Ku Tak Berharap Sebagai Rahwana
Kucoba menghitung hari penantianku. Ternyata, sudah tiga bulan aku habiskan. Menunggu jawaban hati dari seorang dambaanku di Negeri Sebrang Lamunan sana. Semenjak ku mengungkapkan perasaan hati ini, aku hampir tidak pernah berhenti berdoa di keheningan malamku, "ya Allah, berikanlah aku istri sholehah. Baik agamanya, yang terbaik buatku. Jika seandainya dia adalah pilihanMu untukku, semikanlah selalu rasa cinta dan sayangku. Jadikanlah cintaku padanya lebih mendekatkan diriku pada keagunganMu. Berilah aku ketenangan dan kebersihat hati."
Dalam doa, ku hanya menginginkan rofĩqoh hayâh yang sholehah. Karena aku yakin, hidup bersama dengan istri sholehah akan bahagia. Dia akan menjadi obat dikalaku sakit. Dia akan menjadi penghibur dikala ku sedih. Dia akan menjadi penyejuk dikala hatiku panas bergelora. Dia akan menjadi pendukung atas karirku. Dia akan tersenyum di dalam kebisuanku. Dia juga akan menjadi penasehat dan pengingat dikala ku khilaf. Dia juga akan membantu dan mengiringiku dalam meniti tangga-tangga ridho Ilahi menuju kepada samudra cintaNya yang luas, melebihi bumi langit dan segala isinya. Ya, ridho dan cinta Ilahi yang menjadi tujuan akhir hidupku di dunia. Hanya bersama istri sholehah akan mempermudahku sampai pada tujuan akhirku tersebut. Ku yakini sepenuhnya, istri sholehah adalah sebuah anugrah dan merupakan nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah pada hambaNya. Pastas saja Sayyidin Umar ra. pernah berkata: “Nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah setelah iman dan islam adalah istri sholehah.”
Ku akui, ungkapanku saat itu adalah ungkapan pertama kata-kataku pada seorang Hawwa. Dan ini ku katakan hanya berdasarkan keseriusan dan kejujuran. Ku tak mau hanya ‘tuk sekedar bergoyang lidah belaka. Bukan cita-citaku tuk membuai kata-kata pada wanita. Cita-citaku hanya satu, mendapatkan cinta pertamaku untuk cinta terakhirku.
Aku akan cemburu, bila kutahu, calon istriku jalan berdua dengan pemuda lain yang bukan muhrimnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan gadis yang bukan muhrimku. Aku juga akan cemburu bila calon istriku berpegangan dan bergandengan tangan dengan arjuna lain yang bukan muhrimnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan gadis yang bukan muhrimku. Apalagi lebih dari itu. Bila kutahu, pasti aku akan kecewa.
Aku selalu berusaha untuk menjaga iffahku [khususnya] terhadap gadis. Ku usahakan untuk tidak bersentuhan [bersalaman, misalnya]. Ku usahakan untuk tidak berkholwat. Ku usahakan untuk semuanya. Meskipun kadang sangat beresiko dan terasa berat apabila berbenturan dengan lingkungan yang tidak kondusif. Contoh yang sangat terasa olehku, ketika aku ikut acara menyambut tahun baru 2006 di Jerba-Tunisia. [Bisa dibaca ceritanya disini]
Ini semua kulakukan -selain karena ajaran agamaku-, karena aku menginginkan calon istriku juga melakukan sebagaimana yang aku lakukan sekarang. Aku sangat yakin dengan janji Tuhanku di dalam kitabNya. Bahwa orang-orang yang sholeh untuk yang sholehah. Aku bukan mengklaim diriku memang pantas mendapatkan seorang sholehah karena aku sudah sholeh. Bukan, sama sekali bukan. Aku hanya seorang âtsim atau ‘âshin yang berusaha [kalaupun usaha ini mungkin belum bisa di sebut sebagai usaha, namun memang inilah nyatanya] untuk menjadi seorang yang sholeh. Tak ada salahnya seorang pencuri mendambakan istri yang baik, begitu juga aku. Ku kira tidak ada salahnya berdoa dan mendambakan ‘teman hidup’ yang sholehah, meskipun aku masih jauh untuk dikatakan sebagai seorang sholeh. Aku yakin Tuhan Maha Mengetahui semua yang ada dalam detakan hatiku.
Hari ini (ahad, 220106) aku telah ‘janjian’ untuk ngobrol jarak jauh melalui dunia maya dengan dambaan hatiku itu, chating istilah dunia digital sekarang. Demi menepati janji, kurelakan makan pagi yang biasanya nasi, kuganti dengan masakan cepat saji, makrunah atau mie bumbu merah. Masakan bumbu merah adalah salah satu diantara masakan andalanku. Selain itu, aku sering masak sop dan bakwan di tempat tinggalku. Bahkan terkadang aku juga suka tumisan. Lumayan, untuk ukuran para bujangan, masakanku terhitung paling ‘laris’ dikalangan teman-teman serumahku. Keahlian memasak ini, tidak terlepas dari kontribusi Teteh dan latihanku selama tinggal di Kairo.
Ku telah dial, jam dua belas siang waktu Tunis aku harus sudah online. Karena jarak warnet dari rumahku lumayan jauh, ihthiyâthon, aku mesti berangkat satu jam sebelumnya. Setelah dhuha dan sarapan, tepat jam sebelas aku berangkat dari rumah.
Walaupun sudah jam sebelas. Ketika aku keluar rumah dan menyusuri jalan menuju ke Warnet Azur, udara sangat dingin menikam kulitku. Maklum sedang puncaknya musim dingin. Siang itu langitpun terlihat teduh. Karena ingin cepat sampai ke tujuan, kucoba memotong jalan yang kukira jalan itu adalah jalan menuju warnet. Aku kaget, karena sudah setengah jam aku berjalan, warnet belum terlihat dihadapanku. Kekhawatiranku bertambah, ketika langit mulai menitikkan butir-butir air, ya Allah… gerimis celoteh hatiku. Untung saja aku sudah persiapan dari rumah dengan memakai jaket anti hujan, jaket parasit yang ada bungkus kepalanya. Seketika itu juga, ku tutupi kepalaku. Karena hujan sudah mulai turun dan aku juga sudah keder dan takut terlambat menepati janji, kutanyakan alamat warnet kepada seorang ibu yang sedang ngobrol di pinggir jalan, terteduhi oleh atap iqomah [iqomah adalah kalimat yang digunakan di Negara Tunis untuk nama sebuah apartemen, Imarah kalau istilah di Mesir]. Dengan perasaan cemas takut terlambat, akhirnya aku sampai juga ke Azur, satu-satunya warnet yang kutahu di Negeri Ben Ali ini.
Ini chatting kedua kalinya semenjak hari ‘pengungkapan’ku. Di chatingan, kutanya kabar, keadaan dan kegiatan dia selama ini. Aku sekarang tahu, dia mau rihlah ke Ahrom (Piramid), dia mau beli buku di ma’rod (pameran buku), dia masih bingung menjawab, bahkan dia sudah minta pendapat kepada orang tuanyapun aku jadi tahu.
Ada dua informasi yang sangat penting bagiku dari chating kali ini. Pertama: Semua keputusan dan jawaban pertanyaanku ada ditangannya. Karena orang tuanya sudah membebaskan dia untuk memilih dan memutuskan. Kedua: Dia masih merasa malu untuk menjawab pertanyaanku. Aku juga nggak tahu pasti, yang dimaksud dengan kata malu versi dia. Apakah malu untuk menolak ataukah menerima.
Aku pahami perasaan malu yang ada pada seorang gadis, dia khususnya. Apalagi diapun berdalih dengan menggunakan referensi kandungan hadits, tahu ga...mungkin dia malu tuk menjawabnya. Ingat kan dalam hadits, seorang gadis itu malunya besar. Itulah potongan kata-katanya dichatingan yang sempat ku dokumentasikan.
Namun, apakah dia tidak melihat atau belum membaca hadits lain yang mengisahkan cerita dari Anas ra. bahwa ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah Saw. dan berkata : "Ya Rasulullah! Apakah Baginda membutuhkan daku?" Putri Anas yang hadir dan mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu, "Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan." Anas berkata kepada putrinya : "Dia lebih baik darimu, dia senang kepada Rasulullah Saw. lalu dia menawarkan dirinya untuk Beliau!" (HR Bukhari)
Hadits Anas tersebut, menurutku, cukup untuk landasan bagi seorang wanita agar tidak malu untuk menjawab niat baik seorang 'mukoddim'. Bahkan hadits tersebut juga bisa dijadikan sebagai legalitas bagi seorang Hawwa untuk menawarkan diri. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Sikap menawarkan diri ini bukan suatu hal yang ‘aib, bahkan sebaliknya, sikap ini menunjukkan ketinggian akhlaq dan kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan pahalaNya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan dan mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri ini dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang mashlahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki kehormatan. Sayyidah Khadijah r.a teladan kongkrit bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri tersebut. Tapi, memang wajar sich dia malu tuk menjawabku, karena aku juga belum tentu dianggapnya sebagai laki-laki yang berbudi luhur, yang diyakini kehormatan agamanya dan kejujuran amanahnya untuk menjadi suaminya. Hehehe…nggak apa apa dech.
Sebenarnya, aku sudah niatkan dichatingan itu untuk tidak menyinggung atau membicarakan masalah ‘pertanyaanku’ dan ‘jawaban’ dia. Aku sudah pasrahkan segalanya pada Pengaturku. Karena aku sudah paparkan semua pada dia tentang hatiku, kini kuserahkan padanya untuk menentukan sikap dan keputusan. Kan ku terima keputusan itu walaupun [mungkin] hati pedih dan merana. Karena ku tahu tak seorang pun bisa memaksakan cinta. Waktu itu, dia memancingku dengan memintaku ngadongeng tentang Lia, nama pelaku dalam sebuah cerpen nyataku. Ku tak hiraukan permitaannya.
Tak terasa dua jam setengah telah kuhabiskan chating bersamanya. Seandainya saja dia tidak mengajakku untuk pulang dan kewajiban dhuhurku sudah kutunaikan. Aku masih ingin lama lagi ngobrol.
Lalu, setelah ngobrol selama dua jam setengah itu, predikat apa yang disandangku sekarang? Apakah sebagai Rahwana yang punya titel di tolak oleh Srikandi kah? Atau sebagai Romeo yang telah mendapatkan cinta Jullietkah? Atau sebagai Qais yang tergila-gila mendambakan cinta Layla? Atau juga sebagai pemuda biasa yang [masih] menunggu?
Aku tidak berharap sebagai Rahwana yang tertolak. Aku juga bukan Romeo. Aku juga tidak ingin menjadi Qais yang tergila-gila hingga lupa diri dan melupakan Tuhannya. Maka, analogi yang terakhirlah yang tepat. Yaitu, aku sebagai pemuda biasa yang masih menunggu.
Ya, sampai saat ini aku masih menunggu. Entah kapan penantian ini akan berakhir. Ku tak mau jawaban yang kan kuterima nanti berdasarkan rasa kasihan, kebingungan, dan keterpaksaannya. Aku inginkan apapun jawaban dia, keputusan itu berdasarkan kejujuran, keikhlasan, kemantapan dan kesadaran sepenuhnya dari hati nurani. Kan kubiarkan dia berpikir jernih dan tenang. Kuberikan waktu tuk bertanya pada Pengaturnya dan memantapkan hatinya. Menghilangkan kebingungan dan kebimbangan yang masih menyelimuti pendiriannya. Semoga saja tidak lama lagi posisiku jelas.
Wahai Arjuna pemuja cinta. Wahai Romeo penganut cinta. Wahai Qais penggila wanita. Janganlah kamu jadikan cintamu atas Srikandimu melebihi cintamu akan Penciptamu. Janganlah kamu jadikan Julliet adalah segalanya bagimu, hingga melupakanmu untuk bersyukur pada Pengaturmu. Janganlah kamu jadikan Layla segalanya dalam hidupmu, hingga melupakan kewajibanmu terhadap Pengasihmu. Jika demikian, kamu akan celaka dan menyesal. Karena cintamu atas Srikandimu akan lenyap bersama lenyapnya kamu atau dia dari dunia. Karena cintamu atas Julliet akan sirna bersama sirnanya tubuhmu atau dia dari atas bumi. Karena cintamu atas layla akan berpisah bersama dengan berpisahnya ruh dan jasadmu atau dia. Namun cintamu terhadap Penciptamu, Pengasihmu, itulah cinta sejati. MancintaiNya, kamu tidak akan berpisah denganNya, karena Dia tak kan habis terkikis waktu, tak kan musnah tertindas zaman. Dia akan tetap kekal dan abadi. Kamu tidak akan kehilangan cintaNya untuk selamanya.
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 22 Januari 2006
Dalam doa, ku hanya menginginkan rofĩqoh hayâh yang sholehah. Karena aku yakin, hidup bersama dengan istri sholehah akan bahagia. Dia akan menjadi obat dikalaku sakit. Dia akan menjadi penghibur dikala ku sedih. Dia akan menjadi penyejuk dikala hatiku panas bergelora. Dia akan menjadi pendukung atas karirku. Dia akan tersenyum di dalam kebisuanku. Dia juga akan menjadi penasehat dan pengingat dikala ku khilaf. Dia juga akan membantu dan mengiringiku dalam meniti tangga-tangga ridho Ilahi menuju kepada samudra cintaNya yang luas, melebihi bumi langit dan segala isinya. Ya, ridho dan cinta Ilahi yang menjadi tujuan akhir hidupku di dunia. Hanya bersama istri sholehah akan mempermudahku sampai pada tujuan akhirku tersebut. Ku yakini sepenuhnya, istri sholehah adalah sebuah anugrah dan merupakan nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah pada hambaNya. Pastas saja Sayyidin Umar ra. pernah berkata: “Nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah setelah iman dan islam adalah istri sholehah.”
Ku akui, ungkapanku saat itu adalah ungkapan pertama kata-kataku pada seorang Hawwa. Dan ini ku katakan hanya berdasarkan keseriusan dan kejujuran. Ku tak mau hanya ‘tuk sekedar bergoyang lidah belaka. Bukan cita-citaku tuk membuai kata-kata pada wanita. Cita-citaku hanya satu, mendapatkan cinta pertamaku untuk cinta terakhirku.
Aku akan cemburu, bila kutahu, calon istriku jalan berdua dengan pemuda lain yang bukan muhrimnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan gadis yang bukan muhrimku. Aku juga akan cemburu bila calon istriku berpegangan dan bergandengan tangan dengan arjuna lain yang bukan muhrimnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan gadis yang bukan muhrimku. Apalagi lebih dari itu. Bila kutahu, pasti aku akan kecewa.
Aku selalu berusaha untuk menjaga iffahku [khususnya] terhadap gadis. Ku usahakan untuk tidak bersentuhan [bersalaman, misalnya]. Ku usahakan untuk tidak berkholwat. Ku usahakan untuk semuanya. Meskipun kadang sangat beresiko dan terasa berat apabila berbenturan dengan lingkungan yang tidak kondusif. Contoh yang sangat terasa olehku, ketika aku ikut acara menyambut tahun baru 2006 di Jerba-Tunisia. [Bisa dibaca ceritanya disini]
Ini semua kulakukan -selain karena ajaran agamaku-, karena aku menginginkan calon istriku juga melakukan sebagaimana yang aku lakukan sekarang. Aku sangat yakin dengan janji Tuhanku di dalam kitabNya. Bahwa orang-orang yang sholeh untuk yang sholehah. Aku bukan mengklaim diriku memang pantas mendapatkan seorang sholehah karena aku sudah sholeh. Bukan, sama sekali bukan. Aku hanya seorang âtsim atau ‘âshin yang berusaha [kalaupun usaha ini mungkin belum bisa di sebut sebagai usaha, namun memang inilah nyatanya] untuk menjadi seorang yang sholeh. Tak ada salahnya seorang pencuri mendambakan istri yang baik, begitu juga aku. Ku kira tidak ada salahnya berdoa dan mendambakan ‘teman hidup’ yang sholehah, meskipun aku masih jauh untuk dikatakan sebagai seorang sholeh. Aku yakin Tuhan Maha Mengetahui semua yang ada dalam detakan hatiku.
Hari ini (ahad, 220106) aku telah ‘janjian’ untuk ngobrol jarak jauh melalui dunia maya dengan dambaan hatiku itu, chating istilah dunia digital sekarang. Demi menepati janji, kurelakan makan pagi yang biasanya nasi, kuganti dengan masakan cepat saji, makrunah atau mie bumbu merah. Masakan bumbu merah adalah salah satu diantara masakan andalanku. Selain itu, aku sering masak sop dan bakwan di tempat tinggalku. Bahkan terkadang aku juga suka tumisan. Lumayan, untuk ukuran para bujangan, masakanku terhitung paling ‘laris’ dikalangan teman-teman serumahku. Keahlian memasak ini, tidak terlepas dari kontribusi Teteh dan latihanku selama tinggal di Kairo.
Ku telah dial, jam dua belas siang waktu Tunis aku harus sudah online. Karena jarak warnet dari rumahku lumayan jauh, ihthiyâthon, aku mesti berangkat satu jam sebelumnya. Setelah dhuha dan sarapan, tepat jam sebelas aku berangkat dari rumah.
Walaupun sudah jam sebelas. Ketika aku keluar rumah dan menyusuri jalan menuju ke Warnet Azur, udara sangat dingin menikam kulitku. Maklum sedang puncaknya musim dingin. Siang itu langitpun terlihat teduh. Karena ingin cepat sampai ke tujuan, kucoba memotong jalan yang kukira jalan itu adalah jalan menuju warnet. Aku kaget, karena sudah setengah jam aku berjalan, warnet belum terlihat dihadapanku. Kekhawatiranku bertambah, ketika langit mulai menitikkan butir-butir air, ya Allah… gerimis celoteh hatiku. Untung saja aku sudah persiapan dari rumah dengan memakai jaket anti hujan, jaket parasit yang ada bungkus kepalanya. Seketika itu juga, ku tutupi kepalaku. Karena hujan sudah mulai turun dan aku juga sudah keder dan takut terlambat menepati janji, kutanyakan alamat warnet kepada seorang ibu yang sedang ngobrol di pinggir jalan, terteduhi oleh atap iqomah [iqomah adalah kalimat yang digunakan di Negara Tunis untuk nama sebuah apartemen, Imarah kalau istilah di Mesir]. Dengan perasaan cemas takut terlambat, akhirnya aku sampai juga ke Azur, satu-satunya warnet yang kutahu di Negeri Ben Ali ini.
Ini chatting kedua kalinya semenjak hari ‘pengungkapan’ku. Di chatingan, kutanya kabar, keadaan dan kegiatan dia selama ini. Aku sekarang tahu, dia mau rihlah ke Ahrom (Piramid), dia mau beli buku di ma’rod (pameran buku), dia masih bingung menjawab, bahkan dia sudah minta pendapat kepada orang tuanyapun aku jadi tahu.
Ada dua informasi yang sangat penting bagiku dari chating kali ini. Pertama: Semua keputusan dan jawaban pertanyaanku ada ditangannya. Karena orang tuanya sudah membebaskan dia untuk memilih dan memutuskan. Kedua: Dia masih merasa malu untuk menjawab pertanyaanku. Aku juga nggak tahu pasti, yang dimaksud dengan kata malu versi dia. Apakah malu untuk menolak ataukah menerima.
Aku pahami perasaan malu yang ada pada seorang gadis, dia khususnya. Apalagi diapun berdalih dengan menggunakan referensi kandungan hadits, tahu ga...mungkin dia malu tuk menjawabnya. Ingat kan dalam hadits, seorang gadis itu malunya besar. Itulah potongan kata-katanya dichatingan yang sempat ku dokumentasikan.
Namun, apakah dia tidak melihat atau belum membaca hadits lain yang mengisahkan cerita dari Anas ra. bahwa ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah Saw. dan berkata : "Ya Rasulullah! Apakah Baginda membutuhkan daku?" Putri Anas yang hadir dan mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu, "Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan." Anas berkata kepada putrinya : "Dia lebih baik darimu, dia senang kepada Rasulullah Saw. lalu dia menawarkan dirinya untuk Beliau!" (HR Bukhari)
Hadits Anas tersebut, menurutku, cukup untuk landasan bagi seorang wanita agar tidak malu untuk menjawab niat baik seorang 'mukoddim'. Bahkan hadits tersebut juga bisa dijadikan sebagai legalitas bagi seorang Hawwa untuk menawarkan diri. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Sikap menawarkan diri ini bukan suatu hal yang ‘aib, bahkan sebaliknya, sikap ini menunjukkan ketinggian akhlaq dan kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan pahalaNya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan dan mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri ini dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang mashlahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki kehormatan. Sayyidah Khadijah r.a teladan kongkrit bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri tersebut. Tapi, memang wajar sich dia malu tuk menjawabku, karena aku juga belum tentu dianggapnya sebagai laki-laki yang berbudi luhur, yang diyakini kehormatan agamanya dan kejujuran amanahnya untuk menjadi suaminya. Hehehe…nggak apa apa dech.
Sebenarnya, aku sudah niatkan dichatingan itu untuk tidak menyinggung atau membicarakan masalah ‘pertanyaanku’ dan ‘jawaban’ dia. Aku sudah pasrahkan segalanya pada Pengaturku. Karena aku sudah paparkan semua pada dia tentang hatiku, kini kuserahkan padanya untuk menentukan sikap dan keputusan. Kan ku terima keputusan itu walaupun [mungkin] hati pedih dan merana. Karena ku tahu tak seorang pun bisa memaksakan cinta. Waktu itu, dia memancingku dengan memintaku ngadongeng tentang Lia, nama pelaku dalam sebuah cerpen nyataku. Ku tak hiraukan permitaannya.
Tak terasa dua jam setengah telah kuhabiskan chating bersamanya. Seandainya saja dia tidak mengajakku untuk pulang dan kewajiban dhuhurku sudah kutunaikan. Aku masih ingin lama lagi ngobrol.
Lalu, setelah ngobrol selama dua jam setengah itu, predikat apa yang disandangku sekarang? Apakah sebagai Rahwana yang punya titel di tolak oleh Srikandi kah? Atau sebagai Romeo yang telah mendapatkan cinta Jullietkah? Atau sebagai Qais yang tergila-gila mendambakan cinta Layla? Atau juga sebagai pemuda biasa yang [masih] menunggu?
Aku tidak berharap sebagai Rahwana yang tertolak. Aku juga bukan Romeo. Aku juga tidak ingin menjadi Qais yang tergila-gila hingga lupa diri dan melupakan Tuhannya. Maka, analogi yang terakhirlah yang tepat. Yaitu, aku sebagai pemuda biasa yang masih menunggu.
Ya, sampai saat ini aku masih menunggu. Entah kapan penantian ini akan berakhir. Ku tak mau jawaban yang kan kuterima nanti berdasarkan rasa kasihan, kebingungan, dan keterpaksaannya. Aku inginkan apapun jawaban dia, keputusan itu berdasarkan kejujuran, keikhlasan, kemantapan dan kesadaran sepenuhnya dari hati nurani. Kan kubiarkan dia berpikir jernih dan tenang. Kuberikan waktu tuk bertanya pada Pengaturnya dan memantapkan hatinya. Menghilangkan kebingungan dan kebimbangan yang masih menyelimuti pendiriannya. Semoga saja tidak lama lagi posisiku jelas.
Wahai Arjuna pemuja cinta. Wahai Romeo penganut cinta. Wahai Qais penggila wanita. Janganlah kamu jadikan cintamu atas Srikandimu melebihi cintamu akan Penciptamu. Janganlah kamu jadikan Julliet adalah segalanya bagimu, hingga melupakanmu untuk bersyukur pada Pengaturmu. Janganlah kamu jadikan Layla segalanya dalam hidupmu, hingga melupakan kewajibanmu terhadap Pengasihmu. Jika demikian, kamu akan celaka dan menyesal. Karena cintamu atas Srikandimu akan lenyap bersama lenyapnya kamu atau dia dari dunia. Karena cintamu atas Julliet akan sirna bersama sirnanya tubuhmu atau dia dari atas bumi. Karena cintamu atas layla akan berpisah bersama dengan berpisahnya ruh dan jasadmu atau dia. Namun cintamu terhadap Penciptamu, Pengasihmu, itulah cinta sejati. MancintaiNya, kamu tidak akan berpisah denganNya, karena Dia tak kan habis terkikis waktu, tak kan musnah tertindas zaman. Dia akan tetap kekal dan abadi. Kamu tidak akan kehilangan cintaNya untuk selamanya.
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 22 Januari 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home