Kasih, Maafkan Aku
Malam ini terasa hatiku sangat gundah, bahkan kegundahan ini mulai terasa olehku sejak tadi siang. (mungkin) Hanya ketika shalat maghrib dan isya kegundahan itu sirna, setelah selesai shalat, kegundahan itu mengahampiriku kembali. Kucoba meruntut kejadian yang kualami siang tadi dan mencoba mencari penyebab kegundahan itu. Akhirnya kutemukan juga, ternyata penyebab kegundahan itu karena aku mengetahui dia menjadi penyedih, dia sedang sedih. Ya, aku yakin inilah sebabnya hatiku jadi gundah sekaligus sedih. Aku tahu keadaannya dari mail yang dikirimkan kepadaku sebagai komentarnya dari Kasih, Jangan Kau Paksa Aku.
Hati ini memang sudah sangat sayang dan mencintainya, sehingga (kurasakan) kesedihannya adalah kesedihanku juga. Jika dia bersedih, hati inipun ikut bersedih. Ya Allah kau Maha Tahu akan suasana hatiku. Dan Kaulah yang menguasai jiwa ragaku seutuhnya.
Sebenarnya, hati ini mulai merasa gundah, sejak aku mengupdate tulisanku itu (Kasih, Jangan Kau Paksa Aku). Ada rasa ‘kekurangan’ dihatiku bila aku belum berterus terang semua kepadanya, terutama tentang Lia. Bahkan aku merasa, ‘ijtihad’ku kala itu (tidak mau menyebutkan ‘hakikat’ Lia kepada orang lain) adalah ‘kesalahan’, ijtihad yang salah. Kenapa salah? Hatiku menjawab sendiri penyebabnya, yaitu, karena dia sekarang bukan ‘orang lain’ lagi bagiku. Pantas dia merasa sangat sedih atas keputusan ijtihadku. Jika aku sebagai dia, maka aku juga akan merasakan seperti dia sekarang, akan timbul keraguan dan tanda tanya besar, kenapa kau tidak memberitahuku tentang Lia jika kau telah menganggapku sebagai kekasihmu yang satu?
Di coretan ini, aku ingin mengungkapkan penyesalanku dan menyampaikan permohonan maafku (maaf yang sebesar-besarnya) yang kesekian kalinya. Kasih, Maafkan Aku! Aku sungguh tak sanggup mendengar kamu bersedih dan hilang keceriaan. Apalah arti keberadaan diriku, bila hanya menyebabkanmu bersedih dan tak ceria lagi? Bila aku disuruh memilih antara aku gembira atas kesediahanmu dan kamu bersedih atas kegembiraanku, aku akan pilih, biarlah aku bersedih asalkan kamu gembira. Itulah yang dapat kuungkapkan, sebagai gambaran bahwa, aku sungguh tak ingin kamu bersedih. Aku sungguh ingin menggembirakan dan membahagiakanmu. Ya Allah, betapa sering aku membuat dia ‘bersedih’ [walaupun tak ku sengaja]. Ya Allah, maafkan aku telah membuatnya bersedih lagi. Izinkan aku untuk menebus kesalahanku.
Sebagai tebusan ‘dosaku’ dan penyesalanku, juga agar dapat menghilangkan kegundahanku, aku akan ceritakan siapa Lia kepadanya. Aku tidak mau bila dia menjadi ‘tidak periang’ serta ucapan dan sikapnya menjadi ‘berbeda’ padaku. Aku ingin menghilangkan ganjalan di hatinya. Aku ingin dia merasa senang, gembira serta periang bila ‘bersama’ku. Bila demikian sungguh akupun bahagia ‘bersamanya’.
Ya Allah, Maafkan aku! Jangan Kau hilangkan kegembiraan dan kebahagiaanku dengan menjadikan dia seorang ‘penyedih’. Jangan Kau rengut kebahagiaanku dengan menghilangkan dia dari ‘sisiku’. Jadikanlah hubungan kami senantiasa berlanjut dan harmonis serta berada dalam lindungan rahmat-Mu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 26 Maret 2006
Hati ini memang sudah sangat sayang dan mencintainya, sehingga (kurasakan) kesedihannya adalah kesedihanku juga. Jika dia bersedih, hati inipun ikut bersedih. Ya Allah kau Maha Tahu akan suasana hatiku. Dan Kaulah yang menguasai jiwa ragaku seutuhnya.
Sebenarnya, hati ini mulai merasa gundah, sejak aku mengupdate tulisanku itu (Kasih, Jangan Kau Paksa Aku). Ada rasa ‘kekurangan’ dihatiku bila aku belum berterus terang semua kepadanya, terutama tentang Lia. Bahkan aku merasa, ‘ijtihad’ku kala itu (tidak mau menyebutkan ‘hakikat’ Lia kepada orang lain) adalah ‘kesalahan’, ijtihad yang salah. Kenapa salah? Hatiku menjawab sendiri penyebabnya, yaitu, karena dia sekarang bukan ‘orang lain’ lagi bagiku. Pantas dia merasa sangat sedih atas keputusan ijtihadku. Jika aku sebagai dia, maka aku juga akan merasakan seperti dia sekarang, akan timbul keraguan dan tanda tanya besar, kenapa kau tidak memberitahuku tentang Lia jika kau telah menganggapku sebagai kekasihmu yang satu?
Di coretan ini, aku ingin mengungkapkan penyesalanku dan menyampaikan permohonan maafku (maaf yang sebesar-besarnya) yang kesekian kalinya. Kasih, Maafkan Aku! Aku sungguh tak sanggup mendengar kamu bersedih dan hilang keceriaan. Apalah arti keberadaan diriku, bila hanya menyebabkanmu bersedih dan tak ceria lagi? Bila aku disuruh memilih antara aku gembira atas kesediahanmu dan kamu bersedih atas kegembiraanku, aku akan pilih, biarlah aku bersedih asalkan kamu gembira. Itulah yang dapat kuungkapkan, sebagai gambaran bahwa, aku sungguh tak ingin kamu bersedih. Aku sungguh ingin menggembirakan dan membahagiakanmu. Ya Allah, betapa sering aku membuat dia ‘bersedih’ [walaupun tak ku sengaja]. Ya Allah, maafkan aku telah membuatnya bersedih lagi. Izinkan aku untuk menebus kesalahanku.
Sebagai tebusan ‘dosaku’ dan penyesalanku, juga agar dapat menghilangkan kegundahanku, aku akan ceritakan siapa Lia kepadanya. Aku tidak mau bila dia menjadi ‘tidak periang’ serta ucapan dan sikapnya menjadi ‘berbeda’ padaku. Aku ingin menghilangkan ganjalan di hatinya. Aku ingin dia merasa senang, gembira serta periang bila ‘bersama’ku. Bila demikian sungguh akupun bahagia ‘bersamanya’.
Ya Allah, Maafkan aku! Jangan Kau hilangkan kegembiraan dan kebahagiaanku dengan menjadikan dia seorang ‘penyedih’. Jangan Kau rengut kebahagiaanku dengan menghilangkan dia dari ‘sisiku’. Jadikanlah hubungan kami senantiasa berlanjut dan harmonis serta berada dalam lindungan rahmat-Mu. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 26 Maret 2006
0 Comments:
Post a Comment
<< Home