Sunday, March 19, 2006

Ku Coba Menerka

Malam ini kuterbangun lebih cepat, mendahului suara beker Nokiaku yang ku setting 4.45. Ya, aku terbangun satu jam lebih cepat. Kupaksakan menyingkapkan selimut dari tubuhku sekaligus melawan rasa dingin yang mendekapku. Ku masuki kamar mandiku yang tidak luas. Bewudlu. Bersujud.

Ah, ku teringat lagi akan ‘penantianku’. Penasaran. Mengapa kali ini kuteringat lagi? Padahal aku telah berusaha untuk tetap bersabar dan membiarkan.

Menunggu shubuh, ku coba melukiskan kata-kata hatiku kini. Menerka jawaban penantian itu. Kuhidupkan komputer yang ada di rumahku. Benda ini, kini jadi sasaran tempat curhatku lagi. Kupijit-pijit deretan pentul-pentul keyboard yang berjajar rapi. Tersusunlah rangkaian kalimat ini:

“Ah…bidadariku, kenapa kamu belum menjawab pertanyaanku? Bukankah kamu telah berjanji untuk menjawabnya setelah aku pindah negara? Apakah kamu telah lupa dengan kata-katamu itu?

Berilah aku alasan yang rasional, karena aku punya rasio. Alasan yang jelas, karena aku ingin tegas. Alasan yang jitu, karena aku menunggu. Keputusan yang satu, karena aku merindu. Jawaban dari hati, karena aku menanti.

Kalau hanya beralasan ‘janji’ pada dirimu sendiri tanpa mem­beritahukanku, sampai kapan janji itu berujung, Itu tidak rasional. Karena aku tidak tahu. Dan kamu tidak memberitahuku.

Kan kucoba tuk menerka, mengapa kamu belum menjawab.
Apakah kamu tidak menyukaiku?
Apakah kamu khawatir, bila kamu jawab TIDAK, aku akan membencimu, atau mengganggu kegiatan belajarku?
Apakah kamu sudah punya ‘pilihan’?
Apakah kamu ingin menamatkan kuliah dulu?
Apakah aku tidak termasuk tipe ‘laki-lakimu’?
Apakah karena aku bukan ‘golongan’mu?
Apakah karena tidak ada ‘harapan’ pada masa depanku?
Apakah kamu masih ragu akan ‘perasaanku’?
Apakah kamu masih ragu akan keseriusanku?
Apakah kamu masih ingin mencoba ketulusan hatiku?

Sepuluh kalimat pertanyaan yang berawal dengan apakah mungkin sudah cukup, meskipun masih banyak apakah yang belum ku tuliskan disini.

Bila sulit bagimu untuk menjawab, atau kamu tidak mau menjawab satupun pertanyaanku. Akan ku jawab sendiri.

Apakah kamu tidak menyukaiku?
Bila memang tidak menyukaiku, jangan kamu ragu tuk segera menjawab pernyataanku dengan kata TIDAK. Aku sangat menyenangi kejujuran. Aku tidak akan menangis menerimanya.

Apakah kamu khawatir, bila kamu jawab TIDAK, aku akan membencimu, atau mengganggu kegiatan belajarku?
Jangan kamu khawatirkan akibat jawaban kata TIDAK. Percayalah! Tidak akan terjadi apa-apa pada diriku, selain kamu tetap menjadi adik kelas dan saudari seimanku. Aku tidak akan membencimu.

Apakah kamu sudah punya ‘pilihan’?
Bila Ya. Jawablah segera penantianku dengan kata TIDAK. Bila kata TIDAK itu tidak kamu katakan. Sungguh kamu telah menghianati diri dan cintamu pada ‘pilihanmu’. Selain itu, kamu juga telah mempermainkan perasaan teman lelaki seimanmu untuk lama ‘menanti’ jawaban darimu.

Apakah kamu ingin menamatkan kuliah dulu?
Alasan ini terlalu di dramasitir. Hanya untuk menjawab YA atau TIDAK aku harus menunggu dua tahun. Yang ku inginkan sekarang bukan ‘berumah tangga’, tapi hanya jawaban YA atau TIDAK. Kuharap alasan ini tidak dijadikan sebab lagi untuk menjadikan lama penantianku.

Apakah aku tidak termasuk tipe ‘laki-lakimu’?
[Mungkin] Pendapatmu tepat. Tidak ada yang istimewa dari semua sifat dan penampilan yang ada pada diriku. Maka jawablah penantianku segera dengan kata TIDAK. Agar aku tahu diriku sendiri. Agar aku tidak berharap lagi menjadi pendamping dirimu yang penuh dengan ‘kelebihan’.

Apakah karena aku bukan ‘golongan’mu?
Alasan ini cukup berargumen dan rasional. Jika kamu mengira hanya laki-laki ‘golonganmu’ lah yang terbaik dan pantas mendampingimu. Maka cukup untuk segera mengatakan kata TIDAK atas penantianku. Aku tidak akan meringis dengan keputusanmu.

Apakah karena tidak ada ‘harapan’ pada masa depanku?
Alasan inipun [mungkin] tepat. Maka cukup juga untuk segera me­ngatakan kata TIDAK akan ‘kasihku’. Aku tidak tahu masa depanku nanti. Sekarang, memang aku hanya seorang mahasiswa miskin. Tidak lebih.

Apakah kamu masih ragu akan ‘perasaanku’?
Harus bagaimana lagi aku membuktikan ‘perasaanku’ agar kamu yakin. Hanya ini yang kumampu. Mengatakan ‘suka, sayang’ dan mem­perhatikanmu dengan untaian hurup-hurup yang kususun dengan pijitan jempol tanganku pada Hpku. Dan mengirimkan kata-kata melalui pos dan jaringan elektronik. Terkadang, ku dengarkan suaraku. Selebihnya, aku tidak bisa. Namun, bila semua yang kulakukan ini membuatmu kurang nyaman, kamu tidak suka, kamu bisa melarangku. Maka tidak kuharapkan karena keraguan, kamu membuatku lama ‘menanti’ jawaban.

Apakah kamu masih ragu akan keseriusanku?
Aku katakan. Aku sangat sadar dan serius dengan pernyataanku dulu. Jika ada jalan dan cara lain untuk menyakinkanmu akan keseriusanku, aku akan segera lakukan. Apakah itu?

Apakah kamu masih ingin mencoba akan ketulusan hatiku?
Aku katakan. Tidak usah kamu teruskan akan percobaan ini. Aku takut diriku akan salah paham. Cukuplah kata-kataku. Aku menyayangimu. Aku ingin kamu jadi pilihanNya bagiku. Aku tidak berharap, hanya sebab percobaan ini kamu biarkan aku lama menanti.”

Kutambahkan satu kalimat apakah.

Apakah kamu malu tuk mengungkapkan perasaanmu?
Jika Ya. Ku beritahukan. Aku telah melawan perasaan dan rasa maluku untuk mengungkapkan yang tersembunyi dalam hatiku padamu. Ku harap, jangan karena rasa malu, kamu biarkan aku lama menunggu.

Bila kamu masih gengsi untuk mengatakan kata YA. Lebih baik katakanlah padaku kata TIDAK. Karena kukira, ‘kasih’ yang tulus, tidak mengenal kata gengsi. Seperti yang telah ku lakukan. Akibat gengsi, tidak sedikit, dua insan menjadi menderita. Jika kata gengsi membuatmu lebih nyaman. Teruskanlah! setelah kau katakan TIDAK padaku.

“Allahu Akbar….Alllahu Akbar” terdengar suara panggilan Muadzin. Menyuruhku untuk mengakhiri coretan curhatku. Mengajakku untuk menyembah Yang Satu.

Curhatku di malam minggu
Di Pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 15 Januari 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home