Wednesday, January 25, 2006

I Miss You

Tidak terasa aku sudah tiga minggu di Negeri ini. Negara baru tempat belajarku. Negara ketigatempat meneruskan studiku, Tunisia. Setelah aku arungi angkasa selama 3 jam, pada hari kamistanggal 10 Nopember 2005. Dengan hati yang berat dan terharu serta perasaan sedih yang memenuhi hatiku saat itu, aku langkahkan kaki ayunkan tangan meninggalkan Mesir, meninggalkan orang-orang yang aku hormati dan sayangi. Alhamdilillah aku sampai ke Tunis dengan selamat.

Tepuk tangan dari para penumpangpun kudengar ramai, sebagai ungkapan kegembiraan mereka setelah pesawat Airbus A 320 milik maskapai Tunis Air telah landing dengan baik. Mesir, itulah negara kedua tempatku menuntut ilmu menyelesaikan program strata satuku (S1) di Universitas Al-Azhar, setelah tanah airku sendiri, Indonesia.

Kini aku sudah resmi menjadi mahasiswa di universitas baru, yang juga merupakan salah satu Universitas Islam tertua di dunia, Az-Zaytuna. Universitas ini telah dibangun lebih dari 1300 tahun yang lalu. (dibangun pada tahun 732 M. pada akhir masa kekuasaan dinasti Umayyah).

Dari Negeri Kinanah itu aku terbang sekitar pukul 22.00 Waktu setempat. Tiba di Tunis pukul 01.00 Waktu Kairo atau pukul 00.00 Waktu Tunis. Karena saat ini perbedaan waktu Tunis dengan Mesir hanya satu jam, dan waktu Mesir lebih cepat dari Tunis.

Mengenai waktu atau jam, ada kesamaan yang menarik pada kedua negara ini (Mesir-Tunis), yaitu adanya tradisi pengurangan dan penambahan jam. Semula aku mengira hanya ada pada Negara Mesir saja tradisi tersebut, berdasarkan pengetahuanku yang aku dapatkan dari supir taksi yang waktu itu aku tumpangi: penambahan jam atau pengurangan jam ini mulai terjadi pada masa presiden Anwar Sadat, sebelumnya tidak pernah terjadi, dan ini terjadi hanya Mesir saja. Begitulah kurang lebih jawaban si pengendara sedan bisnis ini dengan nada yakin, (ku sebut sedan bisnis, karena dipakai untuk berbisnis; mengantarkan orang ketujuan tertentu dengan menerima kompensasi alias ujroh atau upah) menjawab pertanyaanku yang aku lontarkan.

Di Mesir selama setahun akan terjadi 2 kali pergantian (penambahan-pengurangan) jam, yaitu; pertama pada saat udara mulai musim dingin dan yang kedua setelah mulai musim panas. Pada musim dingin, karena waktu malam lebih lama daripada waktu siang, maka waktupun dimundurkan satu jam. Pengurangan ini biasanya terjadi pada jumat terkahir bulan Septermber. Perberdaan waktu dengan Indonesiapun yang asalnya 4 jam karena musim panas, kini menjadi 5 jam.

Yang semula jam kerja kantor baik instansi pemerintah maupun swasta mulai melakukan aktifitasnya pukul sembilan, secara otomatis bila sudah terjadi pemunduran jam aktifitaspun baru dimulai pukul 8 waktu sekarang. Begitupun dengan musim panas, jam akan dimajukan satu jam, penambahan ini biasanya terjadi pada jumat terkhir bulan April. Penambahan atau pengurangan ini akan dilakukan serempak, setelah adanya pengumuman dari pemeritah Mesir melalui media cetak dan elektronik, seperti; televisi, radio dan koran, jadi nggak usah khawatir salah sangka, atau salah mengurangi jam hehe.

Pun di Negara Tunis yang aku singgahi sekarang, tidak berbeda dengan Mesir. perubahan di Tunis setiap tahun terjadi dua kali perubahan, yaitu menjelang pergantian musim; dari semi ke panas, dan dari gugur ke dingin, hal ini disebabkan pendeknya malam pada musim panas dan panjangnya malam pada musim dingin. Pada musim panas, sesi malam hanya 8 jam, sedangkan pada musim dingin sesi malam bisa mencapai 14 jam. Ternyata keterangan supir taksi tadi yang begitu yakin, ketika menjawab pertanyaanku, bahwa pergantian jam ini hanya terjadi di Mesir saja, telah terbantahkan dengan realita yang aku alami sekarng. Ternyata Negara Tunispun mempunyai kebiasaan yang sama, memaju-mundurkan jam.

Benar sekali perkataan seorang ahli hikmah yang mengatakan:”Kita akan tahu sesuatu itu berharga, ketika kita telah kehilangan sesuatu itu”. Terbukti dengan yang aku rasakan sekarang. Aku sangat merindukan Mesir. Aku rindukan fenomena-fenomena Mesir yang tidak ada lagi pada pandanganku di Tunis sekarang. Pemandangan orang membaca quran di bis kota, ataupun di Metro (kereta bawah tanah). Pemandangan sholat berjamaah setiap waktu yang begitu serempak –walaupun tidak semua orng Mesirpun berjamaah-, suara murottal al-quran yang sering terdengar dimanapun, termasuk ketika aku naik taksi. Kini semua itu tidak aku temui di Tunis. Memang aku akui, usumsiku sementara ini, Negara Tunis memang sekuler. Pemerintah tidak menginginkan syiar-syiar islam dipertontonkan dan ditonjolkan. Pemerintah tidak menghendaki pem-publikasi-an simbol-simbol islam, termasuk jenggot dan jilbab. Seakan-akan mendoktrin:”Islam hanya di Mesjid saja, adapun di luar Mesjid jangan coba-coba menonjolkan dan mengangakat simbol-simbol ke islaman”.

Sekitar tahun 2002-2003, menurut temannya temanku yang sudah senior di Tunis, sekaligus dia pelaku sejarah. Pernah terjadi peristiwa yang sangat ironis –karena terjadi pada Negara yang hampir 100% penduduknya muslim- yaitu pelarangan jilbab (kasarnya katakan saja begitu), sampai terjadi operasi penyisiran pada wanita yang memakai jilbab. Operasi penyisiran itu dilakukan di jalan-jalan umum, bahkan terjadi di dalam ruangan kuliah oleh para aparat pemerintah. Siapa saja yang mengenakan jilbab, langsung diangkut oleh mobil khusus, yang selanjutnya –mungkin- mereka semua akan di periksa lebih lanjut. Nah salah satunya termasuk temannya temanku itu yang kena penyisiran.

Kembali ke rasa rinduku. Rindu ini masih menghinggapi relung hatiku. Rindu ini masih membuatku seakan tak berkutik untuk terus membiarkan imajinasi dan pikiranku melayang jauh ke Negeri Para Nabi, mengingat dan membayangkan masa-masa di Mesir. Sebentar imajinasi dan bayanganku melesat ke Dokki, tempat main yang paling sering ku kunjungi ketika aku di Mesir. Dokki ini sebuah daerah yang letaknya cukup dekat dengan kota Kairo, Ramses. Dokki juga sebuah daerah yang cukup elit.

Ada 2 rumah yang paling sering ku kunjungi di daerah Dokki ini; yaitu: Rumah keluarga Pak Subhan-Teh Tia, dan Rumahnya Teh Sari. Keluarga Pak Subhan ini sudah aku anggap sebagai keluragaku sendiri. Entah mengapa, mungkin karena aku berada di Negeri orang, jadi ketika bertemu dengan orang lain yang sama-sama merantau terasa seperti keluarga, atau mungkin karena secara kultural aku dengan Teh Tia (istrinya Pak Subhan) sama-sama orang sunda. Aku akui, keluarga Pak Subhan memang keluarga yang baik dan dermawan. Mereka tidak sayang untuk “memberi” dan merekapun –ter­kadang terlihat- keluarga yang royal.

Pernah suatu ketika aku jalan-jalan bersama mereka dengan menaiki sedan berwarna merah ati menuju rumah makan Sabik –rumah makan Thailand yang letaknya di H.7-. Dari Dokki kami berangkat setelah maghrib. Sebenarnya sering aku diajak jalan-jalan sama keluarga Pak Subhan. Biasanya pada saat libur kerja di KBRI -Pak Subhan salah satu lokal staf di KBRI- yaitu hari jumat dan sabtu. Bahkan jalan-jalan keluar kotapun aku sering diajaknya, seperti ke Alexandria dan Port Said.

Sekitar kurang lebih satu jam perjalan, sampailah kami ke Restaurant Sabik.

“Boleh Pak” jawabku, ketika Pak Subhan menawariku makan nasi Pataya, telor dan sayur, dan memang aku suka dengan nasi Pataya itu. Sebenarnya aku bisa saja memesan yang lain dan lebih dari itu, Pak Subhanpun menawariku saat itu. Hanya saja aku memang pemalu, tidak mau untuk minta yang lain. Lagi pula ini sudah cukup banyak dan kenyang. Setelah semua pesanan tersedia kamipun makan.

Ketika di perjalanan pulang inilah –dan disinilah terlihat dan aku lebih yakini bahwa keluarga pak Subhan memang keluarga yang dermawan- sekitar lima orang peminta-peminta aku temui. Kesemua peminta-minta itu diberi uang olehnya. Sungguh suatu pemandangan yang indah dan mengesankan, sekaligus membuatku iri. Karena aku sendiri –jujur saja- kalo hanya dalam waktu kurang lebih satu jam perjalanan ke rumah atau dalam satu hari memberi para peminta-minta lima kali, aku belum mampu. Tapi kalau hanya perhari aku harus sedekah, memang sudah dianggarkan dan sudah menjadi jadwal rutin, itupun kalau punya duitnya hehe… Melihat fenomena itu, seketika itu hatikupun berbisik: ”Ya Allah betapa dermawannya keluarga ini, semoga mereka mendapatkan balasan dari semua kebaikannya. Ya Allah jadikanlah aku orang yang kaya dan demawan, sehingga aku bisa berbuat seperti keluarga pak Subhan bahkan lebih.”

Sering aku berkunjung ke rumah Teteh, –panggilanku ke Teh Tia, karena sudah kuanggap keluarga dan teteh sendiri- aku rasakan, di rumah Teh Tia aku bisa menghilangkan kepenatan dan ke BT-an pikiranku yang disebabkan oleh belajar atau ada masalah pribadi yang kadang manimpa pada siapapun, tidak terkecuali aku. Selain itu juga sering aku berkunjung untuk sekedar silaturahmi. Selain untuk bantu-bantu di rumah Teteh juga aku bisa bercanda dan tertawa dengan kedua anaknya yang manis dan lucu.

Teteh punya 2 orang anak; 1 laki-laki yang bernama Muhammad Yusuf dan satu perempuan yang bernama Fatimah Tri Astuti. Ucup, nama panggilan Muhammad Yusuf, saat ini dia kelas 5 SD. Anaknya selain ganteng, dia juga pintar. Di kelasnya selalu ranking 2. Memang dia belum mampu untuk mengalahkan teman satu kelas diatasya, Muhammad Ikbal. Kalau Asti, panggilan Fatimah Tri Astuti, dia sekarang masih kelas 2 SD. Anaknya manis dan pintar ngomong. Kalau dia menerima telepon dari seseorang, pertanyaan dan obrolannya seperti anak yang sudah kelas 5 SD. Selain pintar asti juga lebih rajin dari kakaknya, tidak heran kalau di kelasnya selalu menjadi bintang kelas. Selalu menjadi rangking satu. Dengan bermain dan bercanda dengan merekalah aku dapat melupakan sekaligus menghilangkan ke-BT-an dan masalah lain yang menimpa diriku. Bersama merekalah aku temukan obat Stres dan BT yang ampuh dan murah, yaitu; Bermain dan bercanda bersama mereka!

Rumah yang kedua yang sering aku kunjungi di daerah Dokki adalah rumah Teh Sari-Pak Faishal. Teh Sari seorang karyawan staf ahli disebuah perusahaan kain di Mesir, dia dipercaya oleh manajer perusahan untuk menjadi Pengawas di perusahan tersebut. Rumah Teh Sari juga bisa di sebut Markaz al-Aulad atau tempat kumpul anak-anak. karena di rumah ini banyak kumpul teman-teman, dan akupun sering bergabung disana. Dengan kedermawanan Teh Sari, bila bermain kesana, aku dan teman-teman tidak pernah terlantar. Makan dengan menu yang high classpun sering aku rasakan, seperti sayur atau goreng ayam dan daging. Perbaikan gizi sebutan istilah yang beredar di kalangan teman-teman asramaku. Suasana seperti inipun sering ku temukan di rumah Teh Tia. Terkadang kukunjungi teman-temanku disana hanya untuk bercengkrama sambil bermain catur, ditemani dengan 2 gelas kopi susu atau teh manis. Setelah puas bercengkrama dan BT hilang, kukembali ke Asramaku yang letaknya di Hay Tsamin.

Akupun rindu akan teman-temanku di Asrama (Hay Tsamin). Ingin rasanya ku terbang dengan sayap hayalanku menemui mereka, untuk mengajak mereka masak dan makan bersama, berjamaah bareng dan belajar bersama.

Kini semua itu tinggal nostalgia. Tidak terdengar lagi suara bacaan quran murottal di taksi dan angkutan umum. Kemanjaan si manis Asti, kesanglekkan Ucup, kumpul main catur, masak dan makan bareng, ke mesjid bareng, kini tinggal kenangan. Aku sadari, demi cita-citaku, akupun harus pergi meninggalkan mereka. Semoga kelak Allah akan mempertemukanku kembali dengan suasana yang aku rindukan sekarang. Dari dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku haturkan terima kasihku atas semua kebaikan mereka. I Miss You All

Di pinggiran kota Tunis yang tiris

Ulpa® 4 Desember 2004

0 Comments:

Post a Comment

<< Home