Monday, March 06, 2006

Biarkanlah Dia

Pagi itu, Nurdin terlihat lesu. Kebiasaannya mempersiapkan sarapan pagi jam sembilan, tidak ada lagi. Persiapan pagi untuk berangkat kuliah, tidak terlihat lagi. Dia hanya duduk diatas kursi dan termenung dalam, seperti sedang menghadapi pertanyaan ujian yang sulit sekali untuk dijawab.
Tidak terlihat ada buku di atas meja yang berada didepannya, yang biasa menemaninya setiap pagi. Juga tidak terlihat segelas kopi susu, yang biasanya dia nikmati sambil membaca bukunya beberapa menit sebelum berangkat kuliah. Sesekali dia hembuskan napasnya panjang, lalu berulah seperti semula. Termenung.
Parman yang sedari tadi memperhatikan sikap membatunya Nurdin, penasaran dan melangkah mendekatinya.

“Din...ada apa sih? Dua hari ini aku lihat, sepertinya kamu punya masalah berat?" pertanyaan Parman hanya dijawab dengan diaman dan bisuan. Sikap dingin pada Nurdin tidak berubah. Diam seribu basa.

“Din...seandainya ada masalah, cobalah curhatkan padaku. Mungkin aku bisa bantu” pertanyaan parman kembali dilontarkan. Namun tetap, Nurdin masih mematung.

“Aku kira...kamu punya masalah dengan Sari yah? Maafkan aku kalo salah tebak” Parman mencoba memancing pembicaraan. Agar Nurdin buka mulut.

“Huuh...” Nurdin menarik napas panjang, seakan habis angkat berat atau habis berjalan jauh.
“Iya Man...Aku punya masalah. Tentang Sari” rupanya pancingan Parman tadi berhasil mengail masalah yang ada di kedalaman hati Nurdin. Sehingga Nurdin buka mulut.

“Masalah apa? Apakah dia menghianati cintamu?”
“Bukan menghianati, karena dia juga belum tentu suka aku"
"lalu?"
"Sampai saat ini dia belum menjawab pertanyaanku. Kadang aku berpikir, kenapa dulu aku mengungkapkan perasaan hatiku pada Sari"
"Maksud kamu? Pertanyaan apa?" Parman bertanya ingin yakin dengan maksud yang dikatakan Nurdin.
"Huuh..." Kembali Nurdin menghela napas panjang, tidak langsung menjawab pertanyaan Parman.
"Sebanarnya, aku tidak mau kamu mengetahui masalah pribadi­ku, namun, mungkin kamu bisa membantu memberikan solusi buatku"
"Nah begitu dong, cerita, mungkin aku bisa bantu kamu. Apa yang mesti aku lakukan?" sergap pertanyaan Parman dengan penuh semangat.
Lalu Nurdin menceritakan kisah hatinya sekaligus problem yang dihadapinya pada Parman. Parman terlihat sangat serius mendengarkannya. Sesekali Parman berdecak kagum atas cerita Nurdin. Akhirnya Nurdin mengakhiri ceritanya.
“Nah begitulah Man, ceritanya”
“Ohh...Unik juga cerita cintamu itu Din. Jadi kamu belum pernah pacaran dan Sari ini cinta pertamamu sekaligus wanita pertama yang kamu tanyai?”
"Ya begitulah Man kira-kira" jawab Nurdin singkat, tanpa senyum.
“Hhmm...sebentar, kenapa Sari belum jawab pertanyaan kamu?” Gumaman Parman seolah tak sadar. Dia telah bertanya dan hendak menjawab pertanyaannya sendiri. Nurdin yang tadi tetap duduk tertegun, terlihat, ada senyum di bibirnya, melihat perbuatan Parman yang sok serius itu.

“Apa Man? Sudah dapat jawabannya? Sebab Sari belum menjawab?” desak Nurdin tak sabar.
“Banyak kemungkinan Din, bahkan menurutku bisa ada tiga kemungkinan”
“Apa kemungkinan-kemungkinan itu Man?” dari raut wajah Nurdin terbersit sebongkah kepenasaran.
“Tapi sebelum aku jawab, kamu harus janji dulu untuk tidak marah”
“Ok...aku tidak akan marah”
“Janji?”
“Ok aku janji”
“D’Accord?”
“D’Accord”
Kedua pemuda itu serempak berdiri melakukan ‘perjanjian bilateral’. Seperti yang dilakukan dua pendekar china yang di film-film kungfu, mereka berdiri dan bersalaman erat kemudian duduk kembali.

“yang pertama. Mungkin dia sudah punya pacar, jadi dia bingung untuk menolak kamu” Parman mengawali prediksinya.
“Bingung kenapa?” Pertanyaan Nurdin cepat, seakan kaget dan ter­sentak.
“Ya mungkin dia takut kalau kamu marah atau bisa membuat konsentrasi kuliah kamu buyar”
“oh gitu ya?” Nurdin menjawab dengan iringan senyum. Walaupun hanya sebundal senyuman yang dipaksakan, namun dapat membuat Parman merasa aneh dan bertanya.
“kenapa kamu Din? Kok mendadak tersenyum?”
“Aku hanya ingin tersenyum aja, merasa lucu. Kalo memang Sari tidak segera menjawab pertanyaanku karena takut aku marah atau konsentrasi belajarku buyar, itu salah besar Man. Aku sadar dan yakin betul dengan Takdir Tuhan. Aku tidak akan demikian, aku akan tetap semangat mengejar cita-citaku” bantahan Nurdin penuh kemantapan.

“Iya...aku percaya padamu, tapi kan Sari belum tahu kalo kamu akan demikian. Makanya, sebaiknya, kamu sampaikan sikap dan komitmen kamu itu kepada Sari, agar dia paham dan tidak ketakutan, sehingga dia mau menjawab segera pertanyaanmu” Parman berusul.
“Iya nanti akan ku sampaikan deh. Terus kemungkinan yang kedua?”
“Kemungkinan yang kedua, menurutku. Sari itu benar-benar ingin menyelesaikan kuliahnya dulu, jadi kamu harus bersabar menunggu dia”
“Man...Aku bukan mengajak dia menikah, tapi aku hanya minta jawaban Iya atau Tidak? Masak jawab gitu aja aku harus nunggu dua tahun? kalau aku mengajak nikah, boleh lah aku menunggu dua tahun lagi. Lagian aku juga sekarang masih kuliah, nggak mungkin aku nikah sekarang” Nurdin berapi-api memahamkan maksudnya kepada Parman. Dengan suara yang tegas dan lantang.
“Eeh Din...Aku bukan Sari, aku Parman. Jangan berapi-api gitu dong, kayak orang mau demonstrasi aja. Biasa aja!" Parman menyadarkan Nurdin yang seakan lupa bahwa yang berada dihadapannya adalah Parman, bukan Sari.
"Oh iya...Sorry Man, aku terlalu semangat"
“Hehe...nggak apa-apa, aku paham kok, aku pernah seperti kamu juga Din. Menunggu. Jadi akupun merasakan kepenasaran dan kadang kekesalanmu”
“Syukur deh kalau kamu paham. Terus kemungkinan yang ketiganya?”
“Kemungkinan ketiga. Bisa jadi Sari itu memang masih menimbang-nimbang dan bisa jadi masih istikhoroh untuk memilih calon pendamping hidupnya. Karena menurut buku yang pernah ku baca. Tidak mudah bagi seorang cewek untuk menerima dan menolak laki-laki. Apalagi Sari, yang menurut cerita kamu, sari itu sholehah, cantik dan baik. Aku yakin, seorang Sari, bila sudah menerima seseorang pasti dia akan setia sampai akhir hayatnya. Jadi dia tidak mau asal-asalan menjawab Iya atau Tidak kepada seseorang, termasuk kepada kamu. Nah, kamu harus bersabar menunggu jawabannya” dengan tenang dan panjang lebar, Parman menerangakan prediksinya kepada Nurdin. Sikapnya mendadak seperti Psikolog kawakan yang menjelaskan kepada seorang ‘pasien’.
“Iya sih...aku juga paham. Tapi, sampai kapan aku menunggu? Masak sih aku harus nunggu dua tahun hanya untuk kalimat Iya atau Tidak"
"Ya...tunggulah satu atau dua bulan lagi, ku kira cukup untuk Sari istikhoroh dan meyakinkan hatinya untuk memilih"
"kalo setelah dua bulan belum menjawab?"
"Ya...Tidak ada solusi lagi, kecuali kamu harus berusaha melupakan Sari. Dan kamu harus tetap berpikir positif manakala cinta kamu tak berbalas. Karena menurutku, belum tentu kamu akan memperoleh kebahagiaan bila hidup bersamanya. Apa yang kamu pandang baik secara kasat mata, belum tentu berbuah kebaikan di kemudian hari”.
“Din... Adakalanya keinginan untuk hidup bersama orang yang kita idamkan begitu menggoda. Tapi bila ternyata cinta kita bertepuk sebelah tangan, untuk apa semua kita pikirkan lagi? Tuhan Maha Pangatur, Dia pasti akan mempertemukan kita dengan orang yang memberikan kebahagiaan seperti yang kita angankan. Bahkan mungkin lebih dari yang kita harapkan. Be positive thinking aja! Suatu hari kelak ketika kamu telah menikah dengan orang lain –bukan dengan Sari- niscaya kamu takjub dengan kebahagiaan yang kamu rasakan. Percayalah! Banyak orang yang telah merasakan hal demikian" Parman panjang lebar menghibur sekaligus memberi pemahaman pada Nurdin. Sikap dan tutur bicaranya yang sejak tadi seperti seorang pskilog kawakan nampak lebih jelas. Dengan deretan kalimat-kalimat yang sarat makna. Mampu membuat Nurdin sadar dan menerima.

"Oh gitu ya Man" Nurdin kembali menunduk lesu, seakan tidak terjadi apa-apa sejak semula.

“Din...perasaan kecewa adalah bagian dari gharizatul baqa' (naluri mempertahankan diri) yang Tuhan ciptakan pada manusia. Dengannya, manusia adalah manusia, bukan onggokan daging dan tulang belulang saja. Ia juga bukan robot yang bergerak tanpa perasaan, tapi manusia memiliki aneka emosi jiwa. Ia bisa bergembira tapi juga bisa kecewa. Emosi negatif, seperti perasaan kecewa akibat ditolak, bukannya tanpa hikmah. Kesedihan akan memperhalus perasaan kamu, bahkan akan meningkatkan kepekaanmu pada sesama. Bila dikelola dengan baik maka akan semakin matanglah emosi yang terbentuk. Tidak meledak-ledak lalu lenyap seketika. Ia akan siap untuk kesempatan berikutnya; kecewa ataupun bergembira. Jadi mengapa tidak bersyukur manakala kita ternyata bisa kecewa? Karena berarti kita adalah manusia seutuhnya” kembali kata-kata Parman terlontar panjang, membuat Nurdin benar-benar sadar dan menerima.

"Din...Wanita bukan Sari aja. Sari menurut kamu adalah yang terbaik, tetapi belum tentu menurut Tuhan. Lagi pula, aku yakin, kalau kamu mau dan berani, tidak sulit hanya untuk mendapatkan seorang cewek cantik bahkan lebih cantik dari Sari sekalipun”
Tiba-tiba saja, secepat kilat tangan Nurdin yang kekar, memukul keras meja tebal yang ada dihadapannya. Serta merta menimbulkan bunyi yang mengagetkan, brakk... Parman yang dari tadi mengumbar kata spontan loncat kebelakang.

“Man...tolong jangan samakan aku dengan orang lain, bahkan dengan kamu sekalipun! Bolehlah kamu gonta-ganti pacar, tapi tidak untuk diriku. Kamu menilai cewek karena kecantikannya, tapi bagiku kecantikan bukan segalanya. Hatiku tidak bisa seperti itu. Hatiku teguh, kukuh, seteguh karang” Nurdin yang tadi seakan terhipnotis oleh kata-kata Parman mendadak ‘panas’ dan marah. Parman telah menyamakan dirinya dengan playboy menurut versinya. Memainkan banyak wanita. Bergaul bebas dengan lawan jenis.
“Ma...maaf Din, jangan emosi gitu dong. Ingat...seorang yang bijak adalah seseorang yang bisa mengatur derap emosi jiwa dengan logika. Sorry banget Din. Aku tidak bermaksud manghinamu atau mengajakmu berpindah ke lain hati. Ini hanya saranku saja.” Parman berkali-kali minta maaf atas kata-katanya. Dia ketakutan juga dengan ekpresi Nurdin yang keras karena terbawa emosi. Baru dia melihat Nurdin marah seperi itu. Dia tahu siapa Nurdin. Di rumah mereka, Nurdin selain paling berbody dia juga jago kungfu. Tidak ada seorangpun yang berani berhadapan dengannya. Walaupun sikap keseharian Nurdin memang tidak kasar. Tetapi, bukan tidak mungkin di saat seperti ini dia akan berubah. Parman membayangkan bila kepalan tangan Nurdin yang besar dan kekar itu jatuh ke mukanya. Tentunya kalau jatuh ke mukanya, pasti dia akan ‘berkunjung’ ke rumah sakit. Minimal, hidungnya akan berdarah.

“Ok aku maafkan. Tapi, bagaimana usulan kongkrit kamu?” kembali suara Nurdin tenang dan datar.
“Ya...menurutku, kamu juga harus punya komitmen”
“Maksud kamu?”
“Maksudku, ketegasan. Ketegasan dalam bertindak”
“Iya...tolong dijelaskan, agar aku tidak salah memahami”
“Disini kamu harus kuat dan bisa menahan hatimu. Jika memang selama satu atau dua bulan itu Sari belum menjawab. Anggap saja Sari itu memang sudah punya pacar. Agar kamu tidak memikirkan jawaban Sari terus. Dengan begitu menurutku lebih baik"
Terlihat Nurdin terdiam kembali. Cukup lama dia termenung. Tampak jelas gurat­an-guratan pada keningnya. Tangannya yang kekar memeras rambutnya yang gondrong.
“Ok lah Man...usulanmu aku terima. Aku akan coba menahan hasratku pada Sari. Aku akan biarkan saja seperti biasanya. Semoga ini jalan terbaik bagiku. Terima kasih atas usulannya Man. Memang terkadang sebuah keputusan pahit harus diambil untuk menghindari akibat keputusan yang lebih pahit” keputusan Nurdin itu menyudahi duduknya yang semenjak tadi menunggul di ruang tamu tanpa di temani segelas susu ataupun teh. Nurdin langsung angkat kaki dari depan Parman yang masih duduk.

“Eh, tunggu dulu Din, mau kemana?” Parman memanggil Nurdin yang meninggalkannya begitu saja.
“Mau ikut denganku? Ayo kalau mau ikut. Cepetan!!!”
“Emang kamu mau kemana?”
“Ke WC, setoran dulu, hehehehe...Sekalian wudlu”
“Ih,dasar...gue ketipu. Awas loe, gue balas nanti” Parman kesal, namun diapun gembira, karena dia berhasil menumbangkan kebisuan kawan dekatnya yang beberapa hari tegak kokoh menggunung.

“Barang siapa yang mencari kawan tanpa cela (kekurangan),
maka ia akan tinggal tanpa kawan”

Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 17 januari 2006





0 Comments:

Post a Comment

<< Home