Oh Beasiswaku...
(Refleksi hati yang kini tak berseri)
Pagi itu (rabu, 141205) terlihat langit begitu cerah menampakan hatinya yang biru. Awan putih yang berarak tenang, setenang hatiku pagi ini. Sinar mentari yang menyusup ke sela-sela pakaianku, seakan-akan memaksa masuk untuk menyentuh kulitku, ingin memberikan kehangatan padaku. Semilir angin pagi seakan membelai lembut wajahku, mengalahkan lembutnya belaian tangan halus bidadari di alam Syurga (ah masak sih ?).
Aku melaju menelusuri jalan menanjak yang berukuran luas tidak lebih dari dua meter. Laksana pecinta alam yang sedang naik gunung. Di pinggiran jalan berjejer pohon-pohon hijau nan indah, dapat menahan tanah yang jadi tempat berdirinya dari longsor. Niatku pasti, menuju Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis. Dengan napas yang sedikit tersenggal-senggal, akhirnya aku sampai juga di ujung jalan, diatas. Kulihat rumahku yang terletak didaratan rendah itu, lantai dua menghadap jalan kereta. Wajar saja jalannya naik turun, letaknya kurang strategis karena rumahnya memang murah, gumamku dalam hati. Habib Bourgiba nama daerahku itu. Pandangan kulepaskan lebih jauh lagi melewati rumahku dan rel kereta. Pemandangan indahpun terlihat, sebuah danau yang memantulkan sinar pagi yang kini ceria, mampu menembus halimun yang menyelimutinya. Bak hamparan berlian yang ditebarkan diatas permadani putih. Kusudahi pandanganku. Aku mulai berjalan menuju terminal bis, menunggu bis yang akan lewat ke Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis untuk menanyakan kepastian beasiswa yang telah aku ajukan dua minggu yang lalu.
Ku berdiri sambil menunggu bis yang belum datang. Kusapukan pandanganku pada sekelilingku. Kulihat banyak sekali yang nasibnya sepertiku, menunggu. Wah di halte seperti ini ada juga bintang film yang nungguin bis, begitu mungkin ungkapan seorang Indonesia yang belum pernah hidup di negara Arab, ketika melihat gadis-gadis Tunis yang (yang chantieq) juga sedang menunggu bis. Untung aku sudah pernah di Mesir, negeri Arab yang srikandi-srikandinya tidak kalah oleh gadis-gadis Tunis. Bagiku sudah tidak aneh lagi melihat fenomena seperti ini.
Banyak pasangan mata yang menatapku penuh penasaran, mungkin mereka berkata dalam hatinya: Orang mana nih, kok ikut-ikutan nungguin bis, dia pasti kenal Jacky Chan atau Jet Lee, pasti dia juga jago kungfu. Memang orang Tunis –bahkan Mesir- mengira semua orang asia pintar kungfu. Sering aku temui anak-anak sekolah Tunis. Bila berpapasan denganku, mereka menggerakkan tangan dan kakinya, seakan mempaktekan sebuah jurus kungfu, sambil mulutnya cang-cing-cong mengucapkan bahasa china versi mereka tanpa mereka pahami artinya.
Pandangan mereka membuatku geer dan nggak enak body. Aku berusaha untuk menutupi perasaanku saat itu, berpura-pura terbiasa dengan keadaan ini, berkerumun di halte bersama mereka. Kupalingkan kepalaku ke sebelah kanan, langsung pandanganku tertuju pada sebuah bis kuning. Ku perjelas pandanganku melihat nomer bis yang tertera kecil didepan kacanya, jelas tertulis 28 tsa, bis yang aku tunggu. Segera aku ikut bergabung memasuki pintu belakang bis tersebut. Tidak mudah untuk bisa lolos dari pintu itu, karena orang-orang yang tadi memandangiku juga satu tujuan denganku. Tak kurasa dorongan tangan dan badugan diwajahku, bahkan injakan kakipun aku cuekkan. Aku berusaha tenang membobol pintu itu agar tidak menyakiti orang-orang yang mendesakku. Biarlah aku didorong asal aku tidak mendorong, biarlah dibadug asal aku tidak membadug, biarlah diinjak asal aku tidak menginjak, itulah prisipku saat itu. Alhamdulillah akhirnya akupun berhasil lolos ke dalam bis. Segera aku menempatkan badanku di tempat dekat dengan pintu. Aku tancapkan kakiku mengahadap jendela. Tidak berapa lama bis yang aku naiki mulai berjalan. Ku buang tatapanku jauh keluar, memperhatikan pemandangan yang aku lewati.
Kulihat kumpulan orang seperti sedang ada keributan, wah ada ribut apa nih? Ada yang berantemkah? batinku menerka. Ah tebakan feelingku meleset, mereka berkumpul sedang mengerumuni tukang loak pakaian. Ah ternyata di Tunis ada tukang loak juga. Dari jarak dekat tampak seorang laki-laki tua sedang mengangkat-angkat sebuah jas bekas, kemudian mencoba menyepadankan dengan badannya yang tidak gemuk. Aku hanya bisa tersenyum.
Tidak lebih dari satu jam perjalanan, bis yang kutumpangi telah sampe ke depan Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis. Akupun segera turun. Bermodal kata samah (maksudnya Sorry, atau ma’lesy kata orang Mesir atau punten ah kata orang sunda), orang-orang yang menghalangiku juga menyingkir memberikan jalan turun padaku. Tampak didepanku bangunan putih yang kokoh seakan menggambarkan kecongkakan nya padaku. Seakan-akan mengkhutbahi ku, kamu hanya seorang mahasiswa yang miskin, mengandalkan orang-orangku untuk memberikan beasiswa, demi kelangsungan hidup dan studimu di negaraku. Aku acuhkan kesombongannya. Aku masuki gedung putih yang berlantai tujuh itu. Aku sengaja tak menggunakan lift, kubiarkan dia beristirahat dari angkat beratnya.
Anak tangga yang berundak rapi, tanpa rasa dosa, aku injak-injak satu persatu. Lantai lima tujuanku, menemui bagian pengurusan beasiswa mahasiswa asing. Akibat kebaikan hatiku terhadap lift itu, ku tebus dengan napas yang sedikit terengah-engah, biarlah olah raga. Di Mesir, Asramaku di Hay Tsamin, sebelas lantai kupanjat tanpa lift hiburku mengobati kaki dan napasku yang kecapean. Sampailah aku dilantai lima. Dengan berharap indah, aku masuki sebuah. Assalamu’alaikum. Tampak seorang tua yang ramping sedang duduk menghadap meja dengan puluhan lembar kertas di didepannya, kutaksir usianya sekitar limapuluhan, dengan kepala yang sedikit botak dan berkaca mata tebal. Yang kedua aku temui orang ini, dua minggu yang lalu kutemui ketika mengantarkan berkas dan tholab (permohonan) beasiswa.
Segera aku tanyakan kepastian beasiswa itu padanya. Aku sudah menyerahkan semua persyaratan dengan lengkap dua minggu yang lalu dan sekarang bagaimana kepastiannya. biduni minhah, Anta tadrus ala nafaqotika Anta (tidak ada beasiswa, kamu belajar dengan biaya sendiri), kalimat ini yang aku dengar dari mulutnya yang kecut melebihi asamya rasa cuka yang pernah aku rasakan. Kata-katanya yang singkat ini mampu menghilangkan kegembiraan, harapan dan keberserian wajahku saat itu. Bahkan mampu membuat asaku laksana tidak berfungsi. Suasana langit yang cerah, mentari yang sumringah, awan putih yang mengalir, angin lembut yang membelai wajah, pandangan srikandi Tunis yang ku jumpai, tak aku rasakan lagi. Aku pulang dengan gontaian lemas, laksana pahlawan yang kalah dari medan perang. Oh Beasiswaku…
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 10 Desember 2005
Pagi itu (rabu, 141205) terlihat langit begitu cerah menampakan hatinya yang biru. Awan putih yang berarak tenang, setenang hatiku pagi ini. Sinar mentari yang menyusup ke sela-sela pakaianku, seakan-akan memaksa masuk untuk menyentuh kulitku, ingin memberikan kehangatan padaku. Semilir angin pagi seakan membelai lembut wajahku, mengalahkan lembutnya belaian tangan halus bidadari di alam Syurga (ah masak sih ?).
Aku melaju menelusuri jalan menanjak yang berukuran luas tidak lebih dari dua meter. Laksana pecinta alam yang sedang naik gunung. Di pinggiran jalan berjejer pohon-pohon hijau nan indah, dapat menahan tanah yang jadi tempat berdirinya dari longsor. Niatku pasti, menuju Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis. Dengan napas yang sedikit tersenggal-senggal, akhirnya aku sampai juga di ujung jalan, diatas. Kulihat rumahku yang terletak didaratan rendah itu, lantai dua menghadap jalan kereta. Wajar saja jalannya naik turun, letaknya kurang strategis karena rumahnya memang murah, gumamku dalam hati. Habib Bourgiba nama daerahku itu. Pandangan kulepaskan lebih jauh lagi melewati rumahku dan rel kereta. Pemandangan indahpun terlihat, sebuah danau yang memantulkan sinar pagi yang kini ceria, mampu menembus halimun yang menyelimutinya. Bak hamparan berlian yang ditebarkan diatas permadani putih. Kusudahi pandanganku. Aku mulai berjalan menuju terminal bis, menunggu bis yang akan lewat ke Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis untuk menanyakan kepastian beasiswa yang telah aku ajukan dua minggu yang lalu.
Ku berdiri sambil menunggu bis yang belum datang. Kusapukan pandanganku pada sekelilingku. Kulihat banyak sekali yang nasibnya sepertiku, menunggu. Wah di halte seperti ini ada juga bintang film yang nungguin bis, begitu mungkin ungkapan seorang Indonesia yang belum pernah hidup di negara Arab, ketika melihat gadis-gadis Tunis yang (yang chantieq) juga sedang menunggu bis. Untung aku sudah pernah di Mesir, negeri Arab yang srikandi-srikandinya tidak kalah oleh gadis-gadis Tunis. Bagiku sudah tidak aneh lagi melihat fenomena seperti ini.
Banyak pasangan mata yang menatapku penuh penasaran, mungkin mereka berkata dalam hatinya: Orang mana nih, kok ikut-ikutan nungguin bis, dia pasti kenal Jacky Chan atau Jet Lee, pasti dia juga jago kungfu. Memang orang Tunis –bahkan Mesir- mengira semua orang asia pintar kungfu. Sering aku temui anak-anak sekolah Tunis. Bila berpapasan denganku, mereka menggerakkan tangan dan kakinya, seakan mempaktekan sebuah jurus kungfu, sambil mulutnya cang-cing-cong mengucapkan bahasa china versi mereka tanpa mereka pahami artinya.
Pandangan mereka membuatku geer dan nggak enak body. Aku berusaha untuk menutupi perasaanku saat itu, berpura-pura terbiasa dengan keadaan ini, berkerumun di halte bersama mereka. Kupalingkan kepalaku ke sebelah kanan, langsung pandanganku tertuju pada sebuah bis kuning. Ku perjelas pandanganku melihat nomer bis yang tertera kecil didepan kacanya, jelas tertulis 28 tsa, bis yang aku tunggu. Segera aku ikut bergabung memasuki pintu belakang bis tersebut. Tidak mudah untuk bisa lolos dari pintu itu, karena orang-orang yang tadi memandangiku juga satu tujuan denganku. Tak kurasa dorongan tangan dan badugan diwajahku, bahkan injakan kakipun aku cuekkan. Aku berusaha tenang membobol pintu itu agar tidak menyakiti orang-orang yang mendesakku. Biarlah aku didorong asal aku tidak mendorong, biarlah dibadug asal aku tidak membadug, biarlah diinjak asal aku tidak menginjak, itulah prisipku saat itu. Alhamdulillah akhirnya akupun berhasil lolos ke dalam bis. Segera aku menempatkan badanku di tempat dekat dengan pintu. Aku tancapkan kakiku mengahadap jendela. Tidak berapa lama bis yang aku naiki mulai berjalan. Ku buang tatapanku jauh keluar, memperhatikan pemandangan yang aku lewati.
Kulihat kumpulan orang seperti sedang ada keributan, wah ada ribut apa nih? Ada yang berantemkah? batinku menerka. Ah tebakan feelingku meleset, mereka berkumpul sedang mengerumuni tukang loak pakaian. Ah ternyata di Tunis ada tukang loak juga. Dari jarak dekat tampak seorang laki-laki tua sedang mengangkat-angkat sebuah jas bekas, kemudian mencoba menyepadankan dengan badannya yang tidak gemuk. Aku hanya bisa tersenyum.
Tidak lebih dari satu jam perjalanan, bis yang kutumpangi telah sampe ke depan Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis. Akupun segera turun. Bermodal kata samah (maksudnya Sorry, atau ma’lesy kata orang Mesir atau punten ah kata orang sunda), orang-orang yang menghalangiku juga menyingkir memberikan jalan turun padaku. Tampak didepanku bangunan putih yang kokoh seakan menggambarkan kecongkakan nya padaku. Seakan-akan mengkhutbahi ku, kamu hanya seorang mahasiswa yang miskin, mengandalkan orang-orangku untuk memberikan beasiswa, demi kelangsungan hidup dan studimu di negaraku. Aku acuhkan kesombongannya. Aku masuki gedung putih yang berlantai tujuh itu. Aku sengaja tak menggunakan lift, kubiarkan dia beristirahat dari angkat beratnya.
Anak tangga yang berundak rapi, tanpa rasa dosa, aku injak-injak satu persatu. Lantai lima tujuanku, menemui bagian pengurusan beasiswa mahasiswa asing. Akibat kebaikan hatiku terhadap lift itu, ku tebus dengan napas yang sedikit terengah-engah, biarlah olah raga. Di Mesir, Asramaku di Hay Tsamin, sebelas lantai kupanjat tanpa lift hiburku mengobati kaki dan napasku yang kecapean. Sampailah aku dilantai lima. Dengan berharap indah, aku masuki sebuah. Assalamu’alaikum. Tampak seorang tua yang ramping sedang duduk menghadap meja dengan puluhan lembar kertas di didepannya, kutaksir usianya sekitar limapuluhan, dengan kepala yang sedikit botak dan berkaca mata tebal. Yang kedua aku temui orang ini, dua minggu yang lalu kutemui ketika mengantarkan berkas dan tholab (permohonan) beasiswa.
Segera aku tanyakan kepastian beasiswa itu padanya. Aku sudah menyerahkan semua persyaratan dengan lengkap dua minggu yang lalu dan sekarang bagaimana kepastiannya. biduni minhah, Anta tadrus ala nafaqotika Anta (tidak ada beasiswa, kamu belajar dengan biaya sendiri), kalimat ini yang aku dengar dari mulutnya yang kecut melebihi asamya rasa cuka yang pernah aku rasakan. Kata-katanya yang singkat ini mampu menghilangkan kegembiraan, harapan dan keberserian wajahku saat itu. Bahkan mampu membuat asaku laksana tidak berfungsi. Suasana langit yang cerah, mentari yang sumringah, awan putih yang mengalir, angin lembut yang membelai wajah, pandangan srikandi Tunis yang ku jumpai, tak aku rasakan lagi. Aku pulang dengan gontaian lemas, laksana pahlawan yang kalah dari medan perang. Oh Beasiswaku…
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 10 Desember 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home