‘Rasa’ itu mulai tumbuh dan bersemi
(Refleksi hati yang kini menanti)
" Menanti adalah pekerjaan yang membosankan "
Kata-kata ini sangat terasa olehku saat ini, dimana aku sedang menanti jawaban yang kian kurindukan dari seseorang. Entah kenapa, perasaanku kini berbeda dengan perasaanku yang dulu ketika aku baru mengenal dia.
Dulu tahun 2003 dia datang ke Kairo. Ketika itu aku baru tingkat 4 kuliah (tingkat akhir). saat itu aku telah mendengar dan tahu akan kedatangan dia kari informasi yang aku dapatkan dari guruku di Tanwiriyyah. Kebetulan diapun satu almamater dengan ku, MAK Tanwiriyyah, yang terletak di desa Sindanglaka, Karangtengah Cianjur. Sebuah desa yang menyimpan beribu macam kenangan bersamaku. Mungkin tidak disini aku tulis kenangan itu, tulisan ini hanya untuk menulis keadaan hatiku sekarang. Jika ada waktu dan kesempatan, ingin kulukiskan kenangan-kenangan itu nanti dengan tinta pena kerinduanku.
Ketika itu aku sedang berada di rumah Teteh, yaitu istri Pak Subhan salah seorang staf lokal KBRI. Mereka sudah ku anggap sebagai keluarga. Begitupun mereka, telah menganggap aku sebagai keluarganya. Sekitar menjelang Dhuhur, tiba-tiba terdengar Nokiaku bernyanyi Doraemon, sebagai tanda ada sms yang masuk, "K saya sudah tiba di Kairo dan ini ada titipan buat kakak dari pak Deden" begitulah kurang lebih isi sms itu. Jujur saja aku sangat senang ketika mendapatkan sms tadi, tak sadar aku tersenyum sendiri.
"Aduh…Om dapat sms dari pacarnya", tiba-tiba terdengar suara itu pas di depanku berdiri, Ucup sudah berdiri tegak sambil tertawa ke arahku. Ucup nama panggilan putranya Teteh yang saat itu baru kelas 5 SD, nama aslinya Muhammad Yusuf.
" Wah pacar apaan, ini adik kelas Om kok" timpalku sedikit malu. Aku katakan sebenarnya, memang saat itu aku tidak menyimpan ‘hati’ pada dia, selain perasaan kakak kelas terhadap adik putrinya. Selain dari permintaan guruku untuk membantu dia sebagai mahasiswi baru di Al-Azhar-Mesir, akupun berpikir, sangat wajar dan memang seharusnya seorang kakak senior yang telah tahu banyak hal di Mesir ini, membantu adik kelasnya yang baru datang. Apalagi aku, yang pada saat itu, memang akulah satu-satunya alumni Tanwiriyyah, yang lebih dulu mempunyai kesempatan belajar di Mesir. Akupun berjanji dalam hati untuk membantu dia, selama aku bisa membantunya. Aku membalas smsnya "oh ya…nanti deh kk ambil titipannya ke Syugro, mungkin besok kk ke Syugro, kk lagi di Doki sekarang". "Oh ya…saya tunggu yah", itulah sms terakhir dari dia saat itu.
Keesokan harinya, sekitar waktu dhuha aku beranikan diri untuk pergi berkunjung menemui dia. Terus terang saja, inilah pertama kali aku datang mengunjungi Syugro –asrama khusus putri untuk para mahasiswi asing dari manca negara-, inilah pertama kali selama 4 tahun aku di Mesir, mengunjungi perempuan. Memang selama ini, sejak masih di Pesantren dulu, aku mempunyai masalah dengan perasaan maluku yang terkadang aku rasakan terlalu berlebihan, jangankan untuk menyapa atau bercanda atau iseng apalagi ngobrol dengan perempuan, sekedar untuk melihat wajahnyapun aku tidak bisa, sering kali bila berpapasan dengan pandangan seorang wanita, secara spontan akupun menundukan kepala (ghaddul bashar kali yah ?). Memang disisi lain hal seperti ini tidak jelek bahkan perlu dipupuk, untuk selalu menjaga pandangan dan hati, meminimalisir dosa, tapi disisi lain ini merupakan penyakit yang harus diobati, seperti saat inilah, aku berkunjung ke syugro, belum juga ketemu dengan orangnya, hati ini sudah dag-dig-dug tak karuan, kayaknya kalau saja tidak ada titipan yang mesti aku ambil, mungkin akan aku cancel kunjungan ini.
Setelah aku menyerahkan kerneh (kartu mahasiswa) kepada Satpam penjaga gerbang, akupun masuk ke isti`lamat, tempat yang dikhususkan untuk kunjungan yang terkadang juga digunakan untuk bimbingan belajar oleh sebagian mahasiswa, bila kebetulan pembimbingnya itu laki-laki.
Ketika masuk ke ruangan. Kudapati ruangan itu kosong, berarti dia belum datang, akupun menunggu sambil berusaha untuk menenangkan hati yang masih dag-dig-dug nggak karuan. Setelah beberapa menit, datanglah serorang perempuan yang –menurutku- postur tubuhnya langsing dan tinggi untuk ukuran perempuan, walaupun teryata setelah aku berdiri, aku masih lebih tinggi beberapa centi dari dia. Akupun coba menerka, inikah adik kelasku, yang kemarin sms itu, karena aku memang belum tahu wajahnya. Jangankan wajahnya, namanya aja baru tahu dari pak Deden kemarin-kemarin via telepon. Dengan senyum ramah menghiasi jilbab putihnya dia menyapa "Kang Wahyu?" terasa ada yang indah mengalir di telingaku ketika mendengar kata-kata Kang Wahyu. Tidak salah lagi kalau perempuan itu memang adik kelasku, karena tidak ada yang tahu nama panggilanku di Pesantren kecuali alumni dari pesantrenku. Jujur saja aku lebih suka dipanggil dengan sebutan Wahyu dari pada dengan namaku sendiri, entah kenapa, mungkn karena nama ini sudah beradaptasi dengan telingaku sejak lama, kurang lebih 6 tahun aku dipanggil dengan sebutan itu.
Kronologi panggilan Wahyu, lengkapnya Wahyudin, lagi-lagi diprakarsai oleh guruku tercinta, Pak Deden. Ketika itu aku masih duduk di kelas satu Tsanwiyyah (Mts) –Tanwiriyyah, waktu itu pak Deden mengajar pelajaran Bahasa Arab. Memang Beliau guru Bahasa Arab terbaik di sekolahku, selain karena beliau jebolah timur tengah, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir, beliau juga memang pantas menyandangnya, karena Beliau memang sangat berkompeten dalam bidang Bahasa Arab selain Beliaupun ahli dan mengajarkan mata pelajaran ilmu waris, Faroid. Mengajarnyapun bagus dan enak, tidak heran kalo banyak yang mengidolakan pak Deden sebagai salah satu guru favorit teman-temanku, termasuk aku yang memfavoritkan Beliau, sehingga membuatku sangat serius dalam mempelajari dan belajar mata pelajaran yang beliau sampaikan. Ini terbukti dengan nilai-nilai Bahasa Arabku yang bagus, dan aku termasuk salah satu siswa yang jadi perhatian pak Deden karena selain nilai-nilai Bahasa Arabku yang bagus aku juga termasuk siswa yang rajin, baik dan pintar (menurut penilaian guru-guru dan teman-temanku saat itu), mungkin karena rankingku tidak lebih dari urutan kedua, teman-temanku menganggap aku pintar. Padahal… ?
Ketika itu beliau bertanya: "siapa nama kamu ?".
"Ulung Pak" jawabku singkat.
"Ulung?, punya nama panggilan ngak? Tanyanya lagi.
"Ada Pak, kalau dipesantren dulu saya dipanggil Wahyudin", jawabku lagi.
"Nah…itu nama yang bagus (mungkin islamy maksud beliau). Sudah…mulai sekarang jangan ada yang memanggil Ulung lagi, panggil Wahyudin!" hari itupun aku seperti dibai’at menjadi Wahyudin. Pak Dedenpun mengumumkan saat itu bahwa jangan panggil Ulung lagi, panggil Wahyudin. Sejak itulah semua temanku memanggilku dengan panggilan Wahyudin bahkan beberapa dewan gurupun memanggilku dengan sebutan yang sama. Itulah sekilas kronologi panggilan Wahyudin.
Kembali ke cerita semula. "Iya" jawabku singkat, kulihat kearah tangannya yang saat itu sedang membawa sebuah bungkusan dan surat, sudah kuduga bungkusan dan surat itu pasti titipan dari guruku tercinta, KH. Deden Ahmad Jauhar Tanwiri. Memang ku akui, Pak Deden lah yang telah menjadi perantara sehingga aku bisa melanjutkan studiku ke Mesir. Sebenarnya banyak kesan dan cerita tentang Pak Deden ini, mungkin satu saat nanti, bila ada waktu, akan ku tuliskan secara khusus mengenai kesan dan kebaikan Beliau padaku. Sekarang aku hanya ingin tuliskan kisahku dengan perempuan yang telah membawakan titipan dari beliau untukku.
Singkat cerita di isti`lamat, setelah menerima titipan dan ngobrol sebentar; aku tanyakan kabar pak Deden sekeluarga, sekolah dan kabar indonesia sealakadarnya akupun pamitan, untuk pergi meninggalkan dia.
Setelah pertemuan itu, perasaan hatikupun biasa saja, tidak ada perasaan lain selain adik kelas. Akupun suka sms dia sealakadarnya perhatian kakak sepada seorang adiknya, dia juga suka sms padaku, kadang minta bantuanku. Dengan senang hati akupun membantunya, seperti mengambil titipan dari orng tuanya yang dititipkan lewat teman laki-lakiku yang kebetulan satu kota dengan dia, Cianjur. Semua pemberianku pun ikhlas tidak ada tendensi apapun. Ketika aku mengikuti tour selama seminggu di Alexandria, ibukota pertama Mesir sebelum Kairo, diapun sms aku agar membawa oleh-oleh untuk nya, terlepas dari hati dia apakah serius meminta buah tangan atau hanya iseng saja alias bercanda, akupun membelikan buat dia beberapa kaligrafi yang bertuliskan Ayat Kursi, surat al-Falaq dan an-Nas serta Asmaul Husna yang terbuat dari kayu dan lembaran kertas yang dibungkus plastik serta bentuk kelinci dan kangguru yang terbuat dari kerang. Memang harganya tidak seberapa, namun tidak ada salahnya aku hadiahkan, mudah-mudahan dia senang menerima hadiahku, niatku, yang penting aku sudah mengabulkan permintaanya, membelikan hadiah buat dia, hadiah untuk adikku, tanpa mengharapkan balasan dari nya.
Begitupun ketika aku berangkat Temus 2004 (Tenaga Haji Musiman), diapun memesan padaku untuk dibelikan niqob (cadar). Akupun mengabulkannya dengan membelikannya niqob, sebagai hadiah dariku, aku berinisiatif membelikanya baju kurung, pasangan niqob, dan membelikannya sebuah jam tangan. Saat itupun perasaan hatiku masih menganggap dia sebagai adik kelasku saja, tidak lebih.
Semua smsku yang aku kirimkan, tidak mengandung muatan lain, selain perhatian kakak terhadap seorang adik, entah kalau dia mengartikan lain. Pernah sempat aku berfikir, untuk tidak sering-sering sms dia, hanya sekali-kali saja kalau memang ada urusan yang penting, karena selain makan biaya juga agar dia tidak salah mengartikan perasaanku terhadap dia selama ini. Karena informasi yang aku terima dari teman dekatku sekaligus informanku (walaupun aku tidak meminta informasi tentang dia darinya, hanya informanku sendiri yang mengabarkannya padaku tanpa permintaanku), kebetulan informanku itu punya saudari di Syugro yang juga temannya dia, dan saudarinya itu sering menceritakan dia pada informanku, lalu informanku itu langsung menyampaikan berita itu padaku selaku objek yang dibicarakan oleh dia. Suatu ketika aku terima berita dari informanku, bahwa dia sering membicarakanku, membicarakan kebaikanku, termasuk menceritakan bahwa aku telah memberi dia hadiah kaligrafi dan kelinci yang terbuat dari kerang, hadiah yang aku berikan ketika aku pulang tour dari Alexandria. Sampai temankupun bilang padaku :"Kayaknya dia itu suka kamu, karena sering menceritakan tentang kamu, menceritakan tentang kebaikanmu".
"Ah kamu ini ada-ada aja, masak sih hanya karena sering menceritakan ku berarti dia suka padaku". Jawabku mengelak. Bahkan teman dekat itupun tidak segan-segan lagi menanyaiku seperti mengintimidasiku. "Kamu suka dia ngak? Jawab aja dengan jujur?" tanyanya padaku dengan nada yang serius. "Jujur saja…perasaan saya saat ini hanya perasaan seorang kakak terhadap adik kelasnya, tidak lebih, entah kalo nanti" jawabku tegas, sehingga membuat temanku bungkam tidak bertanya lagi. Pertanyaan serupa pun bukan hanya dari teman laki-lakiku, pernah aku ditanya oleh teman dia, yaitu saudarinya teman dekatku. Dua kali saudarinya temanku itu menanyakan perasaan hatiku terhadap adik kelasku. Dia tanyaku lewat sms. "Mang…ana lihat Antum ada hati sama Adik kelas Antum, apakah antum menyukai dia? Kalo iya…ana siap bantu". Begitulah kira-kira inti dari smsnya. Akupun kembali termenung dan berpikir, kok mereka tanya ku seperti itu, bertanya dengan inti pertanyaan yang sama. Aku kadang berpikir, apakah perhatianku terlalu berlebihan? Padahal selama kurang lebih 2 tahun adik kelasku di Mesir, aku mengunjunginya tidak lebih dari 4 kali –yang aku ingat-, dan aku yakin ini adalah pertemuan kakak kelas terhadap adik kelasnya yang sangat jarang, bila dibandingkan dengan kunjungan kakak kelas yang terjadi pada teman-teman ku yang lain.
Akhirnya dengan fenomena seperti ini, niatkupun semakin kuat untuk lebih jarang menghubunginya, baik dengan sms ataupun berkunjung. Namun ketika aku sudah mulai merealisasikan rencanaku tadi, niat inipun aku urungkan, setelah menimbang dan menerima saran dan tanggapan teman-teman dekatku. "Jangan kamu bersikap sepert itu, mencuekan dia, apalagi kamu kan kakak kelasnya, kasihan dia, perempuan kan perasaannya sensitif". Begitulah salah satu celoteh yang keluar dari mulut temanku, penuh larangan, yang membuat niatku untuk mencuekan diapun terkikis dengan seketika. Akhirnya, akupun masih tetap memperhatikan dia, smspun masih suka kukirimkan, walaupun isinya hanya tanya kabar dan motivasi agar dia belajar rajin dan giat serta tetap istiqomah dalam ridha Allah, bahkan kadang-kadang akupun menelponnya. Sampai saat itu perasaan akupun tetap seperti dulu, aku kakak kelas dia.
"Ass. Sehat? lg dimana nih? Dah dhuha lum? Awas lupa dhuhanya :-)”
" Ass. Dah bangun lum nih? Ayo bangun…! sebentar lagi jam 4, waktunya tahajjud, hajat trus berdoa, dan belajar! Tetap Semangat yah!!! " itulah diantara sms-sms ku yang sering aku kirimkan, hanya motivasi belaka agar dia tetap semangat belajar dan mengingatkan dhuha dan membangunkan tahajud.
Entah mulai kapan pastinya aku mulai ada perasaan lain terhadap dia, dan kenapa perasaan hatiku terhadap dia bisa berubah. Kata orang, kalau kita sering bertemu dan komunikasi, walaupun sebelumnya tidak punya perasaan apa-apa, tapi karena sering bertemu dan komunikasi tersebut, rasa ‘istimewa’ itu akan tumbuh. Ah, aku kurang percaya dengan kata-kata itu, yang aku yakini, ‘perasaan’ adalah urusan hati dan Allah Maha Kuasa membolak-balikan hati hamb-Nya, saat inilah hatiku sudah barubah atas kehendak-Nya.
Seingatku, rasa ini mulai kurasakan barubah, ketika dia MC (MissCall) kepadaku dan akupun membalas MC-nya, namun pada waktu itupun dia meng-MC temanku. Ada perasaan lain ketika aku tahu bahwa dia meng MC temanku itu, mungkin itu yang dinamakan jealous. Aku tidak tahu apakah perasaan ini yang dinamakan anak jaman sekarang dengan "Cinta", akupun tidak tahu pasti, yang jelas, perasaan lain itu telah tumbuh di hatiku tanpa permisi.
Akhirnya perasaan inipun aku pendam dalam sanubariku, aku tidak mau orang lain tahu bahwa aku punya perasaan lain pada dia, termasuk teman dekatku, walaupun selama ini dia selalu mendorongku, memprovokasi dan memancingku agar aku suka pada dia, walaupun temanku itu sering bilang bahwa dia menyukaiku.
13 Oktober 2005, waktu itu bulan ramadhan, aku mendapatkan kabar yang sangat mengembirakan, aku mendapatkan surat dari KBRI-Tunis, yang isinya, bahwa berkasku yang sudah aku kirimkan sejak satu tahun yang lalu sudah diterima oleh pihak Universitas Az-Zaytuna-Tunis untuk melanjutkan S2 disana. Akupun harus segera pergi ke Tunis.
Aku langsung kabari dia, bahwa aku akan melanjutkan program master di Tunis, dan sekaligus aku mengundang dia untuk hadir pada perpisahanku sekaligus buka bersama di rumah Teteh di Doki, waktunya perpisahan itu tiga hari lagi. Akupun mengundang teman dia yang tinggal di Asrama juga, agar menemaninya. Sebagai seorang mukmin yang tahu hukum –walaupun aku masih merasa awam- aku punya prinsip; aku harus menghindari untuk jalan berdua dengannya apalagi sampai memegang atau bersentuhan kulit dengan dia, atau dengan siapapun, selama aku mampu, dan alhamdulillah, sampai saat ini aku belum pernah berjalan berdua dengan nya apalagi menyentuhnya.
"Kak, nanti makannya saya di kamar sendiri yah? Karena saya kan pake niqob", kudapati sms dari dia, aku pahami akan pertanyaannya yang seperti khawatir kalau seandaianya dia makan bersama dengan yang lain, karena bisa dipastikan, dari semua yang hadir, yang bercadar hanya dia seorang, karena yang diudang saat itu memang bapak-bapak KBRI dan bebarapa mahasiswi.
"Ya iyalah..kamu makan sendiri, enggak akan ada yang nyuapin, emang siapa yang mau nyuapin kamu? " Jabawabku via sms iseng, hehe…
Hari yang ditentukan pun telah tiba, aku bersama dengan temanku yang kebetulan punya mobil, datang ke Asrama untuk menjemput dia bersama dengan temannya. "Assalamu’alaikum…kakak sudah di depan asrama nih, kakak tunggu dekat mahattah (terminal) yah", aku telepon dia karena waktu itu aku sudah sampe di depan Asrama dia. Tidak lama setelah aku telepon, terlihat olehku dua orang Srikandi Syugro keluar dari gerbang. Yang satu tubuhnya agak tinggi dan gemuk dengan jilbab putih tanpa cadar, dan yang satunya lagi dengan tinggi -kurang lebih- sama hanya saja postur tubuhnya lebih langsing, dengan jilbab putih dan bercadar, itulah dia. Aku juga langsung menghampirinya, untuk mengajak masuk ke dalam mobil.
Selama diperjalanan aku berusaha untuk mengajak ngobrol dengan dia dan temannya. Walaupun dengan perjuangan yang cukup lumayan, karena aku memang kurang bisa ngobrol, apalagi ngobrol dengan perempuan, kadang yang sudah dirancang dalam pikiranpun mendadak hilang kalau sudah ketemu perempuan. Ah aku memang bukan tipe pemberani di hadapan putri. Setelah sampai di rumah Teteh, segera dia dan temannya dipersilahkan untuk makan di kamar. Ditemani oleh Teteh ngobrol, emang aku minta pada Teteh agar beliau mengajak ngobrol dia, karena memang –pengakuan dia- dia orangnya sangat pemalu, saking pemalunya, dia itu sebenarnya tidak mau untuk datang menghadiri perpisahanku, hanya saja aku mohon dengan sangat pada dia untuk datang, karena ini adalah hari-hari terakhirku di Kairo, sebentar lagi aku akan pergi meninggalkan Mesir, mencari pengalaman baru di negri baru, Tunis. Akhirnya diapun bersedia untuk datang pada perpisahanku.
Setelah makan dan ngobrol banyak sama Teteh, diapun pamitan, aku bersama temanku kembali mengantarkan dia dan temannya ke Asrama. Aku tidak tahu perasaan dia ketika mengadiri perpisahanku itu, senang ataukah terpaksa datang, aku tidak tahu.
"Terima kasih ya Kak" pamitnya padaku sebelum masuk gerbang Asrama. "Sama-sama, maafkan kakak yah tadi sudah nunggu lama". I’tidzarku (permohonan maaf), karena memang ketika menjemput aku sangat terlambat, dikarenakan dengan mobil temanku waktu itu harus masuk bengkel dulu, karena harus ganti oli dan ada sedikit masalah pada mesinnya, yang mengharuskan tinggal di bengkel dulu selama beberpa jam. Yang semula akan dijemput sebelum magrib agar bisa berbuka bersama, ternyata mobilnya baru selesai menjelang magrib, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, akan dijemput setelah magrib, karena kalaupun dipaksakan harus berangkat menjemput langsung ke Asrama, pasti aku akan terjebak macet dan akan kemagriban ditengah perjalanan. Sebenarnya penyebab keterlambatanku sudah aku ceritakan ketika diperjalanan ke Dokki menjemput dia dan temannya.
Esoknya, sekitar pukul 9.00 pagi hari, aku baru saja bangun tidur. Kebiasaanku di bulan Ramadhan, setelah shalat shubuh berjamaah, baca quran, lalu tidur lagi, karena malamnya kurang tidur. Sebagai gantinya aku qodho tidur yang kurang itu ba’da shubuh. Setelah bangun tidur langsung ke kamar mandi, sikat gigi dan berwudhu untuk melakukan shalat dhuha. Kulihat Nokia 6600 ku, tertulis 2 Massages, berarti ada 2 pesan yang masuk dan belum ku baca. Setelah ku baca, ternyata kedua sms itu dari dia, langsung aku mengopennya. “kak tolongin saya…saya di isukan mengajak nikah kepada si Fulan". "Saya sudah kesal, capek, menghadapi dia, kok dia malah mengisukan bahwa saya mengajak nikah kepada dia. Tolongin saya kak…!" –kurang lebih- begitulah inti dari sms itu, sejenak akupun kaget dan termenung, berpikir. Bagaimana caranya aku menolongnya? Kayaknya dia sangat serius meminta pertolonganku. Kulihat detail massage untuk mengetahui kapan sms ini terkirim, ternyata belum lama sms ini terkirim, hanya saja waktu itu memang aku masih terlelap dalam mimpi. Aku langsung ke wartel untuk menelpon dia.
"Assalamu’alaikum, dengan ‘dia’?" tanyaku lewat telepon.
"iya" jawabnya singkat seperti tidak semangat.
"Emang ada isu gimana sih?" tanyaku ingin penjelasan.
"iya ngak tahu, saya diisukan ngajak nikah sama si Fulan, padahal saya ngak ngomong gitu". Jelasnya kepadaku.
"bilang saja kamu sudah ’punya’ dan akan menikah 2 tahun lagi", entah kenapa, aku spotan mengatakan kata-kata itu, apakah akibat dari kebingunganku yang tidak tahu harus menolong dia dengan cara apa, yang jelas kata-kata itu mendadak keluar dari dalam hatiku begitu saja. Seakan-akan mengatakan: "bilang saja pada si Fulan bahwa kamu sudah punya pujaan hati yaitu aku, dan dua tahun lagi (insya Allah) kamu akan menikah denganku".Hm.. PD sekali:-).
"Saya takut dia tidak percaya kalau saya katakan seperti itu" katanya lagi padaku. "Oh...gitu, ya udah nanti kakak main ke Asrama deh, ada yang sangat penting akan kakak sampaikan" jelasku padanya, sebelum menutup pembicaraanku.
"sepenting apa kak" tanyanya lagi seperti kaget.
"sepenting masa depan" jelasku.
"oh gitu, ya udah kalo gitu" katanya dengan suara –sepertinya- gembira.
"ya udah yah, jam 10 pagi kakak ke Syugro, assalamu’alaikum" aku akhiri percakapan teleponku. Kemudian akupun pulang ke asramaku.
Sebenarnya aku sudah tahu bahwa si Fulan itu sudah lama menyukai dia, bahkan dulu aku sempat ingin bertanya kepada si Fulan itu, serius atau tidaknya dia menyukai adik kelasku. Kalau memang serius, akupun berniat untuk mendukungnya dan ‘menyatukannya’ dengan adik kelasku itu. Keyakinanku bertambah kuat bahwa si Fulan itu menyukai adik kelasku, ketika ramadhan tahun lalu, aku didatangi oleh Saefullah temannya si Fulan, waktu aku sedang istirahat setelah melaksanakan shalat tarawih, dengan bersandar pada dinding masjid, sambil mendengarkan ceramah ramadhan, "Mang ingin ngobrol sebentar, ada yang ingin saya sampaikan", katanya dengan nada serius dan duduk mendekatiku.
"ada apa Saef".
"Si Fulan itu suka sama adik kelas Amang, ya kata saya bilang sama dia, kamu tidak kuat lah saingan sama Amang, selain gagah dia udah S2 lagi" jelasnya dengan nada serius. Aku sedikit geer dan nggak enak body dipuji langsung seperti itu.
"Ah kamu bisa aja, dengerin, ana nggak ada perasaan apa-apa pada adik kelas ana, ya kalau si Fulan memang suka adik kelas ana, nanti ana akan tanya dia sejauh mana keseriusannya" jelasku padanya, sehingga diapun tahu jelas tentang perasaanku pada adik kelasku.
Jawabanku waktu itu memang seadanya, jawaban yang keluar dari hatiku. Memang perasaan hatiku saat itu seperti itu, ngak ada perasaan lain kecuali perasaan kakak terhadap adiknya. Tidak lebih. Titik.
Setelah sampai di kamarku, akupun termenung dalam, dan kurasakan perasaan yang berbeda dihatiku ini kian hari kian bertambah. Kini, diakhir-akhir keberadaanku di Mesir, aku ingin mengungkapkan perasaan hatiku padanya, agar hati ini lebih tenang telah mengungkapkan keinginannya, walaupun hasil keputusannya belum tentu seirama dengan keinginannya. Namun niat itupun terhenti ketika perasaan hati berbisik lain, tidak usah mengungkapkan nya, biarkan saja perasaan itu tersimpan di dalam lubuk sanubari. Terjadilah kegalauan dan perang bathin di dalam tubuhku, pertempuran sengit antara tentara motivator UNGKAPKAN dan prajurit terminator JANGAN UNGKAPKAN terjadi dipikiran kepalaku, membuat aku pusing dan bingung. Ku coba mendamaikan ke dua kubu yang sedang bertempur itu dengan membasuh mereka dengan air wudlu, dan kusujudkan tempat mereka bertempur, kala itu, sebentar mereka berdamai. Namun setelah selesai aku bersujud merekapun melanjutkan pertempurannya, yang membuat aku semakin bingung. Namun akhirnya, tentara motivator UNGKAPKAN berhasil menjadi pemenang, sehingga memaksa pada pendirianku agar menuruti perintahnya, mengungkapkan perasaan ini. Kuputuskan untuk mengungkapkannya.
Karena baru pertama kali aku akan taqdim, menyatakan persaan hati pada seorang perempuan, akhirnya aku putuskan untuk konsultasi pada salah seorang temanku tentang masalah ini tanpa menyebutkan nama perempuan yang akan aku ‘lamar’ itu. Dengan menceritakn indikasi-indikasi penting yang bisa dijadikan tanda bahwa –kayaknya- dia menyukaiku. Kuceritakanlah beberapa peristiwa, diantaranya; dia pernah curhat kepadaku tentang adanya 2 orang yang menginginkannya, dia juga jelaskan padaku bahwa dia tidak menyukai mereka berdua, termasuk aku ceritakan pada temanku, tentang permintaan tolong dia kepadaku di sms karena ada orang yang mengisukannya bahwa dia mengajak nikah pada si Fulan. Usai ku ceritakan semua, temanku punya kesimpulan –sementara- bahwa dia menyukaiku dan menyarankan padaku untuk mengungkapkan perasaan hatiku, sebelum berangkat ke Tunis.
Temanku juga memberikan beberapa masukan cara bagaimana mengungkapkan perasaan itu. "Pertama, Abang jangan langsung mengungkapkan perasaan Abang. Ngobrol yang lain dulu, agar tidak tegang, lalu, baru ungkapkan perasaan Abang. Setelah mengungkapkan itu, jangan dibiarkan suasana hening, abang palingkan kepada obrolan lain, untuk menghilangkan ketegangan. Beri dia waktu untuk berpikir, sebelum menjawab". Masih ingat di memori otakku kata-kata temanku itu, dengan nada semangat 45 dan optimis bahwa aku akan diterima. Setelah mengucapkan terima kasih aku pamitan. Aku putuskan untuk tidur cepat, agar istirahat cukup, karena besok mesti ke Asrama Putri menepati janjiku juga untuk mengungkapkan perasaan hatiku. Setelah kubungkus rapi sebuah bros (peniti) jilbab yang berbentuk bunga dan dihiasi dengan kaca seperti kristal. Sengaja aku membelinya sebagai kenangan terakhir dariku untuknya, tidak lupa akupun menyiapkan konsep "kata-kata" yang akan aku ucapkan besok pagi. Kubaca doa tidur, syahadatain dan surat al-Ikhash dan Falaq Binnas serta Ayat Kursi, akupun tidur.
"He Was Muhamad Shalallhu ‘Alaihi Wasallammm…." Beker Nokia 6600ku bernyanyi El-Mu’allimnya Samy Yusuf, sebagai tanda bahwa waktu sudah pukul 4.00, mengingatkanku akan waktu yang paling indah untuk bersujud pada Rabbku, tahajjud dan hajat sekaligus menyiapkan makan sahur teman-temanku yang kebetulan saat itu aku kebagian jadwal piket masak sahur. Setelah tahajjud dan hajat, aku berdoa, dengan harapan, semoga Allah memberikan kemantapan hati bila memang mengungkapkan perasaan hati ini sekarang, ataupun penolakan hati, jika memang perasaan hati ini agar tidak diungkapkan. Terasa ada kemantapan dalam hatiku untuk mengungkapkan perasaan ini padanya.
Sekitar pukul 9.00, setelah dhuha, mandi dan sedikit "berdandan", aku langkahkan kaki dengan mantap pergi meninggalkan apartemen elitku menuju Syugro, Asrama Putri para mahasiswi asing. Seperti biasa setelah memberikan kartu kuliah pada satpam akupun masuk isti’lamat.
"Toyyib khomsah daiah bas", syarat satpam padaku untuk diperbolehkan hanya 5 menit saja bisa ketemu dia. Hatiku bergumam, "5 menit, cukup nggak untuk mengungkapkan perasaan ini?”. Akupun merajuk pada Satpam itu untuk memberikan tambahan waktu padaku, setelah aku jelaskan bahwa ini kunjungan terakhirku pada dia, karena aku akan pergi meninggalkan Mesir, diapun mempersilahkanku untuk lebih lama.
Setelah ku masuk ruangan, seperti biasa, setiap aku berkunjung, pasti aku harus menunggu dia. Aku duduk menunggu sambil coba mengingat-ingat konsep kata-kata yang tadi malam sudah kudesain dengan mantap. Sekitar 2 menit aku menunggu, akhirnya dia datang juga, dengan jilbab dan cadar putih, akupun hanya bisa melihat matanya saja, yang kayaknya sedang tersenyum padaku. PD aja lagi:-)
"Asslamu’alaikum"
"Wa’alaikumussalam, akhirnya datang juga" jawabku sambil tersenyum. Akupun mempersilakan duduk di kursi yang terhalang oleh meja yang cukup panjang. Jadi, walaupun berhadapan, tapi jaraknya cukup jauh karena terhalang oleh meja panjang tadi. Setelah kuberikan hadiah dan 2 surat; yaitu surat buat dia dan surat buat temannya dia sekaligus adik kelasku juga yang akan datang ke Mesir. Sengaja aku titipkan, karena kemungkinan besar teman dia datang sedangkan aku sudah di Tunis. Dengan hati berdebar yang di barengi dengan dag-dig-dugnya jantungku, akhirnya akupun berusaha mulai mempraktekkan jurus-jurusku atas saran temanku tadi malam. "Pertama, Abang jangan langsung mengungkapkan perasaan Abang, ngobrol yang lain dulu, agar tidak tegang". Aku mulai obrolanku dengan pertanyaanku tentang belajarnya, tugas-tugasnya, shaumnya, tilawahnya dan keadaan keluarganya di Indonesia. Diapun menjawab dengan resfek. Setelah ngobrol pembukaan, akup segera ancang-ancang untuk mengungkapkan perasaan hati, tapi mendadak mulutku terasa berat, seakan kelu, debaran jantungku semakin kuat membuncah, aku tak mampu mengungkapkannya, akupun tertunduk dan diam.
"Sebenarnya, eee…ada yang ingin ana sampaikan yang sangat penting sekali, hmm… ana ada ‘perasaan’ padamu, dan anapun akan menghubungi orang tuamu bila sudah mendapatkan izin darimu, jawabannya tidak usah sekarang, kamu boleh berpikir dan mempertimbangkannya dulu. Jawabannya pun bisa lewat sms, email atau surat. Terus terang, ini yang pertama kali dalam hidup ana, mengungkapkan perasaan hati seperti ini". Akhirnya dengan susah payah, akupun berhasil dan mampu mengungkapkan kata-kata itu.
"Apa Kak?" pertanyaan dia terdengar begitu kaget, terlihat olehku matanya yang membelalak, seakan-akan dia tidak percaya apa yang aku katakan.
"Sebenarnya, ana ada ‘perasaan’ padamu" ulangku, kali ini dengan nada tegas dan mantap. Kulihat dia tertunduk, entah apa yang ada dipikirannya ketika dia mendengar ungkapan hatiku tadi. Apakah dia tertunduk malu, bahagia ataukah marah ataukah merasa gundah. Agak lama ku pandangi matanya yang bening bak air embun di pagi hari. Tak jelas yang tersembunyi dibalik cadarnya, apakah senyum yang terukir ataukah muram yang tertera, aku nggak tahu.
"kapan saya harus jawab, sekarang? Atau nanti aja yah?" tiba-tiba dia mengajukan pertanyaan seperti itu dengan nada gembira, tercermin dari nada bercanda yang riang.
"Nanti saja, setelah kamu pikir dan pertimbangkan terlebih dahulu, kata-kataku tadi keluar dari hati sanubariku" jawabku tegas. Kemudian akupun mengalihkan pembicaraan kepada topik lain, sampai akhirnya tidak terasa waktu setengah jam sudah kulewati, setelah salam akupun pamit dan pergi meninggalkannya.
Mulai hari itu, hatikupun menanti jawaban kepastian itu. Entah kapan aku akan mendapati jawaban itu. Mungkinkah 2 tahun lagi, sebagaimana sms dia pada suatu hari. Jika memang 2 tahun lagi, hmm...betapa lamanya, kenapa mesti 2 tahun lagi, padahal yang aku minta bukan menikah, kalau yang ku minta adalah menikah, tidak apalah menunggu 2 tahun lagi, akupun setuju, lagian aku sekarng masih sedang menyelesaikan program masterku di Tunis, tapi yang aku inginkan hanyalah pernyataan IYA atau TIDAK nya perasaanku diterima. Kalo hanya untuk menjawab TIDAK, mengapa harus ditangguhkan dua tahun yang akan datang, aku pikir sekang lebih baik, agar akupun tidak lama menanti.
Apakah dia takut dan mengira jika dia jawab TIDAK sekarang, aku akan terganggu belajar? Hhmm...aku akan katakan padanya, itu prasangka yang salah, aku adalah laki-laki yang sangat paham akan hati; masalah hati tidak bisa dipaksakan, hanya Allah yang bisa memaksanya, jika memang dia berpikir seperti itu, sayang sekali, dia telah memandangku sebagai laki-laki yang “cengeng, kurang iman dan kurang memahami sifat hati dan takdir Ilahi”, akan kumaafkan dia. Jika memang berprasangka terhadapku seperti itu, tidak apalah. Atau apakah dia mengira dan khawatir jika dia menjawab TIDAK sekarang, aku akan membenci dia? Akan ku jelaskan pada dia, bahwa aku bukan tipe lelaki seperti itu, walaupun TIDAK yang ku dapat, aku akan tetap anggap dia sebagai adik kelasku dan saudari seimanku, dan aku akan membatu dia jika memang membutuhkan bantuanku, hatiku tidak akan berubah menjadi kebencian ketika kata TIDAK ia suguhkan.
Saat aku tanya alasan dia kenapa tidak bisa menjawab sekarang, diapun menjawab bahwa dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menjawab sekarang tentang hal itu, tapi insya Allah akan dijawabnya. Aku tidak tahu, apakah alasan itu benar apa tidak, jika benar, memang janji harus ditepati. Namun, jika berbohong? Ah...kukira dia bukan tipe perempuan seperti itu, karena itulah perasaanku berubah terhadapnya. Namun sampai kapankah dia berjanji pada dirinya untuk tidak menjawab akan hal itu? Ini yang aku tidak tahu, kini akupun dalam penantian suatu kepastian.
Sekarang aku tidak akan menanyakan kepastian itu lagi, akan kubiarkan waktu untuk menjawabnya, ataupun jawaban spontan dari dia, tanpa ada permintaan dariku lagi. Aku tidak mau hati dan pikiranku tersiksa dan termainkan hanya oleh seseorang yang namanya “perempuan”, aku tidak mau hanya karena dia membuat hati dan pikiranku lupa akan Penciptaku, yang mencintaiku sesungguhnya. Biarlah aku tidak mendapatkan cintanya, asalkan cinta-Nya tetap menaungiku. Aku serahkan semuanya pada Pemilik jiwa, hati dan ragaku. Aku yakin, Dia akan memberikan "teman hidup" yang terbaik untukku. Aamin, diakah? Ataukah bukan? Akupun tak tahu. Aku berharap pilihanku sejalan dengan takdir dan pilihanNya. Yaa Rabb....
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 5 Desember 2004
1 Comments:
wah.....nggak nyangka bisa ketemu ulung di internet...please email me, kirim ke yogafina@yahoo.ie (ane bikin milis tanwiriyyah lho tapi sepi seuweung nih), selamat menuntut ilmu ya....eh ana posisi di jakarta, papat udah dua kali maen ke kantor ana
Post a Comment
<< Home