Dengan Bertanya, Maka Akan Tahu
“…Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang ‘alim), jika kamu tidak mengetahui " [Q.S. An-Nahl:43]
Shubuh ini, entah yang keberapa kali aku ikut berjamaah di Mesjid Hawa, mesjid yang paling dekat dari tempat tinggalku. Walaupun sebenarnya, bila dibandingkan dengan mesjid tempat kostku di Kairo, jarak Mesjid Hawa terbilang jauh.
Waktu aku tinggal di Kairo, sebagai santri Al-Azhar. Jarak mesjid dengan tempat tinggalku cukup dekat. Pertama datang ke Kairo tahun 1999, aku tinggal di daerah Nasr City. Tepatnya di Bawwah III. Di distrik itu, ada tiga mesjid yang ku tahu; Mesjid Shohâbah, yang merupakan mesjid terdekat dengan rumahku, Mesjid As-Salâm dan Mesjid Limousin [diambil dari nama mobil Limousin yang berjejer di komplek mesjid]. Jarak dari rumahku ke Mesjid Shohâbah hanya lima menit dengan berjalan santai.
Kemudian, tahun 2001 aku pindah tempat tinggal ke Asrama Buuts. Islamic Mission City. Yaitu asrama khusus mahasiswa asing yang menimba ilmu di Al-Azhar. Tidak kurang dari 90 negara, mahasiswa yang tinggal disana. Jarak Mesjid dari kamarku sangat dekat, dengan dua menit aku bisa sampai.
Kemudian setelah selesai strata satuku, aku ‘diharuskan’ pindah tempat tinggal ke luar asrama. Akhirnya tahun 2005 aku tinggal di apartemen baru yang terletak di Hay Tsamin. Mesjid berada pas di bawah apartemenku tinggal. Walaupun kamarku di lantai sebelas, hanya dengan satu menit, karena pakai lift, aku bisa ikut berjamaah bersama kawan-kawan seperjuangku.
Sekarang aku sudah di Tunis, terhitung sejak 11 Nopember 2005. Jarak mesjid dari tempat tinggalku lumayan jauh. Ada tiga mesjid di sekitar rumahku. Namun mesjid yang terdekat adalah mesjid yang tadi, Mesjid Hawa. Karena rumahku terletak didataran rendah dan Mesjid Hawa berada di atas, dengan berjalan naik, bisa sampai ke Mesjid itu dengan waktu lima belas menit.
Biasanya, aku keluar shubuh dengan memakai jaket dan traning tebal serta sepatu sport. Ku sengaja mendaki jalan menuju Mesjid Hawa dengan berlari. Begitu juga pulangnya. Aku berlari selain untuk berolah raga, juga lumayan dapat mengurangi rasa dingin pada tubuhku, dikarenakan hawa panas yang timbul dari tubuh yang digerakkan. Istilah kata, sambil menyelam minum air. Sambil ke mesjid berolah raga. Pas nggak yach istilahnya hehe…J
Selama ini, ada satu kepenasaran yang belum terungkap olehku semenjak “bergabung shubuh”, yaitu, berdiamnya imam dan para jamaah selama satu sampai dua menit, tanpa bersuara. Yang kudengar hanya suara bisikan was wes wos saja. Diam sejenaknya mereka itu, dilakukan pada rakaat terakhir setelah bacaan surat, sebelum rukuk.
Untuk pertama kalinya ku berjamah shubuh, perbuatan mereka dapat membuatku keheranan. Aku tidak tahu harus membaca apa saat mereka berdiam. Kadang aku hanya diam tanpa membaca apa-apa, kadang ku ulangi lagi membaca Fatihah. Hehe…bingung sich
Sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya, hatiku hanya menebak-menebak. Mungkinkah mereka itu membaca Doa Qunut? Tapi pada waktu yang sama, hatiku juga menjawab, masak sich qunut dibaca sebelum rukuk. Yang kutahu, qunut dibaca setelah rukuk. Bukan sebelumnya.
Jauh sebelumnya, ingin ku mengetahui sendiri apa yang mereka baca dan mencari keterangan atau sebab mengapa mereka berdiri dan diam pada rakaat kedua itu. Ingin ku mencari dasar yang mereka jadikan landasan. Namun, keterbatasan referensi buku fiqh yang kupunyai, tidak kutemukan yang menjelaskan tentang itu.
Akhirnya, shubuh tadi, kepenasaran ini ingin kutanyakan langsung pada Imam Mesjid. Dengan sedikit malu, setelah berjamaah dan bersalaman, kutatanyakan pada beliau. Terjadilah dialog sederhana:
“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam “
“Le bes Inty” [Le bes adalah bahasa pasarannya (‘amiyah) Tunis yang artinya baik, sehat atau khoir, diambil dari kalimah fushah, La ba’sa. Sedangkan kalimat Inty, dimaksudkan dengan Anta (kamu). Mereka menggunakan inty, kepada semua jenis, baik laki-laki atau perempuan]
“Le Bes ya Syekh. Afwan, boleh saya bertanya ? “
“Silakan“
“Begini Syekh, pada rakaat terakhir, setelah membaca surat, antum tetap berdiri dan diam, apa yang antum baca pada waktu diam tersebut?”
“Oh, kami membaca qunut”
“Bukankah, qunut dibaca setelah rukuk?”
“Oh, itu di madzhab Syafi’i. Kami Maliky, pada madzhab Maliky, qunut itu dibaca sebelum rukuk dan dibaca sirran (desahan suara )”
“Oh…[sambil melongoJ]”
“Kamu hapal doa qunut?”
“Insya Allah. Saya syafi’y, saya baca qunut pada rakaat terakhir setelah rukuk. syukron Syekh”
Itulah jawaban Syekh, yang sekarang ku tahu namanya, Muhammad. Maka dengan bertanya aku jadi tahu. Meskipun aku kurang puas karena belum membaca keterangannya langsung. Ya, tidak hari ini, mungkin nanti akan kucari sendiri sampai dapat. Teruslah belajar ya…!!!
Pulang ShubuH tunduH
27 Januari 2006
***
Ketidakpuasan hatiku terhadap jawaban Syekh rupanya masih belum berujung. Ketika ku pergi kuliah tadi siang, sengaja mampir ke perpustakaan, kebetulan hari tadi, dosen mata kuliah firoq tidak hadir. Ketika kumasuki ruangan kelas, yang kudapati hanya jajaran bangku-bangku kosong, tak ada seorangpun yang datang, hhmm…rupanya mereka masih [menganggap] libur Idul Adha, kok belum aktif kuliah, gumam hatiku.
Di perpustakaan, aku sibuk mencari buku-buku fiqh tentang Doa Qunut, alangkah baiknya kalau aku menemukan buku fiqh Maliky, karena aku ingin yakin dengan jawaban Syekh Muhammad shubuh tadi. Di Fiqh Sunnahnya Syekh Sayyid Sabik tidak kutemukan tentang penjelasan Syekh Muhammd. Aku hanya temukan keterangan [potongannya], Doa Qunut pada Shalat Shubuh tidak disyareatkan kecuali pada Qunut Nazilah, kerena menurut riwayat Zuber, khalifah yang tiga tidak pernah qunut pada Shalat Fajr [shubuh], pendapat inilah yang diambil oleh Imam Hambali dan Hanafi beserta pengikutnya. Tak heran ketika aku di Mesir, kebanyakan imam tidak memakai qunut di waktu shubuh, karena kebanyakan mereka bermadzhab Hanafy. Lalu, Sayyid Sabik menutup pembahasan qunut di dalam kitabnya dengan keterangan, bahwa Doa Qunut [membaca atau tidak] merupakan perbedaan yang dibolehkan. Membacanya ataupun tidak sama saja. Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rosulullah Saw.
Namun, setelah sembilan ratus detik. Akhirnya, pencarianku terhenti, setelah mendapatkan keterangan dari kitab Al-Isyrâf ‘alâ Nakti Masâil al-Khilâf. “Oh...Iya ya ya”, tak terasa mulutku seakan berbisik mengiringi kepalaku yang serta merta ku angguk-anggukan, ketika membaca keterangan dari kitab itu. Bunyi [potongan] keterangannya tertulis: Dibolehkan membaca doa qunut sebelum rukuk atau setelahnya, berbeda dengan Syafi’i yang mengatakan bahwa Doa Qunut dibaca setelah rukuk, berdasarkan ijma para shahabat. Di riwayatkan dari Ubay, bahwa, semula qunut dilakukan setelah rukuk. Namun, Umar melakukannya sebelum rukuk. Pendapat senada juga disampaikan Ustman ketika ditanya oleh para Muhajrin dan Anshar. Alasannya, Qunut dilakukan sebelum rukuk karena mempunyai faidah [manfaat], yakni, menunggu makmum yang masbûq [terlambat]. Sedangkan bila dilakukan setelahnya, faidah itu tidak ada.
Nah, sekarang aku sudah yakin setelah membaca kitabnya Seorang Ulama Maliky yang berkebangsaan Iraq tersebut. Al-Qôdhy Abu Muhammad Abdul Wahab bin ‘Aly nama lengkapnya. Beliau wafat 422 H. Pada halaman 156, lembar keterangan itu berada.
Jadi, Imam Masjid Hawwa, Syekh Muhammad. Berpendapat qunut dibaca sebelum rukuk, kerena dapat menunggu makmum yang terlambat datang berjamaah alias masbûq. Mengikuti madzhab imamnya, Maliky ra.
Di pinggiran kota Tunis yang tiris
LelaH pulang kuliaH
Ulpa® 27 Januari 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home