KEPEKAAN SOSIAL DALAM ISLAM
Mencermati fenomena tanah air akhir-akhir ini, dimana banyak terjadi musibah yang menimpa masyarakatnya. Musibah tsunami yang mengguncang dunia, menewaskan ratusan ribu nyawa manusia, seakan baru lengser dari ingatan kita, sudah datang musibah lain yang meresahkan masyarakat, busung lapar, demam berdaraah dan flu burung. Semua kejadian tersebut akan memaksa seorang yang memperhatikannya dengan “hati” untuk bertanya -sebagaimana saya pernah menanyakan pertanyaan itu-, kenapa musibah itu terjadi? Apakah mereka (orang-orang yang terkena tsunami) orang-orang yang “mukmin”?
Allah menghancurkan sebuah komunitas hamba-Nya tidak mesti harus hamba yang “tidak beriman” kepada-Nya, jika demikian, tentu tidak akan terjadi bencana pada orang-orang mukmin. Namun, -dengan keadilan-Nya- Allah menimpakan bencana kepada seluruh manusia. [Qs. Al-Anfal: 25] Yang membedakan, apakah bencana tersebut merupakan “ujian, azab ataukah teguran”.
Bencana yang menimpa seorang mukmin lebih bersifat ujian baginya. Apakah dengan ujian tersebut dia akan tetap beriman atau akan lupa kepada Yang Memberi bencana, dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan dirinya keluar dari koridor norma islam; berputus asa dan menganggap Allah tidak adil.
Sebagai bentuk kepekaan sosial, setelah kejadian tsunami dua tahun yang lalu, negara kita, indonesia, “kebanjian” bantuan dari manca negara. Milyaran bantuanpun “menghujani” Aceh yang telah diluluh lantakan Tsunami 2004.
Anjuran kepekaan sosial ini sebenarnya sudah sejak lama ada pada ajaran agama kita yang sempurna, islam. Karena islam sendiri merupakan agama yang diturunkan di tengah-tengah masyararat sosial dan ajarannya bukan hanya untuk segelintir komunitas saja, melainkan untuk seluruh alam -universal menurut epistemologi modern. Universalitas ajaran islam ini tidak terbatas kepada seluruh manusia, melainkan menembus alam metafisika yang ghaib, merambah alam para Jin.
Islam sendiri merupakan agama sosial. Banyak doktrin-doktrin agama yang menganjurkan umatnya untuk peka terhadap lingkungan sosial. Islam mengumpakan antara satu sama lain bagaikan satu tubuh, jika salah
seorang diantara mereka sakit, maka yang lainnya pun merasakan sakit yang sama. Perumpaan tubuh; jika kaki yang tersandung, spontan mulut mengaduh, tangan segera membelai, matapun mengucurkan air mata. Begitulah hendaknya muslim yang ideal.
Seandainya setiap orang mukmin mengingat saudara-saudaranya yang seiman dan setanah air serta mencurahkan perhatian kepada mereka dan menjalin hubungan dan kerjasama dengan mereka, mencintai kebaikan yang dirasakan oleh mereka dan membenci keburukan yang menimpanya mereka, maka hal tersebut sebagai penerapan dari firman Allah: “sesungguhnya orang orang mukmin itu bersaudara” (Qs. Al-Hujurat: 10). Dan pelaksanaan dari sabda Rasulullah: “perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan citna sesama mereka adalah seperti tubuh yang satu. Jika ada salah satu tubuh yang mengaduh dan merasa sakit, maka sakitlah seluruh tubuh yang lain. Beliau juga bersabda dalam hadits lain: “barangsiapa yang tidak memperdulikan urusan kaum Muslim maka ia bukan termasuk golongan mereka.”
Di antara doktrin-doktrin islam yang memprovokasi umatnya untuk peka terhadap sosial masyarakat dan lingkungan, yang bersifat wajib bagi pemeluknya (yang mampu), di antaranya zakat.
Eksistensi zakat dalam islam sebuah bentuk kepekaan islam terhadap sosial. Betapa tidak, zakat (mengeluarkan sebagian harta sesuai dengan ketentuan tertentu) dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak (mustahiq) sebagai upaya pemerataan kesenjangan sosial yang bersifat materil. Fakir miskin yang kehidupannya tidak menentu dan serba kekurangan, diberikan legalitas oleh islam sebagai salah satu yang berhak menerima “sumbangan.”
Selain zakat, infak dan sedekah juga merupakan ajaran islam yang dianjurkan, memberikan sumbangan sebagai bentuk bantuan sosial sekaligus refleksi dari ajaran yang Rasulullah ajarkan.
Rasulullah telah bersabda: “Sedekah itu akan menolak bencana.” Dalam hadits lain, yang maknanya: “mintalah kesembuhan dan berobatlah kalian dengan ber¬sedekah.”
Contoh kepekaan sosial di atas dapat kita simpulkan bahwa, aktivitas kongkrit dari bentuk kepekaan sosial akan berimplementasi berbentuk perhatian, yang akan melahirkan rasa saling merasakan, selanjutnya akan menggugah hati untuk memberikan bantuan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan melepaskan dari padanya satu kesusahan dari kesusahan Hari Kiamat. Dan barang siapa yang menolong yang sedang menderita kesukaran (kesusahan), pasti Alah akan menolongnya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutupi malu (aib) orang muslim, pasti Allah akan menutupi malunya (kejelekan) di dunia dan di akherat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Tolong menolong (ta’awun) terhadap sesama -muslim khususnya- merupakan ajaran agama yang dianjurkan untuk dilaksanakan. Ada pepatah arab yang berbunyi, “yaddun wahid la tushoffiq” (tidak dapat bertepuk dengan sebelah tangan), kalimat ini bisa kita interpretasikan lebih jauh, bahwa, betapa pentingnya kebersamaan dan tolong menolong, karena manusia merupakan makluk sosial “mengharuskan” untuk hidup saling berdampingan. Seseorang tidak dapat mencapai yang diinginkannya tanpa adanya bantuan dari orng lain, sebagaimana halnya sebelah tangan yang tidak dapat bertepuk kecuali dengan bantuan tangan yang lainnya.
Kepekaan sosial yang diimplementasikan dengan saling menolong, merupakan hal yang bersifat “mesti”. Tanpa adanya saling tolong menolong diantara manusia dalam kehidupannya tentu mereka tidak akan bisa merasakan ketikmatan hidup di dunia, seperti makan, minum, berpakaian dan bertempat tinggal. Sebagai contoh sederhana, ketika kita makan (nasi), nasi yang berada dihadapan kita itu merupakan hasil proses dari kesungguhan “banyak tangan” dan telah melewati beberapa proses yang lama dan panjang, dimulai dari kesungguhan petani dalam menanam, memelihara hingga sampai waktunya untuk memanen. Kemudian padi yang telah dipanen pindah ketangan lain untuk digiling dan menjadi beras, kemudian dipasarkan dan akhirnya sampai kepada kita.
Allah berfirman: “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Qs. Al-maidah: 2)
Dari ayat di atas kita juga dapat melihat bahwa ada dua bentuk at-ta’awun (tolong menolong); satu, ta’awun yang dianjurkan, yaitu segala bentuk tolong-menolong dalam bentuk kebaikan yang memberikan manfaat bagi individu dan kolektif (masyarakat). Dua, ta’awun yang ditolak (dilarang), yaitu segala bentuk tolong-menolong pada ranah dosa dan kemaksiatan.
Akan tetapi, (maaf) meskipun semua masyarakat menyadari dan memahi ajaran islam, dalam hal ini pentingnya tolong-menolong, namun masih banyak di antara umat islam sendiri tidak merealisasikannya dalam aktivitas keseharian, sifat egoisme dan hanya mementingkan diri sendiri lebih mendominasi kepribadian¬nya.
Tolong menolong yang seyogyanya terjadi antara personal, juga semestinya terjadi antar masyarakat dan negara. Dunia islam -khususnya Bangsa Arab- meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah (seperti minyak, gas alam, dll.), akan tetapi mereka lemah dan fakir dalam hal pendidikan, produksi, science, teknologi, militer dan sebagainya. Sifat egoisme dan ke-aku-anlah penyebab dari semua kelemahan ini, di samping kesadaran pemahan mereka bahwa tolong menolong dan persatuan di antara mereka bisa menjamin timbulnya kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh, yang akan membuat “umat lain” menghormati dan mendengarkan sudut pandang dan wacana yang dilontarkan serta akan mengabulkan permintaan dan keinginan umat muslim.
Akibat hilangnya faktor ta’awun pada tatanan Dunia Islam -Arab khususnya- menyebabkan apa yang kita saksikan sekarang di Palestina. Tidak adanya “bantuan” dari negara-negara islam, merupakan salah satu kelemahan dan ketidakmampuan Negara Arab dan Negara Islam secara umum, yang seolah keadaannya bagaikan orang sakit, yang mengetahui penyebabnya dan sekaligus obat untuk menyembuhkan penyakitnya, namun mereka tidak memiliki keinginan untuk mengulurkan tangan, mengambil obat tersebut. Obat ini berbentuk ta’awun (tolong-menolong), koordinasi dan kebersamaan antara negara dan masyarakatnya. Umat islam sekrang bagaikan buih di atas lautan, yang jumlahnya banyak, namun apalah arti kekuatan buih. Sebagaimana yang disenyalir Rosulullah dalam salah satu kalam mulianya.
‘’Akan datang, suatu masa di mana umat islam itu sangat banyak namun mereka bagikan buih di lautan’’
Wallahu a’lam bishowab
Ulpa® Buat Bulletin IKRAR PPI-Tunisia, edisi Maret 2006
Allah menghancurkan sebuah komunitas hamba-Nya tidak mesti harus hamba yang “tidak beriman” kepada-Nya, jika demikian, tentu tidak akan terjadi bencana pada orang-orang mukmin. Namun, -dengan keadilan-Nya- Allah menimpakan bencana kepada seluruh manusia. [Qs. Al-Anfal: 25] Yang membedakan, apakah bencana tersebut merupakan “ujian, azab ataukah teguran”.
Bencana yang menimpa seorang mukmin lebih bersifat ujian baginya. Apakah dengan ujian tersebut dia akan tetap beriman atau akan lupa kepada Yang Memberi bencana, dengan melakukan hal-hal yang menyebabkan dirinya keluar dari koridor norma islam; berputus asa dan menganggap Allah tidak adil.
Sebagai bentuk kepekaan sosial, setelah kejadian tsunami dua tahun yang lalu, negara kita, indonesia, “kebanjian” bantuan dari manca negara. Milyaran bantuanpun “menghujani” Aceh yang telah diluluh lantakan Tsunami 2004.
Anjuran kepekaan sosial ini sebenarnya sudah sejak lama ada pada ajaran agama kita yang sempurna, islam. Karena islam sendiri merupakan agama yang diturunkan di tengah-tengah masyararat sosial dan ajarannya bukan hanya untuk segelintir komunitas saja, melainkan untuk seluruh alam -universal menurut epistemologi modern. Universalitas ajaran islam ini tidak terbatas kepada seluruh manusia, melainkan menembus alam metafisika yang ghaib, merambah alam para Jin.
Islam sendiri merupakan agama sosial. Banyak doktrin-doktrin agama yang menganjurkan umatnya untuk peka terhadap lingkungan sosial. Islam mengumpakan antara satu sama lain bagaikan satu tubuh, jika salah
seorang diantara mereka sakit, maka yang lainnya pun merasakan sakit yang sama. Perumpaan tubuh; jika kaki yang tersandung, spontan mulut mengaduh, tangan segera membelai, matapun mengucurkan air mata. Begitulah hendaknya muslim yang ideal.
Seandainya setiap orang mukmin mengingat saudara-saudaranya yang seiman dan setanah air serta mencurahkan perhatian kepada mereka dan menjalin hubungan dan kerjasama dengan mereka, mencintai kebaikan yang dirasakan oleh mereka dan membenci keburukan yang menimpanya mereka, maka hal tersebut sebagai penerapan dari firman Allah: “sesungguhnya orang orang mukmin itu bersaudara” (Qs. Al-Hujurat: 10). Dan pelaksanaan dari sabda Rasulullah: “perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang dan citna sesama mereka adalah seperti tubuh yang satu. Jika ada salah satu tubuh yang mengaduh dan merasa sakit, maka sakitlah seluruh tubuh yang lain. Beliau juga bersabda dalam hadits lain: “barangsiapa yang tidak memperdulikan urusan kaum Muslim maka ia bukan termasuk golongan mereka.”
Di antara doktrin-doktrin islam yang memprovokasi umatnya untuk peka terhadap sosial masyarakat dan lingkungan, yang bersifat wajib bagi pemeluknya (yang mampu), di antaranya zakat.
Eksistensi zakat dalam islam sebuah bentuk kepekaan islam terhadap sosial. Betapa tidak, zakat (mengeluarkan sebagian harta sesuai dengan ketentuan tertentu) dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak (mustahiq) sebagai upaya pemerataan kesenjangan sosial yang bersifat materil. Fakir miskin yang kehidupannya tidak menentu dan serba kekurangan, diberikan legalitas oleh islam sebagai salah satu yang berhak menerima “sumbangan.”
Selain zakat, infak dan sedekah juga merupakan ajaran islam yang dianjurkan, memberikan sumbangan sebagai bentuk bantuan sosial sekaligus refleksi dari ajaran yang Rasulullah ajarkan.
Rasulullah telah bersabda: “Sedekah itu akan menolak bencana.” Dalam hadits lain, yang maknanya: “mintalah kesembuhan dan berobatlah kalian dengan ber¬sedekah.”
Contoh kepekaan sosial di atas dapat kita simpulkan bahwa, aktivitas kongkrit dari bentuk kepekaan sosial akan berimplementasi berbentuk perhatian, yang akan melahirkan rasa saling merasakan, selanjutnya akan menggugah hati untuk memberikan bantuan.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda: “Barang siapa yang melepaskan dari orang mukmin satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, pasti Allah akan melepaskan dari padanya satu kesusahan dari kesusahan Hari Kiamat. Dan barang siapa yang menolong yang sedang menderita kesukaran (kesusahan), pasti Alah akan menolongnya di dunia dan akhirat. Dan barang siapa yang menutupi malu (aib) orang muslim, pasti Allah akan menutupi malunya (kejelekan) di dunia dan di akherat. Dan Allah akan menolong hamba-Nya selama hamba itu suka menolong saudaranya.” (HR. Muslim)
Tolong menolong (ta’awun) terhadap sesama -muslim khususnya- merupakan ajaran agama yang dianjurkan untuk dilaksanakan. Ada pepatah arab yang berbunyi, “yaddun wahid la tushoffiq” (tidak dapat bertepuk dengan sebelah tangan), kalimat ini bisa kita interpretasikan lebih jauh, bahwa, betapa pentingnya kebersamaan dan tolong menolong, karena manusia merupakan makluk sosial “mengharuskan” untuk hidup saling berdampingan. Seseorang tidak dapat mencapai yang diinginkannya tanpa adanya bantuan dari orng lain, sebagaimana halnya sebelah tangan yang tidak dapat bertepuk kecuali dengan bantuan tangan yang lainnya.
Kepekaan sosial yang diimplementasikan dengan saling menolong, merupakan hal yang bersifat “mesti”. Tanpa adanya saling tolong menolong diantara manusia dalam kehidupannya tentu mereka tidak akan bisa merasakan ketikmatan hidup di dunia, seperti makan, minum, berpakaian dan bertempat tinggal. Sebagai contoh sederhana, ketika kita makan (nasi), nasi yang berada dihadapan kita itu merupakan hasil proses dari kesungguhan “banyak tangan” dan telah melewati beberapa proses yang lama dan panjang, dimulai dari kesungguhan petani dalam menanam, memelihara hingga sampai waktunya untuk memanen. Kemudian padi yang telah dipanen pindah ketangan lain untuk digiling dan menjadi beras, kemudian dipasarkan dan akhirnya sampai kepada kita.
Allah berfirman: “Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kamu tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Qs. Al-maidah: 2)
Dari ayat di atas kita juga dapat melihat bahwa ada dua bentuk at-ta’awun (tolong menolong); satu, ta’awun yang dianjurkan, yaitu segala bentuk tolong-menolong dalam bentuk kebaikan yang memberikan manfaat bagi individu dan kolektif (masyarakat). Dua, ta’awun yang ditolak (dilarang), yaitu segala bentuk tolong-menolong pada ranah dosa dan kemaksiatan.
Akan tetapi, (maaf) meskipun semua masyarakat menyadari dan memahi ajaran islam, dalam hal ini pentingnya tolong-menolong, namun masih banyak di antara umat islam sendiri tidak merealisasikannya dalam aktivitas keseharian, sifat egoisme dan hanya mementingkan diri sendiri lebih mendominasi kepribadian¬nya.
Tolong menolong yang seyogyanya terjadi antara personal, juga semestinya terjadi antar masyarakat dan negara. Dunia islam -khususnya Bangsa Arab- meskipun memiliki kekayaan alam yang melimpah (seperti minyak, gas alam, dll.), akan tetapi mereka lemah dan fakir dalam hal pendidikan, produksi, science, teknologi, militer dan sebagainya. Sifat egoisme dan ke-aku-anlah penyebab dari semua kelemahan ini, di samping kesadaran pemahan mereka bahwa tolong menolong dan persatuan di antara mereka bisa menjamin timbulnya kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh, yang akan membuat “umat lain” menghormati dan mendengarkan sudut pandang dan wacana yang dilontarkan serta akan mengabulkan permintaan dan keinginan umat muslim.
Akibat hilangnya faktor ta’awun pada tatanan Dunia Islam -Arab khususnya- menyebabkan apa yang kita saksikan sekarang di Palestina. Tidak adanya “bantuan” dari negara-negara islam, merupakan salah satu kelemahan dan ketidakmampuan Negara Arab dan Negara Islam secara umum, yang seolah keadaannya bagaikan orang sakit, yang mengetahui penyebabnya dan sekaligus obat untuk menyembuhkan penyakitnya, namun mereka tidak memiliki keinginan untuk mengulurkan tangan, mengambil obat tersebut. Obat ini berbentuk ta’awun (tolong-menolong), koordinasi dan kebersamaan antara negara dan masyarakatnya. Umat islam sekrang bagaikan buih di atas lautan, yang jumlahnya banyak, namun apalah arti kekuatan buih. Sebagaimana yang disenyalir Rosulullah dalam salah satu kalam mulianya.
‘’Akan datang, suatu masa di mana umat islam itu sangat banyak namun mereka bagikan buih di lautan’’
Wallahu a’lam bishowab
Ulpa® Buat Bulletin IKRAR PPI-Tunisia, edisi Maret 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home