Kasih, Jangan Kau Paksa Aku
Semula dari curhatku padanya, bahwa Lia (baca kisahnya, Diantara Dua Pilihan) masih mengharapkanku dan akan tetap menunggu kedatangan diriku, walaupun sudah ku katakan bahwa aku masih lama untuk menuju pernikahan.
Kutanya dia agar memberi masukan dan solusi buatku, bagaimana ‘cara halus’ untuk menolak niat baik Lia.
Ku ceritakan problem ini padanya, karena aku merasa, sekarang dia adalah ‘setengah’ bagian dari hidupku. Hubungan emosional yang telah terjalin, membuatku merasa perlu mengabari dan meminta pendapat dan masukannya.
Kukatakan dia ‘setengah’ dari bagian hidupku, karena sekarang dia belum halal bagiku seutuhnya. Jika dia sudah ‘resmi’ jadi pendampingku, pasti akan kukatakan ‘dia adalah bagian dari hidupku’. Tanpa pakai ‘setengah’ lagi.
Kukira apa yang aku lakukan (meminta pendapat dan masukannya) sangat wajar dan tidak berlebihan. Karena kurasakan, eksistensi keadaanku lebih terasa, jika seandainya aku dimintai pendapat dan pandangan tentang masalah yang menerpa dirinya. Dengan kata lain, aku juga akan senang bila aku dijadikan tempat curahan hatinya. Begitulah prediksiku. Dia akan merasa senang bila kumintai pendapat dan arahannya.
Disini aku ingin menjelaskan niatku sekaligus memohon maaf kepadanya, bila aku tidak mau memberitahukan identitas asli seorang Lia (nama samaran pada cerpenku), bukan aku tidak mau terbuka dengan sebenarnya (sebagaimana janjiku), hanya saja ini menyangkut orang lain (katakan saja, aib orang lain).
Banyak orang yang mempunyai persepsi –kecuali aku- bahwa ditolak adalah sebuah aib (sesuatu yang memalukan), apalagi bagi seorang cewek, dalam hal ini termasuk Lia.
Karena itu, aku tidak memberikatahukan aib orang lain (baca: Lia) kepadanya. Cukuplah dia hanya mengetahui keadaan dan problem yang terjadi padaku. Adapun untuk nama lengkap dan lain sebagainya, cukup Allah dan aku saja yang tahu.
Aku teringat kisah-kisah qurany. Bila kucermati, al-Quran hanya menyebutkan kejadian, akibat dan balasan serta hikmah dari suatu aib (kejelekan) seseorang atau suatu komunitas, tanpa menyebutkan identitas jelas pelakunya. Kecuali hanya sebagian –sangat- kecil saja, seperti menyebutkan nama Abu Lahab di dalam firmannya.
Hal itu disebabkan, karena membuka (mengungkap) kejelekan orang lain merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama. Kalaupun untuk menjadikan ibrah atau akan dijadikan contoh, hanya dibolehkan dengan menyamarkan nama jelas dan identitasnya. Hal ini bisa digunakan kata si Fulan (si Anu) ataupun dengan mengganti nama pelaku dengan nama samaran (sebagaimana yang aku lakukan pada cerpenku).
Hal ini sesuai dengan tuntutan Rosulullah Saw., junjunanku. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang menutupi malu (aib) orang muslim, pasti Allah akan menutupi malunya (kejelekan) di dunia dan di akherat.” (HR. Muslim)
Allah juga sering tidak menyebutkan identitas detail sesuatu, bila seadainya tidak bermanfaat atau akan menyebabkan musykilah bagi makhluknya. Sebagai contoh, Allah hanya menyebutkan keberadaan Nabiyullah Adam as. yang diturunkan ke bumi, tanpa menjelaskan dimana tempat Nabi Adam itu diturunkan. Adapun yang menyebutkan bahwa Nabi Adam dan Ummina Hawwa diturunkan di Quds-Palestina, Arafah dan India, itu hanya ijtihad ulama tanpa adanya nash yang jelas dari Allah.
Aku kira, kurang ada manfaatnya bila seandainya dia mengetahui identitas lengkap Lia. Aku tidak menyebutkan (memberitahukan) identitas Lia kepadanya, -setidaknya- merujuk kepada ‘pedoman’ hidupku. Dimana Allah tidak menyebutkan dengan jelas dimana tempat diturunkannya Nabiyullah Adam as.
Keterbukaanku terhadapnya, tentu yang menyangkut diriku dan keluargaku saja, meskipun pada prinsipnya kejujuran adalah sebagai pondasi dan komitmen atas segala ucapan dan perbuatanku. Ku usahakan untuk selalu sejalan antara ucapan dan perbuatan.
Keterbukaan tersebut misalnya; Aku siapa? Kapan dan dimana aku dilahirkan? Berapa dan siapa saudaraku? Siapa orang tuaku? Apa hobi dan kesukaanku? apa yang sangat dibenci olehku? apa planingku ke depan? Apa visi dan misi ku dalam hidup rumah tangga? de el el.
Karenanya, bila menyangkut aib (kejelekan) orang lain, maafkan saja, aku hanya bisa mengatakannya dengan tamsil atau analogi (perumpamaan), tanpa menggunakan kata yang terang dan jelas.
Semoga saja dia memahami maksudku dan menyetujui serta mendukung niatku, tanpa memaksaku untuk memberitahukan indentitas Lia yang sebenarnya (siapa dia? sudah berapa lama kenal? de el el). Bila hal ini diangkatpun, kukira tidak dapat memberikan manfaat banyak, yang ada hanya akan timbul kecemburuan, dan bukan tidak mungkin akan mengeruhkan suasana ‘cinta kasihku’ yang kini sedang berbunga dan kondusif.
Maafkan aku kasih, untuk hal ini (memberitahukan tentang Lia), aku mohon pengertian dan kasih sayangmu untuk tidak memaksaku buka mulut. Kukira –membeberkan siapa Lia-, ini tidak termasuk keterbukaan yang kumaksud dan yang kau inginkan.
Percayalah, aku takkan mengkhianatimu selamanya. Aku akan turuti kata-katamu untuk bersikap tegas dan jelas terhadap Lia. Percayalah, singgasana hatiku yang satu telah kau singgahi dan tidak mungkin menerima wanita lain, selama kau menjaga dan memelihara singgasanaku. Kasih, jangan kau paksa aku pliiis!!! :-)
Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 20 Maret 2006
Kutanya dia agar memberi masukan dan solusi buatku, bagaimana ‘cara halus’ untuk menolak niat baik Lia.
Ku ceritakan problem ini padanya, karena aku merasa, sekarang dia adalah ‘setengah’ bagian dari hidupku. Hubungan emosional yang telah terjalin, membuatku merasa perlu mengabari dan meminta pendapat dan masukannya.
Kukatakan dia ‘setengah’ dari bagian hidupku, karena sekarang dia belum halal bagiku seutuhnya. Jika dia sudah ‘resmi’ jadi pendampingku, pasti akan kukatakan ‘dia adalah bagian dari hidupku’. Tanpa pakai ‘setengah’ lagi.
Kukira apa yang aku lakukan (meminta pendapat dan masukannya) sangat wajar dan tidak berlebihan. Karena kurasakan, eksistensi keadaanku lebih terasa, jika seandainya aku dimintai pendapat dan pandangan tentang masalah yang menerpa dirinya. Dengan kata lain, aku juga akan senang bila aku dijadikan tempat curahan hatinya. Begitulah prediksiku. Dia akan merasa senang bila kumintai pendapat dan arahannya.
Disini aku ingin menjelaskan niatku sekaligus memohon maaf kepadanya, bila aku tidak mau memberitahukan identitas asli seorang Lia (nama samaran pada cerpenku), bukan aku tidak mau terbuka dengan sebenarnya (sebagaimana janjiku), hanya saja ini menyangkut orang lain (katakan saja, aib orang lain).
Banyak orang yang mempunyai persepsi –kecuali aku- bahwa ditolak adalah sebuah aib (sesuatu yang memalukan), apalagi bagi seorang cewek, dalam hal ini termasuk Lia.
Karena itu, aku tidak memberikatahukan aib orang lain (baca: Lia) kepadanya. Cukuplah dia hanya mengetahui keadaan dan problem yang terjadi padaku. Adapun untuk nama lengkap dan lain sebagainya, cukup Allah dan aku saja yang tahu.
Aku teringat kisah-kisah qurany. Bila kucermati, al-Quran hanya menyebutkan kejadian, akibat dan balasan serta hikmah dari suatu aib (kejelekan) seseorang atau suatu komunitas, tanpa menyebutkan identitas jelas pelakunya. Kecuali hanya sebagian –sangat- kecil saja, seperti menyebutkan nama Abu Lahab di dalam firmannya.
Hal itu disebabkan, karena membuka (mengungkap) kejelekan orang lain merupakan perbuatan yang dilarang dalam agama. Kalaupun untuk menjadikan ibrah atau akan dijadikan contoh, hanya dibolehkan dengan menyamarkan nama jelas dan identitasnya. Hal ini bisa digunakan kata si Fulan (si Anu) ataupun dengan mengganti nama pelaku dengan nama samaran (sebagaimana yang aku lakukan pada cerpenku).
Hal ini sesuai dengan tuntutan Rosulullah Saw., junjunanku. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang menutupi malu (aib) orang muslim, pasti Allah akan menutupi malunya (kejelekan) di dunia dan di akherat.” (HR. Muslim)
Allah juga sering tidak menyebutkan identitas detail sesuatu, bila seadainya tidak bermanfaat atau akan menyebabkan musykilah bagi makhluknya. Sebagai contoh, Allah hanya menyebutkan keberadaan Nabiyullah Adam as. yang diturunkan ke bumi, tanpa menjelaskan dimana tempat Nabi Adam itu diturunkan. Adapun yang menyebutkan bahwa Nabi Adam dan Ummina Hawwa diturunkan di Quds-Palestina, Arafah dan India, itu hanya ijtihad ulama tanpa adanya nash yang jelas dari Allah.
Aku kira, kurang ada manfaatnya bila seandainya dia mengetahui identitas lengkap Lia. Aku tidak menyebutkan (memberitahukan) identitas Lia kepadanya, -setidaknya- merujuk kepada ‘pedoman’ hidupku. Dimana Allah tidak menyebutkan dengan jelas dimana tempat diturunkannya Nabiyullah Adam as.
Keterbukaanku terhadapnya, tentu yang menyangkut diriku dan keluargaku saja, meskipun pada prinsipnya kejujuran adalah sebagai pondasi dan komitmen atas segala ucapan dan perbuatanku. Ku usahakan untuk selalu sejalan antara ucapan dan perbuatan.
Keterbukaan tersebut misalnya; Aku siapa? Kapan dan dimana aku dilahirkan? Berapa dan siapa saudaraku? Siapa orang tuaku? Apa hobi dan kesukaanku? apa yang sangat dibenci olehku? apa planingku ke depan? Apa visi dan misi ku dalam hidup rumah tangga? de el el.
Karenanya, bila menyangkut aib (kejelekan) orang lain, maafkan saja, aku hanya bisa mengatakannya dengan tamsil atau analogi (perumpamaan), tanpa menggunakan kata yang terang dan jelas.
Semoga saja dia memahami maksudku dan menyetujui serta mendukung niatku, tanpa memaksaku untuk memberitahukan indentitas Lia yang sebenarnya (siapa dia? sudah berapa lama kenal? de el el). Bila hal ini diangkatpun, kukira tidak dapat memberikan manfaat banyak, yang ada hanya akan timbul kecemburuan, dan bukan tidak mungkin akan mengeruhkan suasana ‘cinta kasihku’ yang kini sedang berbunga dan kondusif.
Maafkan aku kasih, untuk hal ini (memberitahukan tentang Lia), aku mohon pengertian dan kasih sayangmu untuk tidak memaksaku buka mulut. Kukira –membeberkan siapa Lia-, ini tidak termasuk keterbukaan yang kumaksud dan yang kau inginkan.
Percayalah, aku takkan mengkhianatimu selamanya. Aku akan turuti kata-katamu untuk bersikap tegas dan jelas terhadap Lia. Percayalah, singgasana hatiku yang satu telah kau singgahi dan tidak mungkin menerima wanita lain, selama kau menjaga dan memelihara singgasanaku. Kasih, jangan kau paksa aku pliiis!!! :-)
Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 20 Maret 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home