Tendangan Bumi
[Sebuah kisah buat penggemar Thifan Pokhan]
Kini aku sudah berada di depan pintu rumah Muaz, teman sekelasku di kuliah. Selain orangnya ganteng, karena dia memang orang Tunis asli, dia juga baik. Kebaikannya membuatku tidak segan-segan lagi berkunjung ke rumahnya, kota Souse. Dari arah rumahku, kota Souse terletak di sebelah selatan Tunis. Dengan menggunakan bis kota, jika tanpa menunggu lama di terminal, satu setengah jam akan sampai ke kota itu. Kota yang cukup indah. Sepanjang jalan yang aku lalui banyak pepohonan yang hijau ranau. Keindahannya juga didukung oleh struktur tanahnya yang naik turun. Suasana pedesaan ini mengingatkanku kepada kampung tempat kelahiranku. Desa kecil yang mungil nun jauh disana, Lemah Abang. Bekasi.
Muaz sudah sering mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Belum genap dua bulan aku berkenalan dengannya, namun sepertinya sudah dua tahun dia mengenalku. Mungkin karena orang Asia yang dia kenal hanya sedikit. Saat ini hanya empat belas orang saja mahasasiswa Indonesia yang menimba ilmu di Universitas Az-Zaetuna, termasuk di dalamnya, aku. Selain itu, mungkin dia merasa enak bergaul dengan orang Indonesia, yang menurutnya baik-baik. Dia mengira semua orang indonesia baik, karena negara Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya terbanyak di dunia. Padahal, (kalo dia tahu)orang Indonesia yang jahat juga tidak sedikit. Aku bersyukur, temanku ini tidak tahu kalau negaraku juga berada di urutan ketiga di mata dunia, sebagai penyandang gelar negara yang terkorup di empat benua. Ah... kalau sampai dia tahu dan bertanya kepadaku: “kenapa bisa demikian?” Tentu sangat sulit sekali bagiku untuk menjawab dan menjelaskannya, selain itu, aku selaku salah seorang warga indonesia yang berada di luar negri, tentu akan merasa malu sekali.
Setelah dipersilahkan masuk, aku tidak menunggu Muaz mengulangi ajakannya. Langsung ku masuk dan menjatuhkan pantatku diatas sebuah kursi yang agak lusuh. Terasa kakiku pegal-pegal dan sedikit linu, kerena sudah dipakai berjalan selama satu jam. Sebanarnya, jarak dari terminal menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya saja, aku tidak langsung tahu arah jalan yang menuju ke rumahnya. Aku harus mengira-mengira dan berjalan ke arah lain sambil menanyakan alamat yang kubawa. Karena, ini pertama kalinya aku mengunjunginya.
***
Aku duduk dibalkon. Sambil menunggu Muaz yang sedang menyediakan kopi, sebagai Minuman ‘wajib’ yang sudah menjadi tradisi klasik di kalangan masyarakat Tunis. Sebagaimana halnya minum teh di Mesir. Minumanku juga, yang semula tidak luput dari segelas teh, karena sudah terbiasa di Mesir. Kini, sedikit demi sedikit berubah. Aku mulai terbiasa minum kopi susu atau disebut juga direk, istilah beken di cafe-cafe Tunis.
Kunikmati pemandangan kampung yang natural, ditemani desiran angin yang menyapa ramah kedatanganku. Mentari sore seakan ikut menyambut kunjunganku ke kampung itu. Sinarnya yang menerpaku, berhasil mengusir rasa dingin pada kulitku. Menghangatkan tubuhku.
Kusapukan pandanganku ke jalan setapak yang tidak terlalu luas, jalan itu terbentang kentara dari depan balkon. Sesekali ada orang Tunis lewat. Setiap kali orang-orang itu melihatku, pandangannya memancarkan sinar keheranan. "Kok ada orang asing di kampung ini." Mungkin itu yang ada dibenak mereka. Aku hanya tetap duduk dan cuek, secuek bebek. Bahkan mungkin aku lebih cuek.
"Silakan diminum kopinya sebelum dingin!." Tawaran Muaz menghentikan pandanganku menyusuri pemandangan jalan dan sekitarnya.
"Oh…terima kasih"
"Akhirnya kamu mengunjungiku juga, setelah beberapa kali aku ajak kamu untuk berziarah. Aku sangat gembira. Oh iya, bagaimana persiapan ujiannya?, sudah kamu ulang pelajaran-pelajaran selama liburan ini? Selama ini, kamu belum pernah hadir kuliah lagi kan ?" Rentetetan lontaran pertanyaan Muaz menghujaniku dengan bahasa arab fushah. Dia masih memaklumiku yang belum lancar bahasa arab ‘amiyah (pasaran) Tunis. Maklum aku baru dua bulan di negri Ben Ali ini. Ya begitulah sifat dia, bila bertanya tidak menunggu jawaban satu persatu. Bertanya seakan-akan sedang mengiterogasi. Yang membedakan dengan pengiterogasian polisi, iringan senyum yang terlukis di wajah Muaz.
"Ya...dengan secarik kertas alamat yang diberikan kamu, aku berhasil juga sampe kesini, walaupun sempat nyasar. Kalau tidak nanya-nanya dulu, mungkin aku nggak bisa balik lagi ke rumahku dan nggak bertemu kamu. Sulit sekali aku jumpai orang yang mau memberitahuku, dan sepertinya mereka heran dan takut menunjukkan jalan ke kampungmu ini. Dan yang membuat aku lebih heran lagi, tidak ada taksi yang mau mengantarkannku. Itulah yang menyebabkan aku harus berjalan selama satu jam " mulutku nyoroscos menjelaskan. Dengan bahasa Arab fushah yang kadang masih berbau ‘amiyyah Mesir, belum sepenuhnya dapat ku hilangkan.
"Oh sempat nyasar juga?, padahal daerah sini sudah cukup terkenal, bila kamu tanya orang di terminal tempat turunmu dari bis tadi, jarang orang yang tidak tahu."
Sekilas ujung mataku menangkap secercah keanehan tergambar di wajah Muaz. Ada sesuatu yang dirahasiakan. Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasannya.
"Oh iya..kamu belum jawab semua pertanyaanku tadi. Tentang bagaimana persiapan ujiannya?, sudah kamu ulang pelajaran-pelajaran selama liburan ini? Selama ini, kamu belum pernah hadir kuliah lagi kan ?" Brondongan pertanyaan itu terulangan lagi dari mulutnya.
"Ya sedikit-sedikit aku baca juga pelajaran-pelajaran, untuk persiapan ujian bulan Februari nanti. Yang kutahu dari Dosen, sebelum libur beberapa hari, kita masuk kuliah lagi setelah ‘Idul Adha. Ya..tidak lebih dari seminggu lagi"
“Oh gitu yah..Aku nggak tahu, karena aku sudah meliburkan diri sebelum diumumkannya liburan resmi, karena waktu itu aku ingin cepat pulang kampung”.
Sejenak aku terdiam. Tiba-tiba terbersit dalam hatiku untuk menanyakan kejanggalan orang-orang dan taksi yang aku jumpai di perjalan.
“Oh iya, aku ingin tanya. Kenapa orang-orang yang kujumpai di jalan sepertinya ketakutan menyebutkan atau menunjukkan jalan kesini?, apakah ada sesuatu yang menyebabkan mereka takut?"
Muaz merunduk lesu. Pertanyaanku hanya dijawab dengan tegunan dan diamannya. Aku makin penasaran. Kuulangi pertanyaan yang senada beberapa kali. Sampai akhirnya dia buka mulut.
"Sebelumnya aku mohon maaf, karena tidak memberitahumu jauh-jauh hari sebelum berkunjung ke rumahku. Kampungku ini memang terkenal rawan. Kampungku dikenal sebagai kampung ‘angker’, karena penduduk nya terdiri dari para perampok. Kejadian sebulan yang lalu. Ada taksi yang mencoba mengantarkan pengunjung masuk. Terjadilah peristiwa yang menyedihkan. Kaca taksi itu hancur karena dilempari oleh anak-anak sini, penumpangnya terluka dan sopirnya lari. Juga satu pekan kemarin, ada orang yang bunuh diri dengan membiarkan dirinya tergilas kereta api".
Sekarang giliranku yang terdiam memantung mendengar penjelasan Muaz. Kerongkonganku mendadak kering kehausan. Padahal sekarang musim dingin. Hatiku jadi bergetar. Ada sedikit rasa takut menyelinap dalam jiwaku.
Huh, tak kusangka. Selain (kata orang) adanya komplek khusus bagi ‘para wanita pemuas birahi’, kok ada juga perkampungan perampok. Kayak di kampung tanah airku saja. Pantas, tujuh buah taksi yang ku stop, tidak ada satupun yang mau mengantar ke tempat tujuanku. Rupanya mereka tidak mau tanggung resiko. Mereka tidak mau bonyok. Mereka pasti ketakutan. Aku bersyukur, ketika aku berjalan tadi, tidak ada yang menodongku atau merampokku.
"Tapi itu satu bulan yang lalu, hari-hari sekarang kejadian perampokan atau penodongan itu sudah mulai lenyap".
"Ya semoga saja yang demikian itu bisa dimusnahkan, karena sangat meresahkan dan merugikan masyarat" jawabanku seakan menenangkan hatiku sendiri yang kini sudah mulai tegar kembali.
***
"Hai Muaz, siapa orang asing itu, suruh dia kesini sebentar!" tiba-tiba saja terdengar keras suara itu tepat dihadapanku yang lagi asyik ngobrol. Terlihat dua orang Tunis. Satu orang bertubuh tinggi besar dan yang satunya lagi agak kurus. Mereka mengenakan jaket dan jeans yang terlihat agak lusuh. Taksiranku, tinggi badan mereka sekitar 170 cm. Mereka berdiri tegak di jalan yang tidak jauh jaraknya dari depan balkon aku berada. Serta merta perubahan drastis terjadi pada raut wajah Muaz, yang tadinya gembira, seketika berubah menjadi pucat pasi kaget dan ketakutan. Genggaman segelas kopi yang ada ditangannya, nyaris terjatuh.
"Eeu..dia, dia temanku" kegugupan Muaz, memperkuat dugaanku, bahwa dia benar-benar ketakutan.
"Aku tahu, dia teman loe. Cepat suruh dia kesini" Si Tinggi Besar kembali berkoar. Kumis tebal yang menyilang di atas bibirnya, menambah sangar penampilan wajahnya.
Semula aku berniat untuk pura-pura tidak bisa bahasa arab, agar mereka tidak mengajak berkomunikasi padaku. Namun melihat Muaz yang tertekan dan sangat ketakutan, keberanianku muncul.
"Ada perlu apa denganku?"
"Hah, kamu bisa bahasa arab?" Si Tinggi Besar kaget mendengar pertanyaanku. Dia mengira aku hanya bisa bahasa inggris.
"Iya, kamu mau apa ?"
"Sini turun sebentar, gua ada perlu, atau gua yang naik?"
Aku sudah mengira, dari nada bicara dan kelakuannya yang tidak seperti kebanyakan orang Tunis lainnya, kebanyakan mereka sopan dan menghormati Turis. Dua orang yang berada di depanku bukan orang baik. Mereka bermaksud jahat padaku. Aku khawatir bila mereka naik dan membuat keributan, selain aku tidak bebas bergerak tentunya juga akan membuat kekacauan di rumah Muaz, yang kemungkinan besar akan menimbulkan kerusakan yang akan merugikan Muaz. Aku berniat untuk menemui mereka. Entah malaikat apa yang menyertaiku. Di hatiku kini tidak ada sedikitpun rasa takut. Mungkin salah satu hal penyebabnya,pengetahuanku akan orang-orang Tunis. Kebanyakan mereka tidak bisa bela diri, kalaupun ada, hanya para militer dan orang-orang tertentu saja. Hal ini disebabkan adanya larangan negara untuk belajar bela diri, seperti; Karate, taekwondo ataupun kungfu. Sedangkan aku, sedikit banyak pernah belajar beladiri, meskipun tidak sampai menjadi Master. Niatku, kalaupun mereka tetap ingin berbuat jahat padaku, inilah waktunya untuk mencoba Thifan Pokhan yang pernah aku pelajari di Mesir selama dua tahun.
Larangan dan pegangan tangan Muaz tidak kuhiraukan. Aku berusaha menyakinkan dan menenangkan Muaz, "kamu tenang saja disini. Percayalah, aku akan baik-baik saja". Aku turun menghampiri mereka.
“Hati-hatilah, mereka gembong perampok kampung sini”.
***
"Mungkin hari ini aku akan adu fisik dengan mereka. Adu fisik yang pertama dalam sejarah hidupku di Timur Tengah." gumaman dalam hatiku. Aku berdiri tegak dua meter dihadapan mereka berdua. Untuk berjaga-jaga. Secara diam-diam aku sudah pancangkan kuda-kuda sejajar Thifanku.
"Ada apa?" tanyaku tenang.
"Kamu punya handphone?". Nadanya yang kasar dan keras hampir kembali menggetarkan hatiku.
"Iya". Jawabanku seadanya. Aku tidak sanggup untuk berbohong. Selain karena larangan ajaran agamaku, juga karena aku paling tidak suka dibohongi. Aku paling benci kepada orang yang berbohong. Kuraba Hpku yang melekat erat di gesperku tertutup jaket.
"Haha...Sinikan Hp dan jam tangan loe. Uangnya juga!" Gelaktawa Si Kumis Tebal yang menggelegar hampir mengusir nyaliku.
"Cepaaat" Si Tinggi Kurus yang tadi hanya tajam memandangku ikut bersungut. Suaranya tidak kalah keras oleh kawannya.
"Maaf..aku nggak bisa berikan itu semua. Hpku sangat kubutuhkan untuk komunikasi. Uangku adalah nyawa ketigaku di negara ini, setelah ruh dan paspor."
"Eeh, banyak omong, kalau nggak diberikan akan gua ambil sendiri sekarang" Si Kumis Tebal benar-benar membuktikan kata-katanya. Dia melangkah cepat mendekatiku. Diiringi dengan ayunan cepat tangannya yang terbang, bak rajawali, menyambar jam tanganku. Aku tidak membatu. Kakiku yang semula sudah bersiap-siap, menggenjotkan badanku, loncat berpindah tumpuan, sementara tanganku kutarik cepat. "Wuss..." angin jambretan tangan Si Kumis Tebal masih terasa, nyaris mengenai tanganku. Melihat usaha pertamanya gagal. Si Kumis terlihat semakin geram. Dia loncat dan menubruk kearahku. Laksana badak gila. Kedua tangannya dibuka lebar, hendak menangkapku. Lagi-lagi aku hanya loncat dan menghindar. Loncatanku tidak menjauhi Si Kumis Tebal, melainkan mengelilinginya, karena itu prinsip dan gerakan Kungfu Thifan yang aku pelajari.
Terlihat jelas, bahwa orang-orang tunis tidak bisa bela diri. Contoh kongkrit ada dihadapanku sekarang, lawanku. Si Kumis Tebal. Dia hanya punya tenaga dan tubuh yang tinggi besar. Adapun gerakannya, tidak lincah dan tidak teratur. Bila kumau, gampang bagiku untuk menyarangkan tinju hangatku ataupun tendangan memutar kakiku.
Cukup lama aku menghindari serangan-serangan Si Kumis Tebal dengan loncatan-loncatan Thifan. Sesekali kugunakan jurus Loncat Harimau kemudian berdiri kembali dengan Bagun Naga. Sengaja aku hindari tangkisan tangan ataupun kaki. Karena, soal tenaga, jelas dia lebih kuat. Bila kutangkis serangannya, aku yang akan bebekbelur.
Cukup lama aku menghindar dan meloncat. Menghindari tubrukan badan Si Kumis Tebal ataupun ayunan tangannya yang menderu. Sesekali kugunakan jurus baling-baling dan kupu-kupu agar lebih cepat menghindari serangan lawanku yang cukup kuat. Akhirnya tubuh dan kakiku mulai terasa lemas. Napasku juga mulai tersengal-sengal kecapaian. Celakanya, kulihat si Kumis Tebal masih geram dan semakin edan. Belum lagi Si Tinggi Kurus yang masih diam memperhatikan. Dia belum turun tangan dan menghujamkan serangannya padaku.
Niatku yang semula tidak ingin manyakiti ataupun memukulnya, kini, kalau aku ingin selamat, aku harus mengurungkan niatku. Aku harus membuat dia kapok dan jera. Kini aku sedang terdesak. Aku harus memukulnya. Karena kekerasan [terkadang]hanya bisa dikalahkan dengan kekerasan. Bukankah arogansi kepada orang yang arogan merupakan sedekah. Kalimat itu yang kutahu. Kalimat wahyu yang keluar dari mulut mulia Junjunanku.
"Ciaaat.." deru angin pukulan tangan besarnya Si Kumis Tebal kembali terasa menerpa wajahku. Terlihat dadanya terbuka akibat pukulan yang diayukannya. Kesempatan ini tidak kusia-siakan, aku melompat kesamping badan di Kumis, menghindari tonjokkannya. Dengan posisi tubuhku yang kumiringkan, kuhujamkan tendanganku.“Bukk..” Tendangan Langitku berhasil kusarangkan pada dada Si Kumis Tebal. “Dukk” tendangan pisauku juga berhasil menoreh perutnya. Hah, dia tidak kesakitan, apalagi menjerit, malah terus menyusul serangannya. Aku tidak kalah gesit, kugunakan Loncat Harimauku meggelinding kebelang tubuhnya. Punggung si Kumis Tebal terlihat jelas tanpa penghalang, lagi-lagi kesempatan ini tidak ku lewatkan begitu saja, dengan sekuat tenaga, aku meloncat menggunakan kedua kakiku secara berbarengan. ”Bukk..bukk” Tendangan Garudaku tepat bersarang dipunggunya.“Eeu...” tendangan kembarku kali ini cukup membuat dia kesakitan. Aku sudah cukup lemas. Aku ingin cepat membuat dia kapok. Aku ingin cepat menyelesaikan pertarungan ini. Dengan sisa-sisa tenagaku, ku sapukan Tendangan Bumiku pada kedua kaki si Kumis Tebal yang masih sempoyongan. “Bret” luar biasa ampuhnya jurus ini, seketika itu juga, Si Kumis Tebal Jatuh tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.
Ah..tak sia-sia aku belajar kungfu Thifan di Negri Kinanah, walaupun niatnya semula hanya untuk olah raga. Aku belum menggunakan pukulan tangan besiku. Selama ini, tanganku belum mendapatkan sasaran empuk. Hanya dengan beberapa tendangan saja, aku berhasil menjatuhkan Si Kumis Tebal yang congkak dan sok jago.
Seketika Suara seruling bambu Handphoneku menjerit kencang. Menyadarkanku. Aku terbangun. Hmm...Missedcall dari Kairo. Membangunkanku. Astagfirullah...aku bertarung hanya dalam mimpi. Ku ucapkan ‘tuk seseorang di Negri Cleopatra sana, ‘makasih sudah membangunkanku untuk bersujud, masak dan makan sahur.
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 8 januari 2006 M
8 Dzulhijjah 1426 H
Kini aku sudah berada di depan pintu rumah Muaz, teman sekelasku di kuliah. Selain orangnya ganteng, karena dia memang orang Tunis asli, dia juga baik. Kebaikannya membuatku tidak segan-segan lagi berkunjung ke rumahnya, kota Souse. Dari arah rumahku, kota Souse terletak di sebelah selatan Tunis. Dengan menggunakan bis kota, jika tanpa menunggu lama di terminal, satu setengah jam akan sampai ke kota itu. Kota yang cukup indah. Sepanjang jalan yang aku lalui banyak pepohonan yang hijau ranau. Keindahannya juga didukung oleh struktur tanahnya yang naik turun. Suasana pedesaan ini mengingatkanku kepada kampung tempat kelahiranku. Desa kecil yang mungil nun jauh disana, Lemah Abang. Bekasi.
Muaz sudah sering mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Belum genap dua bulan aku berkenalan dengannya, namun sepertinya sudah dua tahun dia mengenalku. Mungkin karena orang Asia yang dia kenal hanya sedikit. Saat ini hanya empat belas orang saja mahasasiswa Indonesia yang menimba ilmu di Universitas Az-Zaetuna, termasuk di dalamnya, aku. Selain itu, mungkin dia merasa enak bergaul dengan orang Indonesia, yang menurutnya baik-baik. Dia mengira semua orang indonesia baik, karena negara Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya terbanyak di dunia. Padahal, (kalo dia tahu)orang Indonesia yang jahat juga tidak sedikit. Aku bersyukur, temanku ini tidak tahu kalau negaraku juga berada di urutan ketiga di mata dunia, sebagai penyandang gelar negara yang terkorup di empat benua. Ah... kalau sampai dia tahu dan bertanya kepadaku: “kenapa bisa demikian?” Tentu sangat sulit sekali bagiku untuk menjawab dan menjelaskannya, selain itu, aku selaku salah seorang warga indonesia yang berada di luar negri, tentu akan merasa malu sekali.
Setelah dipersilahkan masuk, aku tidak menunggu Muaz mengulangi ajakannya. Langsung ku masuk dan menjatuhkan pantatku diatas sebuah kursi yang agak lusuh. Terasa kakiku pegal-pegal dan sedikit linu, kerena sudah dipakai berjalan selama satu jam. Sebanarnya, jarak dari terminal menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya saja, aku tidak langsung tahu arah jalan yang menuju ke rumahnya. Aku harus mengira-mengira dan berjalan ke arah lain sambil menanyakan alamat yang kubawa. Karena, ini pertama kalinya aku mengunjunginya.
***
Aku duduk dibalkon. Sambil menunggu Muaz yang sedang menyediakan kopi, sebagai Minuman ‘wajib’ yang sudah menjadi tradisi klasik di kalangan masyarakat Tunis. Sebagaimana halnya minum teh di Mesir. Minumanku juga, yang semula tidak luput dari segelas teh, karena sudah terbiasa di Mesir. Kini, sedikit demi sedikit berubah. Aku mulai terbiasa minum kopi susu atau disebut juga direk, istilah beken di cafe-cafe Tunis.
Kunikmati pemandangan kampung yang natural, ditemani desiran angin yang menyapa ramah kedatanganku. Mentari sore seakan ikut menyambut kunjunganku ke kampung itu. Sinarnya yang menerpaku, berhasil mengusir rasa dingin pada kulitku. Menghangatkan tubuhku.
Kusapukan pandanganku ke jalan setapak yang tidak terlalu luas, jalan itu terbentang kentara dari depan balkon. Sesekali ada orang Tunis lewat. Setiap kali orang-orang itu melihatku, pandangannya memancarkan sinar keheranan. "Kok ada orang asing di kampung ini." Mungkin itu yang ada dibenak mereka. Aku hanya tetap duduk dan cuek, secuek bebek. Bahkan mungkin aku lebih cuek.
"Silakan diminum kopinya sebelum dingin!." Tawaran Muaz menghentikan pandanganku menyusuri pemandangan jalan dan sekitarnya.
"Oh…terima kasih"
"Akhirnya kamu mengunjungiku juga, setelah beberapa kali aku ajak kamu untuk berziarah. Aku sangat gembira. Oh iya, bagaimana persiapan ujiannya?, sudah kamu ulang pelajaran-pelajaran selama liburan ini? Selama ini, kamu belum pernah hadir kuliah lagi kan ?" Rentetetan lontaran pertanyaan Muaz menghujaniku dengan bahasa arab fushah. Dia masih memaklumiku yang belum lancar bahasa arab ‘amiyah (pasaran) Tunis. Maklum aku baru dua bulan di negri Ben Ali ini. Ya begitulah sifat dia, bila bertanya tidak menunggu jawaban satu persatu. Bertanya seakan-akan sedang mengiterogasi. Yang membedakan dengan pengiterogasian polisi, iringan senyum yang terlukis di wajah Muaz.
"Ya...dengan secarik kertas alamat yang diberikan kamu, aku berhasil juga sampe kesini, walaupun sempat nyasar. Kalau tidak nanya-nanya dulu, mungkin aku nggak bisa balik lagi ke rumahku dan nggak bertemu kamu. Sulit sekali aku jumpai orang yang mau memberitahuku, dan sepertinya mereka heran dan takut menunjukkan jalan ke kampungmu ini. Dan yang membuat aku lebih heran lagi, tidak ada taksi yang mau mengantarkannku. Itulah yang menyebabkan aku harus berjalan selama satu jam " mulutku nyoroscos menjelaskan. Dengan bahasa Arab fushah yang kadang masih berbau ‘amiyyah Mesir, belum sepenuhnya dapat ku hilangkan.
"Oh sempat nyasar juga?, padahal daerah sini sudah cukup terkenal, bila kamu tanya orang di terminal tempat turunmu dari bis tadi, jarang orang yang tidak tahu."
Sekilas ujung mataku menangkap secercah keanehan tergambar di wajah Muaz. Ada sesuatu yang dirahasiakan. Aku hanya terdiam mendengarkan penjelasannya.
"Oh iya..kamu belum jawab semua pertanyaanku tadi. Tentang bagaimana persiapan ujiannya?, sudah kamu ulang pelajaran-pelajaran selama liburan ini? Selama ini, kamu belum pernah hadir kuliah lagi kan ?" Brondongan pertanyaan itu terulangan lagi dari mulutnya.
"Ya sedikit-sedikit aku baca juga pelajaran-pelajaran, untuk persiapan ujian bulan Februari nanti. Yang kutahu dari Dosen, sebelum libur beberapa hari, kita masuk kuliah lagi setelah ‘Idul Adha. Ya..tidak lebih dari seminggu lagi"
“Oh gitu yah..Aku nggak tahu, karena aku sudah meliburkan diri sebelum diumumkannya liburan resmi, karena waktu itu aku ingin cepat pulang kampung”.
Sejenak aku terdiam. Tiba-tiba terbersit dalam hatiku untuk menanyakan kejanggalan orang-orang dan taksi yang aku jumpai di perjalan.
“Oh iya, aku ingin tanya. Kenapa orang-orang yang kujumpai di jalan sepertinya ketakutan menyebutkan atau menunjukkan jalan kesini?, apakah ada sesuatu yang menyebabkan mereka takut?"
Muaz merunduk lesu. Pertanyaanku hanya dijawab dengan tegunan dan diamannya. Aku makin penasaran. Kuulangi pertanyaan yang senada beberapa kali. Sampai akhirnya dia buka mulut.
"Sebelumnya aku mohon maaf, karena tidak memberitahumu jauh-jauh hari sebelum berkunjung ke rumahku. Kampungku ini memang terkenal rawan. Kampungku dikenal sebagai kampung ‘angker’, karena penduduk nya terdiri dari para perampok. Kejadian sebulan yang lalu. Ada taksi yang mencoba mengantarkan pengunjung masuk. Terjadilah peristiwa yang menyedihkan. Kaca taksi itu hancur karena dilempari oleh anak-anak sini, penumpangnya terluka dan sopirnya lari. Juga satu pekan kemarin, ada orang yang bunuh diri dengan membiarkan dirinya tergilas kereta api".
Sekarang giliranku yang terdiam memantung mendengar penjelasan Muaz. Kerongkonganku mendadak kering kehausan. Padahal sekarang musim dingin. Hatiku jadi bergetar. Ada sedikit rasa takut menyelinap dalam jiwaku.
Huh, tak kusangka. Selain (kata orang) adanya komplek khusus bagi ‘para wanita pemuas birahi’, kok ada juga perkampungan perampok. Kayak di kampung tanah airku saja. Pantas, tujuh buah taksi yang ku stop, tidak ada satupun yang mau mengantar ke tempat tujuanku. Rupanya mereka tidak mau tanggung resiko. Mereka tidak mau bonyok. Mereka pasti ketakutan. Aku bersyukur, ketika aku berjalan tadi, tidak ada yang menodongku atau merampokku.
"Tapi itu satu bulan yang lalu, hari-hari sekarang kejadian perampokan atau penodongan itu sudah mulai lenyap".
"Ya semoga saja yang demikian itu bisa dimusnahkan, karena sangat meresahkan dan merugikan masyarat" jawabanku seakan menenangkan hatiku sendiri yang kini sudah mulai tegar kembali.
***
"Hai Muaz, siapa orang asing itu, suruh dia kesini sebentar!" tiba-tiba saja terdengar keras suara itu tepat dihadapanku yang lagi asyik ngobrol. Terlihat dua orang Tunis. Satu orang bertubuh tinggi besar dan yang satunya lagi agak kurus. Mereka mengenakan jaket dan jeans yang terlihat agak lusuh. Taksiranku, tinggi badan mereka sekitar 170 cm. Mereka berdiri tegak di jalan yang tidak jauh jaraknya dari depan balkon aku berada. Serta merta perubahan drastis terjadi pada raut wajah Muaz, yang tadinya gembira, seketika berubah menjadi pucat pasi kaget dan ketakutan. Genggaman segelas kopi yang ada ditangannya, nyaris terjatuh.
"Eeu..dia, dia temanku" kegugupan Muaz, memperkuat dugaanku, bahwa dia benar-benar ketakutan.
"Aku tahu, dia teman loe. Cepat suruh dia kesini" Si Tinggi Besar kembali berkoar. Kumis tebal yang menyilang di atas bibirnya, menambah sangar penampilan wajahnya.
Semula aku berniat untuk pura-pura tidak bisa bahasa arab, agar mereka tidak mengajak berkomunikasi padaku. Namun melihat Muaz yang tertekan dan sangat ketakutan, keberanianku muncul.
"Ada perlu apa denganku?"
"Hah, kamu bisa bahasa arab?" Si Tinggi Besar kaget mendengar pertanyaanku. Dia mengira aku hanya bisa bahasa inggris.
"Iya, kamu mau apa ?"
"Sini turun sebentar, gua ada perlu, atau gua yang naik?"
Aku sudah mengira, dari nada bicara dan kelakuannya yang tidak seperti kebanyakan orang Tunis lainnya, kebanyakan mereka sopan dan menghormati Turis. Dua orang yang berada di depanku bukan orang baik. Mereka bermaksud jahat padaku. Aku khawatir bila mereka naik dan membuat keributan, selain aku tidak bebas bergerak tentunya juga akan membuat kekacauan di rumah Muaz, yang kemungkinan besar akan menimbulkan kerusakan yang akan merugikan Muaz. Aku berniat untuk menemui mereka. Entah malaikat apa yang menyertaiku. Di hatiku kini tidak ada sedikitpun rasa takut. Mungkin salah satu hal penyebabnya,pengetahuanku akan orang-orang Tunis. Kebanyakan mereka tidak bisa bela diri, kalaupun ada, hanya para militer dan orang-orang tertentu saja. Hal ini disebabkan adanya larangan negara untuk belajar bela diri, seperti; Karate, taekwondo ataupun kungfu. Sedangkan aku, sedikit banyak pernah belajar beladiri, meskipun tidak sampai menjadi Master. Niatku, kalaupun mereka tetap ingin berbuat jahat padaku, inilah waktunya untuk mencoba Thifan Pokhan yang pernah aku pelajari di Mesir selama dua tahun.
Larangan dan pegangan tangan Muaz tidak kuhiraukan. Aku berusaha menyakinkan dan menenangkan Muaz, "kamu tenang saja disini. Percayalah, aku akan baik-baik saja". Aku turun menghampiri mereka.
“Hati-hatilah, mereka gembong perampok kampung sini”.
***
"Mungkin hari ini aku akan adu fisik dengan mereka. Adu fisik yang pertama dalam sejarah hidupku di Timur Tengah." gumaman dalam hatiku. Aku berdiri tegak dua meter dihadapan mereka berdua. Untuk berjaga-jaga. Secara diam-diam aku sudah pancangkan kuda-kuda sejajar Thifanku.
"Ada apa?" tanyaku tenang.
"Kamu punya handphone?". Nadanya yang kasar dan keras hampir kembali menggetarkan hatiku.
"Iya". Jawabanku seadanya. Aku tidak sanggup untuk berbohong. Selain karena larangan ajaran agamaku, juga karena aku paling tidak suka dibohongi. Aku paling benci kepada orang yang berbohong. Kuraba Hpku yang melekat erat di gesperku tertutup jaket.
"Haha...Sinikan Hp dan jam tangan loe. Uangnya juga!" Gelaktawa Si Kumis Tebal yang menggelegar hampir mengusir nyaliku.
"Cepaaat" Si Tinggi Kurus yang tadi hanya tajam memandangku ikut bersungut. Suaranya tidak kalah keras oleh kawannya.
"Maaf..aku nggak bisa berikan itu semua. Hpku sangat kubutuhkan untuk komunikasi. Uangku adalah nyawa ketigaku di negara ini, setelah ruh dan paspor."
"Eeh, banyak omong, kalau nggak diberikan akan gua ambil sendiri sekarang" Si Kumis Tebal benar-benar membuktikan kata-katanya. Dia melangkah cepat mendekatiku. Diiringi dengan ayunan cepat tangannya yang terbang, bak rajawali, menyambar jam tanganku. Aku tidak membatu. Kakiku yang semula sudah bersiap-siap, menggenjotkan badanku, loncat berpindah tumpuan, sementara tanganku kutarik cepat. "Wuss..." angin jambretan tangan Si Kumis Tebal masih terasa, nyaris mengenai tanganku. Melihat usaha pertamanya gagal. Si Kumis terlihat semakin geram. Dia loncat dan menubruk kearahku. Laksana badak gila. Kedua tangannya dibuka lebar, hendak menangkapku. Lagi-lagi aku hanya loncat dan menghindar. Loncatanku tidak menjauhi Si Kumis Tebal, melainkan mengelilinginya, karena itu prinsip dan gerakan Kungfu Thifan yang aku pelajari.
Terlihat jelas, bahwa orang-orang tunis tidak bisa bela diri. Contoh kongkrit ada dihadapanku sekarang, lawanku. Si Kumis Tebal. Dia hanya punya tenaga dan tubuh yang tinggi besar. Adapun gerakannya, tidak lincah dan tidak teratur. Bila kumau, gampang bagiku untuk menyarangkan tinju hangatku ataupun tendangan memutar kakiku.
Cukup lama aku menghindari serangan-serangan Si Kumis Tebal dengan loncatan-loncatan Thifan. Sesekali kugunakan jurus Loncat Harimau kemudian berdiri kembali dengan Bagun Naga. Sengaja aku hindari tangkisan tangan ataupun kaki. Karena, soal tenaga, jelas dia lebih kuat. Bila kutangkis serangannya, aku yang akan bebekbelur.
Cukup lama aku menghindar dan meloncat. Menghindari tubrukan badan Si Kumis Tebal ataupun ayunan tangannya yang menderu. Sesekali kugunakan jurus baling-baling dan kupu-kupu agar lebih cepat menghindari serangan lawanku yang cukup kuat. Akhirnya tubuh dan kakiku mulai terasa lemas. Napasku juga mulai tersengal-sengal kecapaian. Celakanya, kulihat si Kumis Tebal masih geram dan semakin edan. Belum lagi Si Tinggi Kurus yang masih diam memperhatikan. Dia belum turun tangan dan menghujamkan serangannya padaku.
Niatku yang semula tidak ingin manyakiti ataupun memukulnya, kini, kalau aku ingin selamat, aku harus mengurungkan niatku. Aku harus membuat dia kapok dan jera. Kini aku sedang terdesak. Aku harus memukulnya. Karena kekerasan [terkadang]hanya bisa dikalahkan dengan kekerasan. Bukankah arogansi kepada orang yang arogan merupakan sedekah. Kalimat itu yang kutahu. Kalimat wahyu yang keluar dari mulut mulia Junjunanku.
"Ciaaat.." deru angin pukulan tangan besarnya Si Kumis Tebal kembali terasa menerpa wajahku. Terlihat dadanya terbuka akibat pukulan yang diayukannya. Kesempatan ini tidak kusia-siakan, aku melompat kesamping badan di Kumis, menghindari tonjokkannya. Dengan posisi tubuhku yang kumiringkan, kuhujamkan tendanganku.“Bukk..” Tendangan Langitku berhasil kusarangkan pada dada Si Kumis Tebal. “Dukk” tendangan pisauku juga berhasil menoreh perutnya. Hah, dia tidak kesakitan, apalagi menjerit, malah terus menyusul serangannya. Aku tidak kalah gesit, kugunakan Loncat Harimauku meggelinding kebelang tubuhnya. Punggung si Kumis Tebal terlihat jelas tanpa penghalang, lagi-lagi kesempatan ini tidak ku lewatkan begitu saja, dengan sekuat tenaga, aku meloncat menggunakan kedua kakiku secara berbarengan. ”Bukk..bukk” Tendangan Garudaku tepat bersarang dipunggunya.“Eeu...” tendangan kembarku kali ini cukup membuat dia kesakitan. Aku sudah cukup lemas. Aku ingin cepat membuat dia kapok. Aku ingin cepat menyelesaikan pertarungan ini. Dengan sisa-sisa tenagaku, ku sapukan Tendangan Bumiku pada kedua kaki si Kumis Tebal yang masih sempoyongan. “Bret” luar biasa ampuhnya jurus ini, seketika itu juga, Si Kumis Tebal Jatuh tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.
Ah..tak sia-sia aku belajar kungfu Thifan di Negri Kinanah, walaupun niatnya semula hanya untuk olah raga. Aku belum menggunakan pukulan tangan besiku. Selama ini, tanganku belum mendapatkan sasaran empuk. Hanya dengan beberapa tendangan saja, aku berhasil menjatuhkan Si Kumis Tebal yang congkak dan sok jago.
Seketika Suara seruling bambu Handphoneku menjerit kencang. Menyadarkanku. Aku terbangun. Hmm...Missedcall dari Kairo. Membangunkanku. Astagfirullah...aku bertarung hanya dalam mimpi. Ku ucapkan ‘tuk seseorang di Negri Cleopatra sana, ‘makasih sudah membangunkanku untuk bersujud, masak dan makan sahur.
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 8 januari 2006 M
8 Dzulhijjah 1426 H
0 Comments:
Post a Comment
<< Home