Bakwan Party di Bulan Hajy [i]
Bakwan Party
Bakwan adalah salah satu makanan pavoritku. Aku mulai mengaguminya ketika aku masih sekolah di Cianjur, tepatnya di Tsanawiyyah dan Aliyah Tawiriyyah [MAK]. Sekolahku ini letaknya di Desa Sindanglaka-Karangtengah. Desa sejuk nan indah. Desa yang telah memberiku banyak ‘arti’. Walaupun aku jarang jajan, namun sekali jajan, bakwan pasti akan jadi salah satu target jajananku.
Setelah selesai Aliyah, aku bersama dua orang temanku menjadi duta Tanwiriyyah untuk mengikuti test ke Al-Azhar. Waktu itu, sekolahku mendapat informasi dari selebaran Depag yang sedang membuka pendaftaran bagi mereka yang hendak meneruskan kuliah ke Universitas tertua di dunia ini. Alhamdulillah, dari tiga orang tersebut, hanya aku yang diberi kesempatan untuk berangkat ke Mesir.
Di Mesir, ku kira tidak akan mendapatkan makanan pavoritku tadi, bakwan. Karena yang terbayang di ingatanku, Mesir adalah Negara Arab dan tidak mungkin mereka memproduksi bakwan sebagai makanan masyarakatnya. Bakwan [setahuku] makanan asli Indonesia. Namun, ternyata dugaanku meleset. Diluar makanan khas Mesir, seperti; to’miyah bil baidh, ruz bil bashol, ruz bil laban, kusyari, halawa, kibdah, dll., aku bisa menemukan, mencicipi bahkan belajar membuat sendiri makanan pavoritku itu. Dari salah seorang ibu rumah tangga KBRI aku bisa membuatnya.
Setelah selesai strata satuku, aku juga diberikan kesempatan untuk meneruskan program masterku ke Tunisia, masih Negara Arab. Tepatnya di Universitas Az-Zaytuna. Termasuk universitas tertua di dunia juga. Sejak semula berangkat menuju Tunis, aku tidak terlalu berharap untuk menemukan makanan pavoritku, toh walaupun tidak aku temukan, aku bisa membuatnya sendiri.
Baru beberapa hari aku tinggal di Tunis, aku kangen dengan makanan pavoritku itu. Tidak sulit aku membuatnya, karena bahan-bahan yang primer, seperti; terigu, kol dan wortel gampang kutemukan di pasar. Cara membuatnyapun aku masih ingat betul: kol dan wortel di iris-iris kecil, kemudian tambahkan terigu. Lalu bisa ditambah dengan irisan-irisan kecil bawang merah, agar bakwan tercium wangi. Kemudian bubuhkan garam dan penyedap rasa secukupnya, bisa ditambahkan sedikit bubuk kunyit agar penampilan bakwan terlihat ‘menarik’. Agar mudah, aduk dahulu bahan-bahan tadi sampai merata tanpa diberi air. Setelah bahan dan bumbu tadi rata teraduk, baru kemudian diberi air secukupnya lalu aduk kembali.
Dari mulai mengiris-iris wortel dan kol sampai menjadi adonan, kurang dari satu jam aku selesai membuatnya. Lalu adonan tersebut ku goreng dan ku suguhkan kepada teman-teman serumahku, seketika itu juga, bakwan buatanku itu ‘laris manis’ tidak tersisa. Oh, ternyata makanan pavoritku menjadi makanan kesukaan teman-temanku juga.
Malam ini 250106, bertepatan dengan Bulan Haji, tanggal 25 Dzulhijjah. Aku coba membuat bakwan lebih banyak, hampir satu kilo lebih terigu dan dua bulatan kol [kecil] ku habiskan. “malam ini kita pesta bakwan, jangan ada kata kurang Pren!” celetuk salah seorang temanku berusul. “asyik…bakwan farty nih” timpal temanku yang lain lagi.
Entah berapa puluh keping bakwan yang aku goreng, yang ku kira, untuk ukuran tujuh orang, pasti akan cukup bahkan mungkin akan nyisa.
Gerimis yang ditemani cayaha temaram di luar sana, udara dingin yang menikam kulit, seakan tidak terhiraukan oleh seonggok anak manusia yang sedang asyik melingkar menggerumuti meja bundar, menyantap makanan yang berada di piringnya masing-masing. Makan malam itupun terasa lebih istimewa dengan adanya makanan asli ‘Ibu Pertiwi’, bakwan. Tidak ada yang berbica ketika ‘pesta bakwan’ berlangsung, yang terdengar hanya suara grak-greknya bakwan kering yang tercabik-cabik oleh gigi-gigi laparnya anak-anak adam. Sesekali terdengar haah nya suara yang kepedasan. Karena waktu itu, sambal yang cukup pedas, ikut ‘berpartisipasi’ menjadi korban penderita menemani bakwan.
Ternyata, makan malam yang istimewa itu, tidak menyisakan walau sekeping makanan pavoritku itu. Semuanya habis disantap bersama-sama.
‘Ala kulli hâl. Aku sangat senang, karena bakwan buatanku dapat mengisi perut-perut para penuntut ilmu. Keceriaan dan kegembiraan mereka dapat menghilangkan rasa capekku membuat bakwan. Bukankan idkhôlussurûr [menggembirakan hati orang lain] merupakan ibadah? Semoga saja amalanku ini menjadi amal sholeh dihadapan Allah. Amin
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 25 Januari 2006
Setelah selesai Aliyah, aku bersama dua orang temanku menjadi duta Tanwiriyyah untuk mengikuti test ke Al-Azhar. Waktu itu, sekolahku mendapat informasi dari selebaran Depag yang sedang membuka pendaftaran bagi mereka yang hendak meneruskan kuliah ke Universitas tertua di dunia ini. Alhamdulillah, dari tiga orang tersebut, hanya aku yang diberi kesempatan untuk berangkat ke Mesir.
Di Mesir, ku kira tidak akan mendapatkan makanan pavoritku tadi, bakwan. Karena yang terbayang di ingatanku, Mesir adalah Negara Arab dan tidak mungkin mereka memproduksi bakwan sebagai makanan masyarakatnya. Bakwan [setahuku] makanan asli Indonesia. Namun, ternyata dugaanku meleset. Diluar makanan khas Mesir, seperti; to’miyah bil baidh, ruz bil bashol, ruz bil laban, kusyari, halawa, kibdah, dll., aku bisa menemukan, mencicipi bahkan belajar membuat sendiri makanan pavoritku itu. Dari salah seorang ibu rumah tangga KBRI aku bisa membuatnya.
Setelah selesai strata satuku, aku juga diberikan kesempatan untuk meneruskan program masterku ke Tunisia, masih Negara Arab. Tepatnya di Universitas Az-Zaytuna. Termasuk universitas tertua di dunia juga. Sejak semula berangkat menuju Tunis, aku tidak terlalu berharap untuk menemukan makanan pavoritku, toh walaupun tidak aku temukan, aku bisa membuatnya sendiri.
Baru beberapa hari aku tinggal di Tunis, aku kangen dengan makanan pavoritku itu. Tidak sulit aku membuatnya, karena bahan-bahan yang primer, seperti; terigu, kol dan wortel gampang kutemukan di pasar. Cara membuatnyapun aku masih ingat betul: kol dan wortel di iris-iris kecil, kemudian tambahkan terigu. Lalu bisa ditambah dengan irisan-irisan kecil bawang merah, agar bakwan tercium wangi. Kemudian bubuhkan garam dan penyedap rasa secukupnya, bisa ditambahkan sedikit bubuk kunyit agar penampilan bakwan terlihat ‘menarik’. Agar mudah, aduk dahulu bahan-bahan tadi sampai merata tanpa diberi air. Setelah bahan dan bumbu tadi rata teraduk, baru kemudian diberi air secukupnya lalu aduk kembali.
Dari mulai mengiris-iris wortel dan kol sampai menjadi adonan, kurang dari satu jam aku selesai membuatnya. Lalu adonan tersebut ku goreng dan ku suguhkan kepada teman-teman serumahku, seketika itu juga, bakwan buatanku itu ‘laris manis’ tidak tersisa. Oh, ternyata makanan pavoritku menjadi makanan kesukaan teman-temanku juga.
Malam ini 250106, bertepatan dengan Bulan Haji, tanggal 25 Dzulhijjah. Aku coba membuat bakwan lebih banyak, hampir satu kilo lebih terigu dan dua bulatan kol [kecil] ku habiskan. “malam ini kita pesta bakwan, jangan ada kata kurang Pren!” celetuk salah seorang temanku berusul. “asyik…bakwan farty nih” timpal temanku yang lain lagi.
Entah berapa puluh keping bakwan yang aku goreng, yang ku kira, untuk ukuran tujuh orang, pasti akan cukup bahkan mungkin akan nyisa.
Gerimis yang ditemani cayaha temaram di luar sana, udara dingin yang menikam kulit, seakan tidak terhiraukan oleh seonggok anak manusia yang sedang asyik melingkar menggerumuti meja bundar, menyantap makanan yang berada di piringnya masing-masing. Makan malam itupun terasa lebih istimewa dengan adanya makanan asli ‘Ibu Pertiwi’, bakwan. Tidak ada yang berbica ketika ‘pesta bakwan’ berlangsung, yang terdengar hanya suara grak-greknya bakwan kering yang tercabik-cabik oleh gigi-gigi laparnya anak-anak adam. Sesekali terdengar haah nya suara yang kepedasan. Karena waktu itu, sambal yang cukup pedas, ikut ‘berpartisipasi’ menjadi korban penderita menemani bakwan.
Ternyata, makan malam yang istimewa itu, tidak menyisakan walau sekeping makanan pavoritku itu. Semuanya habis disantap bersama-sama.
‘Ala kulli hâl. Aku sangat senang, karena bakwan buatanku dapat mengisi perut-perut para penuntut ilmu. Keceriaan dan kegembiraan mereka dapat menghilangkan rasa capekku membuat bakwan. Bukankan idkhôlussurûr [menggembirakan hati orang lain] merupakan ibadah? Semoga saja amalanku ini menjadi amal sholeh dihadapan Allah. Amin
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 25 Januari 2006
1 Comments:
Halo, enak kayaknya bakwan nya tuh...awas baca doa dulu tuh makannya.
Post a Comment
<< Home