Sunday, April 16, 2006

Aku Bukan yang Pertama

Jangan dulu negatif thinking ketika membaca judul diatas. Di sini aku hanya akan cerita tentang (intinya) sebutan ‘’neng’’ dan ‘’panggilan khusus’’ aja. Bukan untuk cerita yang tidak-tidak, apalagi yang macam-macam. Hhmm…

Neng adalah panggilan (biasanya) yang diperuntukkan bagi cewek sunda (cesun). Tentunya cesun yang masih remaja alias mojang. Tak mungkin memanggil nenek sunda dengan panggilan tadi, neng. Karena akan lucu dan bermasalah nantinya. Masih beruntung jika tidak didamprat atau ditampar oleh nenek tadi. Karena bila panggilan “neng” diberikan kepada nenek-nenek, bisa berarti hinaan, bukan lagi pujian.

Bagiku (saat ini) panggilan ‘’neng’’ bukan hanya panggilan untuk cesun (cewek sunda), tapi lebih dari itu. Panggilan ‘’neng’’ (bagiku) adalah ‘’panggilan’’ sayang. Aku juga tidak sembarangan memberikan panggilan itu pada setiap mojang
.

‘’Neng Asti’’ sebutanku kepada putrinya Teteh (baca, I Miss You). Karena aku menyayanginya, merasa seperti sebagai adikku sendiri. ‘’Neng’’ kusematkan pada awal nama Asti sebagai tanda sayangku padanya. Tanda deudeuh dan nyaahku padanya.

Kuulangi lagi. Kata “neng” tidak akan kuberikan kepada setiap mojang dan kepada sembarang cesun. Aku akan berikan hanya kepada wanita yang aku sayangi saja. Tidak kepada selainnya. Bisa dikatakan, panggilan “neng” dariku adalah panggilan istimewa. Sangat istimewa. Keistimewaannya melebihi piala Adipura atau Nobel sekalipun. Hebat kan? Juga tentunya, mojang yang mendapatkan sebutan “neng” dariku, berarti mojang itu sangat istimewa. Melebihi Evi Tamala atau Lady Diana sekalipun.

Selain Asti, dialah orangnya, mojang yang aku bubuhkan panggilan ‘’neng’’. Panggilan khususku (kesayangan). Bedanya, sayangku padanya melebihi Asti. Bukan hanya perasaan sayangku terhadap adik, namun lebih dari itu. Semula kukira, selain orangtua dan kerabatnya, hanya akulah orang yang memanggilnya demikian. Akulah jajaka pertama yang memanggilnya begitu. Tapi, ternyata tidak demikian kenyataannya. Sudah ada jajaka lain (bahkan lebih dari seorang) yang se-ide denganku memanggilnya dengan sebutan ‘’neng’’. Aku bukan yang pertama. Aku juga jadi (bertambah) malu. Apakah aku juga bukan jajaka pertama yang menerima cintanya? Wallahu a’lam.

Jadi, aku tidak berbeda dengan jajaka lain kalau begitu, dengan kata lain aku sama dengan mereka. Tak ada yang istimewa baginya. Bahkan panggilan yang kuinginkan juga sudah diberikannya kepada jajaka lain. Sudah dibubuhkannya pada nama lain. Terdengar begitu enak dan renyahnya dia sebut sebuah (bahkan dua buah) nama dengan panggilan itu, bahkan tanpa beban dan sangat bersahabat dengan lisannya. Apakah dia tidak tahu bahwa aku sangat cemburu pada mereka berdua? Anehnya, panggilan itu enggan dia berikan padaku. Dia enggan memanggil dengan sebutan itu padaku. Padahal aku (katakan saja) kekasihnya, dia juga tahu dengan pasti aku menginginkan panggilan itu. Ya, mungkin dia punya paradigma lain dengan yang aku pikirkan sekarang. Teu sawios lah, moal maksa.

Feelingku mengatakan, meskipun panggilan ‘’neng’’ adalah panggilan istimewa bagiku, namun ternyata tidak istimewa lagi baginya. Terlebih lagi, diapun tidak mau (-mungkin- belum) ‘’mengakui’’ panggilan itu untukku, apalagi memanggilku dengan panggilan yang aku inginkan itu. Ya, memang tidak semua yang ku inginkan akan terkabul. Bahkan kadang hal yang sepelepun tidak dapat terwujud. Seperti panggilan tadi. Eh, sepele mungkin hanya bagiku, tapi tidak baginya. Sorry, kalau aku terlalu menyepelekan hal yang dianggapnya tidak sepele.

Tidak ada maksud lain dari coretanku sekarang selain hanya untuk curhat di buku diaryku ini. Curhat pada lembaran buku –terkadang- lebih aman dan lebih bersahabat. Karena dia (buku) tidak akan memaki apalagi menyalahkanku. Lembaran ini juga tidak akan menolak apa (saja) yang aku tuliskan (baca: inginkan), dengan kata lain, dia selalu menuruti dan menerima keinginanku (coretanku). Tanpa alasan dan komentar sedikitpun.

Selain itu juga, karena kalau aku curhat kepadanya (masalah panggilan dan ingin dipanggil olehnya dengan yang aku inginkan), malu juga rasanya, maklum lah, aku pemalu. Pemalu ya pemalu alias
ageung kaisin hehe…

Semoga seiring perjalanan waktu dan berdesirnya angin zaman, dia juga mau ‘’mengakui’’ panggilanku dan menyematkan ‘’panggilan khusus’’ padaku, panggilan yang ku inginkan itu. Pertanyannya, kenapa sih aku memanggil dan ingin dipanggil dengan panggilan khusus? Apa panggilan yang ku inginkan itu?

Jawaban pertanyaan pertama. Karena aku ingin memanggilnya seperti Rosulullah memanggil kekasihnya dengan panggilan khusus, yâ humairoh. Kalau analogi ini terlalu berlebihan, jawabanku yang lain adalah, karena rasa sayangku terasa bertambah setiap kali aku memanggilnya dengan panggilan khusus ini, juga rasa banggapun menyertai hatiku, meskipun (sekarang) tidak sebangga dulu (sebelum tahu). Namun tetap rasa bangga itu masih ada. Wâlâkin, mungkin panggilan ‘’neng’’ ini akan sirna juga dari bibirku, bila –seandainya- dia tetap tidak mau ‘’mengakui’’nya. Pepatah bilang, aku sudah bernyanyi tapi kenapa kamu tak juga mau menari. Terlalu mudah diresapi bila ku sendiri yang mengartikan­nya.

Aku ingin dipanggilnya dengan panggilan khusus, karena aku juga punya rasa ingin ‘’dikhususkan’’ olehnya (lebih jauhnya ingin diperhatikan olehnya). Dibedakan dengan kebanyakan jajaka lain. Mungkin tak ada jalan lain untuk membedakanku (dari segi panggilan) dengan mereka kecuali mengabulkan permintaanku tadi, menerima ‘’panggilanku’’ dan memanggilku dengan panggilan khusus yang kuinginkan. Kalaulah memang dia menganggapku ‘’berbeda’’ dengan jajaka lain, menganggapku tidak seperti teman-temannya yang lain, keinginanku ini tidak berlebihan ku rasa. Dan juga, bila saja dia ‘’mengakui’’ panggilanku dan juga memanggilku dengan sebutan khusus, aku pasti merasakan pertalian bathin dan ‘’ke-satu rasa-an’’ seutuhnya. Aku juga (pasti) akan merasa seorang jajaka yang diistimewa­kannya. Jajaka yang dibedakannya dari sekian banyak jajaka di muka bumi ini.

Aku cukupkan sekian coretan ini. Aku takut terlalu berlebihan hingga terkesan pemaksaan dan pengemisan. Jhony Iskandar pernah bilang dalam syairnya, aku bukan pengemis cinta, maksudnya? Tau ah gelap hehe…

Jawaban yang kedua atas pertanyaan, apa panggilan yang ku inginkan itu? Jawabannya, apa ayo? hehe…The End

"Love and a cough cannot be hidden"
(Cinta dan bentuk tidak dapat disembunyikan)

Bidûni Ta’lîq

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@13 April 2006

1 Comments:

At 4:50 AM, March 27, 2019, Blogger Unknown said...

warna tulisannya bikin sakit mata, silau bgt hampir ga keliatan

 

Post a Comment

<< Home