarin (Kasih, Jangan Kau Paksa Aku), tidak disetujui dan tidak mendapatkan dukungannya, bahkan dia tidak sependapat dengan maksud coretanku. Aku akui disini, aku bersalah kepadanya, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Bila ada kata lain yang lebih dari kata ‘maaf’, tentu akan kutuliskan disini.

Namun, disini juga, boleh kah aku meminta bukti kasih sayangnya (bila memang ada dalam hati) dengan memaafkanku dan menyetujui serta mendukung maksud coretanku kemarin. Mohon dengan sangat, anggap ‘kasus Lia’ telah selesai.
Aku tegaskan lagi disini, jangan kau ragukan segala cinta kasih dan kesetiaanku padamu! Kasih, aku akan selalu setia.


Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 21 Maret 2006


Monday, March 20, 2006

Kasih, Jangan Kau Paksa Aku

Semula dari curhatku padanya, bahwa Lia (baca kisahnya, Diantara Dua Pilihan) masih mengharapkanku dan akan tetap menunggu kedatangan diriku, walaupun sudah ku katakan bahwa aku masih lama untuk menuju pernikahan.

Kutanya dia agar memberi masukan dan solusi buatku, bagaimana ‘cara halus’ untuk menolak niat baik Lia.

Ku ceritakan problem ini padanya, karena aku merasa, sekarang dia adalah ‘setengah’ bagian dari hidupku. Hubungan emosional yang telah terjalin, membuatku merasa perlu mengabari dan meminta pendapat dan masukannya.

Kukatakan dia ‘setengah’ dari bagian hidupku, karena sekarang dia belum halal bagiku seutuhnya. Jika dia sudah ‘resmi’ jadi pendampingku, pasti akan kukatakan ‘dia adalah bagian dari hidupku’. Tanpa pakai ‘setengah’ lagi.

Kukira apa yang aku lakukan (meminta pendapat dan masukannya) sangat wajar dan tidak berlebihan. Karena kurasakan, eksistensi keadaanku lebih terasa, jika seandainya aku dimintai pendapat dan pandangan tentang masalah yang menerpa dirinya. Dengan kata lain, aku juga akan senang bila aku dijadikan tempat curahan hatinya. Begitulah prediksiku. Dia akan merasa senang bila kumintai pendapat dan arahannya.

Disini aku ingin menjelaskan niatku sekaligus memohon maaf kepadanya, bila aku tidak mau memberitahukan identitas asli seorang Lia (nama samaran pada cerpenku), bukan aku tidak mau terbuka dengan sebenarnya (sebagaimana janjiku), hanya saja ini menyangkut orang lain (katakan saja, aib orang lain).

Banyak orang yang mempunyai persepsi –kecuali aku- bahwa ditolak adalah sebuah aib (sesuatu yang memalukan), apalagi bagi seorang cewek, dalam hal ini termasuk Lia.

Karena itu, aku tidak memberikatahukan aib orang lain (baca: Lia) kepadanya. Cukuplah dia hanya mengetahui keadaan dan problem yang terjadi padaku. Adapun untuk nama lengkap dan lain sebagainya, cukup Allah dan aku saja yang tahu.

Aku teringat kisah-kisah qurany. Bila kucermati, al-Quran hanya menyebutkan kejadian, akibat dan balasan serta hikmah dari suatu aib (kejelekan) seseorang atau suatu komunitas, tanpa menyebutkan identitas jelas pelakunya. Kecuali hanya sebagian –sangat- kecil saja, seperti menyebutkan nama Abu Lahab di dalam firmannya.

Hal itu disebabkan, karena membuka (mengungkap) kejelekan orang lain merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama. Kalaupun untuk menjadikan ibrah atau akan dijadikan contoh, hanya dibolehkan dengan menyamarkan nama jelas dan identitasnya. Hal ini bisa digunakan kata si Fulan (si Anu) ataupun dengan mengganti nama pelaku dengan nama samaran (sebagaimana yang aku lakukan pada cerpenku).

Hal ini sesuai dengan tuntutan Rosulullah Saw., junjunanku. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang menutupi malu (aib) orang muslim, pasti Allah akan menutupi malunya (kejelekan) di dunia dan di akherat.” (HR. Muslim)

Allah juga sering tidak menyebutkan identitas detail sesuatu, bila seadainya tidak bermanfaat atau akan menyebabkan musykilah bagi makhluknya. Sebagai contoh, Allah hanya menyebutkan keberadaan Nabiyullah Adam as. yang diturunkan ke bumi, tanpa menjelaskan dimana tempat Nabi Adam itu diturunkan. Adapun yang menyebutkan bahwa Nabi Adam dan Ummina Hawwa diturunkan di Quds-Palestina, Arafah dan India, itu hanya ijtihad ulama tanpa adanya nash yang jelas dari Allah.

Aku kira, kurang ada manfaatnya bila seandainya dia mengetahui identitas lengkap Lia. Aku tidak menyebutkan (memberitahukan) identitas Lia kepadanya, -setidaknya- merujuk kepada ‘pedoman’ hidupku. Dimana Allah tidak menyebutkan dengan jelas dimana tempat diturunkannya Nabiyullah Adam as.

Keterbukaanku terhadapnya, tentu yang menyangkut diriku dan keluargaku saja, meskipun pada prinsipnya kejujuran adalah sebagai pondasi dan komitmen atas segala ucapan dan perbuatanku. Ku usahakan untuk selalu sejalan antara ucapan dan perbuatan.

Keterbukaan tersebut misalnya; Aku siapa? Kapan dan dimana aku dilahirkan? Berapa dan siapa saudaraku? Siapa orang tuaku? Apa hobi dan kesukaanku? apa yang sangat dibenci olehku? apa planingku ke depan? Apa visi dan misi ku dalam hidup rumah tangga? de el el.

Karenanya, bila menyangkut aib (kejelekan) orang lain, maafkan saja, aku hanya bisa mengatakannya dengan tamsil atau analogi (perumpamaan), tanpa menggunakan kata yang terang dan jelas.

Semoga saja dia memahami maksudku dan menyetujui serta mendukung niatku, tanpa memaksaku untuk memberitahukan indentitas Lia yang sebenarnya (siapa dia? sudah berapa lama kenal? de el el). Bila hal ini diangkatpun, kukira tidak dapat memberikan manfaat banyak, yang ada hanya akan timbul kecemburuan, dan bukan tidak mungkin akan mengeruhkan suasana ‘cinta kasihku’ yang kini sedang berbunga dan kondusif.

Maafkan aku kasih, untuk hal ini (memberitahukan tentang Lia), aku mohon pengertian dan kasih sayangmu untuk tidak memaksaku buka mulut. Kukira –membeberkan siapa Lia-, ini tidak termasuk keterbukaan yang kumaksud dan yang kau inginkan.

Percayalah, aku takkan mengkhianatimu selamanya. Aku akan turuti kata-katamu untuk bersikap tegas dan jelas terhadap Lia. Percayalah, singgasana hatiku yang satu telah kau singgahi dan tidak mungkin menerima wanita lain, selama kau menjaga dan memelihara singgasanaku. Kasih, jangan kau paksa aku pliiis!!! :-)

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 20 Maret 2006


Sunday, March 19, 2006

Cemburu is Jealous

Cemburu is Jealous

“jangan dulu emosi, dengarkan dulu penjelasanku, aku...” belum selesai aku bicara, telpon selularku terdengar tut tut tut, tanda sudah diputuskan oleh lawan bicaraku. Aku hanya bisa menarik napas panjang. Kamarku yang memang tidak besar, terasa menjadi sangat sempit dan pengap pengaruh depresi bathinku yang sedang kecewa, bingung dan tak menentu.

Aku tak habis pikir kenapa dia tega akan memutuskan hubungan ‘bathin’ yang lama telah terjalin, hanya karena sedikit kesalah pahamanku terhadap­nya. Kasih sayang dan pengorbananku selama ini seakan tak berbekas. Peribahasa pujangga kemarau satu tahun hilang oleh hujan sehari atau gara nila setitik rusak susu sebelanga, seakan terjadi padaku sekarang. Entitas cintaku selama ini seakan tak dapat membuatnya memaafkanku.

Hampir semua keinginannya aku turuti. Termasuk dalam hal mengikuti cara ‘bercintanya’ yang ‘khas’; dia tak ingin jalan ataupun ngobrol hanya berduaan, aku setujui. Dia tak ingin terlalu sering dikunjungi, aku juga tidak menolak.

Sejak semula, jauh sebelum meng­ungkap­kan perasaanku pada­nya, aku sudah mengira akan semua keinginan­nya dalam hal ‘cara memadu kasih’. Aku sadari itu sebelumnya karena aku tahu siapa dia. Dia seorang ukht yang taat dan sangat memahami konsep dan doktrin ajaran agama yang dianutnya.

Aku berani dan siap untuk menanggung resiko itu semua, walaupun aku harus sabar mendengar celotehan dan sindiran teman-teman gaulku. Toh setelah ku jalani ternyata enjoy juga. Mereka sering mengatakan, “kamu ketinggalan jaman, masak pacaran nggak ada apelnya”. ”Masak pacaran nggak pernah jalan bareng, apa enaknya pacaran seperti itu.”

Biasanya aku hanya bisa menjawab, “itulah kerennya pacaranku, yang berbeda dengan kamu semua hehe...”. Mereka itu teman fitness sekaligus fathner sparing kungfuku. Aku juga sering kumpul dan bermain bersama mereka. Mereka semuanya baik, hanya saja mereka bersikap demikian karena mungkin belum tahu hukum pacaran yang mereka maksud.

Mereka mengetahui aku sudah punya kekasih, ketika secara tidak sengaja, salah seorang dari mereka membaca smsku yang telah kukirimkan pada pacarku. Semenjak itu, tersebarlah dikalangan teman-temanku bahwa aku sudah punya kekasih. Namun mereka belum pernah melihatku apel malam minggu atau berjalan sama cewek. Karenanya mereka sering nyeletuk mengomporiku, provokasi menurut terminologi modern sekarang.

Aku selalu acuh dan tak pernah marah dengan sindiran-sindiran teman-temanku yang dikemas dalam canda mereka. Aku tetap merasa ‘bangga’ dengan cara pacaran yang dianut kekasihku, karena tak terbawa arus negatif pergaulan modern di era globalisasi, yang bila tidak dipagari dengan ke­imanan dan ketakwaan, kemodernan dan globalisasi sekaligus ‘transparansi’ hanya akan membawa kepada kedekadensian moral anak bangsa.

Asumsi pacaran versi kekasihku yang jauh berbeda dengan pacaran yang jadi pemahaman anak muda jaman sekarang, memang telah ku pertimbangkan matang-matang sebelum aku ‘melamar’nya, sehingga ketika ‘lamaranku’ diterima, aku tidak heran dan keberatan untuk ‘berpacaran’ dengan caranya. Sampai akhirnya aku sekarang sudah terbiasa dengan tidak adanya `apel` malam minggu, ataupun jalan berdua. Pacaranku cukup hanya dengan sms yang tidak sering dan telepon yang dilakukan sekali-kali saja. Paling banter, main bersama adik kecil­nya, Usman.

Bukannya aku tidak mau untuk sering ngobrol dan menemuinya, hanya saja, dia punya syarat tertentu sebagai ‘mahar’ untuk bisa berjalan dan ngobrol bersamanya, yaitu; boleh ngobrol tapi harus di rumahnya atau di tempat umum yang ramai, juga jangan berdua. Karena­nya, Usman, adik kandungnya yang baru kelas enam SD akrab denganku, karena sering diajaknya untuk menemaniku ngobrol dengannya. Syarat lainnya, bila sedang jalan-jalan kemudian terdengar azan, maka harus ‘transit’ dulu ke mesjid untuk sekedar berjamaah.

Pernah suatu hari, berkenaan dengan moment hari ulang tahunnya, kebetulan hari itu pas libur. Aku sengaja me­ngajak­nya -tentu dengan Usman- untuk ku traktir makan siang di sebuah restoran yang cukup elit untuk standar menengah. Tiba di restoran beberapa menit sebelum dhuhur. Ketika makanan hendak dipesan, terdengar muadzin memanggil. Memesan makananpun dibatalkan. “Biar tenang makannya, kita sholat dulu aja yuk!” ajaknya kepadaku. Akupun setuju dan segera menuju masjid yang berada dekat restoran tersebut.

Hatiku sangat sedih dan pedih ketika telponku diputuskannya sebelum aku selesai bicara. Namun aku memakluminya. Aku yakin dia me­lakukan­nya karena masih dalam keadaan emosi. Besok atau lusa aku yakin dia akan sadar dan menyesali segala per­buatan­nya itu.

***

Aku tak tahu kenapa. Saat ini, untuk kasus ini, aku sangat kesal dan emosi. Bahkan kekesalanku kali ini mampu memaksaku memijit tombol merah pada Hpku dan memutuskan pembicaraan­nya di telepon. Padahal, biasanya aku selalu sabar dan bersikap tenang dalam menghadapi setiap masalah.

Aku lakukan ini semua terdorong oleh rasa emosi dan rasa egois yang mendadak kali ini sangat sulit ku kendalikan. Ada rasa gengsi menyelinap dalam hatiku untuk menerima maafnya.

Aku tidak menafikan kejujuran, kesetiaan dan semua ke­baikan­nya. Aku juga tidak memungkiri hati ini masih sangat menyayangi dan mencintainya. Bahkan aku tidak menjamin, jika ku berpisah dan putus dengan­nya, akan mendapatkan pengganti seperti dia. Akan sulit kukira untuk mendapatkan laki-laki seperti dia.

Bila aku pikir ulang, memang kesalahannya tidak seberapa. Dia bertanya seperti itu karena dia memang sangat mencintai dan memperhatikanku. Hanya karena suasana hatiku saat ini kurang kondusif dan aku juga kurang enak badan, ketika ditanya, “kemarin jalan dengan siapa”? terasa olehku, dia seperti menginterogasi dan menuduhku berkhianat dan tidak setia.

Ah, aku sekarang merasa sangat bingung. Ingin permohonan maaf ini kusampaikan segera padanya, hanya saja gengsi ini belumlah hilang. Ingin rasanya sekarang aku menelpon balik dan mohon maaf atas ke­lancangan­ku tadi, memutuskan pem­bicaraan­­nya, namun hati ini belumlah mengizinkan.

***

Hah, apa yang harus kulakukan sekarang, ku telpon dia lagi dan langsung minta maaf tanpa menjelaskan dulu ke­salah­pahamanku, atau membiarkannya dulu untuk sementara waktu. Membiarkan dia berpikir jernih dengan kepala dingin dan membatalkan niatnya untuk memutuskan hubungan.

Aku sungguh menyesal dengan pertanyaan yang telah kulontarkan padanya. Meskipun ku anggap baik, tenyata me­nyebab­kan problem yang sangat serius. Bila kutahu akan begini jadinya, aku tidak akan bertanya mengenai keadaan dia kemarin berjalan dengan siapa.

Ini semua kesalahanku. Mestinya sebelum aku tanyakan, aku selidiki validitasnya terlebih dahulu, apalagi saat itu aku hanya melihatnya sekilas dari kaca mobil. Mungkin saat itu aku salah lihat, sepertinya dia sedang jalan dengan laki-laki lain, padahal bukan dia. Bisa jadi yang kulihat waktu itu adalah wanita lain yang kebetulan postur, jilbab dan pakaiannya sama persis dengannya.

Maafkan aku ya Allah, aku telah salah sangka. Kutak­ percaya pertanyaan dan perhatianku jadi simalakama buatku. Ya Allah, jangan Kau putuskan hubunganku dengannya. Berilah jalan keluar dari masalah ini.

Oh iya, besok mungkin kesempatanku untuk meminta maaf langsung atas pertanyaan dan kesalah pahamanku terhadapnya, semoga dia berlapang dada dan menerima kata maafku. Aku yakin sifatnya yang lembut dan pemaaf masih tetap melekat pada pendiriannya. Marahnya tidak akan lama. Ya Allah bukakanlah hatinya untuk menerima maafku.

***

Ah, bila aku turuti rasa egoisme dan gengsi yang berkecamuk menyelimuti relung sanubariku untuk memaafkannya, bukan tidak mungkin aku akan kehilangannya. Bukan tidak mungkin dia akan pergi meninggalkanku.

Sekarang kekhawatiranku semakin terasa dan bertambah, jika kuingat segala kebaikan, perhatian, dan dedikasinya ter­hadap­ku selama ini. Aku khawatir bila dia pergi me­ninggalkan­ku, aku tidak temukan laki-laki seperti dia. Bukan aku takut tidak bisa mendapatkan laki-laki lain, hanya saja, meskipun banyak laki-laki, tetapi lelaki seperti dia sangatlah jarang. Tanpa rahmat dan pertolongan-Allah, sulit bagiku untuk mendapatkannya. Selain itu, aku juga memang masih sangat mencintainya.

Aku menyesal telah menutup teleponnya secara paksa sebelum selesai dia menjelaskan maksud pertanyaanya tadi. Padahal mestinya aku tidak usah emosi kalau memang aku tidak pernah mengkhianati cinta dan kasihnya, apalagi sampai jalan berdua dengan bukan muhrimku. Ya Allah, hilangkanlah rasa egoisme dan gengsi yang melekat dalam jiwa dan perasaanku saat ini, agar aku bisa menerima maafnya. Agar aku bisa memohon maaf padanya. Aku yakin, dia akan menerima maafku dan memaklumi keadaanku yang sedang emosi. Sifatnya yang pemaaf tidak mungkin membuatnya tetap marah padaku.

Besok dia pasti hadir dalam acara pernikahan temannya sekaligus temanku juga. Aku akan berikan surat permohonan maafku melalui Usman.

***

Wah, ternyata acara pernikahan ini cukup ramai, para undangan cukup banyak yang datang. Pagelaran nasyid cukup semarak, mengiringi makan siang para tamu. Tidak rugi aku menghadirinya. Tapi, kemanakah dia? aku belum melihatnya. “mungkin dia belum datang” gerentes hatiku.

Tiba-tiba, tanpa sengaja mataku tertuju pada dua orang pasangan yang berada pada antrian panjang, untuk menyalami pengantin, “Hah, itu dia, tapi, ya Allah, siapa laki-laki yang bersamanya”. Melihat pasangan itu, seketika tubuhku mendadak menjadi panas dan bergetar. Tanganku mendadak membundal kepal. Napasku mendadak tersenggal-senggal. Hampir aku tidak dapat mengontrol emosiku dan berlari serta meggedorkan kepalan keras tanganku pada wajah lelaki yang berada disamping wanita itu, atau menyarangkan Tendangan Langit dan Pisau kungfuku kearah dada dan perut pria yang berdampingan dengan wanita itu, atau bila perlu kuajak berduel sampai salah satu dariku tak dapat berdiri dan mendampingi wanita itu, dialah wanitaku.

Hhmm, berarti penglihatanku saat itu benar adanya, dia berjalan bersama lelaki lain. Sungguh tak kusangka dan kuduga, dibalik keiffahan dan kelembutannya yang selama ini tidak ku ragukan, ternyata hanya didepanku belaka. Kecintaan dan kesetiaannya yang selama ini kuyakini hanya builshit. She’s lier. Sekarang hati dan seonggok harapanku telah hancur berkeping-keping. Wanita yang kupercayai tuk memegang cinta kasih dan kesetiaanku, kini telah berkhianat dan pergi. Tak meninggalkan walau hanya separuh napasku. Ya Allah, kuatkan hati dan bathinku menerima kenyataan ini. Kuatkan jiwaku agar tidak menyakiti dia dan laki-laki itu dengan ke­marahan­ku yang kini membuncah dan menggelora memenuhi seluruh nadi darah mudaku.

“Eh, saya cari-cari ternyata Akang ada disini” tiba-tiba Usman sudah berada disampingku dengan sebuah amplop surat putih di­tangan­nya. Segera ku sembunyikan kegeraman dan kekecewaan hatiku. Ku­perbaiki raut wajahku serta ku lemaskan kepalan tangan bajaku yang sejak tadi keras membatu.

“Iya, Akang baru datang, Usman lagi ngapain? Kok nggak sama Teteh?” kupaksakan untuk mengulum senyum dan balik bertanya pada Usman.

“Oh, Teteh tadi lagi sama paman. Tuh Teteh lagi menyalami pengantin” jawab Usman sambil menunjukkan lurus telunjuknya kearah pasangan yang sejak tadi jadi perhatianku, sekaligus penyebab kekecewaan dan kemarahan bathinku.

“Hah, jadi, yang sama teteh itu paman Usman?” pertanyaanku terlontar kaget.
“iya, itu paman Usman yang baru datang dari Jakarta seminggu yang lalu. Teteh belum sempat beritahu Akang. Kenapa Kang? Cemburu yah? Hehe...” tawa dan pertanyaan Usman membuatku tersipu malu. Mungkin rona wajahku akan terlihat memerah bila seandainya ku bercermin sekarang.

“Ah, kamu, tahu apa tentang cemburu? Kamu masih kecil, belum waktunya” jawabanku terlontar teriring senyum yang kini mendadak bisa ku ukir tanpa keterpaksaan.

Jawaban Usman mengungkap hakikat kecemburuanku selama ini. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah, atas bantuan-Mu, kesalahpahamanku telah terjawab.

***

Setelah pulang dari acara pernikahan, aku langsung membuka surat yang kuterima dari Usman. Ku baca kata demi kata isi surat itu. Isinya tidak terlalu panjang, hanya ada serangkaian kalimat yang berada diantara dua tanda petik, yang kuulang-ulang membacanya, untuk memahami makna yang terkandung didalamnya. Abringan kalimat itu laksana seteguk air di tengah padang pasir. Dapat memadamkan panas kehausanku sekaligus kemarahanku yang sudah mulai mereda. Antrian kata-kata itu:

“Rosul juga pernah marah, marahnya Rosul berdasarkan KECINTAANNYA terhadap umat, begitulah marahku SAAT ITU. Hatiku TIDAK BERUBAH. MAAFKAN AKU!!!”

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa®18 Maret 2006





Biarkan Aku Cemburu

Ukhtie,
Biarkan aku cemburu
Pada jilbab suci yang selalu menghiasi wajahmu
Pada dzikir yang selalu membasahi bibirmu

Ukhtie,
Biarkan aku cemburu
Pada air wudlu yang sering membelai rautmu
Pada Quran yang selalu jadi perhatianmu

Ukhtie,
Biarkan aku cemburu
Pada sajadah yang selalu kau temani dalam sujud malammu
Pada tasbis yang selalu jadi idolamu

Ukhtie,
Biarkan aku cemburu
Pada Iffah yang menjadi perhiasanmu
Pada izzah yang menjadi ranah jalanmu

Ukhtie,
Biarkan aku cemburu
Pada kesabaran yang mengalahkan emosimu
Pada kebaikan yang selalu jadi rutinitasmu

Ukhtie,
Biarkan aku cemburu
Agar aku jadi sepertimu
Ku basahi selalu bibirku dengan dzikir

Kubelai rautku dengan wudlu
Kubaca dan renungi kalam ilahi
Sajadah jadi teman sujud malamku
Untaian tasbih jadi idola lisanku

Ku hiasi diriku dengan iffah
Juga izzah sebagai teman
Kesabaran jadi kendali emosi
Kebaikan jadi keseharianku

“Biarkan aku cemburu”

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 18 Maret 2006

Cemburu

“Love is never without jealousy”

Slogan iggris diatas (yang artinya, cinta selalu disertai rasa cemburu, tanpa rasa cemburu cinta itu tidak ada) benar adanya, setidaknya menurutku sendiri, karena tenyata rasa cemburu itu kualaimi sekarang. Mesti aku sudah percaya pada kesetiaan dan keiffahannya, namun tetap saja, rasa itu memaksa datang dan menggedor perasaan hatiku.

Semenjak aku mendapatkan cintanya, ini pertama kali aku merasakan jealous. Pasalnya, secara tidak disangka aku dapat sms dari seorang temanku, bahwa dia telah mengatarnya membeli sesuatu.

Seketika itu juga, hatiku berceloteh "Ah, yang benar aja, nggak mungkin dia mau diajak jalan berdua. Walaupun mau, pasti dia tidak sendirian dan hanya ditemani oleh temanku itu."

Memang jarakku dengannya sangat jauh, terpisah oleh samudra, yang tak mungkin aku tempuh dengan hanya berjalan kaki, seperti halnya aku berjalan dari tempat tinggalku ke kota Tunis. Sebenarnya, dekat dan jauhnya jarak tidak terlalu berpengaruh akan komunikasiku dengannya. Sebab, meskipun jarakku dekat, katakan saja, aku berada satu kota dengannya, aku tidak akan sering bertemu, apalagi jalan berdua. It’s verry difficult.

Hal itu bukan berarti aku tidak mau atau tidak punya keinginan. Aku tidak hipokrit untuk megatakan bahwa ‘darah muda’ku sama merah dengan darah pemuda lain, bila kuturuti tentu saja aku sangat menginginkan apa yang mereka lakukan, misalnya; jalan berdua dan mentraktirnya makan. Namun, keimanan dan keyakinan­ku terhadap rambu-rambu agamaku lebih mendominasi, sehingga keinginan darah mudaku tadi dapat dikalahkan. Selain itu, diapun pasti se­pendapat dan sekeyakinan denganku dalam hal ini.

Kalau mengingat komitmennya, aku bangga sekaligus terharu. Jangankan jalan berdua, untuk sms-an tiap haripun dia ‘tidak setuju’. “lebih baik jangan sering sms-an, kita kan belum halal. Mari kita jaga hati.” Itulah komitmen dia yang dikirimkannya via sms. Kuyakin dengan komitmenya tadi, keiffahannya lebih terjaga dan tidak usah ku ragukan dan kupertanyakan lagi.

Meskipun –seandainya- aku kurang sependapat, tidak merasa perlu ku komentari komitmennya tentang ‘jaga hati’, bila dia memang memahami dan dapat menjaga hatinya dengan tidak sering sms-an. Ke-seandai-anku tadi misalnya saja, sms-an untuk ‘saling mengenal’ dan saling mengingatkan dalam kebaikan, serta saling memberi motivasi. Terlepas dari semua itu, aku telah menyetujui segala komitmen dan prinsipnya tadi.

Aku tak tahu maksud dari sms temanku itu, kenapa dia kirim sms itu padaku. Aku yakin, temanku itu tidak tahu kalau aku dengan dia sudah ‘jadian’. Selain aku dan dia, hanya satu orang saja yang mengetahui tentang ‘jadian’ku, yaitu adik kandungku sendiri, Nendra. Entah kalau temanku tahu dari dia. Ah, tapi aku tidak yakin.

Ku kira, rasa cemburuku padanya adalah hal yang sangat wajar, yang tidak mesti harus disalahkan. Karena eksistensi rasa cemburu merupakan implikasi riil dari rasa cintaku padanya. Juga, karena istri Rosulullah pun, sebagai bentuk cintanya pada Baginda, pernah cemburu. Sebut saja, Sayyidah ‘Aisyah. Dia pernah cemburu kepada Rosulullah, ketika Baginda sering menyebut-nyebut Khodijah Ra. Hanya saja, hukum cemburuku saat ini masih ‘mubah’ belum sampai kepada derajat ‘wajib’.

Mubah yang kumaksud, karena aku –setidaknya- adalah ‘kekasih’nya merasa ‘mempunyai hak’ untuk ‘memperhatikan’, pantas dong aku cemburu bila dia ‘dekat’ dengan laki-laki lain, lebih-lebih bila laki-laki itu tanpa sepengetahuanku (dia tanpa memberitahuku). Adapun wajib yang kumaksud, kecemburuan yang diharuskan adanya, karena bila tidak ada rasa cemburu (bukan hanya bukti aku tidak mecintainya), berarti aku tidak akan mendapatkan kenikmatan syurga, jangankan nikmat syurga, baunyapun tidak akan kudapati. Rosulullah menyebutnya sebagai Dayyus (suami yang tidak punya rasa cemburu terhadap istrinya). Kecemburuan yang wajib tadi, aku belum berhak saat ini. Semoga saja kecemburuan yang wajib itu bisa terwujud terhadap dia nanti. Amien Ya Rabb.

Dengan kejadian ini, kan kujadikan sebagai pengalaman untuk kedepannya. Aku tetap dengan keyakinanku terhadap keiffahan dan kesetiaannya. Aku tidak akan percaya dengan isu-isu yang datang dari orang lain padaku, sebelum aku tanyakan langsung padanya. Apalagi, ketika kutanyakan padanya tentang hal (kabar) yang aku terima dari temanku tadi ternyata dia tidak merasa, berarti ini hanya sebuah isu ataupun provokasi, ataupun aku yang salah mengartikan sms dari temanku itu. Kekasih, maafkan! ya Allah ampuni kesalahpahamanku bila salah ‘mengartikan’. Ya Allah, jangan kau jadikan kejadian ini sebagai penyebab kerenggangan hubungan bathinku dengannya, sebaliknya, jadikanlah sebagai pengalaman yang berarti bagiku dalam ‘mendalami’ dan ‘memahami’ ke­hidupan­nya. Pesanku buatnya: “Kasih, jangan buat aku cemburu!”

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 18 Maret 2006

DOA UNTUK KEKASIH [2]

Allah Yang Maha Pemurah dan Penyayang.
Terimakasih atas segala nikmat yang telah Kau berikan
Janganlah kau putuskan nikmat-Mu selama-selamanya
Jadikanlah aku sebagai hamba yang selalu bersyukur

Allah yang Maha Tahu
Aku telah mencintai dan menyayanginya
Hatiku telah Kau jatuhkan padanya
Mesti cintaku pada-Mu tak berubah, bahkan bertambah.

Allah yang Maha Rahman
Sekarang aku telah mendapatkan jawabannya, jawaban yang sesusai harapanku.
Dia telah menerima surat cinta kasihku
Aku yakin dia pilihan-Mu, maka jadikanlah dia sebagai istriku yang abadi, mesti keabadian hanya milik-Mu.

Janganlah kau jadikan wanita lain di sisiku, agar aku tidak mengkhianati janjiku dan menyakitinya.
Kuatkanlah hati dan jiwaku untuk tetap setia padanya.
Semoga dengan adanya dia di hatiku, lebih akan membuatku dekat dan merasakan kasih sayang-Mu.
Semoga dengan adanya dia di sanubariku, lebih akan membuatku tenang dalam mereguk cinta kasih-Mu. Mendekatkan diriku pada ke-Maha-an-Mu.

Ya Allah, jika ku takkan kuat menerima ujian dan cobaan-Mu
Jangan lah kau timpahkan ujian itu padaku
Aku tidak ingin menghianati dan menyakiti hatinya
Ku takkan tega membuat dia bersedih dan menangis

Ya Allah yang Maha Rahman
Semoga hari-hari menanti waktu yang Kau halalkan dia untukku, sebagai hari-hari pengenalan diriku padanya. Semoga ini tidak mengotori hatiku akan kesucian-Mu.
Semoga niatku ini tidak Kau jadikan sebagai dosa dihadapan-Mu.

Ya Allah yang Maha Pengasih
Berilah kesabaran, ketabahan dan pengertian diantara kami.
Semoga dia menerima segala kekuranganku sebagaimana aku akan menerima segala kekurangannya.
Aku yakini segala kesempurnaan dan tidak adanya kekurangan hanya pada Dzat-Mu semata.

Ya Allah yang Maha Membimbing
Kutitipkan dia hanya pada-Mu
Semoga hatinya tetap padaku
Semoga kesetiaannya seperti kesetianku
Hingga tibanya hari yang Kau halalkan

Amin Yaa Allah Yaa Rabbal ‘Alamin

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 10 Maret 2006

Ku Coba Menerka

Malam ini kuterbangun lebih cepat, mendahului suara beker Nokiaku yang ku setting 4.45. Ya, aku terbangun satu jam lebih cepat. Kupaksakan menyingkapkan selimut dari tubuhku sekaligus melawan rasa dingin yang mendekapku. Ku masuki kamar mandiku yang tidak luas. Bewudlu. Bersujud.

Ah, ku teringat lagi akan ‘penantianku’. Penasaran. Mengapa kali ini kuteringat lagi? Padahal aku telah berusaha untuk tetap bersabar dan membiarkan.

Menunggu shubuh, ku coba melukiskan kata-kata hatiku kini. Menerka jawaban penantian itu. Kuhidupkan komputer yang ada di rumahku. Benda ini, kini jadi sasaran tempat curhatku lagi. Kupijit-pijit deretan pentul-pentul keyboard yang berjajar rapi. Tersusunlah rangkaian kalimat ini:

“Ah…bidadariku, kenapa kamu belum menjawab pertanyaanku? Bukankah kamu telah berjanji untuk menjawabnya setelah aku pindah negara? Apakah kamu telah lupa dengan kata-katamu itu?

Berilah aku alasan yang rasional, karena aku punya rasio. Alasan yang jelas, karena aku ingin tegas. Alasan yang jitu, karena aku menunggu. Keputusan yang satu, karena aku merindu. Jawaban dari hati, karena aku menanti.

Kalau hanya beralasan ‘janji’ pada dirimu sendiri tanpa mem­beritahukanku, sampai kapan janji itu berujung, Itu tidak rasional. Karena aku tidak tahu. Dan kamu tidak memberitahuku.

Kan kucoba tuk menerka, mengapa kamu belum menjawab.
Apakah kamu tidak menyukaiku?
Apakah kamu khawatir, bila kamu jawab TIDAK, aku akan membencimu, atau mengganggu kegiatan belajarku?
Apakah kamu sudah punya ‘pilihan’?
Apakah kamu ingin menamatkan kuliah dulu?
Apakah aku tidak termasuk tipe ‘laki-lakimu’?
Apakah karena aku bukan ‘golongan’mu?
Apakah karena tidak ada ‘harapan’ pada masa depanku?
Apakah kamu masih ragu akan ‘perasaanku’?
Apakah kamu masih ragu akan keseriusanku?
Apakah kamu masih ingin mencoba ketulusan hatiku?

Sepuluh kalimat pertanyaan yang berawal dengan apakah mungkin sudah cukup, meskipun masih banyak apakah yang belum ku tuliskan disini.

Bila sulit bagimu untuk menjawab, atau kamu tidak mau menjawab satupun pertanyaanku. Akan ku jawab sendiri.

Apakah kamu tidak menyukaiku?
Bila memang tidak menyukaiku, jangan kamu ragu tuk segera menjawab pernyataanku dengan kata TIDAK. Aku sangat menyenangi kejujuran. Aku tidak akan menangis menerimanya.

Apakah kamu khawatir, bila kamu jawab TIDAK, aku akan membencimu, atau mengganggu kegiatan belajarku?
Jangan kamu khawatirkan akibat jawaban kata TIDAK. Percayalah! Tidak akan terjadi apa-apa pada diriku, selain kamu tetap menjadi adik kelas dan saudari seimanku. Aku tidak akan membencimu.

Apakah kamu sudah punya ‘pilihan’?
Bila Ya. Jawablah segera penantianku dengan kata TIDAK. Bila kata TIDAK itu tidak kamu katakan. Sungguh kamu telah menghianati diri dan cintamu pada ‘pilihanmu’. Selain itu, kamu juga telah mempermainkan perasaan teman lelaki seimanmu untuk lama ‘menanti’ jawaban darimu.

Apakah kamu ingin menamatkan kuliah dulu?
Alasan ini terlalu di dramasitir. Hanya untuk menjawab YA atau TIDAK aku harus menunggu dua tahun. Yang ku inginkan sekarang bukan ‘berumah tangga’, tapi hanya jawaban YA atau TIDAK. Kuharap alasan ini tidak dijadikan sebab lagi untuk menjadikan lama penantianku.

Apakah aku tidak termasuk tipe ‘laki-lakimu’?
[Mungkin] Pendapatmu tepat. Tidak ada yang istimewa dari semua sifat dan penampilan yang ada pada diriku. Maka jawablah penantianku segera dengan kata TIDAK. Agar aku tahu diriku sendiri. Agar aku tidak berharap lagi menjadi pendamping dirimu yang penuh dengan ‘kelebihan’.

Apakah karena aku bukan ‘golongan’mu?
Alasan ini cukup berargumen dan rasional. Jika kamu mengira hanya laki-laki ‘golonganmu’ lah yang terbaik dan pantas mendampingimu. Maka cukup untuk segera mengatakan kata TIDAK atas penantianku. Aku tidak akan meringis dengan keputusanmu.

Apakah karena tidak ada ‘harapan’ pada masa depanku?
Alasan inipun [mungkin] tepat. Maka cukup juga untuk segera me­ngatakan kata TIDAK akan ‘kasihku’. Aku tidak tahu masa depanku nanti. Sekarang, memang aku hanya seorang mahasiswa miskin. Tidak lebih.

Apakah kamu masih ragu akan ‘perasaanku’?
Harus bagaimana lagi aku membuktikan ‘perasaanku’ agar kamu yakin. Hanya ini yang kumampu. Mengatakan ‘suka, sayang’ dan mem­perhatikanmu dengan untaian hurup-hurup yang kususun dengan pijitan jempol tanganku pada Hpku. Dan mengirimkan kata-kata melalui pos dan jaringan elektronik. Terkadang, ku dengarkan suaraku. Selebihnya, aku tidak bisa. Namun, bila semua yang kulakukan ini membuatmu kurang nyaman, kamu tidak suka, kamu bisa melarangku. Maka tidak kuharapkan karena keraguan, kamu membuatku lama ‘menanti’ jawaban.

Apakah kamu masih ragu akan keseriusanku?
Aku katakan. Aku sangat sadar dan serius dengan pernyataanku dulu. Jika ada jalan dan cara lain untuk menyakinkanmu akan keseriusanku, aku akan segera lakukan. Apakah itu?

Apakah kamu masih ingin mencoba akan ketulusan hatiku?
Aku katakan. Tidak usah kamu teruskan akan percobaan ini. Aku takut diriku akan salah paham. Cukuplah kata-kataku. Aku menyayangimu. Aku ingin kamu jadi pilihanNya bagiku. Aku tidak berharap, hanya sebab percobaan ini kamu biarkan aku lama menanti.”

Kutambahkan satu kalimat apakah.

Apakah kamu malu tuk mengungkapkan perasaanmu?
Jika Ya. Ku beritahukan. Aku telah melawan perasaan dan rasa maluku untuk mengungkapkan yang tersembunyi dalam hatiku padamu. Ku harap, jangan karena rasa malu, kamu biarkan aku lama menunggu.

Bila kamu masih gengsi untuk mengatakan kata YA. Lebih baik katakanlah padaku kata TIDAK. Karena kukira, ‘kasih’ yang tulus, tidak mengenal kata gengsi. Seperti yang telah ku lakukan. Akibat gengsi, tidak sedikit, dua insan menjadi menderita. Jika kata gengsi membuatmu lebih nyaman. Teruskanlah! setelah kau katakan TIDAK padaku.

“Allahu Akbar….Alllahu Akbar” terdengar suara panggilan Muadzin. Menyuruhku untuk mengakhiri coretan curhatku. Mengajakku untuk menyembah Yang Satu.

Curhatku di malam minggu
Di Pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 15 Januari 2006

Mengenal Paham Ahlu Sunnah Waljamaah

(Sebuah paradigma yang moderat)

Pembukaan

Islam adalah agama yang fitrah. Di mana ma’rifat terhadap Allah Swt. dan iman kepada-Nya adalah sesuatu yang sudah terpasang dalam diri manusia. Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, dengan kebersihan dan kejernihan yang asli, serta telah dirancang dan terpasang dalam dirinya untuk beriman secara fitrah kepada Penciptanya, Allah Swt.

Dalam Islam, pluralitas yang dibangun di atas tabiat asli, kecenderungan individual dan perbedaan masing-masing pihak, termasuk dalam kategori fitrah yang telah digariskan oleh Allah Swt kepada seluruh umat manusia.

Dengan demikian bisa dikatakan, pluralitas dan kemajemukan merupakan suatu “keharusan” yang mesti terjadi pada kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Al-quran mensinyalir sebuah pluralitas dan kemajemukan merupakan “ciptaan ilahi” serta sunnah “abadi dan kekal”. firman Allah:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah kamu diciptakan.” (Qs. Hud: 118-119).

Pengertian hakikat pluralitas dalam al-quran ini telah disepakati oleh para mufasir (pakar ilmu tafsir) dari berbagai latar belakang madzhab, Bahkan, ulama terdahulu telah menjadikan ikhtilaf dan kemajemukan ini sebagai illat (sebab) diciptakannya manusia oleh Allah Swt.

Pluralitas dan kemajemukan bersifat “alami dalam diri manusia dan mereka diciptakan dengan kesiapan untuk itu” serta ditakdirkan untuknya. Medan-medannya meluas dan beragam sesuai dengan luas dan beragamnya medan kehidupan, baik sisi kebendaan maupun pemikiran.

Di sini penulis tidak akan membahas pluralitas dari segi kehidupan dan pola pikir masyarakat secara umum, namun akan dispesifikasikan dengan mengkritisi tentang pluralitas aliran atau paham yang sudah terjadi dan terus berkelanjutan (sampai sekarang) di kalangan komunitas muslim semenjak empat belas abad yang silam. Pluralitas yang dimaksud di sini adalah plularitas firqah atau sekte dalam Islam yang bertolak dari lingkup akidah. Seperti; Ahlu Sunnah Wal Jamaah, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij dan Murjiah.

Namun pada tahapan ini, penulis pun tidak akan membahas seluruh paham yang telah disebutkan di atas, penulis hanya akan sedikit mencoba menyinggung dan memperkenalkan paham Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja), sebagai paham yang diprediksi memiliki paradigma moderat, bila dibandingkan dengan paham firqah-firqah lainnya.

Firqah adalah komunitas masyarakat yang disatukan oleh suatu kepercayaan tertentu. Eksistensi firqah harus didukung oleh adanya sekelompok orang yang menjalankan corak pemikiran dan teorinya.

Firqah-firqah dalam ilmu kalam ini tentunya berbeda dalam pendapat dan teorinya, yang merupakan kerangka untuk menaungi sekaligus menjadi metode dalam pengkajian mereka terhadap akidah.

Syahrastani (479-548H/1086-1153 M), sejarawan firqah-firqah yang ternama, mengungkapkan bahwa perbedaan dalam menjumlah firqah berpulang pada tidak adanya “kaidah/ketentuan mutlak” yang disepakati oleh semua orang dalam membedakan pendapat dan teori-teori pemikiran. Dengan mengusung satu pendapat telah membuat beberapa pihak dapat dikatakan sebagai “firqah-firqah” yang berbeda.

Para sejarawan berpendapat bahwa masalah dalam pengkafiran terhadap suatu dosa (baik dosa besar ataupun kecil) merupakan faktor dominan terjadinya pluralitas dalam lingkup akidah. Mereka mengatakan firqah-firqah tersebut mencapai 73 golongan, sebagai mana yang dikatakan Rasulullah Saw dalam haditsnya:

“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umatku (islam) akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di Neraka kecuali satu golongan, yaitu; golongan (pengikut) ku dan shahabatku”.

Sebagian ulama mencoba untuk mencocokkan kenyataan pluralitas firqah dengan hadits Rasul di atas, mereka mengatakan bahwa, pada dasarnya firqah itu tidak lebih dari delapan golongan, akan tetapi setiap golongan memiliki cabang-cabang, sehingga dengan adanya cabang tersebut nominasi firqah-firqah mencapai 73 golongan. Di mana pengklasifikasian mereka adalah sebagai berikut:

Khawarij terpecah menjadi 20 golongan

Syiah terpecah menjadi 22 golongan

Mu’tazilah terpecah menjadi 20 golongan

Murjiah terpecah menjadi 5 golongan

Najjariyah terpecah menjadi 3 golongan

Mujassamah satu golongan

Jabariyah satu golongan

Ahlu Sunnah satu golongan.

Perlu diingat bahwa Alhu Sunnah sebenarnya terbagi menjadi 3 golongan, yaitu: Salafiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Abd. Qahir dalam bukunya “al-farqu bainal firoq” , ketiga-tiganya ini dianggap sama (satu) karena mereka sepakat dalam “Ushul I’tiqad” (Landasan dasar akidah).

Pengertian Ahlu Sunnah Waljamaah:

Merujuk kepada hadist yang telah disebutkan di atas, secara sederhana, Ahlu Sunnah Wal Jamaah bisa diartikan sebagai berikut:

Golongan yang mengikuti jejak Rasulullah dan menjadikan sunnah serta para shahabatnya sebagai pedoman dan statemennya. Mereka sepakat pada satu statemen dalam hal meng-esakan Allah, sifat-Nya, Adil-Nya, hikmah-Nya, dan pada kenabian Rasulullah, masalah imamah serta dasar-dasar akidah.

Mereka berselisih hanya pada tataran masalah furu’ (dalam hal halal dan haram), perbedaan tersebut tidak berimplikasi pada adanya saling mengklaim -di antara mereka- dengan tuduhan kafir dan fasik. Mereka adalah golongan yang selamat, dan mereka juga sepakat dengan keyakinan akan mungkinnya ru’yatullah (seorang hamba melihat Allah), adanya hari kebangkitan, pertanyaan malaikat di dalam kubur dan adanya mizan (timbagan amal) bagi setiap hamba di akhirat kelak.

Sejarah Aswaja

Mencermati perpecahan yang terjadi dikalangan kaum muslimin, Abd. Qahir al-Bagdadi mengatakan bahwa, semula umat Islam bersatu berada dalam satu jalan pada masa khalifah Abu Bakar Ra (11 H/632 M), masa khlaifah Umar Ra (13 H/634 M) serta enam tahun permulaan pada masa khalifah Utsman bin Affan Ra (24 H/644 M). Kemudian setelah itu komunitas muslim terpecah belah, perpecahan itu terus berlanjut hingga masa kekhalifahan Utsman berakhir digantikan oleh Ali bin Abi thalib Ra (35 H/656 M), bahkan perpecahan tersebut lebih nampak dan semakin memburuk pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra. Hingga tejadi perang jamal (36 H/656) dan siffin (37 H/657 M) antara sayidah Aisyah, sahabat Ali dan Muawiyah. dan perpecahan itu terus berlanjut sampai sekarang.

Tidak diragukan lagi, bahwa pengkafiran terhadap dosa besar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perpecahan. Pengkafiran tersebut diawali oleh Kaum Khawarij (golongan yang keluar dari Ali setelah peristiwa tahkim). Mereka mengkafirkan Shahabat Tholhah, Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Alasan pengkafiran terhadap Tholhah dan Zubair adalah pembaitan (pengangkatan dan pengakuan) mereka terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka juga mengkafirkan Ali Ra. karena keputusannya menerima tahkim (pengangkatan sebagai khlalifah). Sedangkan tahkim –menurut Khawarij- hanyalah milik Allah, “La hukma illa Lillah“ di mana peristiwa tersebut terjadi pada abad kedua hijrah.

Kasus pengkafiran di kalangan firaq (sekte-sekte) sangat erat kaitannya dengan iman seorang hamba yang terealisasikan dalam amal perbuatannya. Imam Muhammad ibn Hanifah (81 H /700 M), mengatakan bahwa iman adalah perkataan belaka, kerenanya iman tidak akan hilang dengan tidak adanya amal, karena amal bukan akar (standar) dari pada iman sehingga iman bisa hilang dengan tidak adanya amal. Statemennya ini kemudian banyak diikuti oleh beberapa ulama, di antaranya Imam al Farisi Abu Hanifah an-Nu’man (150 H / 767 M) dan imam al Maturidi. Maka semenjak itu, muncul statemen pertama kali dari golongan Ahlu Sunnah yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar dan tidak menghukumi mereka kekal di neraka. Dari sejarah ini bisa dikatakan bahwa Imam Muhammad ibn Hanifah sebagai mutakallim (pakar akidah) pertama dari kalangan fuqaha (pakar fiqh).

Pendiri

Meskipun Imam Muhammad Ibn Hanifah (81 H /700 M), orang pertama yang mengeluarkan statemen Ahlu Sunnah -bahwa iman adalah perkataan belaka, kerenanya iman tidak akan hilang dengan tidak adanya amal, karena amal bukan akar (standar) dari pada iman sehingga iman bisa hilang dengan tidak adanya amal- namun dalam buku-buku sejarah tercatat bahwa pendiri paham Ahlu Sunnah adalah Abu Hasan al Asy’ari (260-324 H / 873-935 M).

Abu Hasan al-Asy’ari lahir dan besar di kota Basrah, mula-mula dia mengikuti paham Mu’tazilah, selama empat puluh tahun dia sebagai seorang Mu’tazilah dan menjadi murid al Juba’i (303 H / 915 M) yang kemudian keluar dari sekte mu’tazilah karena tidak puas dengan jawaban sang guru dalam menjawab pertanyaannya.

Pada suatu kesempatan Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan pertanyaan kepada sang guru, “terdapat tiga orang bersaudara dalam satu keluarga, satu di antara mereka adalah orang beriman dan banyak beramal shaleh, yang kedua juga orang beriman namun banyak berbuat dosa, dan yang ketiga meninggal dunia ketika masih bayi, maka apakah yang terjadi pada mereka kelak?”

Gurunya menjawab, “bahwa orang yang beriman akan masuk surga, orang yang berbuat dosa akan masuk neraka, sedangkan si bayi yang meninggal tidak memiliki tempat (terlantar)”.

“Baiklah”, kata Asy’ari selanjutnya, “menurut dokrin al-Ashlah (yang terbaik) Mu’tazilah bahwa Allah akan menetapkan sesuatu yang terbaik bagi makhluknya, lalu mengapa si bayi dimatikan ketika masih kecil?”.

Sang guru menjawab, “karena Allah telah mengetahui bahwa anak bayi tersebut kelak menjadi orang yang berdosa, sehingga ia dimatikan ketika masih kecil untuk menghindarkannya dari siksa neraka, demikianlah Allah memilihkan yang terbaik untuknya”.

“Kemudian”, tanya Asy’ari lagi, “mengapa Allah membiarkan orang yang berdosa hidup sampai menginjak usia dewasa, dan Allah menyiksanya lantaran dosa mereka?”

Akhirnya rasionalisme Mu’tazilah tidak menemukan jawaban atas pertanyaan terakhir tadi, dan beranjak dari pertanyaan tak terjawab itulah Asy’ari meninggalkan sekte Mu’tazilah kemudian menjadi pengikut Hambali-sunni.

Manhaj

Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamaah merupakan manhaj moderat yang tidak ifrath dan tafrith. Ahlu Sunnah berada di antara paham Qodariyyah dan Jabariyah. Hal akan jelas terlihat bila kita komparatifkan antara manhaj Ahlu Sunnah dengan manhaj Qodariyah dan Jabariyah dalam memahami hubungan iman dengan perbuatan seorang hamba.

Untuk memperjelas posisi “jalur tengah” Ahlu Sunnah, mari kita tengok statemen kedua golongan tersebut di atas, mengenai perbuatan seorang hamba dan hubungannya dengan iman, kemudian kita perbandingkan.

Bila kita melihat amal perbuatan seorang hamba yang disebutkan dalam al Quran, kita akan menemukan penuturannya dua kubu klaim atas perbuatan hamba tersebut, yaitu klaim Jabary (terpaksa) dan klaim ikhtiary (memilih), di antara ayat-ayat jabary adalah;

“Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al Insan: 30)

“Dan Tuhanmu menciptakan yang Dia kehendaki dan memilihnya sekali–kali tidak ada pilihan bagi mereka, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Qs. al Qashash: 68)

Adapun ayat-ayat ikhtiary, di antaranya:

“Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’.“ (Qs. al Kahfi: 29)

“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Barang siapa yang mengerjakan dosa maka sesungguhnya ia me­ngerjakannya untuk (kemadharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an Nisa:110-111)

Ayat-ayat di atas menceritakan masalah irodah (kehendak) dan perbuatan seorang hamba yang berkaitan dengan kehendak Allah. Para ulama tidak satu kata dalam memahami ayat di atas, bahkan di antara mereka terjadi perdebatan.

Perdebatan ini bisa kita katagorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu Qodariyah dan Jabariyah. Selain itu, ayat-ayat di atas juga dijadikan sebagai landasan dan azas kedua golongan ini, yang pada intinya dijadikan dasar statemen mereka dalam masalah perbuatan manusia.

A. Paham Qodariyah terhadap perbuatan hamba

Mereka mengatakan bahwa manusia berkuasa atas segala perbuatannya dan menciptakan perbutan tersebut.

Umar Ra menyamakan mereka –Qodariyah- dengan Majusi. Beliau berkata: “Bahwa Rasulullah bersabda: Qodariyah adalah Majusinya umat ini, jika mereka sakit kalian jangan mengunjunginya, dan bila mereka meninggal dunia kalian jangan bersaksi (kebaikan) bagi mereka.”

Majusi adalah salah satu kelompok Musyrikin. Mereka meyakini adanya dua tuhan; tuhan cahaya dan tuhan kegelapan. Setiap kebaikan itu perbuatan cahaya dan kejelekan adalah kegelapan.

Qodariyah berkeyakinan bahwa manusia sebagai “pencipta” perbuatannya dengan kekuasaan yang diciptakan oleh Allah. ‘Pencipta’ menurut mereka ada dua, yaitu; Allah dan manusia terhadap perbuatannya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah menyamakan Qodariyah dengan Majusi. Di mana Qodariyah dan Majusi keduanya bertentangan dengan ajaran Islam yang mengatakan bahwa kebaikan dan kejelekan semuanya merupakan takdir azali dari Allah Swt.

B. Paham Jabariyah terhadap perbuatan hamba

Jabariyyah adalah nama sekte yang dinisbatkan kepada Jahm bin Sofwan. Mereka mengatakan bahwa manusia telah dirampas kekuasaannya (qudrah), dia tidak berkuasa terhadap perbutannya dan tidak dapat melakukan sesuatu apapun.

Manusia –menurut Jabariyah- seperti sehelai bulu yang terhembus angin, tidak memiliki kekuatan apapun, melayang ke arah manapun angin bertiup, sebagaimana yang dikatakan Syahrastani. Masih menurut statemen mereka, sesunggunya Allah menciptakan seorang mu’min sebagai mu’min dan menciptakan seorang kafir sebagai kafir.

Dari penjelasan Jabariyah di atas, bisa kita lihat bahwa statemen mereka terlalu berlebihan dan bisa menuju kepada kemusyrikan, karena mereka telah menyekutukan Allah dalam perbuatan manusia.

Mereka tidak ubahnya seperti Majusi, yang mengatakan Ilah nur dan ilah dzulm (Tuhan sebagai pelaku kebaikan dan keburukan).

C. Paham Ahlu Sunnah terhadap perbuatan hamba

Berkaitan dengan masalah perbuatan manusia, sekte Ahlu Sunnah (Asy’ariah) terkenal dengan doktrin al-kasb. Di mana paham ini –sebagaimana dijelaskan di atas- berada di antara dua sekte Qodariyah dan Jabariyah. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari, diciptakan oleh Allah, namun perbuatan tersebut diperoleh oleh manusia untuk kemudian dipertanggung jawabkan.

Doktrin ini merupakan sarana untuk menggambarkan kebebasan kehendak manusia sehingga ia harus mempertanggung jawabkannya, namun juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya Tuhan semata. Dengan kata lain doktrin ini merupakan upaya mengatasi pertentangan antara paham kebebasan berkehendak (Qodariyah) dan paham keterikatan (Jabariyah).

Dalam segala sesuatu yang mungkin terjadi, Asy’ari memberikan pernyataan insya Allah (jika Allah menghendaki) sebagai ungkapan syarat terhadap hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan.Paham Ahlu Sunnah Waljamaah juga sesuai dengan akidah kitab Najmuddin Abu Hafsh Umar bin Muhammad an-Nasafi (577 H). Yang terkenal dengan “Akidah Nasafiyah”.

Penutup

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan, bahwa paham Ahlu Sunnah Waljamaah dalam hubungannya dengan perbuatan hamba (baca: manusia) merupakan paham yang moderat, tidak terlalu pasrah dan berserah diri begitu saja tanpa adanya usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, juga tidak terlalu berkuasa atas usahanya (baca: perbuatan) sehingga melupakan Sang Pengatur dan meninggalkan doa dalam usaha untuk mencapai apa yang diinginkan.

Hendaknya “jalan tengah” ini harus dijadikan sebagai paradigma bagi setiap muslim, sehingga –setidaknya- akan dapat mengurangi atau menepis tuduhan miring dari kalangan non muslim dengan istilah – istilah Islam ekstrimis, Islam teroris, Islam Fundamentalis dan predikat minor lainnya.

Wallahu a’lam bishowab.

* Makalah ini dipresentasikan pada diskusi bulanan PPI-Tunis (120306)