Tuesday, April 11, 2006

Adikku Sayang Adikku Semata Wayang

Allah Yang Maha Pencipta telah menakdirkanku terlahir dengan hanya memiliki satu adik kandung. Ku yakin, takdir ini yang terbaik (bagiku) dari-Nya, karena Tuhanku selalu memberikan yang terbaik bagi makhluk-Nya. Tidak terkecuali, papasten diriku.

Menurut cerita ibuku, aku terlahir di desa lemah Abang, Bekasi. Pada hari rabu, 26 tahun yang lalu. Sedangkan hari kelahiran adikku, sama seperti hari lahirnya Junjunanku yang mulia, senin, 23 tahun yang lalu.

Banyak kenangan yang aku lalui bersama adikku yang semata wayang ini. Disamping kenangan pahit, kenangan manispun masih kuingat. Unforgetable.

Nendra Suhendra, nama lengkap adikku itu. Namun aku sering memanggilnya dengan panggilan kecil, panggilan kesayangan ibuku, Ace. Aku tidak tahu kenapa adikku dipanggil Ace oleh ibuku, namun kayaknya, Ace itu kependekan dari Acep, atau lebih pasihnya jadi Asep. Asep adalah panggilan yang dinisbatkan kepada orang sunda. Nah, kayaknya asumsiku itu benar. Adikku –meski orang bekasi- tapi tetap bahasa dialongnya menggunakan sunda language, meskipun sunda kasar. Jadi kalau dipanggil Asep (Acep) Nendra, ya pas lah.

Secara fisik aku berbeda dengannya, dia condong kepada ibuku (postur ibuku cukup tinggi). Tubuhnya ramping hingga terlihat lebih tinggi dariku, dia juga lebih ganteng hehe…Sedangkan aku lebih condong kepada Ayahku. Rambut ikalku (kata pengamat:-)) ‘warisan’ dari ayahku. Juga tubuhku yang (juga kata pengamat) berbody dan atletis juga seperti Ayahku.

Menurut cerita ibuku lagi. Ayahku adalah keturunan jagoan betawi (ayahku asli betawi). Bila ingat film Si Pitung (jagoan betawi), aku juga suka ingat Ayahku. Ya, gambarannya seperti itulah jagonya Ayahku. Jago silat dan jago golok serta pem­berani. Bedanya, Ayahku jelas lebih kucintai, kuhormati dan lebih kukenang dari pada Si Pitung.

Cerita ibuku itu bukan semata pujian yang tanpa bukti. Karena aku pernah membuktikan kebenarannya. Ketika aku kelas empat SD, ayahku pernah ‘ribut’ dengan (katakanlah) empat orang preman. Entah apa permasalahan yang sebenarnya, aku juga ingat-ingat lupa, maklum baru kelas empat eSDe:-). Singkatnya, ayahku dikeroyok oleh empat orang preman tersebut. Adu fisikpun terjadi. Satu lawan empat. Untung saja, banyak orang di tempat itu, akhirnya mereka dipisahkan. Empat orang preman tadi banyak yang terluka dan bonyok bahkan terjatuh. Namun ayahku, kulihat wajahnya hanya lecet (dekat matanya) sedikit. Selain itu juga, dia masih bisa berjalan normal, pulang dengan langkah gagah. Pantas aku –sebagai anaknya- sangat respek dan tertarik sekali untuk belajar bela diri. Seperti silat, karate, taekwondo dan kungfu. Mungkin ini juga karena aku adalah keturunan pendekar ksatria kali yah ?hehe…

Masih ku ingat ‘filsapat ksatrianya’ ayahku kala ia masih bersamaku dulu. ‘’Musuh jangan dicari, kalau datang jangan lari’’ itulah filsapatnya. Mungkin kalau dijabarkan filsapat tersebut begini; Aku jangan mencari musuh, konsekuensinya, aku harus selalu bersikap sopan dan sabar (jangan mencari gara-gara). Namun, jika ada orang yang mengusik dan ingin merebut hakku, selaku gentle man, selaku ksatria, untuk mempertahankan hakku itu, aku tidak boleh lari. Mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Begitulah kira-kira interpretasiku terhadap kata filsapat dari Ayahku itu.

Disamping perbedaan dengan adikku dari segi fisik tadi. Ada kesamaan sifat antara aku dan dia, diantaranya, rasa malu. Terutama malu terhadap lawan jenis. Nah, Sifat ini masih melekat padaku juga padanya, hingga sekarang. Diantara sifat baik adikku, suka menabung. Rikrik gemi istilah sundanya.

Karena fatroh tinggal di Cianjurnya tidak selama aku tinggal. Adikku kurang bisa menguasai bahasa sunda halus Cianjur. Tambahnya lagi, sekarang dia tinggal di Jakarta, yang pasti dialognya menggunakan bahasa indonesia. Minimalnya bahasa gaul Jakarta, seperti elo dan gue. Mudah-mudahan adikku tidak terbawa arus negatif pergaulan Ibukota.

Sebelum aku ke Cianjur, aku juga belum bisa bahasa sunda halus, seperti adikku itu. Namun, alhamdulillah, kurang lebih tujuh tahun di Cianjur, aku sudah terbiasa berbahasa sunda halus dengan intonasi asli sunda. Bahkan terhitung, bahasa sundaku paling halus diantara keluargaku di Bekasi, bahkan -mungkin- diantara orang bekasi semuanya. Tak heran, ibuku terkadang bilang terus terang, (bila ku telpon) tidak bisa ngobrol denganku, bila aku menggunakan bahasa sunda Cianjur (sunda halus). Dengan terpaksa –meskipun merasa nggak sopan dan nggak enak body- aku menggunakan bahasa campuran (sunda halus dan kasar) bila ngobrol dengan ibuku.

Yang kutahu, Adikku sangat baik padaku. Dia sangat menghormati, dan penurut terhadapku sebagai kakaknya. Ya memang suatu kemestian seorang adik harus menghormati dan taat terhadap kakaknya (selama tidak menyuruh untuk bermaksiat pada Allah), tapi kan, tidak semua kakak beradik saling menghormati. Tidak semuanya seorang adik menghormati dan taat terhadap kakaknya. Tidak sedikit anak sekarang, jangankan menghormati dan taat terhadap kakaknya, memanggil kakaknyapun langsung namanya, tanpa dibubuhi awalan ‘’kakak’’ atau ‘’aa’’ atau ‘’mas’’ sebelumnya.

Semasa kecilku bersama adikku, di Lemah Abang sana, (menurut ibuku) suka bertengkar. Ya, itu kebiasaan yang alami bagi kakak beradik di masa kecil. Maklum masih belum berpikiran dewasa, yang mendominasi diri mereka biasanya hanya ke-egois-an, emosi dan kepuasan pribadi. Aku mohon maaf bila kebersamaanku dengannya dulu telah mencoretkan tinta merah dalam sejarah masa kecil kehidupannya. Biarkan dan lupakanlah masa lalu, sekarang kita hidup dimasa kini.

Setelah –kurang lebih- lima tahun keberadaanku di Cianjur, Adikku mengikuti jejakku, hijrah ke Cianjur. Tepatnya ke Ponpes Tanwiriyyyah, Sindanglaka-Karangtengah. Memang sudah menjadi keinginan dan cita-citaku sebelumnya untuk mengajaknya hijrah. Keinginan hatiku itu rupanya telah didengar Allah Yang Maha Rahman dan Rohim jauh sebelum aku ungkapkan. Tanpa kuduga, guruku sekaligus pimpinan pondok, menyuruhku untuk membawa adikku itu. Pujian syukur kerap membasahi bibirku kala itu. Alhamdulillah.

Semasa kecil, tidak banyak yang kuingat kenanganku dengannya, karena (keberadaanku) setelah lulus SD aku langsung hijrah ke Cianjur. Justru ke­bersamaan­ku yang hanya –kurang lebih- tiga tahun di Pesantren sangat mengesankan bagiku. Bila kuingat masa-masa kebersamaanku dengannya, mata ini ingin menangis. Seperti saat ini, saat menulis coretan ini. Terasa kebaikan dan kebaktiannya kepadaku yang begitu besar dan ikhlash. Masih teringat di benak pikiranku. Dikala pagi, jika aku belum selesai ‘bertugas’, dia sering mengambil­kan jatah makan pagiku, agar aku bisa langsung makan setelah ‘bertugas’. Tidak ikut thôbŭr (antree) bersama para santri lain terlebih dulu.

Tidak hanya makan pagi yang diambilkannya, dia juga sering mengambilkan makan soreku, bila kebetulan dia pulang sekolah lebih awal. Thob’an aku sangat senang. Bisa langsung makan setelah pulang skul. Lagi-lagi aku tidak ikut ngantree terlebih dahulu.

Ketaatannya padaku juga sudah kubuktikan. Masih teringat di memori pikiranku. Disaat ku menyuruhnya untuk belajar, dia tidak menolak dan mengikuti nasehatku. Aku sering katakan pada dia: “Ce, belajar yang rajin, minimalnya Ace bisa sama rankingnya dengan Aa. Bagus kalau bisa mengalahkan Aa. Nanti aa kasih hadiah”. Meskipun Allah belum meridhoinya untuk menyamai atau mengalahkan rankingku (meskipun peringkat dia sudah termasuk lima besar), namun, semangat dan usahanya yang sungguh-sungguh telah kulihat dengan mata kepalaku sendiri.

Ada kenangan yang tak mungkin kulupakan ketika belajar bersamanya dulu. Waktu itu musim ujian, aku mengajaknya belajar (menghapal) di ruang Aliyah (MAK). Kala itu, bangunan ini termasuk bangunan yang paling bagus di sekolah­ku. Kupilih tempat ini, karena selain sepi juga lampunya terang. Jauh sedikit dari kobong (asrama) tak apalah. Meskipun kadang terasa ada rasa takut juga, maklum tempat ini, menurut cerita teman-temanku, ada jinnya, hihi…Aku belajar sampai larut malam. Ketika dia sudah ngantuk dan ingin pulang, kataku padanya, “belajar sebentar lagi, nanti aa gendong dech pulangnya”. Kata-kataku itu ditaatinya. Dia belajar lagi, sampai ketiduran. Setelah mataku sudah ngantuk, aku sudahi belajarku. Sesuai dengan janjiku padanya, dia kugendong pulang hingga kobong (asrama) lalu ku tidurkan di atas tikar yang sudah tidak bagus.

Begitulah kehidupan santri. Tidur bagaikan ikan pindang, satu kamar bisa diisi tujuh sampai sepuluh orang. Tidak heran jika tidurnya harus disusun berjulur rapi, agar tempatnya cukup. Namun dari itu semua, ku yakin, ada kenangan tersendiri bagi mereka para santri, yang akan menjadi bahan cerita mereka dikala telah mempunyai penerus perjuangannya. ‘’Dulu Bapak pernah mondok. Suka dukanya jadi santri Bapak sudah alami’’, begitulah kira-kira cerita mereka kepada anak-anaknya nanti.

Aku –tentunya- sangat menyayangi adikku yang semata wayang. Semua yang kulakukan dan yang aku perintahkan padanya, tiada lain demi kebaikan­nya semata.

Sekarang, aku jauh dengannya. Jarakku terpisah oleh benua yang tidak mungkin ditempuh dengan perjalan darat ataupun laut. Kasih sayangku hanya dapat kubuktikan dengan untaian kata-kata berbentuk pesan dan nasehat, yang kukirimkan lewat surat (baik klasik ataupun elektronik). Juga telepon yang tidak sering. Tak lupa ku selalu mendoakannya dalam keheningan malam. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan perlindungan padanya. Memberikan kesuksesan dan keselamatan padanya. Dinda, Teruslah semangat dalam menjalani hidup ini. Optimis !!! Dinda, aku selalu menyayangimu.

Ya Allah, pertemukanlah aku sekeluarga dalam bingkai kebahagiaan yang tersulam dari benang kasih sayang-Mu. Lalu kami berlabuh dalam samudra rahmat-Mu yang luas, menuju pulau keridhoan-Mu yang maha indah. Amin ya rabbal ‘alamin.

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 7 April 2006

NB : Cepat selesaikan TA nya !!! Hehehe…

0 Comments:

Post a Comment

<< Home