Tuesday, January 31, 2006

Bidadariku, Kutunggu Jawabanmu

Seperti biasanya, kegitanku di tempat baru plus negara baru. Bagun pukul 4.45 sekedar untuk bersujud dan ‘meminta’. Sambil menunggu adzan shubuh aku baca quran, sekalian mengulang hapalanku yang pernah ku hapal ketika di Mesir. Pukul 5.45 terdengar adzan shubuh, yang setiap kudengar, pasti suaranya seperti itu terus dan tidak pernah berubah. Karena memang di Tunis ini ada istilah adzan sentral, adzan yang hanya dikumandangkan oleh radio pemerintah saja sehingga pengurus mesjid-mesjid lain cukup dengan mengarahkan micropon mesjid pada salon radio, maka terdengarlah adzan dengan suara dan waktu yang sama. Jadi, tidaklah heran kalau semua masjid yang kudengar, muadzin nya sama semua.

"By..by bangun, dah shubuh tuh" tanganku menggoyangkan badan Hasby, teman sekamarku yang masih tidur pulas, tubuhnya yang mengerut seperti kuuk (seekor hewan yang bisa mengerutkan tubuhnya menjadi pendek dan kecil) karena kedinginan. Maklum di Tunis sekarang lagi musim dingin, rasa dingin sangat tajam menembus kulit menusuk tulang.
"Hhmm jam berapa sih?" tanya Hasby tanpa bergeming sedikitpun dari selimutnya. Tetap seperti tadi, seluruh badannya tertutup selimut rapat.
"Udah adzan, udah jam 5.50, ayo berjamaah dulu !" ajakku lagi, kubuka selimut yang menutupi seluruh tubuh Hasby, laksana ulat keluar dari kepompong. Dengan mata masih terpejam dan langkah sempoyongan, Hasby pun bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, kemudian kami berjamaah.

***

"Wah pagi ini masak apa nih Din?, aromanya sampai tercium terbawa mimpi, sampe membangunkan ku" celetuk Ridlo yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku, dengan handuk di pundaknya.
"Biasa..Spageti bumbu merah" jawabku singkat, sambil tanganku tetap sibuk mengaduk bumbu (TBC : alias Tomat, Bawang, Cabe) spageti yang telah kurebus terlebih dahulu.
"Oh..sipp lah kalo gitu, yang enak yah !!" jawab Ridlo sambil tangannya iseng mengambil selembar spageti, dan memasukan ke mulutnya yang sudah dia buka lebar sebelumnya.
"Iya..udah sana sholat shubuh dulu, dibangunkan tidurnya kayak bangke aja, makanya klo nge-game jangan sampe larut malam, akibatnya gitu, ketinggalan berjamaah" suruhku lagi, kulemparkan senyumku, agar kata-kataku tidak menyinggungnya.
"Sorry deh, lain kali ngak deh" jawab Ridlo sambil masuk kamar mandi.

***

"Ayo nyarap-nyarap…By,Dlo,Di,Bal!" ajakku pada Hasby, Ridlo, Hamdi dan Iqbal. Aku tinggal serumah bersama 6 orang temanku. Rumah sewaanku terdiri dari 2 kamar yang lumayan besar, satu kamar diisi oleh 3 orang, dan yang satu kamarnya lagi diisi oleh empat orang, karena memang ukuran kamarnya lebih besar, aku sekamar dengan Hasby dan Iqbal.
"Ayo ah nyarap dulu" sambut Hasby sambil melangkah cepat menuju dapur, diikuti Ridlo dan Hamdi.
" Bal ngak makan?" tanyaku pada Iqbal, yang dari tadi kulihat masih duduk berselimut.
"Nantilah Fren… bentar lagi, masih dingin nih" jawabnya tanpa reaksi, dingin, sedingin udara pagi.
"Dikki dan Parman kemana Dlo?" tanyaku, karena dari tadi aku belum melihat mereka keluar dari kamar.
"Dikki tadi malam ngak pulang, katanya nginep di rumah Fudin, klo Parman masih tidur tuh, belum bangun" jawab Ridlo menjelaskan.
"Parman memang sudah kebiasaan gitu Din, sudah shubuh trus tidur lagi, masih istiqomah dengan kebiasaan Kaironya" timpal Iqbal sambil tertawa renyah tanpa beban.
"Ah si Parman aja yang gitu, ngak semua alumni Kairo gitu kok, buktinya Nurdin ngak gitu, bahkan dia bangun lebih dulu bahkan yang nyiapin sarapan kita, betul ngak By?" timpal Ridlo memujiku sekaligus menyanggah imeg bahwa alumni Kairo sering tidur pagi. Sebenarnya aku juga ingin mengatakan bahwa tak semua mahasiswa Kairo seperti yang dikatakan Iqbal, tapi hanya beberapa orang saja yang demikian, bisa dikatakan hanya berberapa oknum saja, tapi kuurungkan niatku tadi karena Ridlo sudah lebih dulu menyampaikan gerentes hatiku.
"Iya Dlo, pendapatku idem sama pendapatmu" komentar Hasby sambil menghabisi suap terakhirnya dan langsung ke dapur.
"Udahh…Iqbal kan hanya bercanda, gitu aja kok repot" Hamdi mencoba menstabilkan suasana yang mendadak sedikit jadi tegang, sambil mengadopsi kata-kata Gusdur, kontan kamipun tertawa.
"Kuliah jam berapa Bal?" pertanyaanku membuat wajah Iqbal yang tadi seperti tertekan, kontan berubah santai.
"Jam sepuluh, kamu?"
"Aku sebentar lagi, jam delapan"
"Madah (Mata Kuliah) apa Din?"
"Pemikiran Kontemperer" jawabku sambil menyiapkan buku, pensil dan langsung kumasukkan kedalam tas gendong kecilku yang mungil. Tas kecil ini dapat mengingatkanku kepada perjalanan religius sekaligus dapat mengingatkanku ketika aku menjadi ‘pembantu’ Para Tamu Allah. Tas ini kubeli di Saudi Arabia ketika aku diberikan kesempatan untuk Temus tahun 2004 satu tahun yang lalu.
"Ayo semuanya, pamit dulu nih, mau kuli….ah dulu, Assalamu’alaikum" pamitku pada teman-temanku, tanpa menunggu jawaban mereka atas salamku, aku langsung tutup pintu.

***

"Ayo masuk! Dosennya sudah datang" ajak Muaz teman sekelasku. Dia orang Tunis asli, selain orangnya ganteng, baik lagi. Aku sering melihat catatan dia, karena dia menulis lebih cepat dariku, walaupun begitu kalo tulisannya sih masih bagus tulisanku hehe.. Fakta ini Muaz sendiri yang bilang padaku pada suatu hari, sambil melihat tulisanku dia berkata: "Tulisanmu bagus, kamu kalighrafer yah?" katanya dengan Bahasa Arab Fushah, karena dia sudah tahu, kalau aku belum tahu banyak bahasa arab Amiyah Tunis.

"Beh" jawabku singkat, sambil membuntuti Muaz yang lebih dulu angkat kaki menuju ruangan. Beh bahasa ‘amiyyah nya Tunis yang artinya Ok, Masyi kalo di Mesir.

***

"Daar…dalem bangaaat yang lagi ngelamun, mikirin siapa sih? Pasti mikirin yang di Mesir ya? Sari Siti Sholehah, iya kan?" tiba-tiba saja suara itu membubarkan sederet lamunanku, membuyarkan segerombolan imajinasiku, kulihat Parman dengan senyum nya yang khas sudah berdiri di sampingku.
"Ah kamu Man, kalo masuk jangan main slonong boy aja dong, salam dulu kek, ngagetin orang aja" kritikku dengan nada sedikit kesal.
"Afwan Din, aku lupa salam, lagian anteng banget ngelamunya. Si Sari pasti suka sama Ente, jangan terlalu dilamunkan" Parman i’tidzar sambil duduk disampingku.
"Eh...jangan sok tahu pikiran orang yah? Siapa lagi yang melamun, aku lagi mikirin masa depanku" apologiku, sambil kubalikkan badanku menghadap Parman yang baru saja duduk.
"Jangan boong ah, pake mungkir segala, boong itu dosa tahu" Parman berdalih sambil tangannya mengambil buku "Kiat Menjadi Suami Idaman" yang tadi telah kubaca sebagian. Memang aku akui, tadi aku sedang teringat pada Sari Siti Sholehah, gadis sunda yang ayu, cantik, pintar dan baik, sesuai dengan namanya dia juga Sholehah, yang beberapa hari menjelang kepergianku ke Tunis aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, bahwa aku menyukai dan menyanginya, walaupun dengan perasaan berat dan terasa lidahku mendadak kelu waktu itu, akhirnya aku berhasil mengungkapkan perasaanku, namun dia belum jawab pertanyaanku, katanya sih dia belum bisa jawab sekarang, karena dia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menjawab dulu ‘masalah’ seperti ini. Dan tadi aku melamun, mencoba menerka, kapan jawaban itu akan kudapat. Aku nggak mau Parman mengetahui, bahwa aku sudah mengungkapkan perasaan ku pada Sari, walaupun dia kenal Sari, karena diapun pernah di Kairo.
"Aku ngak boong, tapi benar-benar tadi itu aku sedang memikirkan masa depanku" jelasku sambil mengulurkan tanganku untuk mengambil roti coklat yang terletak di meja belajarku, yang tak jauh dari tempat tidurku yang kududuki. Dalam hatiku berkata: "yang dimaksud memikirkan masa depanku itu, memikirkan calon istriku, yaitu Sari, inikan hanya cita-cita dan keinginanku, aku pikir tidak ada salahnya kalau aku berkeinginan seperti itu, adapun bila takdir Allah tidak berpihak padaku sehingga Sari tidak suka padaku, itu urusan lain. Iya nggak pembaca?
"Ya udah terserah deh, yang penting pesananku harus ada, ayo mana?" jawab Parman sambil menegadahkan tangan kanannya, bak seorang peminta-minta di pinggir jalan.
"Oh ya, untung aku ingat, padahal tadi hampir kelupaan, bentar ya..aku ambil dulu" aku berdiri untuk mengambil kartu (pulsa) Tunisiana pesanan Parman, yang kubeli tadi sambil lewat pulang kuliah.
"Nih kartunya"
Tangan Parman menyambar kartu dari tanganku, dalam hitungan detik, kartu Tunisianapun sudah pindah ketangannya.
"Merci ya Din"

***

Hari yang dinginpun telah berubah menjadi gelap, tanda Sang Malam telah datang menggantikan tugas Sang Siang. Membuat udara semakin dingin. Kulit dan tulang terasa laksana ditusuk oleh jarum-jarum salju yang sangat tajam. Membuat setiap orang lebih memilih berselimut tebal di tempat tidur dari pada keluar rumah, tidak heran kalo di jalan-jalanpun sepi, tak terlihat ada orang yang berkeliaran.
Setelah shalat isya akupun hanya diam di kamar dengan memakai jaket tebal, memindahkan catatan pelajaran kuliah yang tadi siang, agar terlihat lebih rapih. Ternyata kuliah di Universitas Az-Zaytuna-Tunis aku harus bisa menulis dengan cepat dan jeli pendengaran, karena hampir setiap Dosen, mendiktekkan pelajarannya. Berbeda dengan di Al-Azhar-Kairo, Dosen yang mengarang kitab (mukorror), sehingga ketika muhadharah, mahasiswa hanya mendengarkan penerangan mukorror tersebut dari Dosen, hanya sekali-kali saja mencatat bila ada yang penting, itupun kalo keluar dari mukorror tersebut.
Pukul 22.00 mataku sudah lima watt, aku tak kuat menahan Sang Kantuk yang sudah mulai menggelantungi bibir mataku, dia datang lebih cepat, biasanya dia datang pukul 23.00, mungkin karena siang tadi aku terlalu capek; masak, kuliah dan belanja serta mencuci, akhirnya akupun harus menyerah pada Sang Kantuk sebelum habis jadwal waktu belajarku. Setelah kututup dan ku bereskan buku-buku, ku baringkan tubuhku diatas kasur yang sudah di desain hanya untuk seorang, yang lumayan empuk.
"Bismillahirrohmanirrohim, Bismikallahumma ahya wa bismika amut, Ashadu aallah ilaha illallah waashadu anna muhammadarrasulullah, la haula wala quwwata illah billah". Kubaca juga surat Al-Falaq dan An-Nas serta al-Ikhlash, ku akhiri dengan membaca ayat kursi. "Allahula ilaha illah huwal hayyul qoyyum…

***

"Hah..dimana ini, kayaknya aku pernah kesini" gumamku dalam hati. Kulihat ke belakangku, tampak plang metro anfaq (kereta bawah tanah) bertuliskan Buhust.
"oh iya, ini mahattah metro anfaq, mahattah buhust" gumamku lagi. Kulihat didepanku ada wartel kemudian sebelah kanannya terdapat toko Hp.
"Oh iya, ini Dokki" hatiku gembira, karena aku sekarang tidak bingung lagi, sekarang aku sudah ingat betul. Aku berada di Dokki. Kalo gitu aku langsung ke rumah Pak Subhan saja. Kulangkahkan kaki dengan pasti menuju rumah Pak Subhan.
"Teet…teet…teet" bel yang berada di bawah rumah Teh Tia (istrinya Pak Subhan) ku pijit tiga kali.
"Din?". Kuarahkan mataku keatas, menengok pada sumber suara yang tadi memanggilku. Kulihat kepala Teh Tia yang nongol dari atas jendela.
"Iya Teh" jawabku, sambil bersiap-siap mererima kunci gerbang yang akan dilemparkan Teteh ke arahku. Teteh panggilan sunda yang bisa berarti Kakak atau Tante/Mbak (kalo dijawa). Ku memanggil Teh Tia dengan sebutan Teteh, karena dia sudah menganggapku sebagai adik, dan akupun sudah merasa bagian dari keluarganya. Setelah ku terima kunci, akupun membuka gerbang dengan mudah.
"Assalamu’alaikum"
"Wa’alaikumussalam, kapan pulang Din?" sambut Teteh dengan raut muka yang gembira.
"Kemarin Teh"
"Eh Nurdin, gimana kabarnya Din? Tanya Pak Subhan yang baru saja keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, diikuti Yusuf dan Asti, putra dan putri Pak Subhan.
"Alhamdulillah sehat Pak".
"Eh Om Nurdin datang" teriak Asti sambil tak segan-segan lagi merangkulku.
"Eh…Eneng, pha kabar Neng? " sambutku, sambil langsung kugendong anak kecil yang baru kelas 2 SD ini. Dia masih seperti dulu, ketika aku masih di Kairo, jika aku main ke rumahnya, pasti manja kepadaku. Begitu juga dengan kakaknya yang baru kelas 5 SD, Yusuf, dia sangat senang kalo ada aku, karena ada yang nemenin dia main FS2, walaupun aku tidak pernah menang klo main PS2 berlawanan sama dia, meskipun demikian aku senang bila bermain dengan dia, kadang dapat menghilangkan kepenatan pikiranku dikarenakan belajar, atau ada masalah lain, yang tanpa diundang datang menerpaku.
"Mau kemana Pak, kayak mau keluar?" tanyaku, sambil ku duduk dikursi yang susunannya masih seperti dulu hanya warnanya sedikit berubah, sekarang warna hijau itu sudah terlihat pudar. Pantas saja, karena bangku dan semua ciptaan Allah hanyalah sebuah benda, hanya sebatas makhlukNya yang semuanya tidak akan ada yang kekal abadi, seperti halnya wajah cantik, dia akan berubah termakan usia. Ku dudukkan Asti dipangkuanku, karena dia nggak mau turun dari pangkuanku, masih kangen kali yah…
"Kita mau ke Wonder Land, Ucup dan Asti ingin kesana" jawab Pak Subhan menjelaskan.
"Ikut aja Din, sekalian kita makan di luar, Teteh ingin menjamu Orang Tunis" ajak Teteh sambil tersenyum, meyakinkanku untuk ikut.
"Iya Om ikut aja, nanti main mobil-mobilan sama Ucup"
"Iya Om, aku takut kalo main mobil-mobilan sendirian, temenin aku ya? " rajuk Asti, membuat aku tidak kuasa untuk menolak. Tangannya yang lucu, membenarkan kerah bajuku, yang tidak rapi karena memang nggak ku setrika. Memang kadang aku suka berpikir praktis terhadap penampilan: belum punya beubereuh ini, ngak perlu terlalu rapi.
"Iya Pak saya ikut deh"
"Asyiik Om Nurdin ikut" Asti dan Yusuf serempak berteriak menggambarkan kegembiraannya akan keikut-sertaanku.
"Ayo siap-siap dong semuanya". Ajak Teteh pada semuanya.

***

"Hah apa aku ngak salah lihat, kok si Parman ada disini, lagi ngapain? " hatiku bertanya kaget, ku dekati pemuda yang duduk di kursi panjang dengan pandangannya yang terfokus ke zona mobil-mobilan yang saat itu dipenuhi oleh anak-anak. Tampak jelas pemuda itu adalah Parman, teman serumahku di Tunis.
"Man kok ada disini, ngapain kamu?" tanyaku sambil duduk disampingnya.
"Eh kamu Din, kamu yang ngapain disini?" Parman balik bertanya, terlihat wajahnya kaget melihat kedatanganku.
"Aku tadi ikut Pak Subhan, tapi aku ngak tahu, kemana mereka sekarang. Kamu ngapain?" jelasku sambil balik bertanya lagi.
"Refreshing nih, aku lagi pusing Frend, BT di rumah terus". Aku tambah kaget dan ngak mengerti mendengar jawaban Parman seperti itu, kok BT aja sampe berada disini (Mesir), jauh sekali refreshingnya. Belum hilang rasa kagetku Parman mengajakku main mobil-mobilan.
"Eh…kita naik mobil-mobilan yuk" ajak Parman sambil berdiri, tanpa menunggu persetujuanku dia menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikuti tarikan tangannya.
"Tunggu disini sebentar Din, aku beli karcis dulu" jelas Parman sambil pergi menuju loket.
Aku hanya bisa anggukan kepalaku sebagai isyarat persetujuanku, sambil berdiri menunggu karcis yang lagi dibeli Parman, ku lemparkan pandanganku ke sebuah KFC yang tidak jauh dari tempat berdiriku.
"Hah…Sari, apakah mataku salah melihat, astaghfirullah" gumamku setengah tak sadar, karena mataku jelas melihat Sari bersama keluarga Pak Subhan.
"Heh…disuruh menunggu malah melamun, nih karcisnya" ucapan Parman seakan-akan menyadarkanku.
"Man lihat tuh, apakah aku ngak salah lihat?"
"Lihat apa?"
"Itu di dekat KFC" jawabku sambil kutunjukkan lurus telunjukku ke arah Sari dan keluarga Pak Subhan berada.
"Oh itu, kenapa? "
"Apa yang kamu lihat Man" tanyaku lagi penuh penasaran.
"Iya itu…bukankah itu bidadarimu?"
"Iya siapa?" desakku lagi ingin yakin.
"Iya siapa lagi kalau bukan Sari" jawaban Parman pasti, dengan diiringi tawa yang ditahan, karena takut terdengar oleh Sari dan kaluarga Pak Subhan, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri.
Wah kalo gitu aku yakin sekarang, aku ngak salah lihat, yang ada bersama Pak Subhan dan keluarganya itu adalah Sari, Sari Siti Sholehah, wanita yang menjadi dambaanku saat ini, entah esok hari atau lusa nanti, aku tak tahu, karena hati dan jiwaku bukan milikku. Memang kuakui, selama ini aku sedang menunggu jawaban dia atas pernyataan hatiku dulu, yang telah ku ungkapkan pada hari-hari terakhirku menjelang keberangkatanku ke Tunis, sebenarnya aku ingin menanyakan lagi tentang jawaban itu, namun aku khawatir bila aku terus tanyakan lagi, dia merasa tidak nyaman dan mengganggu pikirannya, biarlah waktu yang akan menjawab, ataupun Sari sendiri yang menjawab tanpa adanya pertanyaan dariku lagi. Toh dia sudah berjanji padaku untuk menjawabnya, aku yakin akan janjinya, pasti dia akan tepati.
"Cepat samperin Din, kalau kamu memang suka dia, ungkapkan perasaan hatimu sekarang, ini kesempatan baik Din, Sari memang menurutku juga cantik kok, kamu tidak salah pilih" usul Parman padaku.
Memang kali ini terlihat jelas olehku wajah Sari yang cantik, lembut dan semyumnya yang berseri, karena kali ini dia nggak pake cadar, akupun ngak tahu dan sedikit heran, sejak kapan dia sudah melepas cadarnya.
"Iya nih, aku ingin menghampirinya, antar aku yuk!" ajakku pada Parman.
"Oke deh, demi setia kawan, aku cancel dulu naik bombongkarnya" sambut Parman tanpa tersirat penyesalan di raut wajahnya karena tidak jadi naik mobil-mobilan. Memang teman-temanku semuanya baik padaku, mereka semuanya sangat pengertian dan setia kawan, tak terkecuali Parman.
Akupun mendekatinya.
"Eh kakak, apa kabar Kak?" tanya Sari sambil tersenyum indah saat kuhampiri. Senyuman manis yang terukir diraut wajahnya yang berseri, membuat hatiku semakin yakin dengan pilihanku; dia cantik, ramah, dia juga pintar dan baik.
"Eeu..alhamdulillah sehat" jawabku dengan nada sedikit gemetar. Maklum GR ;-)

"Hah...kemana si Parman yang tadi mengantarku, kok aku hanya berdua dengan Sari begini, kemana Pak Subhan yang tadi bersama Sari" gumamku dalam hati penuh misteri. Aku sangat kaget ketika kudapati aku hanya berdua dengan Sari. Keadaan ini sangat aneh dan terasa janggal olehku, dari sejak pertama kali aku melihat Parman yang berada disini, cukup membuatku tercengang kemudian dia mendadak menghilang, ditambah lagi sekarang, tiba-tiba saja aku menjadi berdua sama Sari.

"Kakak..., Sari sudah pikirkan dan pertimbangkan tentang jawaban itu" tiba-tiba saja suara Sari yang berdiri sekitar satu meter di depanku, menyadarkan ku yang masih kaget dengan keadaan yang kualami sekarang, suara Sari yang lembut laksana air sejuk yang dipercikkan ke wajahku. Menyadarkanku.
"Oh i..iya…jadi gimana? " ucapku spontan.
"Terus terang saja, nama Kakak sudah mendapatkan tempat istimewa di hati Sari, nama kakak sudah terlukis indah di sanubari Sari, tidak ada nama lain lagi di hati ini selain nama Kakak, sekang Sari sudah benar-benar yakin dengan pilihan Sari" dengan lantang dan tegas, penuh kemantapan, ku dengar Sari membeberkan isi hatinya, membuat aku terkaget-kaget dengan tutur katanya yang lancar dan tegas. Tidak seperti biasanya yang pemalu. Terasa ada hawa sejuk yang menyusup ke pendengaranku kemudian hawa itu mengalir ke dalam relung hatiku. Membuat sekujur tubuhku terasa ringan dan melayang. Terbang...

"He Was Muhammaaad Sholallahu ‘alaihi Wasallaaam... " lambat laun terdengar olehku El-Muallim yang dinyanyikan Samy Yusuf. Lama-lama suara itu lebih keras terdengar dekat telingaku, tanganku merayap-merayap mencari sumber suara. Ah ternyata itu suara nokia 6600ku, suara beker Nokiaku, membangunkanku untuk ‘bersujud’.

“Astaghfirullah…ternyata aku hanya bermimpi, pantas saja banyak yang aneh dan janggal yang ku alami, banyak yang nggak nyambung, ternyata hanya mimpi. Ya Allah…seandainya jawaban itu nyata adanya, betapa senang dan gembiranya hatiku, aku akan setia selamanya. Dengan izinMu, kan kujadikan dia pertama dan terakhir bagiku. Bidadariku, kutunggu jawabanmu”.

Kumatikan Beker HP Nokiaku yang telah ku setting 4.45, agar setiap hari berbunyi, membangunkanku untuk bersujud pada Rabbku yang Maha Rahman dan Maha Rohim. Ya Allah aku bermimpi seperti nyata. Aku memimpikannya. Aku memang mencintainya. Ya Allah...semoga cintaku pada makhlukMu tidak mengalahkan cintaku padaMu. Jika dia memang pilihanMu untukku, biarkanlah rasa cinta dan sayang di hatiku tetap bersemi, namun jika dia bukan pilihanMu, hilangkanlah cintaku yang melekat di sanubariku padanya.

Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 6 Desember 2005

0 Comments:

Post a Comment

<< Home