Sunday, March 19, 2006

Mengenal Paham Ahlu Sunnah Waljamaah

(Sebuah paradigma yang moderat)

Pembukaan

Islam adalah agama yang fitrah. Di mana ma’rifat terhadap Allah Swt. dan iman kepada-Nya adalah sesuatu yang sudah terpasang dalam diri manusia. Semua manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, dengan kebersihan dan kejernihan yang asli, serta telah dirancang dan terpasang dalam dirinya untuk beriman secara fitrah kepada Penciptanya, Allah Swt.

Dalam Islam, pluralitas yang dibangun di atas tabiat asli, kecenderungan individual dan perbedaan masing-masing pihak, termasuk dalam kategori fitrah yang telah digariskan oleh Allah Swt kepada seluruh umat manusia.

Dengan demikian bisa dikatakan, pluralitas dan kemajemukan merupakan suatu “keharusan” yang mesti terjadi pada kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi.

Al-quran mensinyalir sebuah pluralitas dan kemajemukan merupakan “ciptaan ilahi” serta sunnah “abadi dan kekal”. firman Allah:

“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah kamu diciptakan.” (Qs. Hud: 118-119).

Pengertian hakikat pluralitas dalam al-quran ini telah disepakati oleh para mufasir (pakar ilmu tafsir) dari berbagai latar belakang madzhab, Bahkan, ulama terdahulu telah menjadikan ikhtilaf dan kemajemukan ini sebagai illat (sebab) diciptakannya manusia oleh Allah Swt.

Pluralitas dan kemajemukan bersifat “alami dalam diri manusia dan mereka diciptakan dengan kesiapan untuk itu” serta ditakdirkan untuknya. Medan-medannya meluas dan beragam sesuai dengan luas dan beragamnya medan kehidupan, baik sisi kebendaan maupun pemikiran.

Di sini penulis tidak akan membahas pluralitas dari segi kehidupan dan pola pikir masyarakat secara umum, namun akan dispesifikasikan dengan mengkritisi tentang pluralitas aliran atau paham yang sudah terjadi dan terus berkelanjutan (sampai sekarang) di kalangan komunitas muslim semenjak empat belas abad yang silam. Pluralitas yang dimaksud di sini adalah plularitas firqah atau sekte dalam Islam yang bertolak dari lingkup akidah. Seperti; Ahlu Sunnah Wal Jamaah, Syi’ah, Mu’tazilah, Khawarij dan Murjiah.

Namun pada tahapan ini, penulis pun tidak akan membahas seluruh paham yang telah disebutkan di atas, penulis hanya akan sedikit mencoba menyinggung dan memperkenalkan paham Ahlu Sunnah wal Jamaah (Aswaja), sebagai paham yang diprediksi memiliki paradigma moderat, bila dibandingkan dengan paham firqah-firqah lainnya.

Firqah adalah komunitas masyarakat yang disatukan oleh suatu kepercayaan tertentu. Eksistensi firqah harus didukung oleh adanya sekelompok orang yang menjalankan corak pemikiran dan teorinya.

Firqah-firqah dalam ilmu kalam ini tentunya berbeda dalam pendapat dan teorinya, yang merupakan kerangka untuk menaungi sekaligus menjadi metode dalam pengkajian mereka terhadap akidah.

Syahrastani (479-548H/1086-1153 M), sejarawan firqah-firqah yang ternama, mengungkapkan bahwa perbedaan dalam menjumlah firqah berpulang pada tidak adanya “kaidah/ketentuan mutlak” yang disepakati oleh semua orang dalam membedakan pendapat dan teori-teori pemikiran. Dengan mengusung satu pendapat telah membuat beberapa pihak dapat dikatakan sebagai “firqah-firqah” yang berbeda.

Para sejarawan berpendapat bahwa masalah dalam pengkafiran terhadap suatu dosa (baik dosa besar ataupun kecil) merupakan faktor dominan terjadinya pluralitas dalam lingkup akidah. Mereka mengatakan firqah-firqah tersebut mencapai 73 golongan, sebagai mana yang dikatakan Rasulullah Saw dalam haditsnya:

“Kaum Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, dan kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan dan umatku (islam) akan terpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di Neraka kecuali satu golongan, yaitu; golongan (pengikut) ku dan shahabatku”.

Sebagian ulama mencoba untuk mencocokkan kenyataan pluralitas firqah dengan hadits Rasul di atas, mereka mengatakan bahwa, pada dasarnya firqah itu tidak lebih dari delapan golongan, akan tetapi setiap golongan memiliki cabang-cabang, sehingga dengan adanya cabang tersebut nominasi firqah-firqah mencapai 73 golongan. Di mana pengklasifikasian mereka adalah sebagai berikut:

Khawarij terpecah menjadi 20 golongan

Syiah terpecah menjadi 22 golongan

Mu’tazilah terpecah menjadi 20 golongan

Murjiah terpecah menjadi 5 golongan

Najjariyah terpecah menjadi 3 golongan

Mujassamah satu golongan

Jabariyah satu golongan

Ahlu Sunnah satu golongan.

Perlu diingat bahwa Alhu Sunnah sebenarnya terbagi menjadi 3 golongan, yaitu: Salafiyah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Namun sebagaimana yang dikatakan oleh Abd. Qahir dalam bukunya “al-farqu bainal firoq” , ketiga-tiganya ini dianggap sama (satu) karena mereka sepakat dalam “Ushul I’tiqad” (Landasan dasar akidah).

Pengertian Ahlu Sunnah Waljamaah:

Merujuk kepada hadist yang telah disebutkan di atas, secara sederhana, Ahlu Sunnah Wal Jamaah bisa diartikan sebagai berikut:

Golongan yang mengikuti jejak Rasulullah dan menjadikan sunnah serta para shahabatnya sebagai pedoman dan statemennya. Mereka sepakat pada satu statemen dalam hal meng-esakan Allah, sifat-Nya, Adil-Nya, hikmah-Nya, dan pada kenabian Rasulullah, masalah imamah serta dasar-dasar akidah.

Mereka berselisih hanya pada tataran masalah furu’ (dalam hal halal dan haram), perbedaan tersebut tidak berimplikasi pada adanya saling mengklaim -di antara mereka- dengan tuduhan kafir dan fasik. Mereka adalah golongan yang selamat, dan mereka juga sepakat dengan keyakinan akan mungkinnya ru’yatullah (seorang hamba melihat Allah), adanya hari kebangkitan, pertanyaan malaikat di dalam kubur dan adanya mizan (timbagan amal) bagi setiap hamba di akhirat kelak.

Sejarah Aswaja

Mencermati perpecahan yang terjadi dikalangan kaum muslimin, Abd. Qahir al-Bagdadi mengatakan bahwa, semula umat Islam bersatu berada dalam satu jalan pada masa khalifah Abu Bakar Ra (11 H/632 M), masa khlaifah Umar Ra (13 H/634 M) serta enam tahun permulaan pada masa khalifah Utsman bin Affan Ra (24 H/644 M). Kemudian setelah itu komunitas muslim terpecah belah, perpecahan itu terus berlanjut hingga masa kekhalifahan Utsman berakhir digantikan oleh Ali bin Abi thalib Ra (35 H/656 M), bahkan perpecahan tersebut lebih nampak dan semakin memburuk pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Thalib Ra. Hingga tejadi perang jamal (36 H/656) dan siffin (37 H/657 M) antara sayidah Aisyah, sahabat Ali dan Muawiyah. dan perpecahan itu terus berlanjut sampai sekarang.

Tidak diragukan lagi, bahwa pengkafiran terhadap dosa besar merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perpecahan. Pengkafiran tersebut diawali oleh Kaum Khawarij (golongan yang keluar dari Ali setelah peristiwa tahkim). Mereka mengkafirkan Shahabat Tholhah, Zubair dan Ali bin Abi Thalib. Alasan pengkafiran terhadap Tholhah dan Zubair adalah pembaitan (pengangkatan dan pengakuan) mereka terhadap kekhalifahan Ali bin Abi Thalib. Mereka juga mengkafirkan Ali Ra. karena keputusannya menerima tahkim (pengangkatan sebagai khlalifah). Sedangkan tahkim –menurut Khawarij- hanyalah milik Allah, “La hukma illa Lillah“ di mana peristiwa tersebut terjadi pada abad kedua hijrah.

Kasus pengkafiran di kalangan firaq (sekte-sekte) sangat erat kaitannya dengan iman seorang hamba yang terealisasikan dalam amal perbuatannya. Imam Muhammad ibn Hanifah (81 H /700 M), mengatakan bahwa iman adalah perkataan belaka, kerenanya iman tidak akan hilang dengan tidak adanya amal, karena amal bukan akar (standar) dari pada iman sehingga iman bisa hilang dengan tidak adanya amal. Statemennya ini kemudian banyak diikuti oleh beberapa ulama, di antaranya Imam al Farisi Abu Hanifah an-Nu’man (150 H / 767 M) dan imam al Maturidi. Maka semenjak itu, muncul statemen pertama kali dari golongan Ahlu Sunnah yang tidak mengkafirkan pelaku dosa besar dan tidak menghukumi mereka kekal di neraka. Dari sejarah ini bisa dikatakan bahwa Imam Muhammad ibn Hanifah sebagai mutakallim (pakar akidah) pertama dari kalangan fuqaha (pakar fiqh).

Pendiri

Meskipun Imam Muhammad Ibn Hanifah (81 H /700 M), orang pertama yang mengeluarkan statemen Ahlu Sunnah -bahwa iman adalah perkataan belaka, kerenanya iman tidak akan hilang dengan tidak adanya amal, karena amal bukan akar (standar) dari pada iman sehingga iman bisa hilang dengan tidak adanya amal- namun dalam buku-buku sejarah tercatat bahwa pendiri paham Ahlu Sunnah adalah Abu Hasan al Asy’ari (260-324 H / 873-935 M).

Abu Hasan al-Asy’ari lahir dan besar di kota Basrah, mula-mula dia mengikuti paham Mu’tazilah, selama empat puluh tahun dia sebagai seorang Mu’tazilah dan menjadi murid al Juba’i (303 H / 915 M) yang kemudian keluar dari sekte mu’tazilah karena tidak puas dengan jawaban sang guru dalam menjawab pertanyaannya.

Pada suatu kesempatan Abu Hasan al-Asy’ari mengajukan pertanyaan kepada sang guru, “terdapat tiga orang bersaudara dalam satu keluarga, satu di antara mereka adalah orang beriman dan banyak beramal shaleh, yang kedua juga orang beriman namun banyak berbuat dosa, dan yang ketiga meninggal dunia ketika masih bayi, maka apakah yang terjadi pada mereka kelak?”

Gurunya menjawab, “bahwa orang yang beriman akan masuk surga, orang yang berbuat dosa akan masuk neraka, sedangkan si bayi yang meninggal tidak memiliki tempat (terlantar)”.

“Baiklah”, kata Asy’ari selanjutnya, “menurut dokrin al-Ashlah (yang terbaik) Mu’tazilah bahwa Allah akan menetapkan sesuatu yang terbaik bagi makhluknya, lalu mengapa si bayi dimatikan ketika masih kecil?”.

Sang guru menjawab, “karena Allah telah mengetahui bahwa anak bayi tersebut kelak menjadi orang yang berdosa, sehingga ia dimatikan ketika masih kecil untuk menghindarkannya dari siksa neraka, demikianlah Allah memilihkan yang terbaik untuknya”.

“Kemudian”, tanya Asy’ari lagi, “mengapa Allah membiarkan orang yang berdosa hidup sampai menginjak usia dewasa, dan Allah menyiksanya lantaran dosa mereka?”

Akhirnya rasionalisme Mu’tazilah tidak menemukan jawaban atas pertanyaan terakhir tadi, dan beranjak dari pertanyaan tak terjawab itulah Asy’ari meninggalkan sekte Mu’tazilah kemudian menjadi pengikut Hambali-sunni.

Manhaj

Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamaah merupakan manhaj moderat yang tidak ifrath dan tafrith. Ahlu Sunnah berada di antara paham Qodariyyah dan Jabariyah. Hal akan jelas terlihat bila kita komparatifkan antara manhaj Ahlu Sunnah dengan manhaj Qodariyah dan Jabariyah dalam memahami hubungan iman dengan perbuatan seorang hamba.

Untuk memperjelas posisi “jalur tengah” Ahlu Sunnah, mari kita tengok statemen kedua golongan tersebut di atas, mengenai perbuatan seorang hamba dan hubungannya dengan iman, kemudian kita perbandingkan.

Bila kita melihat amal perbuatan seorang hamba yang disebutkan dalam al Quran, kita akan menemukan penuturannya dua kubu klaim atas perbuatan hamba tersebut, yaitu klaim Jabary (terpaksa) dan klaim ikhtiary (memilih), di antara ayat-ayat jabary adalah;

“Dan kamu tidak menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. al Insan: 30)

“Dan Tuhanmu menciptakan yang Dia kehendaki dan memilihnya sekali–kali tidak ada pilihan bagi mereka, Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia).” (Qs. al Qashash: 68)

Adapun ayat-ayat ikhtiary, di antaranya:

“Dan katakanlah: ‘kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir’.“ (Qs. al Kahfi: 29)

“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Barang siapa yang mengerjakan dosa maka sesungguhnya ia me­ngerjakannya untuk (kemadharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Qs. an Nisa:110-111)

Ayat-ayat di atas menceritakan masalah irodah (kehendak) dan perbuatan seorang hamba yang berkaitan dengan kehendak Allah. Para ulama tidak satu kata dalam memahami ayat di atas, bahkan di antara mereka terjadi perdebatan.

Perdebatan ini bisa kita katagorikan menjadi dua kelompok besar, yaitu Qodariyah dan Jabariyah. Selain itu, ayat-ayat di atas juga dijadikan sebagai landasan dan azas kedua golongan ini, yang pada intinya dijadikan dasar statemen mereka dalam masalah perbuatan manusia.

A. Paham Qodariyah terhadap perbuatan hamba

Mereka mengatakan bahwa manusia berkuasa atas segala perbuatannya dan menciptakan perbutan tersebut.

Umar Ra menyamakan mereka –Qodariyah- dengan Majusi. Beliau berkata: “Bahwa Rasulullah bersabda: Qodariyah adalah Majusinya umat ini, jika mereka sakit kalian jangan mengunjunginya, dan bila mereka meninggal dunia kalian jangan bersaksi (kebaikan) bagi mereka.”

Majusi adalah salah satu kelompok Musyrikin. Mereka meyakini adanya dua tuhan; tuhan cahaya dan tuhan kegelapan. Setiap kebaikan itu perbuatan cahaya dan kejelekan adalah kegelapan.

Qodariyah berkeyakinan bahwa manusia sebagai “pencipta” perbuatannya dengan kekuasaan yang diciptakan oleh Allah. ‘Pencipta’ menurut mereka ada dua, yaitu; Allah dan manusia terhadap perbuatannya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah menyamakan Qodariyah dengan Majusi. Di mana Qodariyah dan Majusi keduanya bertentangan dengan ajaran Islam yang mengatakan bahwa kebaikan dan kejelekan semuanya merupakan takdir azali dari Allah Swt.

B. Paham Jabariyah terhadap perbuatan hamba

Jabariyyah adalah nama sekte yang dinisbatkan kepada Jahm bin Sofwan. Mereka mengatakan bahwa manusia telah dirampas kekuasaannya (qudrah), dia tidak berkuasa terhadap perbutannya dan tidak dapat melakukan sesuatu apapun.

Manusia –menurut Jabariyah- seperti sehelai bulu yang terhembus angin, tidak memiliki kekuatan apapun, melayang ke arah manapun angin bertiup, sebagaimana yang dikatakan Syahrastani. Masih menurut statemen mereka, sesunggunya Allah menciptakan seorang mu’min sebagai mu’min dan menciptakan seorang kafir sebagai kafir.

Dari penjelasan Jabariyah di atas, bisa kita lihat bahwa statemen mereka terlalu berlebihan dan bisa menuju kepada kemusyrikan, karena mereka telah menyekutukan Allah dalam perbuatan manusia.

Mereka tidak ubahnya seperti Majusi, yang mengatakan Ilah nur dan ilah dzulm (Tuhan sebagai pelaku kebaikan dan keburukan).

C. Paham Ahlu Sunnah terhadap perbuatan hamba

Berkaitan dengan masalah perbuatan manusia, sekte Ahlu Sunnah (Asy’ariah) terkenal dengan doktrin al-kasb. Di mana paham ini –sebagaimana dijelaskan di atas- berada di antara dua sekte Qodariyah dan Jabariyah. Menurutnya, setiap perbuatan manusia, sekalipun hanya mengangkat ujung jari, diciptakan oleh Allah, namun perbuatan tersebut diperoleh oleh manusia untuk kemudian dipertanggung jawabkan.

Doktrin ini merupakan sarana untuk menggambarkan kebebasan kehendak manusia sehingga ia harus mempertanggung jawabkannya, namun juga sekaligus menyandarkan sepenuhnya terhadap daya Tuhan semata. Dengan kata lain doktrin ini merupakan upaya mengatasi pertentangan antara paham kebebasan berkehendak (Qodariyah) dan paham keterikatan (Jabariyah).

Dalam segala sesuatu yang mungkin terjadi, Asy’ari memberikan pernyataan insya Allah (jika Allah menghendaki) sebagai ungkapan syarat terhadap hal-hal yang mungkin terjadi di masa depan.Paham Ahlu Sunnah Waljamaah juga sesuai dengan akidah kitab Najmuddin Abu Hafsh Umar bin Muhammad an-Nasafi (577 H). Yang terkenal dengan “Akidah Nasafiyah”.

Penutup

Dari uraian di atas kita dapat menyimpulkan, bahwa paham Ahlu Sunnah Waljamaah dalam hubungannya dengan perbuatan hamba (baca: manusia) merupakan paham yang moderat, tidak terlalu pasrah dan berserah diri begitu saja tanpa adanya usaha yang dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, juga tidak terlalu berkuasa atas usahanya (baca: perbuatan) sehingga melupakan Sang Pengatur dan meninggalkan doa dalam usaha untuk mencapai apa yang diinginkan.

Hendaknya “jalan tengah” ini harus dijadikan sebagai paradigma bagi setiap muslim, sehingga –setidaknya- akan dapat mengurangi atau menepis tuduhan miring dari kalangan non muslim dengan istilah – istilah Islam ekstrimis, Islam teroris, Islam Fundamentalis dan predikat minor lainnya.

Wallahu a’lam bishowab.

* Makalah ini dipresentasikan pada diskusi bulanan PPI-Tunis (120306)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home