Tuesday, January 31, 2006

Bidadariku, Kutunggu Jawabanmu

Seperti biasanya, kegitanku di tempat baru plus negara baru. Bagun pukul 4.45 sekedar untuk bersujud dan ‘meminta’. Sambil menunggu adzan shubuh aku baca quran, sekalian mengulang hapalanku yang pernah ku hapal ketika di Mesir. Pukul 5.45 terdengar adzan shubuh, yang setiap kudengar, pasti suaranya seperti itu terus dan tidak pernah berubah. Karena memang di Tunis ini ada istilah adzan sentral, adzan yang hanya dikumandangkan oleh radio pemerintah saja sehingga pengurus mesjid-mesjid lain cukup dengan mengarahkan micropon mesjid pada salon radio, maka terdengarlah adzan dengan suara dan waktu yang sama. Jadi, tidaklah heran kalau semua masjid yang kudengar, muadzin nya sama semua.

"By..by bangun, dah shubuh tuh" tanganku menggoyangkan badan Hasby, teman sekamarku yang masih tidur pulas, tubuhnya yang mengerut seperti kuuk (seekor hewan yang bisa mengerutkan tubuhnya menjadi pendek dan kecil) karena kedinginan. Maklum di Tunis sekarang lagi musim dingin, rasa dingin sangat tajam menembus kulit menusuk tulang.
"Hhmm jam berapa sih?" tanya Hasby tanpa bergeming sedikitpun dari selimutnya. Tetap seperti tadi, seluruh badannya tertutup selimut rapat.
"Udah adzan, udah jam 5.50, ayo berjamaah dulu !" ajakku lagi, kubuka selimut yang menutupi seluruh tubuh Hasby, laksana ulat keluar dari kepompong. Dengan mata masih terpejam dan langkah sempoyongan, Hasby pun bangkit dan berjalan menuju kamar mandi, kemudian kami berjamaah.

***

"Wah pagi ini masak apa nih Din?, aromanya sampai tercium terbawa mimpi, sampe membangunkan ku" celetuk Ridlo yang tiba-tiba sudah berada dibelakangku, dengan handuk di pundaknya.
"Biasa..Spageti bumbu merah" jawabku singkat, sambil tanganku tetap sibuk mengaduk bumbu (TBC : alias Tomat, Bawang, Cabe) spageti yang telah kurebus terlebih dahulu.
"Oh..sipp lah kalo gitu, yang enak yah !!" jawab Ridlo sambil tangannya iseng mengambil selembar spageti, dan memasukan ke mulutnya yang sudah dia buka lebar sebelumnya.
"Iya..udah sana sholat shubuh dulu, dibangunkan tidurnya kayak bangke aja, makanya klo nge-game jangan sampe larut malam, akibatnya gitu, ketinggalan berjamaah" suruhku lagi, kulemparkan senyumku, agar kata-kataku tidak menyinggungnya.
"Sorry deh, lain kali ngak deh" jawab Ridlo sambil masuk kamar mandi.

***

"Ayo nyarap-nyarap…By,Dlo,Di,Bal!" ajakku pada Hasby, Ridlo, Hamdi dan Iqbal. Aku tinggal serumah bersama 6 orang temanku. Rumah sewaanku terdiri dari 2 kamar yang lumayan besar, satu kamar diisi oleh 3 orang, dan yang satu kamarnya lagi diisi oleh empat orang, karena memang ukuran kamarnya lebih besar, aku sekamar dengan Hasby dan Iqbal.
"Ayo ah nyarap dulu" sambut Hasby sambil melangkah cepat menuju dapur, diikuti Ridlo dan Hamdi.
" Bal ngak makan?" tanyaku pada Iqbal, yang dari tadi kulihat masih duduk berselimut.
"Nantilah Fren… bentar lagi, masih dingin nih" jawabnya tanpa reaksi, dingin, sedingin udara pagi.
"Dikki dan Parman kemana Dlo?" tanyaku, karena dari tadi aku belum melihat mereka keluar dari kamar.
"Dikki tadi malam ngak pulang, katanya nginep di rumah Fudin, klo Parman masih tidur tuh, belum bangun" jawab Ridlo menjelaskan.
"Parman memang sudah kebiasaan gitu Din, sudah shubuh trus tidur lagi, masih istiqomah dengan kebiasaan Kaironya" timpal Iqbal sambil tertawa renyah tanpa beban.
"Ah si Parman aja yang gitu, ngak semua alumni Kairo gitu kok, buktinya Nurdin ngak gitu, bahkan dia bangun lebih dulu bahkan yang nyiapin sarapan kita, betul ngak By?" timpal Ridlo memujiku sekaligus menyanggah imeg bahwa alumni Kairo sering tidur pagi. Sebenarnya aku juga ingin mengatakan bahwa tak semua mahasiswa Kairo seperti yang dikatakan Iqbal, tapi hanya beberapa orang saja yang demikian, bisa dikatakan hanya berberapa oknum saja, tapi kuurungkan niatku tadi karena Ridlo sudah lebih dulu menyampaikan gerentes hatiku.
"Iya Dlo, pendapatku idem sama pendapatmu" komentar Hasby sambil menghabisi suap terakhirnya dan langsung ke dapur.
"Udahh…Iqbal kan hanya bercanda, gitu aja kok repot" Hamdi mencoba menstabilkan suasana yang mendadak sedikit jadi tegang, sambil mengadopsi kata-kata Gusdur, kontan kamipun tertawa.
"Kuliah jam berapa Bal?" pertanyaanku membuat wajah Iqbal yang tadi seperti tertekan, kontan berubah santai.
"Jam sepuluh, kamu?"
"Aku sebentar lagi, jam delapan"
"Madah (Mata Kuliah) apa Din?"
"Pemikiran Kontemperer" jawabku sambil menyiapkan buku, pensil dan langsung kumasukkan kedalam tas gendong kecilku yang mungil. Tas kecil ini dapat mengingatkanku kepada perjalanan religius sekaligus dapat mengingatkanku ketika aku menjadi ‘pembantu’ Para Tamu Allah. Tas ini kubeli di Saudi Arabia ketika aku diberikan kesempatan untuk Temus tahun 2004 satu tahun yang lalu.
"Ayo semuanya, pamit dulu nih, mau kuli….ah dulu, Assalamu’alaikum" pamitku pada teman-temanku, tanpa menunggu jawaban mereka atas salamku, aku langsung tutup pintu.

***

"Ayo masuk! Dosennya sudah datang" ajak Muaz teman sekelasku. Dia orang Tunis asli, selain orangnya ganteng, baik lagi. Aku sering melihat catatan dia, karena dia menulis lebih cepat dariku, walaupun begitu kalo tulisannya sih masih bagus tulisanku hehe.. Fakta ini Muaz sendiri yang bilang padaku pada suatu hari, sambil melihat tulisanku dia berkata: "Tulisanmu bagus, kamu kalighrafer yah?" katanya dengan Bahasa Arab Fushah, karena dia sudah tahu, kalau aku belum tahu banyak bahasa arab Amiyah Tunis.

"Beh" jawabku singkat, sambil membuntuti Muaz yang lebih dulu angkat kaki menuju ruangan. Beh bahasa ‘amiyyah nya Tunis yang artinya Ok, Masyi kalo di Mesir.

***

"Daar…dalem bangaaat yang lagi ngelamun, mikirin siapa sih? Pasti mikirin yang di Mesir ya? Sari Siti Sholehah, iya kan?" tiba-tiba saja suara itu membubarkan sederet lamunanku, membuyarkan segerombolan imajinasiku, kulihat Parman dengan senyum nya yang khas sudah berdiri di sampingku.
"Ah kamu Man, kalo masuk jangan main slonong boy aja dong, salam dulu kek, ngagetin orang aja" kritikku dengan nada sedikit kesal.
"Afwan Din, aku lupa salam, lagian anteng banget ngelamunya. Si Sari pasti suka sama Ente, jangan terlalu dilamunkan" Parman i’tidzar sambil duduk disampingku.
"Eh...jangan sok tahu pikiran orang yah? Siapa lagi yang melamun, aku lagi mikirin masa depanku" apologiku, sambil kubalikkan badanku menghadap Parman yang baru saja duduk.
"Jangan boong ah, pake mungkir segala, boong itu dosa tahu" Parman berdalih sambil tangannya mengambil buku "Kiat Menjadi Suami Idaman" yang tadi telah kubaca sebagian. Memang aku akui, tadi aku sedang teringat pada Sari Siti Sholehah, gadis sunda yang ayu, cantik, pintar dan baik, sesuai dengan namanya dia juga Sholehah, yang beberapa hari menjelang kepergianku ke Tunis aku telah mengungkapkan perasaanku padanya, bahwa aku menyukai dan menyanginya, walaupun dengan perasaan berat dan terasa lidahku mendadak kelu waktu itu, akhirnya aku berhasil mengungkapkan perasaanku, namun dia belum jawab pertanyaanku, katanya sih dia belum bisa jawab sekarang, karena dia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak menjawab dulu ‘masalah’ seperti ini. Dan tadi aku melamun, mencoba menerka, kapan jawaban itu akan kudapat. Aku nggak mau Parman mengetahui, bahwa aku sudah mengungkapkan perasaan ku pada Sari, walaupun dia kenal Sari, karena diapun pernah di Kairo.
"Aku ngak boong, tapi benar-benar tadi itu aku sedang memikirkan masa depanku" jelasku sambil mengulurkan tanganku untuk mengambil roti coklat yang terletak di meja belajarku, yang tak jauh dari tempat tidurku yang kududuki. Dalam hatiku berkata: "yang dimaksud memikirkan masa depanku itu, memikirkan calon istriku, yaitu Sari, inikan hanya cita-cita dan keinginanku, aku pikir tidak ada salahnya kalau aku berkeinginan seperti itu, adapun bila takdir Allah tidak berpihak padaku sehingga Sari tidak suka padaku, itu urusan lain. Iya nggak pembaca?
"Ya udah terserah deh, yang penting pesananku harus ada, ayo mana?" jawab Parman sambil menegadahkan tangan kanannya, bak seorang peminta-minta di pinggir jalan.
"Oh ya, untung aku ingat, padahal tadi hampir kelupaan, bentar ya..aku ambil dulu" aku berdiri untuk mengambil kartu (pulsa) Tunisiana pesanan Parman, yang kubeli tadi sambil lewat pulang kuliah.
"Nih kartunya"
Tangan Parman menyambar kartu dari tanganku, dalam hitungan detik, kartu Tunisianapun sudah pindah ketangannya.
"Merci ya Din"

***

Hari yang dinginpun telah berubah menjadi gelap, tanda Sang Malam telah datang menggantikan tugas Sang Siang. Membuat udara semakin dingin. Kulit dan tulang terasa laksana ditusuk oleh jarum-jarum salju yang sangat tajam. Membuat setiap orang lebih memilih berselimut tebal di tempat tidur dari pada keluar rumah, tidak heran kalo di jalan-jalanpun sepi, tak terlihat ada orang yang berkeliaran.
Setelah shalat isya akupun hanya diam di kamar dengan memakai jaket tebal, memindahkan catatan pelajaran kuliah yang tadi siang, agar terlihat lebih rapih. Ternyata kuliah di Universitas Az-Zaytuna-Tunis aku harus bisa menulis dengan cepat dan jeli pendengaran, karena hampir setiap Dosen, mendiktekkan pelajarannya. Berbeda dengan di Al-Azhar-Kairo, Dosen yang mengarang kitab (mukorror), sehingga ketika muhadharah, mahasiswa hanya mendengarkan penerangan mukorror tersebut dari Dosen, hanya sekali-kali saja mencatat bila ada yang penting, itupun kalo keluar dari mukorror tersebut.
Pukul 22.00 mataku sudah lima watt, aku tak kuat menahan Sang Kantuk yang sudah mulai menggelantungi bibir mataku, dia datang lebih cepat, biasanya dia datang pukul 23.00, mungkin karena siang tadi aku terlalu capek; masak, kuliah dan belanja serta mencuci, akhirnya akupun harus menyerah pada Sang Kantuk sebelum habis jadwal waktu belajarku. Setelah kututup dan ku bereskan buku-buku, ku baringkan tubuhku diatas kasur yang sudah di desain hanya untuk seorang, yang lumayan empuk.
"Bismillahirrohmanirrohim, Bismikallahumma ahya wa bismika amut, Ashadu aallah ilaha illallah waashadu anna muhammadarrasulullah, la haula wala quwwata illah billah". Kubaca juga surat Al-Falaq dan An-Nas serta al-Ikhlash, ku akhiri dengan membaca ayat kursi. "Allahula ilaha illah huwal hayyul qoyyum…

***

"Hah..dimana ini, kayaknya aku pernah kesini" gumamku dalam hati. Kulihat ke belakangku, tampak plang metro anfaq (kereta bawah tanah) bertuliskan Buhust.
"oh iya, ini mahattah metro anfaq, mahattah buhust" gumamku lagi. Kulihat didepanku ada wartel kemudian sebelah kanannya terdapat toko Hp.
"Oh iya, ini Dokki" hatiku gembira, karena aku sekarang tidak bingung lagi, sekarang aku sudah ingat betul. Aku berada di Dokki. Kalo gitu aku langsung ke rumah Pak Subhan saja. Kulangkahkan kaki dengan pasti menuju rumah Pak Subhan.
"Teet…teet…teet" bel yang berada di bawah rumah Teh Tia (istrinya Pak Subhan) ku pijit tiga kali.
"Din?". Kuarahkan mataku keatas, menengok pada sumber suara yang tadi memanggilku. Kulihat kepala Teh Tia yang nongol dari atas jendela.
"Iya Teh" jawabku, sambil bersiap-siap mererima kunci gerbang yang akan dilemparkan Teteh ke arahku. Teteh panggilan sunda yang bisa berarti Kakak atau Tante/Mbak (kalo dijawa). Ku memanggil Teh Tia dengan sebutan Teteh, karena dia sudah menganggapku sebagai adik, dan akupun sudah merasa bagian dari keluarganya. Setelah ku terima kunci, akupun membuka gerbang dengan mudah.
"Assalamu’alaikum"
"Wa’alaikumussalam, kapan pulang Din?" sambut Teteh dengan raut muka yang gembira.
"Kemarin Teh"
"Eh Nurdin, gimana kabarnya Din? Tanya Pak Subhan yang baru saja keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi, diikuti Yusuf dan Asti, putra dan putri Pak Subhan.
"Alhamdulillah sehat Pak".
"Eh Om Nurdin datang" teriak Asti sambil tak segan-segan lagi merangkulku.
"Eh…Eneng, pha kabar Neng? " sambutku, sambil langsung kugendong anak kecil yang baru kelas 2 SD ini. Dia masih seperti dulu, ketika aku masih di Kairo, jika aku main ke rumahnya, pasti manja kepadaku. Begitu juga dengan kakaknya yang baru kelas 5 SD, Yusuf, dia sangat senang kalo ada aku, karena ada yang nemenin dia main FS2, walaupun aku tidak pernah menang klo main PS2 berlawanan sama dia, meskipun demikian aku senang bila bermain dengan dia, kadang dapat menghilangkan kepenatan pikiranku dikarenakan belajar, atau ada masalah lain, yang tanpa diundang datang menerpaku.
"Mau kemana Pak, kayak mau keluar?" tanyaku, sambil ku duduk dikursi yang susunannya masih seperti dulu hanya warnanya sedikit berubah, sekarang warna hijau itu sudah terlihat pudar. Pantas saja, karena bangku dan semua ciptaan Allah hanyalah sebuah benda, hanya sebatas makhlukNya yang semuanya tidak akan ada yang kekal abadi, seperti halnya wajah cantik, dia akan berubah termakan usia. Ku dudukkan Asti dipangkuanku, karena dia nggak mau turun dari pangkuanku, masih kangen kali yah…
"Kita mau ke Wonder Land, Ucup dan Asti ingin kesana" jawab Pak Subhan menjelaskan.
"Ikut aja Din, sekalian kita makan di luar, Teteh ingin menjamu Orang Tunis" ajak Teteh sambil tersenyum, meyakinkanku untuk ikut.
"Iya Om ikut aja, nanti main mobil-mobilan sama Ucup"
"Iya Om, aku takut kalo main mobil-mobilan sendirian, temenin aku ya? " rajuk Asti, membuat aku tidak kuasa untuk menolak. Tangannya yang lucu, membenarkan kerah bajuku, yang tidak rapi karena memang nggak ku setrika. Memang kadang aku suka berpikir praktis terhadap penampilan: belum punya beubereuh ini, ngak perlu terlalu rapi.
"Iya Pak saya ikut deh"
"Asyiik Om Nurdin ikut" Asti dan Yusuf serempak berteriak menggambarkan kegembiraannya akan keikut-sertaanku.
"Ayo siap-siap dong semuanya". Ajak Teteh pada semuanya.

***

"Hah apa aku ngak salah lihat, kok si Parman ada disini, lagi ngapain? " hatiku bertanya kaget, ku dekati pemuda yang duduk di kursi panjang dengan pandangannya yang terfokus ke zona mobil-mobilan yang saat itu dipenuhi oleh anak-anak. Tampak jelas pemuda itu adalah Parman, teman serumahku di Tunis.
"Man kok ada disini, ngapain kamu?" tanyaku sambil duduk disampingnya.
"Eh kamu Din, kamu yang ngapain disini?" Parman balik bertanya, terlihat wajahnya kaget melihat kedatanganku.
"Aku tadi ikut Pak Subhan, tapi aku ngak tahu, kemana mereka sekarang. Kamu ngapain?" jelasku sambil balik bertanya lagi.
"Refreshing nih, aku lagi pusing Frend, BT di rumah terus". Aku tambah kaget dan ngak mengerti mendengar jawaban Parman seperti itu, kok BT aja sampe berada disini (Mesir), jauh sekali refreshingnya. Belum hilang rasa kagetku Parman mengajakku main mobil-mobilan.
"Eh…kita naik mobil-mobilan yuk" ajak Parman sambil berdiri, tanpa menunggu persetujuanku dia menarik tanganku. Aku hanya bisa mengikuti tarikan tangannya.
"Tunggu disini sebentar Din, aku beli karcis dulu" jelas Parman sambil pergi menuju loket.
Aku hanya bisa anggukan kepalaku sebagai isyarat persetujuanku, sambil berdiri menunggu karcis yang lagi dibeli Parman, ku lemparkan pandanganku ke sebuah KFC yang tidak jauh dari tempat berdiriku.
"Hah…Sari, apakah mataku salah melihat, astaghfirullah" gumamku setengah tak sadar, karena mataku jelas melihat Sari bersama keluarga Pak Subhan.
"Heh…disuruh menunggu malah melamun, nih karcisnya" ucapan Parman seakan-akan menyadarkanku.
"Man lihat tuh, apakah aku ngak salah lihat?"
"Lihat apa?"
"Itu di dekat KFC" jawabku sambil kutunjukkan lurus telunjukku ke arah Sari dan keluarga Pak Subhan berada.
"Oh itu, kenapa? "
"Apa yang kamu lihat Man" tanyaku lagi penuh penasaran.
"Iya itu…bukankah itu bidadarimu?"
"Iya siapa?" desakku lagi ingin yakin.
"Iya siapa lagi kalau bukan Sari" jawaban Parman pasti, dengan diiringi tawa yang ditahan, karena takut terdengar oleh Sari dan kaluarga Pak Subhan, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami berdiri.
Wah kalo gitu aku yakin sekarang, aku ngak salah lihat, yang ada bersama Pak Subhan dan keluarganya itu adalah Sari, Sari Siti Sholehah, wanita yang menjadi dambaanku saat ini, entah esok hari atau lusa nanti, aku tak tahu, karena hati dan jiwaku bukan milikku. Memang kuakui, selama ini aku sedang menunggu jawaban dia atas pernyataan hatiku dulu, yang telah ku ungkapkan pada hari-hari terakhirku menjelang keberangkatanku ke Tunis, sebenarnya aku ingin menanyakan lagi tentang jawaban itu, namun aku khawatir bila aku terus tanyakan lagi, dia merasa tidak nyaman dan mengganggu pikirannya, biarlah waktu yang akan menjawab, ataupun Sari sendiri yang menjawab tanpa adanya pertanyaan dariku lagi. Toh dia sudah berjanji padaku untuk menjawabnya, aku yakin akan janjinya, pasti dia akan tepati.
"Cepat samperin Din, kalau kamu memang suka dia, ungkapkan perasaan hatimu sekarang, ini kesempatan baik Din, Sari memang menurutku juga cantik kok, kamu tidak salah pilih" usul Parman padaku.
Memang kali ini terlihat jelas olehku wajah Sari yang cantik, lembut dan semyumnya yang berseri, karena kali ini dia nggak pake cadar, akupun ngak tahu dan sedikit heran, sejak kapan dia sudah melepas cadarnya.
"Iya nih, aku ingin menghampirinya, antar aku yuk!" ajakku pada Parman.
"Oke deh, demi setia kawan, aku cancel dulu naik bombongkarnya" sambut Parman tanpa tersirat penyesalan di raut wajahnya karena tidak jadi naik mobil-mobilan. Memang teman-temanku semuanya baik padaku, mereka semuanya sangat pengertian dan setia kawan, tak terkecuali Parman.
Akupun mendekatinya.
"Eh kakak, apa kabar Kak?" tanya Sari sambil tersenyum indah saat kuhampiri. Senyuman manis yang terukir diraut wajahnya yang berseri, membuat hatiku semakin yakin dengan pilihanku; dia cantik, ramah, dia juga pintar dan baik.
"Eeu..alhamdulillah sehat" jawabku dengan nada sedikit gemetar. Maklum GR ;-)

"Hah...kemana si Parman yang tadi mengantarku, kok aku hanya berdua dengan Sari begini, kemana Pak Subhan yang tadi bersama Sari" gumamku dalam hati penuh misteri. Aku sangat kaget ketika kudapati aku hanya berdua dengan Sari. Keadaan ini sangat aneh dan terasa janggal olehku, dari sejak pertama kali aku melihat Parman yang berada disini, cukup membuatku tercengang kemudian dia mendadak menghilang, ditambah lagi sekarang, tiba-tiba saja aku menjadi berdua sama Sari.

"Kakak..., Sari sudah pikirkan dan pertimbangkan tentang jawaban itu" tiba-tiba saja suara Sari yang berdiri sekitar satu meter di depanku, menyadarkan ku yang masih kaget dengan keadaan yang kualami sekarang, suara Sari yang lembut laksana air sejuk yang dipercikkan ke wajahku. Menyadarkanku.
"Oh i..iya…jadi gimana? " ucapku spontan.
"Terus terang saja, nama Kakak sudah mendapatkan tempat istimewa di hati Sari, nama kakak sudah terlukis indah di sanubari Sari, tidak ada nama lain lagi di hati ini selain nama Kakak, sekang Sari sudah benar-benar yakin dengan pilihan Sari" dengan lantang dan tegas, penuh kemantapan, ku dengar Sari membeberkan isi hatinya, membuat aku terkaget-kaget dengan tutur katanya yang lancar dan tegas. Tidak seperti biasanya yang pemalu. Terasa ada hawa sejuk yang menyusup ke pendengaranku kemudian hawa itu mengalir ke dalam relung hatiku. Membuat sekujur tubuhku terasa ringan dan melayang. Terbang...

"He Was Muhammaaad Sholallahu ‘alaihi Wasallaaam... " lambat laun terdengar olehku El-Muallim yang dinyanyikan Samy Yusuf. Lama-lama suara itu lebih keras terdengar dekat telingaku, tanganku merayap-merayap mencari sumber suara. Ah ternyata itu suara nokia 6600ku, suara beker Nokiaku, membangunkanku untuk ‘bersujud’.

“Astaghfirullah…ternyata aku hanya bermimpi, pantas saja banyak yang aneh dan janggal yang ku alami, banyak yang nggak nyambung, ternyata hanya mimpi. Ya Allah…seandainya jawaban itu nyata adanya, betapa senang dan gembiranya hatiku, aku akan setia selamanya. Dengan izinMu, kan kujadikan dia pertama dan terakhir bagiku. Bidadariku, kutunggu jawabanmu”.

Kumatikan Beker HP Nokiaku yang telah ku setting 4.45, agar setiap hari berbunyi, membangunkanku untuk bersujud pada Rabbku yang Maha Rahman dan Maha Rohim. Ya Allah aku bermimpi seperti nyata. Aku memimpikannya. Aku memang mencintainya. Ya Allah...semoga cintaku pada makhlukMu tidak mengalahkan cintaku padaMu. Jika dia memang pilihanMu untukku, biarkanlah rasa cinta dan sayang di hatiku tetap bersemi, namun jika dia bukan pilihanMu, hilangkanlah cintaku yang melekat di sanubariku padanya.

Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 6 Desember 2005

Dengan Bertanya, Maka Akan Tahu

“…Maka bertanyalah kepada ahli dzikir (orang yang ‘alim), jika kamu tidak mengetahui " [Q.S. An-Nahl:43]

Shubuh ini, entah yang keberapa kali aku ikut berjamaah di Mesjid Hawa, mesjid yang paling dekat dari tempat tinggalku. Walaupun sebenarnya, bila dibandingkan dengan mesjid tempat kostku di Kairo, jarak Mesjid Hawa terbilang jauh.

Waktu aku tinggal di Kairo, sebagai santri Al-Azhar. Jarak mesjid dengan tempat tinggalku cukup dekat. Pertama datang ke Kairo tahun 1999, aku tinggal di daerah Nasr City. Tepatnya di Bawwah III. Di distrik itu, ada tiga mesjid yang ku tahu; Mesjid Shohâbah, yang merupakan mesjid terdekat dengan rumahku, Mesjid As-Salâm dan Mesjid Limousin [diambil dari nama mobil Limousin yang berjejer di komplek mesjid]. Jarak dari rumahku ke Mesjid Shohâbah hanya lima menit dengan berjalan santai.

Kemudian, tahun 2001 aku pindah tempat tinggal ke Asrama Buuts. Islamic Mission City. Yaitu asrama khusus mahasiswa asing yang menimba ilmu di Al-Azhar. Tidak kurang dari 90 negara, mahasiswa yang tinggal disana. Jarak Mesjid dari kamarku sangat dekat, dengan dua menit aku bisa sampai.

Kemudian setelah selesai strata satuku, aku ‘diharuskan’ pindah tempat tinggal ke luar asrama. Akhirnya tahun 2005 aku tinggal di apartemen baru yang terletak di Hay Tsamin. Mesjid berada pas di bawah apartemenku tinggal. Walaupun kamarku di lantai sebelas, hanya dengan satu menit, karena pakai lift, aku bisa ikut berjamaah bersama kawan-kawan seperjuangku.

Sekarang aku sudah di Tunis, terhitung sejak 11 Nopember 2005. Jarak mesjid dari tempat tinggalku lumayan jauh. Ada tiga mesjid di sekitar rumahku. Namun mesjid yang terdekat adalah mesjid yang tadi, Mesjid Hawa. Karena rumahku terletak didataran rendah dan Mesjid Hawa berada di atas, dengan berjalan naik, bisa sampai ke Mesjid itu dengan waktu lima belas menit.

Biasanya, aku keluar shubuh dengan memakai jaket dan traning tebal serta sepatu sport. Ku sengaja mendaki jalan menuju Mesjid Hawa dengan berlari. Begitu juga pulangnya. Aku berlari selain untuk berolah raga, juga lumayan dapat mengurangi rasa dingin pada tubuhku, dikarenakan hawa panas yang timbul dari tubuh yang digerakkan. Istilah kata, sambil menyelam minum air. Sambil ke mesjid berolah raga. Pas nggak yach istilahnya hehe…J

Selama ini, ada satu kepenasaran yang belum terungkap olehku semenjak “bergabung shubuh”, yaitu, berdiamnya imam dan para jamaah selama satu sampai dua menit, tanpa bersuara. Yang kudengar hanya suara bisikan was wes wos saja. Diam sejenaknya mereka itu, dilakukan pada rakaat terakhir setelah bacaan surat, sebelum rukuk.

Untuk pertama kalinya ku berjamah shubuh, perbuatan mereka dapat membuatku keheranan. Aku tidak tahu harus membaca apa saat mereka berdiam. Kadang aku hanya diam tanpa membaca apa-apa, kadang ku ulangi lagi membaca Fatihah. Hehe…bingung sich

Sekali, dua kali, tiga kali, dan seterusnya, hatiku hanya menebak-menebak. Mungkinkah mereka itu membaca Doa Qunut? Tapi pada waktu yang sama, hatiku juga menjawab, masak sich qunut dibaca sebelum rukuk. Yang kutahu, qunut dibaca setelah rukuk. Bukan sebelumnya.

Jauh sebelumnya, ingin ku mengetahui sendiri apa yang mereka baca dan mencari keterangan atau sebab mengapa mereka berdiri dan diam pada rakaat kedua itu. Ingin ku mencari dasar yang mereka jadikan landasan. Namun, keterbatasan referensi buku fiqh yang kupunyai, tidak kutemu­kan yang menjelaskan tentang itu.

Akhirnya, shubuh tadi, kepenasaran ini ingin kutanyakan langsung pada Imam Mesjid. Dengan sedikit malu, setelah berjamaah dan bersalaman, kutatanyakan pada beliau. Terjadilah dialog sederhana:

“Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumussalam “
“Le bes Inty” [Le bes adalah bahasa pasarannya (‘amiyah) Tunis yang artinya baik, sehat atau khoir, diambil dari kalimah fushah, La ba’sa. Sedangkan kalimat Inty, dimaksudkan dengan Anta (kamu). Mereka menggunakan inty, kepada semua jenis, baik laki-laki atau perempuan]
“Le Bes ya Syekh. Afwan, boleh saya bertanya ? “
“Silakan“
“Begini Syekh, pada rakaat terakhir, setelah membaca surat, antum tetap berdiri dan diam, apa yang antum baca pada waktu diam tersebut?”
“Oh, kami membaca qunut”
“Bukankah, qunut dibaca setelah rukuk?”
“Oh, itu di madzhab Syafi’i. Kami Maliky, pada madzhab Maliky, qunut itu dibaca sebelum rukuk dan dibaca sirran (desahan suara )”
“Oh…[sambil melongoJ]”
“Kamu hapal doa qunut?”
“Insya Allah. Saya syafi’y, saya baca qunut pada rakaat terakhir setelah rukuk. syukron Syekh”

Itulah jawaban Syekh, yang sekarang ku tahu namanya, Muhammad. Maka dengan bertanya aku jadi tahu. Meskipun aku kurang puas karena belum membaca keterangannya langsung. Ya, tidak hari ini, mungkin nanti akan kucari sendiri sampai dapat. Teruslah belajar ya…!!!

Pulang ShubuH tunduH
27 Januari 2006

***
Ketidakpuasan hatiku terhadap jawaban Syekh rupanya masih belum berujung. Ketika ku pergi kuliah tadi siang, sengaja mampir ke perpustakaan, kebetulan hari tadi, dosen mata kuliah firoq tidak hadir. Ketika kumasuki ruangan kelas, yang kudapati hanya jajaran bangku-bangku kosong, tak ada seorangpun yang datang, hhmm…rupanya mereka masih [menganggap] libur Idul Adha, kok belum aktif kuliah, gumam hatiku.

Di perpustakaan, aku sibuk mencari buku-buku fiqh tentang Doa Qunut, alangkah baiknya kalau aku menemukan buku fiqh Maliky, karena aku ingin yakin dengan jawaban Syekh Muhammad shubuh tadi. Di Fiqh Sunnahnya Syekh Sayyid Sabik tidak kutemukan tentang penjelasan Syekh Muhammd. Aku hanya temukan keterangan [potongannya], Doa Qunut pada Shalat Shubuh tidak disyareatkan kecuali pada Qunut Nazilah, kerena menurut riwayat Zuber, khalifah yang tiga tidak pernah qunut pada Shalat Fajr [shubuh], pendapat inilah yang diambil oleh Imam Hambali dan Hanafi beserta pengikutnya. Tak heran ketika aku di Mesir, kebanyakan imam tidak memakai qunut di waktu shubuh, karena kebanyakan mereka bermadzhab Hanafy. Lalu, Sayyid Sabik menutup pembahasan qunut di dalam kitabnya dengan keterangan, bahwa Doa Qunut [membaca atau tidak] merupakan perbedaan yang dibolehkan. Membacanya ataupun tidak sama saja. Sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Rosulullah Saw.

Namun, setelah sembilan ratus detik. Akhirnya, pencarianku terhenti, setelah mendapatkan keterangan dari kitab Al-Isyrâf ‘alâ Nakti Masâil al-Khilâf. “Oh...Iya ya ya”, tak terasa mulutku seakan berbisik mengiringi kepalaku yang serta merta ku angguk-anggukan, ketika membaca keterangan dari kitab itu. Bunyi [potongan] keterangannya tertulis:
Dibolehkan membaca doa qunut sebelum rukuk atau setelahnya, berbeda dengan Syafi’i yang mengatakan bahwa Doa Qunut dibaca setelah rukuk, berdasarkan ijma para shahabat. Di riwayatkan dari Ubay, bahwa, semula qunut dilakukan setelah rukuk. Namun, Umar melakukannya sebelum rukuk. Pendapat senada juga disampaikan Ustman ketika ditanya oleh para Muhajrin dan Anshar. Alasannya, Qunut dilakukan sebelum rukuk karena mempunyai faidah [manfaat], yakni, menunggu makmum yang masbûq [terlambat]. Sedangkan bila dilakukan setelahnya, faidah itu tidak ada.

Nah, sekarang aku sudah yakin setelah membaca kitabnya Seorang Ulama Maliky yang berkebangsaan Iraq tersebut. Al-Qôdhy Abu Muhammad Abdul Wahab bin ‘Aly nama lengkapnya. Beliau wafat 422 H. Pada halaman 156, lembar keterangan itu berada.

Jadi, Imam Masjid Hawwa, Syekh Muhammad. Berpendapat qunut dibaca sebelum rukuk, kerena dapat menunggu makmum yang terlambat datang berjamaah alias masbûq. Mengikuti madzhab imamnya, Maliky ra.

Di pinggiran kota Tunis yang tiris
LelaH pulang kuliaH
Ulpa® 27 Januari 2006

Bakwan Party di Bulan Hajy [i]

Bakwan Party
Bakwan adalah salah satu makanan pavoritku. Aku mulai mengaguminya ketika aku masih sekolah di Cianjur, tepatnya di Tsanawiyyah dan Aliyah Tawiriyyah [MAK]. Sekolahku ini letaknya di Desa Sindanglaka-Karangtengah. Desa sejuk nan indah. Desa yang telah memberiku banyak ‘arti’. Walaupun aku jarang jajan, namun sekali jajan, bakwan pasti akan jadi salah satu target jajananku.

Setelah selesai Aliyah, aku bersama dua orang temanku menjadi duta Tanwiriyyah untuk mengikuti test ke Al-Azhar. Waktu itu, sekolahku mendapat informasi dari selebaran Depag yang sedang membuka pendaftaran bagi mereka yang hendak meneruskan kuliah ke Universitas tertua di dunia ini. Alhamdulillah, dari tiga orang tersebut, hanya aku yang diberi kesempatan untuk berangkat ke Mesir.

Di Mesir, ku kira tidak akan mendapatkan makanan pavoritku tadi, bakwan. Karena yang terbayang di ingatanku, Mesir adalah Negara Arab dan tidak mungkin mereka memproduksi bakwan sebagai makanan masyarakatnya. Bakwan [setahuku] makanan asli Indonesia. Namun, ternyata dugaanku meleset. Diluar makanan khas Mesir, seperti; to’miyah bil baidh, ruz bil bashol, ruz bil laban, kusyari, halawa, kibdah, dll., aku bisa menemukan, mencicipi bahkan belajar membuat sendiri makanan pavoritku itu. Dari salah seorang ibu rumah tangga KBRI aku bisa membuatnya.

Setelah selesai strata satuku, aku juga diberikan kesempatan untuk meneruskan program masterku ke Tunisia, masih Negara Arab. Tepatnya di Universitas Az-Zaytuna. Termasuk universitas tertua di dunia juga. Sejak semula berangkat menuju Tunis, aku tidak terlalu berharap untuk menemukan makanan pavoritku, toh walaupun tidak aku temukan, aku bisa membuatnya sendiri.

Baru beberapa hari aku tinggal di Tunis, aku kangen dengan makanan pavoritku itu. Tidak sulit aku membuatnya, karena bahan-bahan yang primer, seperti; terigu, kol dan wortel gampang kutemukan di pasar. Cara membuatnyapun aku masih ingat betul: kol dan wortel di iris-iris kecil, kemudian tambahkan terigu. Lalu bisa ditambah dengan irisan-irisan kecil bawang merah, agar bakwan tercium wangi. Kemudian bubuhkan garam dan penyedap rasa secukupnya, bisa ditambahkan sedikit bubuk kunyit agar penampilan bakwan terlihat ‘menarik’. Agar mudah, aduk dahulu bahan-bahan tadi sampai merata tanpa diberi air. Setelah bahan dan bumbu tadi rata teraduk, baru kemudian diberi air secukupnya lalu aduk kembali.

Dari mulai mengiris-iris wortel dan kol sampai menjadi adonan, kurang dari satu jam aku selesai membuatnya. Lalu adonan tersebut ku goreng dan ku suguhkan kepada teman-teman serumahku, seketika itu juga, bakwan buatanku itu ‘laris manis’ tidak tersisa. Oh, ternyata makanan pavoritku menjadi makanan kesukaan teman-temanku juga.

Malam ini 250106, bertepatan dengan Bulan Haji, tanggal 25 Dzulhijjah. Aku coba membuat bakwan lebih banyak, hampir satu kilo lebih terigu dan dua bulatan kol [kecil] ku habiskan. “malam ini kita pesta bakwan, jangan ada kata kurang Pren!” celetuk salah seorang temanku berusul. “asyik…bakwan farty nih” timpal temanku yang lain lagi.

Entah berapa puluh keping bakwan yang aku goreng, yang ku kira, untuk ukuran tujuh orang, pasti akan cukup bahkan mungkin akan nyisa.

Gerimis yang ditemani cayaha temaram di luar sana, udara dingin yang menikam kulit, seakan tidak terhiraukan oleh seonggok anak manusia yang sedang asyik melingkar menggerumuti meja bundar, menyantap makanan yang berada di piringnya masing-masing. Makan malam itupun terasa lebih istimewa dengan adanya makanan asli ‘Ibu Pertiwi’, bakwan. Tidak ada yang berbica ketika ‘pesta bakwan’ berlangsung, yang terdengar hanya suara grak-greknya bakwan kering yang tercabik-cabik oleh gigi-gigi laparnya anak-anak adam. Sesekali terdengar haah nya suara yang kepedasan. Karena waktu itu, sambal yang cukup pedas, ikut ‘berpartisipasi’ menjadi korban penderita menemani bakwan.

Ternyata, makan malam yang istimewa itu, tidak menyisakan walau sekeping makanan pavoritku itu. Semuanya habis disantap bersama-sama.

‘Ala kulli hâl. Aku sangat senang, karena bakwan buatanku dapat mengisi perut-perut para penuntut ilmu. Keceriaan dan kegembiraan mereka dapat menghilangkan rasa capekku membuat bakwan. Bukankan idkhôlussurûr [menggembirakan hati orang lain] merupakan ibadah? Semoga saja amalanku ini menjadi amal sholeh dihadapan Allah. Amin

Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 25 Januari 2006

Wednesday, January 25, 2006

Ku Tak Berharap Sebagai Rahwana

Kucoba menghitung hari penantianku. Ternyata, sudah tiga bulan aku habiskan. Menunggu jawaban hati dari seorang dambaanku di Negeri Sebrang Lamunan sana. Semenjak ku mengungkapkan perasaan hati ini, aku hampir tidak pernah berhenti berdoa di keheningan malamku, "ya Allah, berikanlah aku istri sholehah. Baik agamanya, yang terbaik buatku. Jika seandainya dia adalah pilihanMu untukku, semikanlah selalu rasa cinta dan sayangku. Jadikanlah cintaku padanya lebih mendekatkan diriku pada keagunganMu. Berilah aku ketenangan dan kebersihat hati."

Dalam doa, ku hanya menginginkan rofĩqoh hayâh yang sholehah. Karena aku yakin, hidup bersama dengan istri sholehah akan bahagia. Dia akan menjadi obat dikalaku sakit. Dia akan menjadi penghibur dikala ku sedih. Dia akan menjadi penyejuk dikala hatiku panas bergelora. Dia akan menjadi pendukung atas karirku. Dia akan tersenyum di dalam kebisuanku. Dia juga akan menjadi penasehat dan pengingat dikala ku khilaf. Dia juga akan membantu dan mengiringiku dalam meniti tangga-tangga ridho Ilahi menuju kepada samudra cintaNya yang luas, melebihi bumi langit dan segala isinya. Ya, ridho dan cinta Ilahi yang menjadi tujuan akhir hidupku di dunia. Hanya bersama istri sholehah akan mempermudahku sampai pada tujuan akhirku tersebut. Ku yakini sepenuhnya, istri sholehah adalah sebuah anugrah dan merupakan nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah pada hambaNya. Pastas saja Sayyidin Umar ra. pernah berkata: “Nikmat terbesar yang dikaruniakan Allah setelah iman dan islam adalah istri sholehah.”

Ku akui, ungkapanku saat itu adalah ungkapan pertama kata-kataku pada seorang Hawwa. Dan ini ku katakan hanya berdasarkan keseriusan dan kejujuran. Ku tak mau hanya ‘tuk sekedar bergoyang lidah belaka. Bukan cita-citaku tuk membuai kata-kata pada wanita. Cita-citaku hanya satu, mendapatkan cinta pertamaku untuk cinta terakhirku.

Aku akan cemburu, bila kutahu, calon istriku jalan berdua dengan pemuda lain yang bukan muhrimnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan gadis yang bukan muhrimku. Aku juga akan cemburu bila calon istriku berpegangan dan bergandengan tangan dengan arjuna lain yang bukan muhrimnya, karena aku belum pernah melakukannya dengan gadis yang bukan muhrimku. Apalagi lebih dari itu. Bila kutahu, pasti aku akan kecewa.

Aku selalu berusaha untuk menjaga iffahku [khususnya] terhadap gadis. Ku usahakan untuk tidak bersentuhan [bersalaman, misalnya]. Ku usahakan untuk tidak berkholwat. Ku usahakan untuk semuanya. Meskipun kadang sangat beresiko dan terasa berat apabila berbenturan dengan lingkungan yang tidak kondusif. Contoh yang sangat terasa olehku, ketika aku ikut acara menyambut tahun baru 2006 di Jerba-Tunisia. [Bisa dibaca ceritanya disini]

Ini semua kulakukan -selain karena ajaran agamaku-, karena aku menginginkan calon istriku juga melakukan sebagaimana yang aku lakukan sekarang. Aku sangat yakin dengan janji Tuhanku di dalam kitabNya. Bahwa orang-orang yang sholeh untuk yang sholehah. Aku bukan mengklaim diriku memang pantas mendapatkan seorang sholehah karena aku sudah sholeh. Bukan, sama sekali bukan. Aku hanya seorang âtsim atau ‘âshin yang berusaha [kalaupun usaha ini mungkin belum bisa di sebut sebagai usaha, namun memang inilah nyatanya] untuk menjadi seorang yang sholeh. Tak ada salahnya seorang pencuri mendambakan istri yang baik, begitu juga aku. Ku kira tidak ada salahnya berdoa dan mendambakan ‘teman hidup’ yang sholehah, meskipun aku masih jauh untuk dikatakan sebagai seorang sholeh. Aku yakin Tuhan Maha Mengetahui semua yang ada dalam detakan hatiku.

Hari ini (ahad, 220106) aku telah ‘janjian’ untuk ngobrol jarak jauh melalui dunia maya dengan dambaan hatiku itu, chating istilah dunia digital sekarang. Demi menepati janji, kurelakan makan pagi yang biasanya nasi, kuganti dengan masakan cepat saji, makrunah atau mie bumbu merah. Masakan bumbu merah adalah salah satu diantara masakan andalanku. Selain itu, aku sering masak sop dan bakwan di tempat tinggalku. Bahkan terkadang aku juga suka tumisan. Lumayan, untuk ukuran para bujangan, masakanku terhitung paling ‘laris’ dikalangan teman-teman serumahku. Keahlian memasak ini, tidak terlepas dari kontribusi Teteh dan latihanku selama tinggal di Kairo.

Ku telah dial, jam dua belas siang waktu Tunis aku harus sudah online. Karena jarak warnet dari rumahku lumayan jauh, ihthiyâthon, aku mesti berangkat satu jam sebelumnya. Setelah dhuha dan sarapan, tepat jam sebelas aku berangkat dari rumah.

Walaupun sudah jam sebelas. Ketika aku keluar rumah dan menyusuri jalan menuju ke Warnet Azur, udara sangat dingin menikam kulitku. Maklum sedang puncaknya musim dingin. Siang itu langitpun terlihat teduh. Karena ingin cepat sampai ke tujuan, kucoba memotong jalan yang kukira jalan itu adalah jalan menuju warnet. Aku kaget, karena sudah setengah jam aku berjalan, warnet belum terlihat dihadapanku. Kekhawatiranku bertambah, ketika langit mulai menitikkan butir-butir air, ya Allah… gerimis celoteh hatiku. Untung saja aku sudah persiapan dari rumah dengan memakai jaket anti hujan, jaket parasit yang ada bungkus kepalanya. Seketika itu juga, ku tutupi kepalaku. Karena hujan sudah mulai turun dan aku juga sudah keder dan takut terlambat menepati janji, kutanyakan alamat warnet kepada seorang ibu yang sedang ngobrol di pinggir jalan, terteduhi oleh atap iqomah [iqomah adalah kalimat yang digunakan di Negara Tunis untuk nama sebuah apartemen, Imarah kalau istilah di Mesir]. Dengan perasaan cemas takut terlambat, akhirnya aku sampai juga ke Azur, satu-satunya warnet yang kutahu di Negeri Ben Ali ini.

Ini chatting kedua kalinya semenjak hari ‘pengungkapan’ku. Di chatingan, kutanya kabar, keadaan dan kegiatan dia selama ini. Aku sekarang tahu, dia mau rihlah ke Ahrom (Piramid), dia mau beli buku di ma’rod (pameran buku), dia masih bingung menjawab, bahkan dia sudah minta pendapat kepada orang tuanyapun aku jadi tahu.

Ada dua informasi yang sangat penting bagiku dari chating kali ini. Pertama: Semua keputusan dan jawaban pertanyaanku ada ditangannya. Karena orang tuanya sudah membebaskan dia untuk memilih dan memutuskan. Kedua: Dia masih merasa malu untuk menjawab pertanyaanku. Aku juga nggak tahu pasti, yang dimaksud dengan kata malu versi dia. Apakah malu untuk menolak ataukah menerima.

Aku pahami perasaan malu yang ada pada seorang gadis, dia khususnya. Apalagi diapun berdalih dengan menggunakan referensi kandungan hadits, tahu ga...mungkin dia malu tuk menjawabnya. Ingat kan dalam hadits, seorang gadis itu malunya besar. Itulah potongan kata-katanya dichatingan yang sempat ku dokumentasikan.

Namun, apakah dia tidak melihat atau belum membaca hadits lain yang mengisahkan cerita dari Anas ra. bahwa ada seorang wanita yang datang menawarkan diri kepada Rasulullah Saw. dan berkata : "Ya Rasulullah! Apakah Baginda membutuhkan daku?" Putri Anas yang hadir dan mendengarkan perkataan wanita itu mencela sang wanita yang tidak punya harga diri dan rasa malu, "Alangkah sedikitnya rasa malunya, sungguh memalukan, sungguh memalukan." Anas berkata kepada putrinya : "Dia lebih baik darimu, dia senang kepada Rasulullah Saw. lalu dia menawarkan dirinya untuk Beliau!" (HR Bukhari)

Hadits Anas tersebut, menurutku, cukup untuk landasan bagi seorang wanita agar tidak malu untuk menjawab niat baik seorang 'mukoddim'. Bahkan hadits tersebut juga bisa dijadikan sebagai legalitas bagi seorang Hawwa untuk menawarkan diri. Islam memperbolehkan kaum wanita untuk menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi luhur, yang ia yakini kehormatan agamanya, dan kejujuran amanahnya menjadi suaminya. Sikap menawarkan diri ini bukan suatu hal yang ‘aib, bahkan sebaliknya, sikap ini menunjukkan ketinggian akhlaq dan kesungguhan untuk mensucikan diri. Sikap ini lebih dekat kepada ridha Allah dan untuk mendapatkan pahalaNya, Allah pasti mencatatnya sebagai kemuliaan dan mujahadah yang suci. Tidak peduli tawarannya diterima atau ditolak, terutama kalau ia tidak mempunyai wali. Insya Allah, jika sikap menawarkan diri ini dilakukan dengan ketinggian sopan santun, tidak akan menimbulkan akibat kecuali yang mashlahat. Seorang laki-laki yang memiliki pengetahuan yang mendalam pasti akan meninggikan penghormatan seperti ini, kecuali laki-laki yang rendah dan tidak memiliki kehormatan. Sayyidah Khadijah r.a teladan kongkrit bagi wanita yang bermaksud untuk menawarkan diri tersebut. Tapi, memang wajar sich dia malu tuk menjawabku, karena aku juga belum tentu dianggapnya sebagai laki-laki yang berbudi luhur, yang diyakini kehormatan agamanya dan kejujuran amanahnya untuk menjadi suaminya. Hehehe…nggak apa apa dech.

Sebenarnya, aku sudah niatkan dichatingan itu untuk tidak menyinggung atau membicarakan masalah ‘pertanyaanku’ dan ‘jawaban’ dia. Aku sudah pasrahkan segalanya pada Pengaturku. Karena aku sudah paparkan semua pada dia tentang hatiku, kini kuserahkan padanya untuk menentukan sikap dan keputusan. Kan ku terima keputusan itu walaupun [mungkin] hati pedih dan merana. Karena ku tahu tak seorang pun bisa memaksakan cinta. Waktu itu, dia memancing­ku dengan memintaku ngadongeng tentang Lia, nama pelaku dalam sebuah cerpen nyataku. Ku tak hiraukan permitaannya.

Tak terasa dua jam setengah telah kuhabiskan chating bersamanya. Seandainya saja dia tidak mengajakku untuk pulang dan kewajiban dhuhurku sudah kutunaikan. Aku masih ingin lama lagi ngobrol.

Lalu, setelah ngobrol selama dua jam setengah itu, predikat apa yang disandangku sekarang? Apakah sebagai Rahwana yang punya titel di tolak oleh Srikandi kah? Atau sebagai Romeo yang telah mendapatkan cinta Jullietkah? Atau sebagai Qais yang tergila-gila mendambakan cinta Layla? Atau juga sebagai pemuda biasa yang [masih] menunggu?

Aku tidak berharap sebagai Rahwana yang tertolak. Aku juga bukan Romeo. Aku juga tidak ingin menjadi Qais yang tergila-gila hingga lupa diri dan melupakan Tuhannya. Maka, analogi yang terakhirlah yang tepat. Yaitu, aku sebagai pemuda biasa yang masih menunggu.

Ya, sampai saat ini aku masih menunggu. Entah kapan penantian ini akan berakhir. Ku tak mau jawaban yang kan kuterima nanti berdasarkan rasa kasihan, ke­bingung­an, dan keterpaksaannya. Aku inginkan apapun jawaban dia, keputusan itu berdasarkan kejujuran, keikhlasan, kemantapan dan kesadaran sepenuhnya dari hati nurani. Kan kubiarkan dia berpikir jernih dan tenang. Kuberikan waktu tuk bertanya pada Pengaturnya dan memantapkan hatinya. Menghilangkan kebingungan dan kebimbangan yang masih menyelimuti pendiriannya. Semoga saja tidak lama lagi posisiku jelas.

Wahai Arjuna pemuja cinta. Wahai Romeo penganut cinta. Wahai Qais penggila wanita. Janganlah kamu jadikan cintamu atas Srikandimu melebihi cintamu akan Penciptamu. Janganlah kamu jadikan Julliet adalah segalanya bagimu, hingga melupakanmu untuk bersyukur pada Pengaturmu. Janganlah kamu jadikan Layla segalanya dalam hidupmu, hingga melupakan kewajibanmu terhadap Pengasihmu. Jika demikian, kamu akan celaka dan menyesal. Karena cintamu atas Srikandimu akan lenyap bersama lenyapnya kamu atau dia dari dunia. Karena cintamu atas Julliet akan sirna bersama sirnanya tubuhmu atau dia dari atas bumi. Karena cintamu atas layla akan berpisah bersama dengan berpisahnya ruh dan jasadmu atau dia. Namun cintamu terhadap Penciptamu, Pengasihmu, itulah cinta sejati. MancintaiNya, kamu tidak akan berpisah denganNya, karena Dia tak kan habis terkikis waktu, tak kan musnah tertindas zaman. Dia akan tetap kekal dan abadi. Kamu tidak akan kehilangan cintaNya untuk selamanya.

Di pinggiran kota Tunis yang
tiris
Ulpa® 22 Januari 2006

Tentang Blog Ini

Blog ini ku buat November 2005. Blog ini kujadikan sebagai kanvas lukisan keindahan dan kegembiraan sekaligus kertas coretan kesedihan dan kemendungan hatiku. Juga kujadikan diary petualanganku. Terakhir, kujadikan sebagai tempat curhatku:-)
Terima kasih kepada pengunjung blog sederhana ini. Semoga kita dapat mengambil manfaat positif dari alam internet yang mendunia. Amin

Satu Tahun Di Jerba

Idealismeku [hampir] Tergadaikan

Pagi itu (Jumat, 301205) tepat pukul 10.00 aku dan teman-teman bersama rombongan bapak-bapak KBRI dengan bis wisata Eden Tour menuju ke Jerba, untuk merayakan tahun baru 2006. Jerba kota di selatan Tunisia yang berjarak sekitar 510 km dari ibukota. Semula bis yang aku tumpangi menuju Kairawan, ibukota islam pertama di Afrika Utara (maghrib araby), kota ini didirikan oleh Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarah (27 H / 647-648 M) kemudian dilanjutkan oleh Uqbah bin Nafi’. Nama kairawan sendiri berasal dari bahasa Farsi, kurawan, yang berarti pangkalan militer, karena memang pada awalnya Kairawan dijadikan sebagai tempat pangkalan militer. Kota tersebut terletak sekitar 156 km dari ibukota Tunis dan 57 km dari Kota Sousse, dengan ketinggian 60 m di atas permukaan laut, dengan luas + 680.000 hektar.

Banyak ku lihat pemandangan indah selama di perjalanan. Selain padang pasir dan pegunungan yang hijau ranau, kulihat juga perkebunan zaitun. Di area yang sangat luas, terlihat jelas dari balik kaca bis yang aku tumpangi, jajaran pohon-pohon zaitun yang bersusun tertata rapi, bagaikan para tentara yang sedang berbaris. Pantas saja Negara Tunis selain terkenal dengan kurmanya, terkenal juga dengan buah Zaitun.

Dengan menghabiskan waktu perjalanan selama kurang lebih 7 jam, aku dan rombongan sampai di Jerba ba’da isya. Tulisan plang Nuzul Sidi Slim (Hotel Sidi Slim) bagaikan terbuat dari cayaha biru, di suasana malam yang temaram, terlihat jelas di atas hotel yang dimasuki oleh bis yang aku tumpangi.

Udara di Jerba saat itu lebih bersabahat dengan kulitku yang tidak kuat menahan dingin, angin yang sepoi-sepoi terasa tidak begitu menusuk kulitku. Setelah menurunkan barang dan peralatan yang akan ditampilkan untuk merayakan Tahun Baru dibereskan, aku dan rombongan menuju restoran untuk makan malam.

Struktur bangunan hotel tempat menginapku tidak bertingkat, susunan hotel berjajar simetris seperti vila dengan taman yang cukup luas. Kolam renang yang ada di tengah-tengah lokasi hotel menambah indah pemandangan taman. Susunan hotel yang berjajar seperti ini tidak sama dengan yang aku temui di Iskandariyah-Kairo, kebanyakan hotel-hotel itu bertingkat walaupun hanya berlantai dua.

Lokasi hotel yang terletak dekat pantai, menambah keindahan dan daya tarik tersendiri bagi para Pelancong, seandainya saja bukan musim dingin seperti sekarang, tentu akan banyak sekali Turis-turis yang berjemur di pantai.

Siang tanggal 311205, aku bersama rombongan mengunjungi tempat wisata yang ada di Jerba, diantaranya; Kota Jarzis. Menuju kesana melewati jalan yang membelah laut. Konon menurut sejarahnya jalan ini dibuat oleh orang-orang romawi doeloe.

Selain Jarzis, kota yang aku kunjungi adalah Houm Souk, kota terbesar di Jerba. Di sana bisa kutemui berbagai souvenir khas Tunis, dari mulai kerajinan tangan yang terbuat dari tanah berbentuk; piring, gelas, lukisan, sampai souvenir yang terbuat dari anyaman seperti tikar, yang dianyam berbentuk; tas kecil, kipas dan topi koboi. Hanya harganya memang lebih mahal, maklum mereka mengira semua yang datang kesitu adalah turis yang ber do it (baca: duit) semua. Padahal aku hanya lihat-lihat doank…hehe.

“Setelah istirahat, kita kumpul pukul 20.30 untuk acara menyambut tahun baru” intruksi dari Pak Hidayat sebagai ketua rombongan kepada semua penumpang bis, terdengar olehku sebelum para penumpang turun. Beliau salah seorang lokal staf KBRI-Tunis.

Pukul 20.30 terlihat olehku diruangan ‘pesta’ yang luasnya kurang lebih 20 meter persegi, gantungan balon-balon yang berwarna-warni serta bunga-bunga cantik ikut menghiasi. Ruangan itu kini sudah dijejali oleh orang-orang yang hendak merayakan kepergian tahun 2005 dan menyambut tahun 2006. Pesta yang diikuti oleh para delegasi mahasiswa dan diplomat dari 2 negara (Tunis-Libya) itu dihadiri sekitar 70 orang. Aku duduk dijajaran paling belakang, sengaja agar aku bisa melihat acara dengan tenang tanpa adanya gangguan, seperti diajak joget atau lain sebagainya.

Pesta malam itu cukup semarak, banyak acara-acara yang ditampilkan dari masing-masing delegasi Tunis dan Libya. Diantaranya ; cerdas cermat, pestival band dan karoke. Aku hanya menonton ketika mereka berjoget ria, dan berpesta meriah. Bahkan ketika disuruh untuk berjoget, aku menolaknya. “Ah saya nggak bisa joget” alasanku ketika menolak. Terus terang saja, setelah melihat kegiatan pesta, nuraniku kurang resfek dengan acara itu. Meskipun dalam hatiku juga merasa gembira karena bisa Tour gratis, ini tour pertamaku di Tunis.

Detik-detik 2005 divokalkan oleh Duta Besar Tunis, Bapak Hert­­omo Reksodiputro. Panita sibuk membagi-bagikan terompet dan topeng mainan kepada semua hadirin, aku yang duduk dibelakang juga tidak terlewatkan. Tepat pukul 00.00 bersamaan dengan hitungan nol nya Pak Duta, ruangan pesta bagaikan kapal ancur di tengah samudra. Lampu dimatikan, terompet serempak ditiup, suaranya berderu dengan suara sorak-sorai serta ledakan balon. Tebaran kertas-kertas kecilpun ditaburkan. Orang-orang yang berada didepanku hampir semuanya berdiri dan berjoget sambil berthowaf. Sungguh perayaan tahun baru yang pertama bagiku seperti ini, penomena ini tidak aku temui ketika di Kairo. Aku hanya diam terpaku dibelakang, menyaksikan pemandangan itu. “Hhmm…mereka sangat bergembira dengan datangnya tahun baru, padahal pada hakekatnya jatah umur mereka telah berkurang. Kalaupun pesta ini sebagai bukti syukur, apakah acara seperti ini bisa disebut bersyukur atas nikmat Allah?” ini hanya kata-kata yang terlontar dalam hatiku.

Setelah acara ‘peledakan balon dan peniupan terompet’ usai, Pak Dubes mengajak kepada semuanya untuk bermushofahah [salaman], dengan setengah hati, aku ikut dalam lingkaran mushofahah. Aku berniat untuk diam saja dan tidak ikut berputar menyalami semuanya, terutama para akhwat. Disinilah idealismeku hampir tergadaikan. Ketika gadis-gadis itu hendak menyalamiku, enam orang diantaranya aku mengenalnya, karena mareka keluarga dan putri-putri dari Staf KBRI Tunis. Aku hanya menyimpan kedua tanganku di depan dadaku, aku harap mereka paham dengan maksudku. Yang tidak mau bersentuhan tangan. Ada salah seorang diantara mereka yang belum paham dengan yang aku lakukan, sampai dua kali dia ulurkan kedua tangannya mengajak bersalaman denganku. “Om...” bilangnya diiringi senyum dan diikuti uluran tangannya. Aku tetap dengan pendirianku, sambil tersenyum ku simpan kedua tanganku di depan dadaku lagi. Terus terang, di hatiku ada rasa gundah. Kekhawatiran perbuatanku itu menyakiti atau menyinggung mereka.

Aku berharap semoga mereka paham dan memaklumi dengan apa yang aku lakukan. Aku bukan merasa sok suci ataupun sok ‘alim, aku hanya ingin melaksanakan ajaran islam yang aku ketahui semampuku. Hal ini aku lakukan atas larangan Rosulullah Saw. yang pernah aku baca. Aku pernah membaca sebuah hadits, bahwa Rosulullah Saw. tidak pernah menyentuh tangan perempuan (yang bukan muhrim). Bahkan ada hadits lain yang maknanya, bahwa Rosulullah Saw. lebih baik di tusuk dengan besi panas dari pada harus menyentuh tangan perempuan. Meskipun -sajauh yang pernah aku pelajari- dikalangan para ulama sendiri telah terjadi ikhtilaf (silang pendapat) tentang hukum bersalaman dengan perempuan yang bukan muhrim. Ada ‘illat (sebab) yang menyebabkan tidak dibolehkannya bersalaman. Ada sebagian ulama yang mengatakan illatnya adalah ‘syahwat’, jika dengan bersalaman akan menimbulkan syahwat atau ada perasaan lain ketika bersentuhan, maka haram hukumnya. Adapun jika tidak ada syahwat, dibolehkan bersalaman. Dicontohkan oleh ulama yang membolehkan, bersalaman dengan anak kecil atau nenek-nenek. Itulah yang aku tahu. Masih banyak ajaran-ajaran islam yang belum dapat aku laksanakan. Ya…semoga Allah memaafkan dan memberikan keberanian dan kekuatan untuk melaksanakannya.

Tidak terasa dalam dua hari telah kuhabiskan hitungan angka satu tahun di kota Jerba. Kini umurku telah hidup di tahun 2006. Semoga saja di tahun ini amal ibadahku lebih baik dari tahun kemarin. Semoga aku tidak termasuk orang-orang yang merugi apalagi orang yang terlaknat, sebagai mana yang diutarakan Junjunanku, Rosulullah Saw.Amiin.

Esoknya [ahad,010106], setelah makan siang aku dan rombongan meninggalkan Hotel Sidi Slim, salah satu hotel yang ada di kota Jerba. Selama perjalanan pulang aku banyak tidur, ngantuk sih… Sampai di Tunis pukul 23.30. Udara dingin Ibukota kini mendekapku lagi. Satu tahun di Jerba apakah bermakna?

Di pinggiran kota Tunis yang
tiris
Ulpa® 2 Januari 2006

Antara Dua Pilihan

(Ketika Cinta Harus Memilih)

"Aku sayang kamu, aku mencintaimu. Apakah kamu ada perasaan padaku?"
Rangkaian kalimat itu mampu menyihirku tertegun membatu. Membuatku tak kuasa menggerakkan sekujur tubuhku. Aku bingung untuk menjawab nya. Sungguh-sungguh bingung.
Apakah aku harus menjawab, Ya. Ataukah aku jawab sebalik­nya, Tidak.
Pernyataan ini adalah pernyataan sekaligus pertanyaan Lia padaku yang ketiga kalinya.
Dulu, pertama kali Lia pernah mengungkapkan hatinya padaku. Saat itu aku hanya menjawabnya dengan kata-kata diplomatis, Maaf...Aku belum bisa menjawabnya sekarang. Beri Aku waktu!
Pertanyaan kedua kalinya juga dengan makna yang sama. Waktu itu kucoba menjawabanya dengan menjelaskan keadaanku yang sesungguhnya,Lia...aku ini orang miskin, aku juga dari keluarga yang­­ tidak berada. Aku hanya seorang pengangguran. Masa depanku belum terbayang. Aku takut kamu akan menyesal bila hidup bersamaku. Dan perjalananku masih lama dan panjang. Namun, dengan semua penjelasanku itu, Lia tidak menjauh dariku, bahkan seakan lebih mendekatiku. Lebih mem­perhatikan­ku. Hingga sekarang.

"Aduh..." ku kernyitkan keningku. Kini terasa kepalaku mulai pusing. Perutku mulai ke­roncong­an, karena dari pagi belum ada nasi yang mampir di perutku. Seluruh ruang pikiranku masih penuh sesak dijejali kebingungan untuk menjawab pertanyaan Lia. Ah...Kenapa pertanyaan ini sangat sulit kujawab?

"Kok diam aja sich...nggak jawab pertanyaanku?" Setelah selusin menit, kembali pertanyaan itu muncul, seakan-akan keluar menerorku dan memaksaku untuk menjawab. Kalimat itu, membuat seluruh konsentrasi belajarku kabur. Membuat kepalaku bertambah pusing. Selaksa tangan-tangan ghaib seakan memeras keras kepalaku, membuat kepalaku tidak dapat kupaksakan lagi untuk tegak. Ku tutup bacaanku, dan ku­jatuhkan badanku ke atas kasur kecilku yang seketika tak lagi terasa empuk.
Kupandangi atap kamar dan sekelilingnya yang mendadak menjadi suram dan seram. Semua kini terasa menanyaiku. Suasana yang semula hening menjadi bising. Tembok dinding kamarku seakan berkata: Cepat jawab pertanyaannya!! Lemari bajuku seakan marah dan menyuruhku: Cepat jawab pertanyaannya!! Gantungan baju yang dipenuhi jaket dan jeans teman-temanku seakan berkoar: Cepat jawab pertanyaannya!! Kini semuanya me­nyuruh­ku untuk menjawab. Memaksaku. Tanpa komando, bulu kudukku kini berdiri. Menambah seram suasana malam.

Di sela-sela kepeningan kepalaku. Aku teringat pada sebuah nama, Sari. Mojang Sunda yang kini berada nun jauh disana. Ah...mungkin yang dirasakanku sekarang ini sama dengan yang dirasakan Sari. Merasa bingung untuk menjawab pertanyaanku yang kulontarkan sebelum ku pergi mengejar cita-citaku. Sari merasa bingung untuk menjawab ‘hasratku’. Diam-diam hatiku terenyuh dengan apa yang dirasakannya. kini aku merasakan apa yang Sari rasakan. Hhmm...Kasihan Sari.

“Huuuhh” kuhembuskan napasku panjang. Terasa pusing yang mengglayuti kepalaku sedikit mulai pudar. Kucoba mengusir rasa takut dengan berdzikir dan membaca ayat-ayat Al-Quran.

"Kalo kamu nggak suka padaku, bilang aja!!!" lagi-lagi kalimat itu timbul, membuat tambah kebingunganku dan kembali membuat pusing batok kepalaku yang tadi sudah mulai reda. Aku telah terdiam begitu lama. Mungkin ribuan detik sudah kuhabiskan. Hanya untuk memikirkan jawaban pertanyaan Lia.

"Lia...kenapa kau menyukaiku. Mencintaiku. Menyayangiku. Dulu kamu menganggapku hanya sebagai teman. Kenapa sekarang berubah?" Kata-kata itu hanya terlontar dan bergaung dalam hatiku. Tak sanggup ku keluarkan.

Lia memang baik, penuh perhatian dan berpendidikan. Dia jebolan sarjana Bahasa Jepang. Bahkan dia sudah mapan bekerja sebagai tutor Bahasa Jepang di Salah satu perusahaan Indonesia-Jepang. Selain itu, dia juga dari keluarga ter­pandang di desanya. Terakhir, dia juga taat beribadah.
Ku ketahui itu semua, atas laporan dia kepadaku. Masih ku ingat pada bulan Ramadhan kemarin, dia sering memberi motivasi padaku untuk lebih rajin belajar dan beribadah. Dia sering bilang, Aku baru pulang tarawehan. Gimana dengan kamu? Shaumnya? Qiraahnya? Belajarnya jangan malas-malasan yah?!

Ah...aku masih belum dapat jawaban. Aku belum bisa memutuskannya. Kenapa begitu berat untuk membuat keputusan ini. Aku se­karang dilema diantara dua pilihan; antara menerima Lia dan menunggu jawaban Sari atau menolak Lia dan menunggu jawaban Sari.

Kuterus berpikir dan mempertimbangkan segala kemungkinan yang akan terjadi. Kusadari hidup ini adalah memilih. Memilih diantara dua pilihan. Tuhan telah menciptakan bagi makhluk-Nya dua tempat; Syurga dan Neraka. Dipersilahkan bagi mereka untuk memilih. Tuhan telah menggariskan dua jalan; kebahagiaan dan kesengsaraan. Dibebaskan bagi makhluk-Nya untuk memilih. Tuhan juga telah menciptakan dua penyeru; Para rosul dan Thogut. Tidak ada paksaan pada makluk-Nya untuk mengikuti satu diantara seruan mereka. Seperti halnya aku sekarang, memilih satu diantara dua; Lia atau Sari.

Sejuta konsentrasi ku kerahkan. Sejuta urat syaraf ku tegangkan. Sejuta asa kufungsikan, untuk menghasilkan jawaban yang ‘tepat’.
Kutanyakan ‘cinta hati’ku, kepada siapa dia berpihak. Kutanya ‘kasih hati’ku, kepada siapa dia menyayang. Kutanya sanubariku, kepada siapa dia mendamba. Akhirnya, ku dapatkan jawaban itu dari ‘kasih hati’ku. Kuikuti jawaban pilihan hati nuraniku.

Dengan berat hati dan linangan air mata. kupijit tombol-tombol keypad ponselku yang dari tadi berada digenggamanku. Kususun rangakaian kalimat. Lalu kupilih Send dari beberapa kata perintah yang tertulis beruntun pada layar Nokiaku.
“Lia...Sungguh aku tak ingin mengecewakanmu. Namun, agar kamu tidak selalu berharap. Dengan berat hati aku harus katakan: Hatiku sudah punya pilihan. Maafkan aku!”

“Delivered!” report itu mengiringi air mataku yang tak terasa telah menganak sungai di pipiku. Hatiku sedih telah mengecewakan temanku. Ini terpaksa ku lakukan demi kebaikannya dan kebaikanku juga. Aku tidak mau munafik dan membohongi nuraniku sendiri.

Di pinggiran kota Tunis yang
tiris
Ulpa® 13 Januari 2006

BIDADARIKU

Bidadariku…
Kau tahu isi hatiku
Aku menyangimu
Kaulah harapanku

Bidadariku…
Tanpa izinku
Kau t’lah curi hatiku
Kau t’lah rebut kasihku

Bidadariku…
Seandainya ku tahu
Dia adalah pendampingku
Ku tak mau kau tahu isi hatiku padamu

Bidadariku…
Sayang aku tak tahu
Siapa dia itu
Apakah dia itu adalah kau

Bidadariku…
Ku yakin kau tahu
Aku bodoh akan takdir Rabbku
Aku jahil akan ketentuan Penciptaku

Bidadariku…
Maafkan atas kebodohanku
Maafkan atas kejahilanku
Kau t’lah jadi harapanku

Ya Allah ya Tuhanku…
Ku tak meragukanMu
Kau Pencipta dan Pelindungku
Kaupun Penentu harapanku

Tak sulit bagiMu
Mengabulkan harapanku
Merealisasikan impianku
Menjelmakan dambaanku

Ya Allah ya Tuhanku…
Tentramkanlah jiwa dan bathinku
Damaikanlah hati dan perasaanku
Semikanlah hatiku wahai bidadariku


Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 19 Desember 2005

Tendangan Bumi

[Sebuah kisah buat penggemar Thifan Pokhan]

Kini aku sudah berada di depan pintu rumah Muaz, teman seke­lasku di kuliah. Selain orangnya ganteng, karena dia memang orang Tunis asli, dia juga baik. Kebaikannya membuatku tidak segan-segan lagi berkunjung ke rumahnya, kota Souse. Dari arah rumahku, kota Souse terletak di sebelah selatan Tunis. Dengan menggunakan bis kota, jika tanpa menunggu lama di terminal, satu setengah jam akan sampai ke kota itu. Kota yang cukup indah. Sepanjang jalan yang aku lalui banyak pepohonan yang hijau­ ranau. Keindahannya juga didukung oleh struktur tanahnya yang naik turun. Suasana pedesaan ini mengingatkanku kepada kampung tempat kelahiranku. Desa kecil yang mungil nun jauh disana, Lemah Abang. Bekasi.

Muaz sudah sering mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Belum genap dua bulan aku berkenalan dengannya, namun sepertinya sudah dua tahun dia mengenalku. Mungkin karena orang Asia yang dia kenal hanya sedikit. Saat ini hanya empat belas orang saja mahasasiswa Indonesia yang menimba ilmu di Universitas Az-Zaetuna, termasuk di dalamnya, aku. Selain itu, mungkin dia merasa enak bergaul dengan orang Indonesia, yang menurutnya baik-baik. Dia mengira semua orang indonesia baik, karena negara Indonesia merupakan negara yang penduduk muslimnya terbanyak di dunia. Padahal, (kalo dia tahu)orang Indonesia yang jahat juga tidak sedikit. Aku bersyukur, temanku ini tidak tahu kalau negaraku juga berada di urutan ketiga di mata dunia, sebagai penyandang gelar negara yang terkorup di empat benua. Ah... kalau sampai dia tahu dan bertanya kepadaku: “kenapa bisa demikian?” Tentu sangat sulit sekali bagiku untuk menjawab dan menjelaskannya, selain itu, aku selaku salah seorang warga indonesia yang berada di luar negri, tentu akan merasa malu sekali.

Setelah dipersilahkan masuk, aku tidak menunggu Muaz mengulangi ajakannya. Langsung ku masuk dan menjatuhkan pantatku diatas sebuah kursi yang agak lusuh. Terasa kakiku pegal-pegal dan sedikit linu, kerena sudah dipakai berjalan selama satu jam. Sebanarnya, jarak dari terminal menuju rumahnya tidak terlalu jauh, hanya saja, aku tidak langsung tahu arah jalan yang menuju ke rumahnya. Aku harus mengira-mengira dan berjalan ke arah lain sambil menanyakan alamat yang kubawa. Karena, ini pertama kalinya ­aku me­ngunjunginya.
***
Aku duduk dibalkon. Sambil menunggu Muaz yang sedang menyediakan kopi, sebagai Minuman ‘wajib’ yang sudah menjadi tradisi klasik di kalangan masyarakat Tunis. Sebagaimana halnya minum teh di Mesir. Minumanku juga, yang semula tidak luput dari segelas teh, karena sudah terbiasa di Mesir. Kini, sedikit demi sedikit berubah. Aku mulai terbiasa minum kopi susu atau disebut juga direk, istilah beken di cafe-cafe Tunis.

Kunikmati pemandangan kampung yang natural, ditemani desiran ­­angin yang menyapa ramah kedatanganku. Mentari sore seakan ikut menyambut kunjunganku ke kampung itu. Sinarnya yang menerpaku, berhasil mengusir rasa dingin pada kulitku. Menghangatkan tubuhku.

Kusapukan pandanganku ke jalan setapak yang tidak terlalu luas, jalan itu terbentang kentara dari depan balkon. Sesekali ada orang Tunis lewat. Setiap kali orang-orang itu melihatku, pandangannya memancarkan sinar keheranan. "Kok ada orang asing di kampung ini." Mungkin itu yang ada dibenak mereka. Aku hanya tetap duduk dan cuek, secuek bebek. Bahkan mungkin aku lebih cuek.

"Silakan diminum kopinya sebelum dingin!." Tawaran Muaz menghentikan pandanganku menyusuri pemandangan jalan dan sekitarnya.
"Oh…terima kasih"
"Akhirnya kamu mengunjungiku juga, setelah beberapa kali aku ajak kamu untuk berziarah. Aku sangat gembira. Oh iya, bagaimana persiapan ujiannya?, sudah kamu ulang pelajaran-pelajaran selama liburan ini? Selama ini, kamu belum pernah hadir kuliah lagi kan ?" Rentetetan lontaran pertanyaan Muaz menghujaniku dengan bahasa arab fushah. Dia masih memaklumiku yang belum lancar bahasa arab ‘amiyah (pasaran) Tunis. Maklum aku baru dua bulan di negri Ben Ali ini. Ya begitulah sifat dia, bila bertanya tidak menunggu jawaban satu persatu. Bertanya seakan-akan sedang mengiterogasi. Yang membedakan dengan pengiterogasian polisi, iringan senyum yang terlukis di wajah Muaz.

"Ya...dengan secarik kertas alamat yang diberikan kamu, aku berhasil juga sampe kesini, walaupun sempat nyasar. Kalau tidak nanya-nanya dulu, mungkin aku nggak bisa balik lagi ke rumahku dan nggak bertemu kamu. Sulit sekali aku jumpai orang yang mau memberitahuku, dan sepertinya mereka heran dan takut menunjukkan jalan ke kampungmu ini. Dan yang membuat aku lebih heran lagi, tidak ada taksi yang mau mengantarkannku. Itulah yang menyebabkan aku harus berjalan selama satu jam " mulutku nyoroscos menjelaskan. Dengan bahasa Arab fushah yang kadang masih berbau ‘amiyyah Mesir, belum sepenuhnya dapat ku hilangkan.

"Oh sempat nyasar juga?, padahal daerah sini sudah cukup terkenal, bila kamu tanya orang di terminal tempat turunmu dari bis tadi, jarang orang yang tidak tahu."
Sekilas ujung mataku menangkap secercah keanehan tergambar di wajah Muaz. Ada sesuatu yang dirahasiakan. Aku hanya terdiam mendengarkan pen­jelasannya.

"Oh iya..kamu belum jawab semua pertanyaanku tadi. Tentang bagaimana persiapan ujiannya?, sudah kamu ulang pelajaran-pelajaran selama liburan ini? Selama ini, kamu belum pernah hadir kuliah lagi kan ?" Brondongan pertanyaan itu terulangan lagi dari mulutnya.
"Ya sedikit-sedikit aku baca juga pelajaran-pelajaran, untuk persiapan ujian bulan Februari nanti. Yang kutahu dari Dosen, sebelum libur beberapa hari, kita masuk kuliah lagi setelah ‘Idul Adha. Ya..tidak lebih dari seminggu lagi"
“Oh gitu yah..Aku nggak tahu, karena aku sudah meliburkan diri sebelum diumumkannya liburan resmi, karena waktu itu aku ingin cepat pulang kampung”.

Sejenak aku terdiam. Tiba-tiba terbersit dalam hatiku untuk menanyakan kejanggalan orang-orang dan taksi yang aku jumpai di perjalan.
“Oh iya, aku ingin tanya. Kenapa orang-orang yang kujumpai di jalan sepertinya ketakutan menyebutkan atau menunjukkan jalan kesini?, apakah ada sesuatu yang menyebabkan mereka takut?"
Muaz merunduk lesu. Pertanyaanku hanya dijawab dengan tegunan dan diamannya. Aku makin penasaran. Kuulangi pertanyaan yang senada beberapa kali. Sampai akhirnya dia buka mulut.
"Sebelumnya aku mohon maaf, karena tidak memberitahumu jauh-jauh hari sebelum berkunjung ke rumahku. Kampungku ini memang terkenal rawan. Kampungku dikenal sebagai kampung ‘angker’, karena penduduk nya terdiri dari para perampok. Kejadian sebulan yang lalu. Ada taksi yang mencoba meng­antarkan pengunjung masuk. Terjadilah peristiwa yang menyedihkan. Kaca taksi itu hancur karena dilempari oleh anak-anak sini, penumpangnya terluka dan sopirnya lari. Juga satu pekan kemarin, ada orang yang bunuh diri dengan membiarkan dirinya tergilas kereta api".

Sekarang giliranku yang terdiam memantung mendengar penjelasan Muaz. Kerongkonganku mendadak kering kehausan. Padahal sekarang musim dingin. Hatiku jadi bergetar. Ada sedikit rasa takut menyelinap dalam jiwaku.

Huh, tak ku­sangka. Selain (kata orang) adanya komplek khusus bagi ‘para wanita pemuas birahi’, kok ada juga per­kam­pung­an perampok. Kayak di kampung tanah airku saja. Pantas, tujuh buah taksi yang ku stop, tidak ada satupun yang mau mengantar ke tempat tujuanku. Rupanya mereka tidak mau tanggung resiko. Mereka tidak mau bonyok. Mereka pasti ketakutan. Aku bersyukur, ketika aku berjalan tadi, tidak ada yang menodongku atau merampokku.

"Tapi itu satu bulan yang lalu, hari-hari sekarang kejadian perampokan atau penodongan itu sudah mulai lenyap".
"Ya semoga saja yang demikian itu bisa dimusnahkan, karena sangat meresahkan dan merugikan masyarat" jawabanku seakan menenangkan hatiku sendiri yang kini sudah mulai tegar kembali.
***

"Hai Muaz, siapa orang asing itu, suruh dia kesini sebentar!" tiba-tiba saja terdengar keras suara itu tepat dihadapanku yang lagi asyik ngobrol. Terlihat dua orang Tunis. Satu orang bertubuh tinggi besar dan yang satunya lagi agak kurus. Mereka mengenakan jaket dan jeans yang terlihat agak lusuh. Taksiranku, tinggi badan mereka sekitar 170 cm. Mereka berdiri tegak di jalan yang tidak jauh jaraknya dari depan balkon aku berada. Serta merta pe­rubahan drastis terjadi pada raut wajah Muaz, yang tadinya gembira, seketika berubah menjadi pucat pasi kaget dan ketakutan. Genggaman segelas kopi yang ada ditangannya, nyaris terjatuh.

"Eeu..dia, dia temanku" kegugupan Muaz, memperkuat dugaan­ku, bahwa dia benar-benar ketakutan.
"Aku tahu, dia teman loe. Cepat suruh dia kesini" Si Tinggi Besar kembali berkoar. Kumis tebal yang menyilang di atas bibirnya, menambah sangar penampilan wajahnya.

Semula aku berniat untuk pura-pura tidak bisa bahasa arab, agar mereka tidak mengajak berkomunikasi padaku. Namun melihat Muaz yang tertekan dan sangat ketakutan, keberanianku muncul.
"Ada perlu apa denganku?"
"Hah, kamu bisa bahasa arab?" Si Tinggi Besar kaget mendengar pertanyaanku. Dia mengira aku hanya bisa bahasa inggris.
"Iya, kamu mau apa ?"
"Sini turun sebentar, gua ada perlu, atau gua yang naik?"

Aku sudah mengira, dari nada bicara dan kelakuannya yang tidak seperti kebanyakan orang Tunis lainnya, kebanyakan mereka sopan dan menghormati Turis. Dua orang yang berada di depanku bukan orang baik. Mereka bermaksud jahat padaku. Aku khawatir bila mereka naik dan membuat keributan, selain aku tidak bebas bergerak tentunya juga akan membuat ke­kacauan di rumah Muaz, yang kemungkinan besar akan me­nimbulkan kerusakan yang akan merugikan Muaz. Aku berniat untuk menemui mereka. Entah malaikat apa yang menyertaiku. Di hatiku kini tidak ada sedikitpun rasa takut. Mungkin salah satu hal pe­nyebabnya,pengetahuanku akan orang-orang Tunis. Kebanyakan mereka tidak bisa bela diri, kalaupun ada, hanya para militer dan orang-orang tertentu saja. Hal ini disebabkan adanya larangan negara untuk belajar bela diri, seperti; Karate, taekwondo ataupun kungfu. Sedangkan aku, sedikit banyak pernah belajar beladiri, meskipun tidak sampai menjadi Master. Niatku, kalaupun mereka tetap ingin berbuat jahat padaku, inilah waktunya untuk mencoba Thifan Pokhan yang pernah aku pelajari di Mesir selama dua tahun.

Larangan dan pegangan tangan Muaz tidak kuhiraukan. Aku berusaha menyakinkan dan menenangkan Muaz, "kamu tenang saja disini. Percayalah, aku akan baik-baik saja". Aku turun menghampiri mereka.
“Hati-hatilah, mereka gembong perampok kampung sini”.

***
"Mungkin hari ini aku akan adu fisik dengan mereka. Adu fisik yang pertama dalam sejarah hidupku di Timur Tengah." gumaman dalam hatiku. Aku berdiri tegak dua meter dihadapan mereka berdua. Untuk berjaga-jaga. Secara diam-diam aku sudah ­pancangkan kuda-kuda sejajar Thifanku.
"Ada apa?" tanyaku tenang.
"Kamu punya handphone?". Nadanya yang kasar dan keras hampir kembali menggetarkan hatiku.
"Iya". Jawabanku seadanya. Aku tidak sanggup untuk ber­bohong. Selain karena larangan ajaran agamaku, juga karena aku paling tidak suka dibohongi. Aku paling benci kepada orang yang berbohong. Kuraba Hpku yang melekat erat di gesperku tertutup jaket.
"Haha...Sinikan Hp dan jam tangan loe. Uangnya juga!" Gelaktawa Si Kumis Tebal yang menggelegar hampir mengusir nyaliku.
"Cepaaat" Si Tinggi Kurus yang tadi hanya tajam memandangku ikut bersungut. Suaranya tidak kalah keras oleh kawannya.
"Maaf..aku nggak bisa berikan itu semua. Hpku sangat kubutuhkan untuk komunikasi. Uangku adalah nyawa ketigaku di negara ini, setelah ruh dan paspor."
"Eeh, banyak omong, kalau nggak diberikan akan gua ambil sendiri sekarang" Si Kumis Tebal benar-benar membuktikan kata-katanya. Dia melangkah cepat mendekatiku. Diiringi dengan ayunan cepat tangannya yang terbang, bak rajawali, menyambar jam tanganku. Aku tidak membatu. Kakiku yang semula sudah bersiap-siap, meng­genjotkan badanku, loncat berpindah tumpuan, sementara tanganku kutarik cepat. "Wuss..." angin jambretan tangan Si Kumis Tebal masih terasa, nyaris mengenai tanganku. Melihat usaha pertamanya gagal. Si Kumis terlihat semakin geram. Dia loncat dan menubruk kearahku. Laksana badak gila. Kedua tangannya dibuka lebar, hendak menangkapku. Lagi-lagi aku hanya loncat dan menghindar. Loncatanku tidak menjauhi Si Kumis Tebal, melainkan mengelilinginya, karena itu prinsip dan gerakan Kungfu Thifan yang aku pelajari.
Terlihat jelas, bahwa orang-orang tunis tidak bisa bela diri. Contoh kongkrit ada dihadapanku sekarang, lawanku. Si Kumis Tebal. Dia hanya punya tenaga dan tubuh yang tinggi besar. Adapun gerakannya, tidak lincah dan tidak teratur. Bila kumau, gampang bagiku untuk menyarangkan tinju hangatku ataupun tendangan memutar kakiku.
Cukup lama aku menghindari serangan-serangan Si Kumis Tebal dengan loncatan-loncatan Thifan. Sesekali kugunakan jurus Loncat Harimau kemudian berdiri kembali dengan Bagun Naga. Sengaja aku hindari tangkisan tangan ataupun kaki. Karena, soal tenaga, jelas dia lebih kuat. Bila kutangkis serangan­nya, aku yang akan bebekbelur.
Cukup lama aku menghindar dan meloncat. Menghindari tubrukan badan Si Kumis Tebal ataupun ayunan tangannya yang menderu. Sesekali kugunakan jurus baling-baling dan kupu-kupu agar lebih cepat menghindari serangan lawanku yang cukup kuat. Akhir­nya tubuh dan kakiku mulai terasa lemas. Napasku juga mulai tersengal-sengal kecapaian. Celakanya, kulihat si Kumis Tebal masih geram dan semakin edan. Belum lagi Si Tinggi Kurus yang masih diam memperhatikan. Dia belum turun tangan dan menghujamkan serangannya padaku.
Niatku yang semula tidak ingin manyakiti ataupun me­mukulnya, kini, kalau aku ingin selamat, aku harus meng­urungkan niatku. Aku harus membuat dia kapok dan jera. Kini aku sedang terdesak. Aku harus memukulnya. Karena kekerasan [terkadang]hanya bisa di­kalahkan dengan kekerasan. Bukankah arogansi kepada orang yang arogan merupakan sedekah. Kalimat itu yang kutahu. Kalimat wahyu yang keluar dari mulut mulia Junjunanku.
"Ciaaat.." deru angin pukulan tangan besarnya Si Kumis Tebal kembali terasa menerpa wajahku. Terlihat dadanya terbuka akibat pukulan yang diayukannya. Kesempatan ini tidak kusia-siakan, aku melompat kesamping badan di Kumis, menghindari tonjokkannya. Dengan posisi tubuhku yang kumiringkan, kuhujamkan tendanganku.“Bukk..” Tendangan Langitku berhasil kusarangkan pada dada Si Kumis Tebal. “Dukk” tendangan pisauku juga berhasil menoreh perutnya. Hah, dia tidak kesakitan, apalagi menjerit, malah terus menyusul serangan­nya. Aku tidak kalah gesit, kugunakan Loncat Harimauku meggelinding kebelang tubuhnya. Punggung si Kumis Tebal terlihat jelas tanpa penghalang, lagi-lagi kesempatan ini tidak ku lewatkan begitu saja, dengan sekuat tenaga, aku meloncat menggunakan kedua kakiku secara berbarengan. ­”Bukk..bukk” Tendangan Garudaku tepat bersarang di­punggunya.“Eeu...” tendangan kembarku kali ini cukup membuat dia kesakitan. Aku sudah cukup lemas. Aku ingin cepat membuat dia kapok. Aku ingin cepat me­nyelesai­kan pertarungan ini. Dengan sisa-sisa tenagaku, ku sapukan Tendangan Bumiku pada kedua kaki si Kumis Tebal yang masih sempoyongan. “Bret” luar biasa ampuhnya jurus ini, seketika itu juga, Si Kumis Tebal Jatuh tersungkur ke tanah dan tak berkutik lagi.
Ah..tak sia-sia aku belajar kungfu Thifan di Negri Kinanah, walaupun niatnya semula hanya untuk olah raga. Aku belum menggunakan pukulan tangan besiku. Selama ini, tanganku belum mendapatkan sasaran empuk. Hanya dengan beberapa tendangan saja, aku berhasil menjatuhkan Si Kumis Tebal yang congkak dan sok jago.

Seketika Suara seruling bambu Handphoneku menjerit kencang. Menyadarkanku. Aku terbangun. Hmm...Missedcall dari Kairo. Membangunkanku. Astagfirullah...aku bertarung hanya dalam mimpi. Ku ucapkan ‘tuk seseorang di Negri Cleopatra sana, ‘makasih sudah ­mem­bangunkan­ku untuk bersujud, masak dan makan sahur.

Di pinggiran kota Tunis yang tiris
Ulpa® 8 januari 2006 M
8 Dzulhijjah 1426 H











Roti Tunis Panjang Abis...

Biasanya, di rumahku, setelah shubuh hingga pukul 9.00 pagi hanya aku seorang yang ‘hidup’ atau aku ditemani Nugraha dan Hasby. Kalau tidak ada kuliah pagi, teman-temanku yang lain –setelah shubuh- tidur lagi.

Namun Pagi ini, ahad 191205 fenomena tadi telah berubah. Ba’da shubuh aku dan dua orang temanku sudah bergantian menjadi ‘bintang model’ dan ‘photografer’ sambil ngawangkong. Ditemani 3 gelas kopi susu dan dua batang roti Tunis yang panjang. Bila kuperhatikan roti itu bagai pentungan hansip atau senjata tentara anti huru-hara yang biasa menjaga masyarakat dan mahasiswa demonstrasi. Hanya saja, ini lebih panjang dan besar.

"Fotoin aku dong, buat ku simpan di webku", pintaku pada temanku. Segera aku bergaya dengan dua roti berada di tanganku dan kusilangkan di depan dada, laksana pendekar yang bersiap siaga pasang kuda-kuda menantang lawan. "Aku juga dong, gantian ya fotoin aku" pinta temanku, ingin difoto sepertiku. Dengan menyilangkan dua batang roti panjang itu di depan dadanya, aku juga menshootnya. Akhirnya kami bertiga dengan bermodal kamera digital nokia 6600, bergantian diambil dan mengambil gambar.

Baguette (dari bahasa perancis yang artinya tongkat) yang aku namakan Roti Tunis itu memang besar dan panjang sekali, kuperkirakan panjangnya mencapai 600 centimeter dengan diameter sebesar betis dewasa, sekitar 30 centi. Aku sendiri baru melihat roti sepanjang itu di Tunis ini, di Mesir aku tidak menemukannya. Di Mesir hanya ku jumpai ‘iesy yang bentuknya bulat gepeng, itupun ukurannya tidak terlalu besar, walaupun bahan intinya sama-sama dari gandum.

Roti memang menjadi makanan pokok masyarakat Tunis. Berbagai macam sop dan kuah -hampir- mereka menyantapnya dengan roti. Bisa dibilang roti sebagai ‘primer’ dan yang lain adalah tambahan. Bahkan menurut teman seniorku, nasi dijadikan ‘fore-food’ nya orang Tunis sebelum mereka menyantap roti. Nasi dijadikan makanan pembuka atau makanan tambahan seperti halnya lalap atau salatoh kalau di Mesir. Aneh kan?

Banyak macam cocolan yang dijadikan sebagai sayur atau kuah roti tersebut, diantaranya; kaftaji, yaitu sejenis cocolan yang terbuat dari telur yang sudah diiris-iris kecil, kentang rebus, goreng sambal dan timun. Ini bisa kita dapatkan hanya dengan 1,5 DT (Dinar Tunis) atau sekitar 7 Pound Mesir. Selama satu bulan lebih di Tunis ini, baru sekali aku mencicipinya. Rasanya cukup enak, apalagi jika makannya pas lagi lapar hehe..

Selain kaftaji ada juga yang disebut kamunia, yaitu sejenis kari daging kambing atau sapi, atau bisa juga hati, yang diberi berbagai aroma dan rempah lain. Ini bisa kita nikmati dengan (minimal) 3,2 DT.

Selain roti dicocol dengan kuah tadi, ada cara yang lebih khas lagi, yakni; roti diiris-iris kecil kemudian dimasukkan ke sebuah mangkok cekung yang berukuran cukup besar. Lalu disiram dengan sop sum-sum kambing, dibubuhi rempah-rempah, diberi minyak zaitun dan beberapa butir buah zaitun. Cara khas ini dinamai lablabi, ini bisa kita nikmati dengan harga 1,2 Dt.

Jika kaftaji, kamunia dan lablabi terlalu mahal, roti ini juga bisa dimakan dengan ‘syamia’. Syamia ini harganya paling murah diantara tiga jenis cocolan tadi, dengan setengah Dinar (500 Millimmes) kita bisa mencicipinya. Syamia adalah sejenis selai kering terbuat dari kacang-kacangan yang berwarna hijau keputih-putihan, ada juga yang berwarna agak kecoklat-coklatan. Rasanya manis dan mengandung banyak protein, kalo di Mesir disebut dengan halawah. Caranya memakannya: roti dipotong dan dibelah menjadi dua bagian kemudian masukan syamia tadi kedalamnya, bisa ditambah keju agar lebih lezat, kemudian disusul dengan kopi susu hangat, wah pasti akan lebih terasa di luar negrinya, seperti halnya aku saat ini. Kami bertiga menyantap habis satu dari dua roti Tunis yang kubeli. Udara yang sejuk dan menusuk, sewaktu kami ngopi sambil ngobrol nyaris tak terasa.

Roti yang panjang tadi sering kutemui di warung-warung pinggiran jalan, biasanya roti itu disimpan berdiri di sebuah keranjang besar atau ditidurkan berbaris di atas (seperti) rak buku. Dengan modal pecahan dinar, 300 Millimmes, satu buah roti bisa kudapatkan.

Biasanya roti-roti itu akan didrop dari pabriknya ke warung-warung, tiga kali dalam sehari, yaitu; pagi hari sekitar pukul 5.30, siang sekitar jam 11.00 dan pada petang hari sekitar jam 17.00.

Suatu keuntungan apabila kita membeli roti tepat waktu, bagian dalam roti akan terasa lebih empuk, dan itu menambah rasa yang lezat, karena masih hangat. Kekuatan roti ini lumayan lama, jika musim dingin seperti sekarang, satu hari masih bisa bertahan. Ah memang roti Tunis panjang abis.

Di pinggiran kota Tunis yang
tiris
Ulpa® 18 Desember 2005

Tunis Laksana Eropa, benarkah?

(Pandangan subjektifku dalam sebulan di Tunis)

Aku pergi meninggalkan Mesir, dengan mengingat tiga kata yang aku dengar dari teman-temanku sekaligus menjadi pertanyaan bathinku. Benarkah Tunis seperti itu? bunyi kata-kata itu adalah: Tunis laksana eropa. Walaupun persepsi ini sempat menjadi pertanyaan bathinku, tapi aku mempercayainya.

Tidak terasa aku sudah sebulan di Negri ini, negara baru tempat belajarku, negara ketiga tempat meneruskan studiku, Negara Tunis. Setelah aku arungi angkasa selama 3 jam, pada hari kamis tanggal 10 Nopember 2005, satu bulan yang lalu.

Selama tiga jumat kemarin, image dan pendapatku mengenai Tunis, masih tetap tidak berubah, seperti halnya kabar yang aku percayai dari teman-teman. Persepsi itu semakin kuat ketika hari pertama keberadaanku disini. Tunis adalah negara yang sekuler, bebas dan adanya pengengkangan akan kebebasan berpolitik.

Aku katakan sekuler, karena memang nuasa keislaman di sini tidak banyak aku temukan, padahal mayoritas penduduknya yang [kurang lebih] dua belas juta ini beragama islam. Nuansa islamy hanya aku rasakan sekali dalam seminggu, yaitu ketika shalat jumat, itupun hanya di dalam masjid. Pembacaan tahlih tasbih dan tahmid serta shalawat bersama, hanya aku dengar beberapa menit saja setelah shalat jumat selesai, setelah keluar, pemandanganpun sudah lain.

Aku katakan bebas, karena memang fenomena pergaulan antara mahasiswa dan mahasiswi terlihat bebas, dalam artian, tidak dinilai aib jika seandainya dua insan yang berbeda jenis ngobrol dan berjalan berduaan, dan tidak dipandang aib jika seorang dosen tafsir (wanita) tidak memakai kerudung, serta tidak di pandang aib jika seorang wanita menyapa duluan terhadap lawan jenisnya. Seperti yang terjadi pada hari pertamaku. Saat itu aku dan dua orang temanku pulang dari kantor polisi untuk memperpanjang kontrak rumah. Aku mendekat mehampiri halte, untuk menunggu bis atau taksi yang akan lewat. Sekilas terlihat oleh ujung mataku, seorang gadis Tunis yang manis, rambut pirang sebahu, mengenakan kaos putih dan celana jeans yang cukup ketat sedang duduk dibangku terminal yang cukup panjang, terlihat dia menatapku dan tersenyum padaku, spontan aku menundukan kepalaku dan pandanganku. Tanpa berpikir panjang, karena kakiku juga lumayan pegal, disebabkan telah bekerja cukup berat, membawa beban badanku naik turun menyusuri jalan yang berukuran kurang lebih satu meter setengah, yang harus kupanjat setiap aku akan ke luar rumah, baik akan kuliah ataupun ke kota. Karena kebetulan rumahku terletak di daerah yang datarannya rendah, kalo terjadi banjir, kayaknya aku dan orang-orang yang berada di kawasanku akan kelabakan, karena pasti daerah rumahku akan menjadi daerah yang paling banyak tergenang air, karena datarannya paling rendah.
Akupun duduk sekitar setengah meter dari gadis Tunis itu. Ketika pandangan mataku lurus ke depan, sesekali aku palingkan mataku ke arah jauh dimana bis atau taksi itu akan datang, agar aku bisa mengetahui kedatangan mobil itu sebelum tepat di depanku berada. Tidak ku sangka gadis itu menyapaku, kamu belajar disini? tanyanya sambil melemparkan senyumnya nan manis padaku. Inilah kesan hari pertamaku di Terminal Tunis. Saat itu aku tidak ngobrol banyak, karena taksi yang ditunggupun sudah distop oleh temanku. Aku anggukan kepalaku sebagai tanda pamitku padanya, diapun mendadahiku dan tersemyum indah.

Di kampusku, jika aku perhatikan, selain halaman dan ruangannya yang bersih dan indah, terdapat perpustakaan yang –menurutku- lumayan lengkap. Buku-buku kontemporer dan klasikpun aku temui, seperti kitab-kitab tafsir, diantaranya; Tafsir Ibnu Katsir, Jami’ul Ahkam, Tafsir Munir. Begitu juga kitab-kitab Fiqih, Tashauf dan Sosiologi tersedia lengkap. Di kampusku itu, aku menemukan fenomena baru menurut pandanganku, selain keindahan halaman dan perpustakaannya tadi. Mereka (para mahasiswa/i) berkumpul di halaman kampus yang bersih, yang ditengah-tengah halaman kampus bagian dalam itu ada pancuran tak berair, karena musim dingin. Mungkin kalau musim panas akan lebih indah lagi, karena pancuran itu akan diisi air dan tentunya air itu akan mancur, bak berlian bertaburan, karena tersinari matahari. Jjuga bangunannya yang hanya dua lantai, membuat aku tidak cape’ untuk sampai di tingkat terakhirnya. Mereka ngobrol bergerombol laki-laki dan perempuan bahkan ada juga yang berduaan. Pemandangan itu bagi ku fenomena baru sekaligus pemandangan yang tabu, mungkin karena aku selama ini belum pernah tinggal di lingkugan seperti ini, seandainya aku pernah kuliah di Indonesia, di IAIN/UIN, mungkin sedikitnya sudah ada memori yang kurekam sebelumnya yang menjadikan pengalaman akan suasana seperti ini, karena –menurut cerita temanku- di UIN juga seperti ini, hanya saja di UIN mahasiswinya berjilbab semua, walaupun ada juga yang berpakaian ketat.
Ketika aku di Mesir, fenomena kampusku jelas tidak seperti sekarang, karena memang lingkungannya kaum Adam semua. Al-Azhar memisahkan mahasiswi dari mahasiswa, dengan menyediakan bangunan khusus untuk mahasiswi, kulliyatul banat (kuliyah khusus putri), dengan dosen-dosennya juga wanita.

Namun, walaupun aku kategorikan Tunis sebagai bangsa yang bebas dalam pergaulan lain jenis, juga bebas dalam mengekpresikan mode pakaian yang mengikuti jaman, bila teringat kata-kata temanku yang mengatakan Tunis laksana eropa, aku kurang setuju. Masyarkat eropa –yang ku tahu- identik dengan bukan hanya pergaulan bebas tetapi juga perzinahan bebas, eropa yang identik bukan hanya jalan berdua lawan jenis bahkan kissing love dua sejolipun bisa sering terlihat di jalanan. Sementara ini, sebulan aku di Tunis belum menemukan hal-hal yang diidentikan dengan eropa tadi, hanya saja kalau bahasanya dikemas sedikit, misalnya, kalimatnya menjadi, Tunis eropanya Arab, mungkin aku bisa terima, itupun –mungkin- aku terlalu subjektif, karena studi komparatifku hanya dua negara Arab saja; Mesir-Tunis, yang jelas ku lihat, Tunis lebih bebas dibandingkan Mesir. Adapun negara arab lain, seperti; Libanon, libya, Al-Jazair, Maroko dan lain sebagianya aku belum tahu.

Sangkalanku atas kata-kata Tunis laksana Eropa, akhir-akhir ini lebih kuat lagi. Imageku akan kata-kata itu nyaris terpupus. Pasal sebelumnya (setelah aku sering ‘observasi’) aku melihat banyaknya wanita yang mengenakan jilbab –meskipun tidak sebanyak yang aku jumpai di Mesir-, dan hari ini, jumat (9/12/05) ketika dalam perjalananku menuju KBRI pada siang hari, selepas kuliah, aku melihat seorang wanita yang bercadar bersama suaminya. Subhanallah spontan kata takjub itupun keluar dari mulutku. Inilah yang pertama bagiku selama sebulan di Tunis, melihat yang bercadar. Laksana berlian ditengah tumpukan batu kali. (Maksudnya, hebat gitu lho)

Aku tidak mengklaim bahwa orang yang bercadar itu lebih baik dari yang tidak mengenakan niqob, karena betapa banyak perempuan-perempuan Saudi yang bercadar, karena memakai cadarnya akibat paksanaan hukum, tanpa didasari dengan keimanan, keiklhasan dan kesadaran personal. Ketika keluar dari negaranya, merekapun membuka cadarnya, bahkan membuka jilbabnya, bagaikan kuda lepas dari kandangnya. Nauzubillah

Namun –menurutku- setidaknya, menurut pandangan kongkrit (dhohir), yang mengenakan niqob itu lebih iffah dan lebih terjaga, sebagaimana barang/perhiasan mahal yang di tutupi rapat dengan kaca atau sejenisnya. Berbeda dengan barang murahan, yang dijual dipinggir jalan tanpa pelindung dari orang yang menjamahnya. Juga wanita yang bercadar telah merelakan perasaanya untuk tahan mental, karena sedikitnya wanita yang mempunyai komitmen seperti dia, mentalnya diuji agar tetap berdiri disaat orang lain duduk, agar tetap setia disaat orang lain berkhianat. Semoga saja wanita-wanita yang bercadar tetap ‘mencadari’ iffah nya, tidak menjadikan cadar sebagai alat ‘penghalus’ kepribadiannya yang bejat. Lho kok jadi nulis tetang cadar?

Aku katakan juga (di Tunis) adanya pengekangan terhadap kebebasan politik. Ya, memang benar begitu kenyataanya. Mereka bebas mengekpresikan mode, pendapat, dan lain sebagainya, tapi tidak untuk urusan politik. Teman-temanku sering ngobrol denganku baik itu masalah pelajaran, keadaan tunis, agama bahkan –terkadang- tetang srikandi-srikandi Tunis, tapi tidak untuk urusan politik. Mereka akan segera menghindari dan mengalihkan pembicaaraan, atau menghentikan obrolan ketika obrolan itu menyangkut politik. Tak terkecuali dosen, diapun sangat menghindari obrolan atau pertanyaan yang menyangkut politik.
Suatu hari aku mengikuti mata kuliah hadits, waktu itu Dosen sedang menerangkan sejauh mana perhatian kaum orientalis (al-mustasyriqun) terhadap hadits-hadits nabawi. Ditengah-tengah penjelasannya diapun mengatakan: Saya tidak ada urusan dengan politik, saya tidak mau membicarakan masalah politik. Tergambar kekhawatirannya yang tidak mau berurusan dengan politik. Maklum intel-intel di negara ini sangat banyak bertebaran. Tembok-tembok Tunis mempunyai telinga dan dapat berbicara, sampai ada istilah yang aku dengar dari seorang kawan “satu kepala berbanding tiga”, maksud istilah ini, satu orang di Tunis, diawasi oleh tiga intel negara. Entah kata-kata ini benar atau hanya menakut-nakutiku saja, tapi memang ku lihat disini banyak sekali polisi, bahkan polisi wanita (polwan) juga banyak, bahkan supir taksi wanita juga ada. Nggak percaya? Buktikan sendiri!

Pas sebulan keberadaanku di kota Tunis yang tiris
Ulpa® 10 Desember 2005

Oh Beasiswaku...

(Refleksi hati yang kini tak berseri)

Pagi itu (rabu, 141205) terlihat langit begitu cerah menampakan hatinya yang biru. Awan putih yang berarak tenang, setenang hatiku pagi ini. Sinar mentari yang menyusup ke sela-sela pakaianku, seakan-akan memaksa masuk untuk menyentuh kulitku, ingin memberikan kehangatan padaku. Semilir angin pagi seakan membelai lembut wajahku, mengalahkan lembutnya belaian tangan halus bidadari di alam Syurga (ah masak sih ?).

Aku melaju menelusuri jalan menanjak yang berukuran luas tidak lebih dari dua meter. Laksana pecinta alam yang sedang naik gunung. Di pinggiran jalan berjejer pohon-pohon hijau nan indah, dapat menahan tanah yang jadi tempat berdirinya dari longsor. Niatku pasti, menuju Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis. Dengan napas yang sedikit tersenggal-senggal, akhirnya aku sampai juga di ujung jalan, diatas. Kulihat rumahku yang terletak didaratan rendah itu, lantai dua menghadap jalan kereta. Wajar saja jalannya naik turun, letaknya kurang strategis karena rumahnya memang murah, gumamku dalam hati. Habib Bourgiba nama daerahku itu. Pandangan kulepaskan lebih jauh lagi melewati rumahku dan rel kereta. Pemandangan indahpun terlihat, sebuah danau yang memantulkan sinar pagi yang kini ceria, mampu menembus halimun yang menyelimutinya. Bak hamparan berlian yang ditebarkan diatas permadani putih. Kusudahi pandanganku. Aku mulai berjalan menuju terminal bis, menunggu bis yang akan lewat ke Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis untuk menanyakan kepastian beasiswa yang telah aku ajukan dua minggu yang lalu.

Ku berdiri sambil menunggu bis yang belum datang. Kusapukan pandanganku pada sekelilingku. Kulihat banyak sekali yang nasibnya sepertiku, menunggu. Wah di halte seperti ini ada juga bintang film yang nungguin bis, begitu mungkin ungkapan seorang Indonesia yang belum pernah hidup di negara Arab, ketika melihat gadis-gadis Tunis yang (yang chantieq) juga sedang menunggu bis. Untung aku sudah pernah di Mesir, negeri Arab yang srikandi-srikandinya tidak kalah oleh gadis-gadis Tunis. Bagiku sudah tidak aneh lagi melihat fenomena seperti ini.

Banyak pasangan mata yang menatapku penuh penasaran, mungkin mereka berkata dalam hatinya: Orang mana nih, kok ikut-ikutan nungguin bis, dia pasti kenal Jacky Chan atau Jet Lee, pasti dia juga jago kungfu. Memang orang Tunis –bahkan Mesir- mengira semua orang asia pintar kungfu. Sering aku temui anak-anak sekolah Tunis. Bila berpapasan denganku, mereka menggerakkan tangan dan kakinya, seakan mempaktekan sebuah jurus kungfu, sambil mulutnya cang-cing-cong mengucapkan bahasa china versi mereka tanpa mereka pahami artinya.
Pandangan mereka membuatku geer dan nggak enak body. Aku berusaha untuk menutupi perasaanku saat itu, berpura-pura terbiasa dengan keadaan ini, berkerumun di halte bersama mereka. Kupalingkan kepalaku ke sebelah kanan, langsung pandanganku tertuju pada sebuah bis kuning. Ku perjelas pandanganku melihat nomer bis yang tertera kecil didepan kacanya, jelas tertulis 28 tsa, bis yang aku tunggu. Segera aku ikut bergabung memasuki pintu belakang bis tersebut. Tidak mudah untuk bisa lolos dari pintu itu, karena orang-orang yang tadi memandangiku juga satu tujuan denganku. Tak kurasa dorongan tangan dan badugan diwajahku, bahkan injakan kakipun aku cuekkan. Aku berusaha tenang membobol pintu itu agar tidak menyakiti orang-orang yang mendesakku. Biarlah aku didorong asal aku tidak mendorong, biarlah dibadug asal aku tidak membadug, biarlah diinjak asal aku tidak menginjak, itulah prisipku saat itu. Alhamdulillah akhirnya akupun berhasil lolos ke dalam bis. Segera aku menempatkan badanku di tempat dekat dengan pintu. Aku tancapkan kakiku mengahadap jendela. Tidak berapa lama bis yang aku naiki mulai berjalan. Ku buang tatapanku jauh keluar, memperhatikan pemandangan yang aku lewati.

Kulihat kumpulan orang seperti sedang ada keributan, wah ada ribut apa nih? Ada yang berantemkah? batinku menerka. Ah tebakan feelingku meleset, mereka berkumpul sedang mengerumuni tukang loak pakaian. Ah ternyata di Tunis ada tukang loak juga. Dari jarak dekat tampak seorang laki-laki tua sedang mengangkat-angkat sebuah jas bekas, kemudian mencoba menyepadankan dengan badannya yang tidak gemuk. Aku hanya bisa tersenyum.

Tidak lebih dari satu jam perjalanan, bis yang kutumpangi telah sampe ke depan Kantor Kementrian Pendidikan Tinggi Tunis. Akupun segera turun. Bermodal kata samah (maksudnya Sorry, atau ma’lesy kata orang Mesir atau punten ah kata orang sunda), orang-orang yang menghalangiku juga menyingkir memberikan jalan turun padaku. Tampak didepanku bangunan putih yang kokoh seakan menggambarkan kecongkakan nya padaku. Seakan-akan mengkhutbahi ku, kamu hanya seorang mahasiswa yang miskin, mengandalkan orang-orangku untuk memberikan beasiswa, demi kelangsungan hidup dan studimu di negaraku. Aku acuhkan kesombongannya. Aku masuki gedung putih yang berlantai tujuh itu. Aku sengaja tak menggunakan lift, kubiarkan dia beristirahat dari angkat beratnya.

Anak tangga yang berundak rapi, tanpa rasa dosa, aku injak-injak satu persatu. Lantai lima tujuanku, menemui bagian pengurusan beasiswa mahasiswa asing. Akibat kebaikan hatiku terhadap lift itu, ku tebus dengan napas yang sedikit terengah-engah, biarlah olah raga. Di Mesir, Asramaku di Hay Tsamin, sebelas lantai kupanjat tanpa lift hiburku mengobati kaki dan napasku yang kecapean. Sampailah aku dilantai lima. Dengan berharap indah, aku masuki sebuah. Assalamu’alaikum. Tampak seorang tua yang ramping sedang duduk menghadap meja dengan puluhan lembar kertas di didepannya, kutaksir usianya sekitar limapuluhan, dengan kepala yang sedikit botak dan berkaca mata tebal. Yang kedua aku temui orang ini, dua minggu yang lalu kutemui ketika mengantarkan berkas dan tholab (permohonan) beasiswa.

Segera aku tanyakan kepastian beasiswa itu padanya. Aku sudah menyerahkan semua persyaratan dengan lengkap dua minggu yang lalu dan sekarang bagaimana kepastiannya. biduni minhah, Anta tadrus ala nafaqotika Anta (tidak ada beasiswa, kamu belajar dengan biaya sendiri), kalimat ini yang aku dengar dari mulutnya yang kecut melebihi asamya rasa cuka yang pernah aku rasakan. Kata-katanya yang singkat ini mampu menghilangkan kegembiraan, harapan dan keberserian wajahku saat itu. Bahkan mampu membuat asaku laksana tidak berfungsi. Suasana langit yang cerah, mentari yang sumringah, awan putih yang mengalir, angin lembut yang membelai wajah, pandangan srikandi Tunis yang ku jumpai, tak aku rasakan lagi. Aku pulang dengan gontaian lemas, laksana pahlawan yang kalah dari medan perang. Oh Beasiswaku…

Di pinggiran kota Tunis yang
tiris
Ulpa® 10 Desember 2005