Sunday, April 23, 2006

Kairouan

Bis Wisata Sntri yang membawa sekitar lima puluh penumpang mahasiswa Zaytuna sudah mulai bergerak dari depan kampus Zaytuna tepat pukul 8.00, tujuannya ke Kairouan. Rabu (19/4) lalu. Aku salah seorang penumpang bis tersebut.

Kali ini aku tidak ketinggalan lagi rihlah ke kota ini (baca, Rihlah yang Tak Lelah), salah satu kota terpenting dalam sejarah penyebaran Islam ke Afrika Utara. Kota yang berada di posisi 156 km selatan Tunis ini didirikan pada tahun 50 H oleh Uqbah bin Nafi', salah seorang sahabat Nabi. Mesjid besar yang didirikan oleh Uqbah pada tahun 55 H masih berdiri tegar hingga kini. Kairouan juga terkenal dengan kerajinan tapis (permadani).

Aku sudah bersiap-siap sejak ba’da shubuh. Bahkan segala perlengkapan yang dibutuhkan, seperti; buku bacaan, quran kecil dan kamera sudah kumasukkan ke dalam tas kecilku menjelang tidur. Kali ini temanku yang suka lama ‘’mendekam’’ di WC, dipersilahkan lebih dulu dan diperingatkan agar mempercepat diri dalam melaksanakan ‘’hajat’’nya, agar tidak terlambat yang kedua kalinya. Terhitung ini rihlah kedua selama keberadaanku di Tunis. Sedangkan tour perdanaku dulu ke kota Jerba, mengawali tahun baru 2006 (kisahnya, Satu Tahun di Jerba).

Sebenarnya tujuan awalku adalah mengikuti seminar yang diadakan oleh Komite Peneliti Sejarah Kairouan di pusat penelitian islam Kairouan. Kegiatan seminar seperti ini sering diadakan, dengan para peserta dan presentatornya kebanyakan diambil dari universitas Az-Zaytuna. Maklum, Zaytuna sangat dihargai dan telah mendapatkan label universitas islam tertua di kalangan masyarakat Tunis, bahkan di dunia. Tema seminar saat itu berjudul, Al-Bu’du al-Hadhori fi al-Fanni al-Mi’mary al-Islamy (Dimensi Peradaban pada Seni Arsitektur Islam).

Sekitar pukul 11.30 bis telah sampai ke tempat tujuan. Setelah semua mahasiswa istirahat beberapa menit, dengan konsumsi masing-masing segelas kopi dan kueh makroud, seminarpun dimulai.

Ruangan seminar cukup luas, dengan spanduk terpampang jelas tema seminar saat itu (Al-Bu’du al-Hadhori fi al-Fanni al-Mi’mary al-Islamy). Bahkan tiga buah spanduk bergambar Zaenal Abidin Ben Ali, presiden kedua Tunis (presiden pertamanya Habib Bourgiba), yang dipasang satu buah di depan sedangkan sisanya masing-masing dipasang di sebelah kiri dan kanan panggung, ikut menghiasi ruangan seminar. Ada kesan kampanye ketika aku melihat spanduk yang berposter presiden Tunis itu, apalagi bila melihat kata-kata yang tertulis dibawah gambar Ben Ali, Ma’a Ibn Ali li Tunis al Ghod (bersama Ben Ali untuk Tunisia hari esok). Kukira, tidak berlebihan bila acara seminar itu dikatakan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan dan sekaligus kampanye presiden. Semasa ku di Mesir, hal tersebut tidak kulihat, meskipun Husni Mubarok (presiden Mesir) termasuk diktator (sama halnya dengan Tunis), tapi hal kampanye seperti itu tidak kutemukan, meskipun ada photo Mubarak di ruangan seminar, hanya sealakadarnya dengan ukuran yang kecil, tidak sebesar dan sebanyak di Tunis ini. Bahkan (hampir) di semua toko-toko, warung-warung bahkan (terkadang) di jalan-jalan, Ben Ali selalu kulihat. Kayaknya suatu keharusan gambar Ben Ali harus dipampang.

Kurang lebih lima puluh mahasiswa hadir pada seminar itu. Fasilitas ruangan bertambah lengkap dengan adanya proyektor dan layarnya yang akan digunakan presentator saat menjelaskan berbagai macam gambar bangunan, lukisan dan ornamen arsitektur serta kalighrafi arab. Juga kamera lengkap dengan kameramennya -pun- terlihat siaga.

Acara seminar cukup semarak, lima orang presentator yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan cukup elegan dalam mempresentasikan makalahnya. Dua orang dari mereka menggunakan proyektor ketika menjelaskan bentuk-bentuk arsitektur klasik serta bangunan kuno jaman doeloe, termasuk sejarah awal adanya tulisan naskh dalam kalighrafi arab, yang tertulis pada dinding-dinding dan tiang bangunan.

Ketika dibuka sesi tanya jawab, para peserta begitu antusias untuk bertanya, diantaranya (yang masih kuingat) ada yang menanyakan, apakah definisi dari arsitektur islam itu? Sayang kesempatan bertanya hanya diberikan kepada lima orang saja. Berhubung waktu yang sangat terbatas.

Tepat pukul 14.00 acara seminar selesai. Kemudian para peserta dipersilahkan untuk istirahat sejenak dan makan siang. Tiga orang kawanku (indonesia) tidak melewatkan kesempatan emas ini, mereka meminta berpose bersama salah seorang presentator wanita yang memang masih muda dan (maaf ya) cantik, sebagaimana hal yang sama mereka lakukan pada saat beberapa menit menjelang keberangkatan bis meninggalkan Tunis, berpose dengan gadis Tunis yang (maaf lagi ya) manis. Adapun aku tidak ikut (dan memang tidak mau) bersama mereka berpose, hanya menoleh sekejap kearah mereka berdiri dari kejauhan, dan kemudian melanjutkan ngobrol dengan sesamaku, sama-sama pria. Maaf ya, aku ‘’alergi’’ wanita hehe…

Ku kira, makan siang itu akan digelar di restoran elit, ruangannya ber AC dan menunya juga spesial. Kenyataannya, aku harus ngantri bersama teman-temanku yang lain, persis seperti di asramaku dulu di Mesir. Menunya juga tidak jauh berbeda; sekerat daging, makrunah dan roti (kalo di Mesir isy), ditambah satu gelas jabady (intisari susu yang sudah diramu). Bedanya, disini, laki-laki dan perempuan digabung ngantrinya (satu baris), begitu juga makannya disatu ruangankan tanpa satir (penghalang). Ini yang membuatku kurang nyaman dan merasa tabu. Ketika makan, sengaja ku mengambil tempat yang paling ujung, jauh dari lawan jenisku, para gadis Tunis.

Setelah makan siang, panitia mengajak para penumpang ziarah. Diantaranya, mengunjungi makam salah seorang shahabat Nabi Abu Zam’ah al-Balawi (wafat 34 H), konon beliaulah tukang cukur Rosulullah Saw. Kubacakan ummul kitab (surat fatihah) dan doa, hadiah untuk beliau sekaligus shalat ashar dan dhuhur (jamak ta’khir) di mesjid yang tidak jauh dari makam.

Setelah ziarah, bispun menuju ibukota. Tidak lupa sebelumnya para penumpang termasuk aku dan tiga temanku membeli kue khas Koirouan, makroud. Rasanya manis, berwarna coklat, bentuknya seperti lempengan ulen yang dipotong-potong sebesar dua jari. Ada juga yang dipotong lebih kecil lagi. Lumayan buat teman-temanku di rumah. Pasti mereka sangat gembira mendapatkan oleh-oleh Kairouan.

Lucunya, kodak yang telah kusiapkan menjelang tidur itu, hanya kubawa selama perjalanan tour, tak satupun kujepretkan. Padahal banyak tempat-tempat yang lokasinya bagus. Entah lupa atau memang malas motret. Kalau kutanya hatiku, memang aku kurang suka diphoto, selain itu malas juga sich hehe. Untung ada salah seorang temanku yang rajin photo-photo, dia mengajakku photo bersama, terkadang menyuruhku diphoto singel. Ya, sekedar gambar kenangan di Kairouan, ada sich.

Bis sampai ke Tunis ba’da magrib. Ketika sampai di kampus, penumpang tinggal beberapa orang saja, karena sebagian besarnya telah ‘’dijatuhkan’’ bis di tempat-tempat yang dekat dengan rumah mereka. Rumahku terhitung paling dekat dengan kampus, karenanya aku dan tiga temanku merupakan orang terakhir turun dari bis. Alhamdulillah sampai dengan selamat.

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 20 April 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home