Tunis Laksana Eropa, benarkah?
(Pandangan subjektifku dalam sebulan di Tunis)
Aku pergi meninggalkan Mesir, dengan mengingat tiga kata yang aku dengar dari teman-temanku sekaligus menjadi pertanyaan bathinku. Benarkah Tunis seperti itu? bunyi kata-kata itu adalah: Tunis laksana eropa. Walaupun persepsi ini sempat menjadi pertanyaan bathinku, tapi aku mempercayainya.
Tidak terasa aku sudah sebulan di Negri ini, negara baru tempat belajarku, negara ketiga tempat meneruskan studiku, Negara Tunis. Setelah aku arungi angkasa selama 3 jam, pada hari kamis tanggal 10 Nopember 2005, satu bulan yang lalu.
Selama tiga jumat kemarin, image dan pendapatku mengenai Tunis, masih tetap tidak berubah, seperti halnya kabar yang aku percayai dari teman-teman. Persepsi itu semakin kuat ketika hari pertama keberadaanku disini. Tunis adalah negara yang sekuler, bebas dan adanya pengengkangan akan kebebasan berpolitik.
Aku katakan sekuler, karena memang nuasa keislaman di sini tidak banyak aku temukan, padahal mayoritas penduduknya yang [kurang lebih] dua belas juta ini beragama islam. Nuansa islamy hanya aku rasakan sekali dalam seminggu, yaitu ketika shalat jumat, itupun hanya di dalam masjid. Pembacaan tahlih tasbih dan tahmid serta shalawat bersama, hanya aku dengar beberapa menit saja setelah shalat jumat selesai, setelah keluar, pemandanganpun sudah lain.
Aku katakan bebas, karena memang fenomena pergaulan antara mahasiswa dan mahasiswi terlihat bebas, dalam artian, tidak dinilai aib jika seandainya dua insan yang berbeda jenis ngobrol dan berjalan berduaan, dan tidak dipandang aib jika seorang dosen tafsir (wanita) tidak memakai kerudung, serta tidak di pandang aib jika seorang wanita menyapa duluan terhadap lawan jenisnya. Seperti yang terjadi pada hari pertamaku. Saat itu aku dan dua orang temanku pulang dari kantor polisi untuk memperpanjang kontrak rumah. Aku mendekat mehampiri halte, untuk menunggu bis atau taksi yang akan lewat. Sekilas terlihat oleh ujung mataku, seorang gadis Tunis yang manis, rambut pirang sebahu, mengenakan kaos putih dan celana jeans yang cukup ketat sedang duduk dibangku terminal yang cukup panjang, terlihat dia menatapku dan tersenyum padaku, spontan aku menundukan kepalaku dan pandanganku. Tanpa berpikir panjang, karena kakiku juga lumayan pegal, disebabkan telah bekerja cukup berat, membawa beban badanku naik turun menyusuri jalan yang berukuran kurang lebih satu meter setengah, yang harus kupanjat setiap aku akan ke luar rumah, baik akan kuliah ataupun ke kota. Karena kebetulan rumahku terletak di daerah yang datarannya rendah, kalo terjadi banjir, kayaknya aku dan orang-orang yang berada di kawasanku akan kelabakan, karena pasti daerah rumahku akan menjadi daerah yang paling banyak tergenang air, karena datarannya paling rendah.
Akupun duduk sekitar setengah meter dari gadis Tunis itu. Ketika pandangan mataku lurus ke depan, sesekali aku palingkan mataku ke arah jauh dimana bis atau taksi itu akan datang, agar aku bisa mengetahui kedatangan mobil itu sebelum tepat di depanku berada. Tidak ku sangka gadis itu menyapaku, kamu belajar disini? tanyanya sambil melemparkan senyumnya nan manis padaku. Inilah kesan hari pertamaku di Terminal Tunis. Saat itu aku tidak ngobrol banyak, karena taksi yang ditunggupun sudah distop oleh temanku. Aku anggukan kepalaku sebagai tanda pamitku padanya, diapun mendadahiku dan tersemyum indah.
Di kampusku, jika aku perhatikan, selain halaman dan ruangannya yang bersih dan indah, terdapat perpustakaan yang –menurutku- lumayan lengkap. Buku-buku kontemporer dan klasikpun aku temui, seperti kitab-kitab tafsir, diantaranya; Tafsir Ibnu Katsir, Jami’ul Ahkam, Tafsir Munir. Begitu juga kitab-kitab Fiqih, Tashauf dan Sosiologi tersedia lengkap. Di kampusku itu, aku menemukan fenomena baru menurut pandanganku, selain keindahan halaman dan perpustakaannya tadi. Mereka (para mahasiswa/i) berkumpul di halaman kampus yang bersih, yang ditengah-tengah halaman kampus bagian dalam itu ada pancuran tak berair, karena musim dingin. Mungkin kalau musim panas akan lebih indah lagi, karena pancuran itu akan diisi air dan tentunya air itu akan mancur, bak berlian bertaburan, karena tersinari matahari. Jjuga bangunannya yang hanya dua lantai, membuat aku tidak cape’ untuk sampai di tingkat terakhirnya. Mereka ngobrol bergerombol laki-laki dan perempuan bahkan ada juga yang berduaan. Pemandangan itu bagi ku fenomena baru sekaligus pemandangan yang tabu, mungkin karena aku selama ini belum pernah tinggal di lingkugan seperti ini, seandainya aku pernah kuliah di Indonesia, di IAIN/UIN, mungkin sedikitnya sudah ada memori yang kurekam sebelumnya yang menjadikan pengalaman akan suasana seperti ini, karena –menurut cerita temanku- di UIN juga seperti ini, hanya saja di UIN mahasiswinya berjilbab semua, walaupun ada juga yang berpakaian ketat.
Ketika aku di Mesir, fenomena kampusku jelas tidak seperti sekarang, karena memang lingkungannya kaum Adam semua. Al-Azhar memisahkan mahasiswi dari mahasiswa, dengan menyediakan bangunan khusus untuk mahasiswi, kulliyatul banat (kuliyah khusus putri), dengan dosen-dosennya juga wanita.
Namun, walaupun aku kategorikan Tunis sebagai bangsa yang bebas dalam pergaulan lain jenis, juga bebas dalam mengekpresikan mode pakaian yang mengikuti jaman, bila teringat kata-kata temanku yang mengatakan Tunis laksana eropa, aku kurang setuju. Masyarkat eropa –yang ku tahu- identik dengan bukan hanya pergaulan bebas tetapi juga perzinahan bebas, eropa yang identik bukan hanya jalan berdua lawan jenis bahkan kissing love dua sejolipun bisa sering terlihat di jalanan. Sementara ini, sebulan aku di Tunis belum menemukan hal-hal yang diidentikan dengan eropa tadi, hanya saja kalau bahasanya dikemas sedikit, misalnya, kalimatnya menjadi, Tunis eropanya Arab, mungkin aku bisa terima, itupun –mungkin- aku terlalu subjektif, karena studi komparatifku hanya dua negara Arab saja; Mesir-Tunis, yang jelas ku lihat, Tunis lebih bebas dibandingkan Mesir. Adapun negara arab lain, seperti; Libanon, libya, Al-Jazair, Maroko dan lain sebagianya aku belum tahu.
Sangkalanku atas kata-kata Tunis laksana Eropa, akhir-akhir ini lebih kuat lagi. Imageku akan kata-kata itu nyaris terpupus. Pasal sebelumnya (setelah aku sering ‘observasi’) aku melihat banyaknya wanita yang mengenakan jilbab –meskipun tidak sebanyak yang aku jumpai di Mesir-, dan hari ini, jumat (9/12/05) ketika dalam perjalananku menuju KBRI pada siang hari, selepas kuliah, aku melihat seorang wanita yang bercadar bersama suaminya. Subhanallah spontan kata takjub itupun keluar dari mulutku. Inilah yang pertama bagiku selama sebulan di Tunis, melihat yang bercadar. Laksana berlian ditengah tumpukan batu kali. (Maksudnya, hebat gitu lho)
Aku tidak mengklaim bahwa orang yang bercadar itu lebih baik dari yang tidak mengenakan niqob, karena betapa banyak perempuan-perempuan Saudi yang bercadar, karena memakai cadarnya akibat paksanaan hukum, tanpa didasari dengan keimanan, keiklhasan dan kesadaran personal. Ketika keluar dari negaranya, merekapun membuka cadarnya, bahkan membuka jilbabnya, bagaikan kuda lepas dari kandangnya. Nauzubillah
Namun –menurutku- setidaknya, menurut pandangan kongkrit (dhohir), yang mengenakan niqob itu lebih iffah dan lebih terjaga, sebagaimana barang/perhiasan mahal yang di tutupi rapat dengan kaca atau sejenisnya. Berbeda dengan barang murahan, yang dijual dipinggir jalan tanpa pelindung dari orang yang menjamahnya. Juga wanita yang bercadar telah merelakan perasaanya untuk tahan mental, karena sedikitnya wanita yang mempunyai komitmen seperti dia, mentalnya diuji agar tetap berdiri disaat orang lain duduk, agar tetap setia disaat orang lain berkhianat. Semoga saja wanita-wanita yang bercadar tetap ‘mencadari’ iffah nya, tidak menjadikan cadar sebagai alat ‘penghalus’ kepribadiannya yang bejat. Lho kok jadi nulis tetang cadar?
Aku katakan juga (di Tunis) adanya pengekangan terhadap kebebasan politik. Ya, memang benar begitu kenyataanya. Mereka bebas mengekpresikan mode, pendapat, dan lain sebagainya, tapi tidak untuk urusan politik. Teman-temanku sering ngobrol denganku baik itu masalah pelajaran, keadaan tunis, agama bahkan –terkadang- tetang srikandi-srikandi Tunis, tapi tidak untuk urusan politik. Mereka akan segera menghindari dan mengalihkan pembicaaraan, atau menghentikan obrolan ketika obrolan itu menyangkut politik. Tak terkecuali dosen, diapun sangat menghindari obrolan atau pertanyaan yang menyangkut politik.
Suatu hari aku mengikuti mata kuliah hadits, waktu itu Dosen sedang menerangkan sejauh mana perhatian kaum orientalis (al-mustasyriqun) terhadap hadits-hadits nabawi. Ditengah-tengah penjelasannya diapun mengatakan: Saya tidak ada urusan dengan politik, saya tidak mau membicarakan masalah politik. Tergambar kekhawatirannya yang tidak mau berurusan dengan politik. Maklum intel-intel di negara ini sangat banyak bertebaran. Tembok-tembok Tunis mempunyai telinga dan dapat berbicara, sampai ada istilah yang aku dengar dari seorang kawan “satu kepala berbanding tiga”, maksud istilah ini, satu orang di Tunis, diawasi oleh tiga intel negara. Entah kata-kata ini benar atau hanya menakut-nakutiku saja, tapi memang ku lihat disini banyak sekali polisi, bahkan polisi wanita (polwan) juga banyak, bahkan supir taksi wanita juga ada. Nggak percaya? Buktikan sendiri!
Pas sebulan keberadaanku di kota Tunis yang tiris
Ulpa® 10 Desember 2005
Aku pergi meninggalkan Mesir, dengan mengingat tiga kata yang aku dengar dari teman-temanku sekaligus menjadi pertanyaan bathinku. Benarkah Tunis seperti itu? bunyi kata-kata itu adalah: Tunis laksana eropa. Walaupun persepsi ini sempat menjadi pertanyaan bathinku, tapi aku mempercayainya.
Tidak terasa aku sudah sebulan di Negri ini, negara baru tempat belajarku, negara ketiga tempat meneruskan studiku, Negara Tunis. Setelah aku arungi angkasa selama 3 jam, pada hari kamis tanggal 10 Nopember 2005, satu bulan yang lalu.
Selama tiga jumat kemarin, image dan pendapatku mengenai Tunis, masih tetap tidak berubah, seperti halnya kabar yang aku percayai dari teman-teman. Persepsi itu semakin kuat ketika hari pertama keberadaanku disini. Tunis adalah negara yang sekuler, bebas dan adanya pengengkangan akan kebebasan berpolitik.
Aku katakan sekuler, karena memang nuasa keislaman di sini tidak banyak aku temukan, padahal mayoritas penduduknya yang [kurang lebih] dua belas juta ini beragama islam. Nuansa islamy hanya aku rasakan sekali dalam seminggu, yaitu ketika shalat jumat, itupun hanya di dalam masjid. Pembacaan tahlih tasbih dan tahmid serta shalawat bersama, hanya aku dengar beberapa menit saja setelah shalat jumat selesai, setelah keluar, pemandanganpun sudah lain.
Aku katakan bebas, karena memang fenomena pergaulan antara mahasiswa dan mahasiswi terlihat bebas, dalam artian, tidak dinilai aib jika seandainya dua insan yang berbeda jenis ngobrol dan berjalan berduaan, dan tidak dipandang aib jika seorang dosen tafsir (wanita) tidak memakai kerudung, serta tidak di pandang aib jika seorang wanita menyapa duluan terhadap lawan jenisnya. Seperti yang terjadi pada hari pertamaku. Saat itu aku dan dua orang temanku pulang dari kantor polisi untuk memperpanjang kontrak rumah. Aku mendekat mehampiri halte, untuk menunggu bis atau taksi yang akan lewat. Sekilas terlihat oleh ujung mataku, seorang gadis Tunis yang manis, rambut pirang sebahu, mengenakan kaos putih dan celana jeans yang cukup ketat sedang duduk dibangku terminal yang cukup panjang, terlihat dia menatapku dan tersenyum padaku, spontan aku menundukan kepalaku dan pandanganku. Tanpa berpikir panjang, karena kakiku juga lumayan pegal, disebabkan telah bekerja cukup berat, membawa beban badanku naik turun menyusuri jalan yang berukuran kurang lebih satu meter setengah, yang harus kupanjat setiap aku akan ke luar rumah, baik akan kuliah ataupun ke kota. Karena kebetulan rumahku terletak di daerah yang datarannya rendah, kalo terjadi banjir, kayaknya aku dan orang-orang yang berada di kawasanku akan kelabakan, karena pasti daerah rumahku akan menjadi daerah yang paling banyak tergenang air, karena datarannya paling rendah.
Akupun duduk sekitar setengah meter dari gadis Tunis itu. Ketika pandangan mataku lurus ke depan, sesekali aku palingkan mataku ke arah jauh dimana bis atau taksi itu akan datang, agar aku bisa mengetahui kedatangan mobil itu sebelum tepat di depanku berada. Tidak ku sangka gadis itu menyapaku, kamu belajar disini? tanyanya sambil melemparkan senyumnya nan manis padaku. Inilah kesan hari pertamaku di Terminal Tunis. Saat itu aku tidak ngobrol banyak, karena taksi yang ditunggupun sudah distop oleh temanku. Aku anggukan kepalaku sebagai tanda pamitku padanya, diapun mendadahiku dan tersemyum indah.
Di kampusku, jika aku perhatikan, selain halaman dan ruangannya yang bersih dan indah, terdapat perpustakaan yang –menurutku- lumayan lengkap. Buku-buku kontemporer dan klasikpun aku temui, seperti kitab-kitab tafsir, diantaranya; Tafsir Ibnu Katsir, Jami’ul Ahkam, Tafsir Munir. Begitu juga kitab-kitab Fiqih, Tashauf dan Sosiologi tersedia lengkap. Di kampusku itu, aku menemukan fenomena baru menurut pandanganku, selain keindahan halaman dan perpustakaannya tadi. Mereka (para mahasiswa/i) berkumpul di halaman kampus yang bersih, yang ditengah-tengah halaman kampus bagian dalam itu ada pancuran tak berair, karena musim dingin. Mungkin kalau musim panas akan lebih indah lagi, karena pancuran itu akan diisi air dan tentunya air itu akan mancur, bak berlian bertaburan, karena tersinari matahari. Jjuga bangunannya yang hanya dua lantai, membuat aku tidak cape’ untuk sampai di tingkat terakhirnya. Mereka ngobrol bergerombol laki-laki dan perempuan bahkan ada juga yang berduaan. Pemandangan itu bagi ku fenomena baru sekaligus pemandangan yang tabu, mungkin karena aku selama ini belum pernah tinggal di lingkugan seperti ini, seandainya aku pernah kuliah di Indonesia, di IAIN/UIN, mungkin sedikitnya sudah ada memori yang kurekam sebelumnya yang menjadikan pengalaman akan suasana seperti ini, karena –menurut cerita temanku- di UIN juga seperti ini, hanya saja di UIN mahasiswinya berjilbab semua, walaupun ada juga yang berpakaian ketat.
Ketika aku di Mesir, fenomena kampusku jelas tidak seperti sekarang, karena memang lingkungannya kaum Adam semua. Al-Azhar memisahkan mahasiswi dari mahasiswa, dengan menyediakan bangunan khusus untuk mahasiswi, kulliyatul banat (kuliyah khusus putri), dengan dosen-dosennya juga wanita.
Namun, walaupun aku kategorikan Tunis sebagai bangsa yang bebas dalam pergaulan lain jenis, juga bebas dalam mengekpresikan mode pakaian yang mengikuti jaman, bila teringat kata-kata temanku yang mengatakan Tunis laksana eropa, aku kurang setuju. Masyarkat eropa –yang ku tahu- identik dengan bukan hanya pergaulan bebas tetapi juga perzinahan bebas, eropa yang identik bukan hanya jalan berdua lawan jenis bahkan kissing love dua sejolipun bisa sering terlihat di jalanan. Sementara ini, sebulan aku di Tunis belum menemukan hal-hal yang diidentikan dengan eropa tadi, hanya saja kalau bahasanya dikemas sedikit, misalnya, kalimatnya menjadi, Tunis eropanya Arab, mungkin aku bisa terima, itupun –mungkin- aku terlalu subjektif, karena studi komparatifku hanya dua negara Arab saja; Mesir-Tunis, yang jelas ku lihat, Tunis lebih bebas dibandingkan Mesir. Adapun negara arab lain, seperti; Libanon, libya, Al-Jazair, Maroko dan lain sebagianya aku belum tahu.
Sangkalanku atas kata-kata Tunis laksana Eropa, akhir-akhir ini lebih kuat lagi. Imageku akan kata-kata itu nyaris terpupus. Pasal sebelumnya (setelah aku sering ‘observasi’) aku melihat banyaknya wanita yang mengenakan jilbab –meskipun tidak sebanyak yang aku jumpai di Mesir-, dan hari ini, jumat (9/12/05) ketika dalam perjalananku menuju KBRI pada siang hari, selepas kuliah, aku melihat seorang wanita yang bercadar bersama suaminya. Subhanallah spontan kata takjub itupun keluar dari mulutku. Inilah yang pertama bagiku selama sebulan di Tunis, melihat yang bercadar. Laksana berlian ditengah tumpukan batu kali. (Maksudnya, hebat gitu lho)
Aku tidak mengklaim bahwa orang yang bercadar itu lebih baik dari yang tidak mengenakan niqob, karena betapa banyak perempuan-perempuan Saudi yang bercadar, karena memakai cadarnya akibat paksanaan hukum, tanpa didasari dengan keimanan, keiklhasan dan kesadaran personal. Ketika keluar dari negaranya, merekapun membuka cadarnya, bahkan membuka jilbabnya, bagaikan kuda lepas dari kandangnya. Nauzubillah
Namun –menurutku- setidaknya, menurut pandangan kongkrit (dhohir), yang mengenakan niqob itu lebih iffah dan lebih terjaga, sebagaimana barang/perhiasan mahal yang di tutupi rapat dengan kaca atau sejenisnya. Berbeda dengan barang murahan, yang dijual dipinggir jalan tanpa pelindung dari orang yang menjamahnya. Juga wanita yang bercadar telah merelakan perasaanya untuk tahan mental, karena sedikitnya wanita yang mempunyai komitmen seperti dia, mentalnya diuji agar tetap berdiri disaat orang lain duduk, agar tetap setia disaat orang lain berkhianat. Semoga saja wanita-wanita yang bercadar tetap ‘mencadari’ iffah nya, tidak menjadikan cadar sebagai alat ‘penghalus’ kepribadiannya yang bejat. Lho kok jadi nulis tetang cadar?
Aku katakan juga (di Tunis) adanya pengekangan terhadap kebebasan politik. Ya, memang benar begitu kenyataanya. Mereka bebas mengekpresikan mode, pendapat, dan lain sebagainya, tapi tidak untuk urusan politik. Teman-temanku sering ngobrol denganku baik itu masalah pelajaran, keadaan tunis, agama bahkan –terkadang- tetang srikandi-srikandi Tunis, tapi tidak untuk urusan politik. Mereka akan segera menghindari dan mengalihkan pembicaaraan, atau menghentikan obrolan ketika obrolan itu menyangkut politik. Tak terkecuali dosen, diapun sangat menghindari obrolan atau pertanyaan yang menyangkut politik.
Suatu hari aku mengikuti mata kuliah hadits, waktu itu Dosen sedang menerangkan sejauh mana perhatian kaum orientalis (al-mustasyriqun) terhadap hadits-hadits nabawi. Ditengah-tengah penjelasannya diapun mengatakan: Saya tidak ada urusan dengan politik, saya tidak mau membicarakan masalah politik. Tergambar kekhawatirannya yang tidak mau berurusan dengan politik. Maklum intel-intel di negara ini sangat banyak bertebaran. Tembok-tembok Tunis mempunyai telinga dan dapat berbicara, sampai ada istilah yang aku dengar dari seorang kawan “satu kepala berbanding tiga”, maksud istilah ini, satu orang di Tunis, diawasi oleh tiga intel negara. Entah kata-kata ini benar atau hanya menakut-nakutiku saja, tapi memang ku lihat disini banyak sekali polisi, bahkan polisi wanita (polwan) juga banyak, bahkan supir taksi wanita juga ada. Nggak percaya? Buktikan sendiri!
Pas sebulan keberadaanku di kota Tunis yang tiris
Ulpa® 10 Desember 2005
0 Comments:
Post a Comment
<< Home