Sunday, April 23, 2006

Kairouan

Bis Wisata Sntri yang membawa sekitar lima puluh penumpang mahasiswa Zaytuna sudah mulai bergerak dari depan kampus Zaytuna tepat pukul 8.00, tujuannya ke Kairouan. Rabu (19/4) lalu. Aku salah seorang penumpang bis tersebut.

Kali ini aku tidak ketinggalan lagi rihlah ke kota ini (baca, Rihlah yang Tak Lelah), salah satu kota terpenting dalam sejarah penyebaran Islam ke Afrika Utara. Kota yang berada di posisi 156 km selatan Tunis ini didirikan pada tahun 50 H oleh Uqbah bin Nafi', salah seorang sahabat Nabi. Mesjid besar yang didirikan oleh Uqbah pada tahun 55 H masih berdiri tegar hingga kini. Kairouan juga terkenal dengan kerajinan tapis (permadani).

Aku sudah bersiap-siap sejak ba’da shubuh. Bahkan segala perlengkapan yang dibutuhkan, seperti; buku bacaan, quran kecil dan kamera sudah kumasukkan ke dalam tas kecilku menjelang tidur. Kali ini temanku yang suka lama ‘’mendekam’’ di WC, dipersilahkan lebih dulu dan diperingatkan agar mempercepat diri dalam melaksanakan ‘’hajat’’nya, agar tidak terlambat yang kedua kalinya. Terhitung ini rihlah kedua selama keberadaanku di Tunis. Sedangkan tour perdanaku dulu ke kota Jerba, mengawali tahun baru 2006 (kisahnya, Satu Tahun di Jerba).

Sebenarnya tujuan awalku adalah mengikuti seminar yang diadakan oleh Komite Peneliti Sejarah Kairouan di pusat penelitian islam Kairouan. Kegiatan seminar seperti ini sering diadakan, dengan para peserta dan presentatornya kebanyakan diambil dari universitas Az-Zaytuna. Maklum, Zaytuna sangat dihargai dan telah mendapatkan label universitas islam tertua di kalangan masyarakat Tunis, bahkan di dunia. Tema seminar saat itu berjudul, Al-Bu’du al-Hadhori fi al-Fanni al-Mi’mary al-Islamy (Dimensi Peradaban pada Seni Arsitektur Islam).

Sekitar pukul 11.30 bis telah sampai ke tempat tujuan. Setelah semua mahasiswa istirahat beberapa menit, dengan konsumsi masing-masing segelas kopi dan kueh makroud, seminarpun dimulai.

Ruangan seminar cukup luas, dengan spanduk terpampang jelas tema seminar saat itu (Al-Bu’du al-Hadhori fi al-Fanni al-Mi’mary al-Islamy). Bahkan tiga buah spanduk bergambar Zaenal Abidin Ben Ali, presiden kedua Tunis (presiden pertamanya Habib Bourgiba), yang dipasang satu buah di depan sedangkan sisanya masing-masing dipasang di sebelah kiri dan kanan panggung, ikut menghiasi ruangan seminar. Ada kesan kampanye ketika aku melihat spanduk yang berposter presiden Tunis itu, apalagi bila melihat kata-kata yang tertulis dibawah gambar Ben Ali, Ma’a Ibn Ali li Tunis al Ghod (bersama Ben Ali untuk Tunisia hari esok). Kukira, tidak berlebihan bila acara seminar itu dikatakan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan dan sekaligus kampanye presiden. Semasa ku di Mesir, hal tersebut tidak kulihat, meskipun Husni Mubarok (presiden Mesir) termasuk diktator (sama halnya dengan Tunis), tapi hal kampanye seperti itu tidak kutemukan, meskipun ada photo Mubarak di ruangan seminar, hanya sealakadarnya dengan ukuran yang kecil, tidak sebesar dan sebanyak di Tunis ini. Bahkan (hampir) di semua toko-toko, warung-warung bahkan (terkadang) di jalan-jalan, Ben Ali selalu kulihat. Kayaknya suatu keharusan gambar Ben Ali harus dipampang.

Kurang lebih lima puluh mahasiswa hadir pada seminar itu. Fasilitas ruangan bertambah lengkap dengan adanya proyektor dan layarnya yang akan digunakan presentator saat menjelaskan berbagai macam gambar bangunan, lukisan dan ornamen arsitektur serta kalighrafi arab. Juga kamera lengkap dengan kameramennya -pun- terlihat siaga.

Acara seminar cukup semarak, lima orang presentator yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan cukup elegan dalam mempresentasikan makalahnya. Dua orang dari mereka menggunakan proyektor ketika menjelaskan bentuk-bentuk arsitektur klasik serta bangunan kuno jaman doeloe, termasuk sejarah awal adanya tulisan naskh dalam kalighrafi arab, yang tertulis pada dinding-dinding dan tiang bangunan.

Ketika dibuka sesi tanya jawab, para peserta begitu antusias untuk bertanya, diantaranya (yang masih kuingat) ada yang menanyakan, apakah definisi dari arsitektur islam itu? Sayang kesempatan bertanya hanya diberikan kepada lima orang saja. Berhubung waktu yang sangat terbatas.

Tepat pukul 14.00 acara seminar selesai. Kemudian para peserta dipersilahkan untuk istirahat sejenak dan makan siang. Tiga orang kawanku (indonesia) tidak melewatkan kesempatan emas ini, mereka meminta berpose bersama salah seorang presentator wanita yang memang masih muda dan (maaf ya) cantik, sebagaimana hal yang sama mereka lakukan pada saat beberapa menit menjelang keberangkatan bis meninggalkan Tunis, berpose dengan gadis Tunis yang (maaf lagi ya) manis. Adapun aku tidak ikut (dan memang tidak mau) bersama mereka berpose, hanya menoleh sekejap kearah mereka berdiri dari kejauhan, dan kemudian melanjutkan ngobrol dengan sesamaku, sama-sama pria. Maaf ya, aku ‘’alergi’’ wanita hehe…

Ku kira, makan siang itu akan digelar di restoran elit, ruangannya ber AC dan menunya juga spesial. Kenyataannya, aku harus ngantri bersama teman-temanku yang lain, persis seperti di asramaku dulu di Mesir. Menunya juga tidak jauh berbeda; sekerat daging, makrunah dan roti (kalo di Mesir isy), ditambah satu gelas jabady (intisari susu yang sudah diramu). Bedanya, disini, laki-laki dan perempuan digabung ngantrinya (satu baris), begitu juga makannya disatu ruangankan tanpa satir (penghalang). Ini yang membuatku kurang nyaman dan merasa tabu. Ketika makan, sengaja ku mengambil tempat yang paling ujung, jauh dari lawan jenisku, para gadis Tunis.

Setelah makan siang, panitia mengajak para penumpang ziarah. Diantaranya, mengunjungi makam salah seorang shahabat Nabi Abu Zam’ah al-Balawi (wafat 34 H), konon beliaulah tukang cukur Rosulullah Saw. Kubacakan ummul kitab (surat fatihah) dan doa, hadiah untuk beliau sekaligus shalat ashar dan dhuhur (jamak ta’khir) di mesjid yang tidak jauh dari makam.

Setelah ziarah, bispun menuju ibukota. Tidak lupa sebelumnya para penumpang termasuk aku dan tiga temanku membeli kue khas Koirouan, makroud. Rasanya manis, berwarna coklat, bentuknya seperti lempengan ulen yang dipotong-potong sebesar dua jari. Ada juga yang dipotong lebih kecil lagi. Lumayan buat teman-temanku di rumah. Pasti mereka sangat gembira mendapatkan oleh-oleh Kairouan.

Lucunya, kodak yang telah kusiapkan menjelang tidur itu, hanya kubawa selama perjalanan tour, tak satupun kujepretkan. Padahal banyak tempat-tempat yang lokasinya bagus. Entah lupa atau memang malas motret. Kalau kutanya hatiku, memang aku kurang suka diphoto, selain itu malas juga sich hehe. Untung ada salah seorang temanku yang rajin photo-photo, dia mengajakku photo bersama, terkadang menyuruhku diphoto singel. Ya, sekedar gambar kenangan di Kairouan, ada sich.

Bis sampai ke Tunis ba’da magrib. Ketika sampai di kampus, penumpang tinggal beberapa orang saja, karena sebagian besarnya telah ‘’dijatuhkan’’ bis di tempat-tempat yang dekat dengan rumah mereka. Rumahku terhitung paling dekat dengan kampus, karenanya aku dan tiga temanku merupakan orang terakhir turun dari bis. Alhamdulillah sampai dengan selamat.

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 20 April 2006

Sunday, April 16, 2006

Aku Bukan yang Pertama

Jangan dulu negatif thinking ketika membaca judul diatas. Di sini aku hanya akan cerita tentang (intinya) sebutan ‘’neng’’ dan ‘’panggilan khusus’’ aja. Bukan untuk cerita yang tidak-tidak, apalagi yang macam-macam. Hhmm…

Neng adalah panggilan (biasanya) yang diperuntukkan bagi cewek sunda (cesun). Tentunya cesun yang masih remaja alias mojang. Tak mungkin memanggil nenek sunda dengan panggilan tadi, neng. Karena akan lucu dan bermasalah nantinya. Masih beruntung jika tidak didamprat atau ditampar oleh nenek tadi. Karena bila panggilan “neng” diberikan kepada nenek-nenek, bisa berarti hinaan, bukan lagi pujian.

Bagiku (saat ini) panggilan ‘’neng’’ bukan hanya panggilan untuk cesun (cewek sunda), tapi lebih dari itu. Panggilan ‘’neng’’ (bagiku) adalah ‘’panggilan’’ sayang. Aku juga tidak sembarangan memberikan panggilan itu pada setiap mojang
.

‘’Neng Asti’’ sebutanku kepada putrinya Teteh (baca, I Miss You). Karena aku menyayanginya, merasa seperti sebagai adikku sendiri. ‘’Neng’’ kusematkan pada awal nama Asti sebagai tanda sayangku padanya. Tanda deudeuh dan nyaahku padanya.

Kuulangi lagi. Kata “neng” tidak akan kuberikan kepada setiap mojang dan kepada sembarang cesun. Aku akan berikan hanya kepada wanita yang aku sayangi saja. Tidak kepada selainnya. Bisa dikatakan, panggilan “neng” dariku adalah panggilan istimewa. Sangat istimewa. Keistimewaannya melebihi piala Adipura atau Nobel sekalipun. Hebat kan? Juga tentunya, mojang yang mendapatkan sebutan “neng” dariku, berarti mojang itu sangat istimewa. Melebihi Evi Tamala atau Lady Diana sekalipun.

Selain Asti, dialah orangnya, mojang yang aku bubuhkan panggilan ‘’neng’’. Panggilan khususku (kesayangan). Bedanya, sayangku padanya melebihi Asti. Bukan hanya perasaan sayangku terhadap adik, namun lebih dari itu. Semula kukira, selain orangtua dan kerabatnya, hanya akulah orang yang memanggilnya demikian. Akulah jajaka pertama yang memanggilnya begitu. Tapi, ternyata tidak demikian kenyataannya. Sudah ada jajaka lain (bahkan lebih dari seorang) yang se-ide denganku memanggilnya dengan sebutan ‘’neng’’. Aku bukan yang pertama. Aku juga jadi (bertambah) malu. Apakah aku juga bukan jajaka pertama yang menerima cintanya? Wallahu a’lam.

Jadi, aku tidak berbeda dengan jajaka lain kalau begitu, dengan kata lain aku sama dengan mereka. Tak ada yang istimewa baginya. Bahkan panggilan yang kuinginkan juga sudah diberikannya kepada jajaka lain. Sudah dibubuhkannya pada nama lain. Terdengar begitu enak dan renyahnya dia sebut sebuah (bahkan dua buah) nama dengan panggilan itu, bahkan tanpa beban dan sangat bersahabat dengan lisannya. Apakah dia tidak tahu bahwa aku sangat cemburu pada mereka berdua? Anehnya, panggilan itu enggan dia berikan padaku. Dia enggan memanggil dengan sebutan itu padaku. Padahal aku (katakan saja) kekasihnya, dia juga tahu dengan pasti aku menginginkan panggilan itu. Ya, mungkin dia punya paradigma lain dengan yang aku pikirkan sekarang. Teu sawios lah, moal maksa.

Feelingku mengatakan, meskipun panggilan ‘’neng’’ adalah panggilan istimewa bagiku, namun ternyata tidak istimewa lagi baginya. Terlebih lagi, diapun tidak mau (-mungkin- belum) ‘’mengakui’’ panggilan itu untukku, apalagi memanggilku dengan panggilan yang aku inginkan itu. Ya, memang tidak semua yang ku inginkan akan terkabul. Bahkan kadang hal yang sepelepun tidak dapat terwujud. Seperti panggilan tadi. Eh, sepele mungkin hanya bagiku, tapi tidak baginya. Sorry, kalau aku terlalu menyepelekan hal yang dianggapnya tidak sepele.

Tidak ada maksud lain dari coretanku sekarang selain hanya untuk curhat di buku diaryku ini. Curhat pada lembaran buku –terkadang- lebih aman dan lebih bersahabat. Karena dia (buku) tidak akan memaki apalagi menyalahkanku. Lembaran ini juga tidak akan menolak apa (saja) yang aku tuliskan (baca: inginkan), dengan kata lain, dia selalu menuruti dan menerima keinginanku (coretanku). Tanpa alasan dan komentar sedikitpun.

Selain itu juga, karena kalau aku curhat kepadanya (masalah panggilan dan ingin dipanggil olehnya dengan yang aku inginkan), malu juga rasanya, maklum lah, aku pemalu. Pemalu ya pemalu alias
ageung kaisin hehe…

Semoga seiring perjalanan waktu dan berdesirnya angin zaman, dia juga mau ‘’mengakui’’ panggilanku dan menyematkan ‘’panggilan khusus’’ padaku, panggilan yang ku inginkan itu. Pertanyannya, kenapa sih aku memanggil dan ingin dipanggil dengan panggilan khusus? Apa panggilan yang ku inginkan itu?

Jawaban pertanyaan pertama. Karena aku ingin memanggilnya seperti Rosulullah memanggil kekasihnya dengan panggilan khusus, yâ humairoh. Kalau analogi ini terlalu berlebihan, jawabanku yang lain adalah, karena rasa sayangku terasa bertambah setiap kali aku memanggilnya dengan panggilan khusus ini, juga rasa banggapun menyertai hatiku, meskipun (sekarang) tidak sebangga dulu (sebelum tahu). Namun tetap rasa bangga itu masih ada. Wâlâkin, mungkin panggilan ‘’neng’’ ini akan sirna juga dari bibirku, bila –seandainya- dia tetap tidak mau ‘’mengakui’’nya. Pepatah bilang, aku sudah bernyanyi tapi kenapa kamu tak juga mau menari. Terlalu mudah diresapi bila ku sendiri yang mengartikan­nya.

Aku ingin dipanggilnya dengan panggilan khusus, karena aku juga punya rasa ingin ‘’dikhususkan’’ olehnya (lebih jauhnya ingin diperhatikan olehnya). Dibedakan dengan kebanyakan jajaka lain. Mungkin tak ada jalan lain untuk membedakanku (dari segi panggilan) dengan mereka kecuali mengabulkan permintaanku tadi, menerima ‘’panggilanku’’ dan memanggilku dengan panggilan khusus yang kuinginkan. Kalaulah memang dia menganggapku ‘’berbeda’’ dengan jajaka lain, menganggapku tidak seperti teman-temannya yang lain, keinginanku ini tidak berlebihan ku rasa. Dan juga, bila saja dia ‘’mengakui’’ panggilanku dan juga memanggilku dengan sebutan khusus, aku pasti merasakan pertalian bathin dan ‘’ke-satu rasa-an’’ seutuhnya. Aku juga (pasti) akan merasa seorang jajaka yang diistimewa­kannya. Jajaka yang dibedakannya dari sekian banyak jajaka di muka bumi ini.

Aku cukupkan sekian coretan ini. Aku takut terlalu berlebihan hingga terkesan pemaksaan dan pengemisan. Jhony Iskandar pernah bilang dalam syairnya, aku bukan pengemis cinta, maksudnya? Tau ah gelap hehe…

Jawaban yang kedua atas pertanyaan, apa panggilan yang ku inginkan itu? Jawabannya, apa ayo? hehe…The End

"Love and a cough cannot be hidden"
(Cinta dan bentuk tidak dapat disembunyikan)

Bidûni Ta’lîq

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@13 April 2006

My Hobbies

Senada dengan judulnya, coretanku kali ini menceritakan tentang hobi atau kegemaranku. Hobiku sesungguhnya banyak sekali, namun bila kutuliskan semuanya pasti akan banyak memakan halaman dan waktu yang lama. Sengaja ku tulis pada blogku ini, beberapa hobiku yang kuanggap tidak semua orang akan sama dengan yang ku gemari. [satu] Hobiku di bidang olah raganya, fitness. [dua] Musiknya; Dangdut (Rhoma Irama), nasyid, sundanese dan slow rock. [tiga] Filmnya; Kungfu dan Tom and Jerry (kartoon).

[satu] Pada dasarnya, aku menyukai banyak bidang olah raga, dari mulai foot ball, tenis meja, badminton dan catur. Hanya saja, fitness menjadi lebih aku sukai karena sering ku lakukan.

Aku mulai menggemari olah raga fitnes ini sejak keberadaanku di Mesir. Semasa ku di pondok, tidak mengenal fitness, yang ku kenal hanya sepak bola, tenis meja dan badminton serta catur. Karena fasilitas itulah yang ada di sekolahku saat itu. Untuk catur, aku pernah menjadi utusan sekolahku dalam pertandingan persahabatan. Dan, saat itu, (berkat pertolongan-Nya) aku menang.

Pertama diperkenalkan fitness oleh temanku yang bernama (panggilannya) Oasis, asal Jakarta. Badannya yang tinggi gendut, menjadikan motivasinya untuk fitness. “Gua fitness ingin ngecilin perut gua” begitulah kira-kira motivasi Oasis.

Pertama aku diajaknya menjadi member klub fitness di daerah Mutsalas. Ketika aku tinggal di di Bawwabah III, Hay Asyir. Saat itu hanya 25 Pound untuk satu bulan. Pada hari perdana aku melakukan fitness, tubuhku terasa hancur, sakit dan pegal-pegal. Hampir seminggu kurasakan tubuhku seperti itu. Namun, setelah kulalui tahapan tadi dan selanjutnya, terasa badanku fresh. Capeknya hanya ketika fitness saja, setelah istirahat dan bangun, badanku enak, segar dan fresh.

Setelah pindah tempat tinggal ke Asrama khusus mahasiswa asing, Islamic Mission City, Abbasea. Hobiku itu terasa makin ‘mendapat tempat’, karena di Asramaku itu, ada tempat fitness juga, gratis lagi. Bisa disebut, aku orang indonesia yang paling rajin ‘mengunjungi’ tempat itu.

Banyak manfaat yang kurasakan dari fitness ini, diantaranya, kesehatan tubuhku lebih terkondisikan. Terhitung, selama lima tahun aku di Mesir, hanya satu kali saja aku sakit (parah). Itu berkat olah raga. Meskipun pada hakekatnya atas kehendak Allah semata. Hanya saja, olah raga menjadi sebabnya. Kullu syaiin sababa, fa’atba’a sababa. Segala sesuatu itu ada sebabnya, maka ikutilah penyebab tersebut. Hukum sebab akibat (kausalitas), pastilah akan terjadi. Kata-kata al-jaza min jinsil ‘amal (balasan itu sesuai dengan usahanya), sangat relevan dengan hukum kausalitas tadi.

Setidaknya ada empat motivator yang membuatku rajin fitness (olah raga). Pertama, aku niatkan, untuk menjaga kesehatan. Kedua, mencari teman. Ketiga, menjaga diri, dan yang terakhir (keempat), ingin berlaku ‘nonblok’ (tidak berpihak kepada keduanya) atas perkataan guruku (sekaligus pimpinan pondok) dan istrinya.

Motivasi pertama, sebagaimana yang telah disinggung di atas, untuk menjaga kesehatan. Niatku memang demikian, aku berolah raga untuk menjaga kesehatan tubuhku. Aku pernah membaca salah satu Sabda Rosulullah Saw. yang berbunyi, “al-harokatu barakah”. Artinya: bergerak itu (olah raga) adalah barokah. Meskipun aku tidak tahu pasti derajat hadits ini, apakah shohih, hasan ataupun dhoif, tapi yang jelas-jelas kebenarannya (ke-shohihannya) adalah, bahwa Rosulullah Saw. (tertulis dalam sejarah) sering berolah raga. Rosulullah Saw. juga pernah bersabda, ‘’’allimû aulâdakum bissibâhah’’ (ajarilah anak-anankmu berenang). Renang adalah salah satu cabang dari olah raga.

Motivasi kedua, untuk mencari Teman. Ini terbukti di lapangan. Dengan perantara fitness, aku mempunyai banyak teman. Diantaranya, sebut saja Munir (Mesir), Ali (Nigeria), Ishaq (Benin), Fathullah (Rusia), Ustman (China), Kotoko (Kongo), Dzannun (Comoro), Muhammad (Niger), Zakaria (Afrika tegah), Ben (Madagaskar). Sebenarnya lebih banyak lagi teman-temanku di klub fitness, hanya saja aku tidak tahu semua asal negara mereka.

Motivasi ketiga, untuk menjaga diri. Aku bisa membuktikan kebenaran motiv ini. Selama di Kairo bahkan sampai sekarang, tidak ada orang yang ‘menantangku’ berkelahi atau membuat gara-gara padaku. Selama kuliah, baru sekali aku beradu fisik, itupun ‘tidak sebenarnya’ (baca, Tendangan Bumi). Aku bukannya ingin berkelahi, namun ingin menjelaskan kebenaran motivasiku tadi. Mungkin, orang akan berpikir dua kali, bila ingin ‘ribut’ denganku. Apalagi kalau melihatku pakai kaos street (ketat), minimal dia tidak meremehkanku. Tidak meremehkan orang Indonesia pada umumnya. Kutahu dan ku telah mendengarnya langsung, bahwa orang indonesia di mata mereka (khususnya bagi orang-orang Mesir dan Afrika serta Rusia), terkenal dengan postur tubuhnya yang kecil, kurus, dan lemah. Anggapan inilah yang sering membuat orang indonesia di Mesir ‘tertindas’.

Aku sering kesal bila melihat teman sebangsaku diremehkan. Di sini aku akan ceritakan salah satu kejadian di Asramaku dulu. Sebagai bukti pandangan ‘sebelah mata’ mereka terhadap teman-temanku (indonesia).

Di asramaku yang dikhususkan untuk mahasiswa asing (Islamic Mission City), terdiri dari 93 negara. Bila waktu makan siang, semua mahasiswa harus ngantree mengambil makan. Yang namanya ngatree itu, peraturannya kayak masuk mesjid, siapa yang duluan itu yang di depan, tidak peduli orang Indonesia atau Afrika. Pokoknya yang dulu datang ia yang didepan. Ada salah seorang (bahkan lebih dari satu) Afrika yang sering memasuki antrean (langsung) dan berdiri di depan orang Indonesia, padahal dia baru datang. Hal itulah yang membuatku sering kesal melihatnya. Menurutku itu tidak adil. Dan orang indonesia tadi hanya diam, karena tidak berani menegur apalagi melawannya. Padahal –aku tahu- dia itu sangat kesal terhadap perbuatan orang Afrika tadi, terlihat dari mimik wajahnya yang masam. Kejadian itu bukan hanya sekali kulihat. Saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa, hanya bisa memperhatikan saja. Aku juga tidak mau bikin ribut. Apalagi mengawali untuk ribut. Ku tahu watak orang Afrika yang (kebanyakan) sangar. Hanya waktu itu pernah terbersit dalam hatiku, “bila seandainya dia langsung masuk antrean di hadapanku, aku akan beri dia pelajaran”.

Rupanya bisikan hatiku dikabulkan Allah. Suatu hari, orang Afrika itu dengan tergesa-gesa langsung masuk antrean dihadapanku, padahal antrean panjang. Aku juga sudah lapar. Maklum pulang kuliah, udara panas dan perutku sudah tidak bisa di ajak kompromi. Sebagai manusia, aku juga punya kesal dan marah. Seperti saat itu. Ku berusaha mengontrol emosi, dengan nada rendah ku menyuruhnya pindah dari hadapanku. Seandainya saja saat itu dia tidak menuruti perintahku, bahkan memaksa untuk tetap berdiri di mukaku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin aku tidak bisa lagi mengontrol emosiku. Orang Afrika itu akan kuberi pelajaran di situ juga. Tak perduli dengan postur tubuhnya yang tinggi. Untung saja, setelah dia berbalik dan melihat ‘kaos ketatku’ (yang ketika itu kebetulah aku pakai, karena udara sangat panas), dia minta maaf dan pindah tempat.

Bila kuingat qoul Junjunanku yang menyabdakan, “orang mukmin yang kuat (jasmani dan rohani) lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada orang mukmin yang lemah”, terasa sekali olehku kebenarannya. Memang –terkadang- sangat diperlukan sebuah “kekuatan” untuk mencapai sebuah keadilan. Meskipun kekuatan itu tidak selalu harus diperlihatkan. Dengan kata lain, kekuatan harus diikuti dengan ketawadhuan (rendah hati). Kekuatan diperlukan pada kondisi tertentu. Contohnya –mungkin- seperti saat keberadaanku tadi (lagi ngantre, panas dan lapar hehe).

Aku sangat bersyukur diberikan Allah tubuh yang (kata orang) atletis. Ternyata tubuh seperti ini merupakan kelebihan di mata teman-temanku, sekaligus jadi idaman mereka juga. Banyak teman-temanku yang ‘iri’ dan ingin memiliki seperti yang aku miliki. “Ajak aku fitness dong”. “Ajarin aku fitness yah” kata-kata itu sering aku dengar dari teman-temanku. Namun, hanya beberapa orang saja yang benar-benar rajin dan komit berfitness (olah raga).

Motivasi keempat, ingin berlaku ‘nonblok’ (tidak berpihak kepada keduanya) atas perkataan guruku (sekaligus pimpinan pondok) dan istrinya.

Motivasi keempat ini mempunyai kronologi khusus. Begini ceritanya…
Diantara para santri, aku salah satunya santri yang mendapat ‘perhatian khusus’ dari pimpinan pondok, juga istrinya. Mereka sangat ‘memperhatikanku’. Sampai sekarang aku juga sangat menghormati dan berterima kasih pada beliau. Selain itu, aku juga sering memimpikannya. Itu (mungkin) disebabkan adanya hubungan bathin antara aku dengan beliau yang masih terjalin dan tak akan terputus. Insya Allah.

Beberapa hari menjelang keberangkatanku ke Mesir, (di depanku) guruku berkomentar, “pulang dari Mesir kamu akan gendut” (karena ada salah seorang alumni Mesir yang gendut, padahal sebelum ke Mesir badannya kurus. Berkaca dari kasus ini beliau memprediksikanku seperti itu). Namun, prediksi istrinya lain, bahkan sebaliknya, dia mengatakan, “pulang dari Mesir kamu akan kurus”. (waktu di pondok, istri guruku itu sering mengetahui ketukanku ke pintu dapur untuk makan sahur. Mungkin prediksi beliau, para sufi bertubuh kurus, karena banyak shaum. Nah, mungkin aku diprediksikan seperti sufi itu hehe).

Setelah di Mesir, kata-kata guruku dan istrinya itu terus terngiang-ngiang di telingku. Dan saat itu aku berniat ‘menjadikan’ tubuhku tidak gendut dan tidak kurus. Sedang sedang saja (tentu dengan cara rajin berolah raga). Inilah yang ku maksud dengan ‘nonblok’, tidak mendukung guruku (gendut) dan tidak mendukung istrinya (kurus). Bahkan alhamdulillah, tidak hanya nonblok yang kuraih, bahkan dapat menjadikan tubuhku lebih dari target. Alhamdulillah.

[dua] Musik Dangdut (Rhoma Irama), kuhitung pertama aku mengenal lagu (musik) Rhoma Irama (dangdut) mulai dari desa Bojong Cianjur, tempat pertama ku tinggal. Berawal dari kedekatanku dengan seorang teman ngajiku yang baik. Dia sering memutar balik lagu-lagu Rhoma, lama-kelamaan akhirnya aku tertular juga oleh hobinya itu.

Aku tertarik lagu Rhoma –selain enak didengar- (terutama) oleh syair-syairnya. Meskipun aku tak ada yang hapal penuh (satupun) dari syair-syairnya, kalau dicermati dan diresapi, banyak syair-syairnya penuh dakwah dan nasehat. Tidak hanya ucapan belaka ketika H. Rhoma Irama mengikrarkan bahwa grupnya ini (Soneta Group) adalah musik dakwah, sama dengan nasyid, hanya musiknya saja yang berbeda.

Salah satu buktinya, (fakta ini aku baca dari sebuah majalah) banyak orang-orang yang shalat shubuh dulu sebelum lari pagi (padalah sebelumnya mereka langsung lari pagi tanpa shalat shubuh terlebih dahulu) setelah mendengar lagu Rhoma yang judulnya “Lari Pagi”. Ini menurut pengakuan si pelaku (sebagaimana yang tertulis di majalah tadi). Memang syairnya begitu bagus dan membuat orang tak berkutik menerima kebenaran syairnya. Inilah potongan lagu itu:

Lari pagi, tua muda semua
Lari pagi, yang sangat digemari
Lari pagi, sangat penting sekali
Lari pagi, untuk bina jasmani

Lari pagi memang perlu
Tapi jangan lupa shubuh
Ah ah ah sembahyang dulu

Gunakan masa mudamu
Untuk akheratmu

Begitu juga dengan syair-syair lagu yang lainnya, banyak sekali yang bernada dakwah, agamis serta bernada membangun moralitas dan akhlak. Sebut saja (diantara) judul lagunya; Quran dan Koran, Persatuan, Katakan Tuhan Itu Satu, Judi, Begadang, Mirasantika (minuman keras dan narkotika), Reformasi de el el.

Inginnya ku sebutkan semua alasan-alasan kenapa aku menyukai musik yang aku tuliskan diatas (sebagai hobiku), tapi kayaknya terlalu banyak. Cukup ku sebutkan satu alasan saja (mengapa suka dangdut Rhoma Irama) sakaligus sebagai perwakilan yang lain.

[tiga] Film kungfu dan Tom and Jerry. Ya, aku paling suka film-film tersebut. Semua film yang dibintangi Jet Lee dan Jacky Chan aku suka, bahkan (mungkin) tak ada yang lepas dari mataku jika aku melihat CD atau Video atau file di komputer teman-temanku tentang film tadi, pasti aku tonton.

Aku suka film-film kungfu, selain karena gerakan-gerakannya (jurus-jurus), juga karena tidak ada adegan ‘dewasa’nya, kalaupun ada hanya sedikit saja, dan itupun sangat jarang dan tidak pulgar.

Terus terang aku merasa tabu bila melihat adegan ‘pacaran’. Aku belum mampu melihatnya. Mataku sering enggan dan berpaling bila ada adegan itu. Namun, sulit untuk mencari film-film yang tidak ada ‘pacaran’nya, hanya film kungfu Jet Lee itu ku kira yang ‘bersih’ dari ‘pacaran’.

Kalau Tom and Jerry, aku menyukainya kerena film kartoon yang satu ini pasti membuatku tertawa. Bila sudah tertawa, hilanglah stres dan masalah yang bergelumun di otakku, minimal untuk saat itu. Nggak percaya? Coba dech nonton film kesukaanku ini. Niscaya akan ha ha ha ha ha…(tapi ingat, nontonnya setelah belajar hehe).

Ya itu sedikit tentang hobiku. Masih banyak hobi-hobiku yang lain tidak kutuliskan di sini, seperti makan, minum dan tidur hehe….it’s my hobbies too.


“Seseorang dengan tujuan yang jelas akan membuat kemajuan, walaupun melewati jalan yang sulit. Seseorang yang tanpa tujuan, tidak akan membuat kemajuan walaupun ia berada di jalan yang mulus”


Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 10 April 2006

Tuesday, April 11, 2006

Adikku Sayang Adikku Semata Wayang

Allah Yang Maha Pencipta telah menakdirkanku terlahir dengan hanya memiliki satu adik kandung. Ku yakin, takdir ini yang terbaik (bagiku) dari-Nya, karena Tuhanku selalu memberikan yang terbaik bagi makhluk-Nya. Tidak terkecuali, papasten diriku.

Menurut cerita ibuku, aku terlahir di desa lemah Abang, Bekasi. Pada hari rabu, 26 tahun yang lalu. Sedangkan hari kelahiran adikku, sama seperti hari lahirnya Junjunanku yang mulia, senin, 23 tahun yang lalu.

Banyak kenangan yang aku lalui bersama adikku yang semata wayang ini. Disamping kenangan pahit, kenangan manispun masih kuingat. Unforgetable.

Nendra Suhendra, nama lengkap adikku itu. Namun aku sering memanggilnya dengan panggilan kecil, panggilan kesayangan ibuku, Ace. Aku tidak tahu kenapa adikku dipanggil Ace oleh ibuku, namun kayaknya, Ace itu kependekan dari Acep, atau lebih pasihnya jadi Asep. Asep adalah panggilan yang dinisbatkan kepada orang sunda. Nah, kayaknya asumsiku itu benar. Adikku –meski orang bekasi- tapi tetap bahasa dialongnya menggunakan sunda language, meskipun sunda kasar. Jadi kalau dipanggil Asep (Acep) Nendra, ya pas lah.

Secara fisik aku berbeda dengannya, dia condong kepada ibuku (postur ibuku cukup tinggi). Tubuhnya ramping hingga terlihat lebih tinggi dariku, dia juga lebih ganteng hehe…Sedangkan aku lebih condong kepada Ayahku. Rambut ikalku (kata pengamat:-)) ‘warisan’ dari ayahku. Juga tubuhku yang (juga kata pengamat) berbody dan atletis juga seperti Ayahku.

Menurut cerita ibuku lagi. Ayahku adalah keturunan jagoan betawi (ayahku asli betawi). Bila ingat film Si Pitung (jagoan betawi), aku juga suka ingat Ayahku. Ya, gambarannya seperti itulah jagonya Ayahku. Jago silat dan jago golok serta pem­berani. Bedanya, Ayahku jelas lebih kucintai, kuhormati dan lebih kukenang dari pada Si Pitung.

Cerita ibuku itu bukan semata pujian yang tanpa bukti. Karena aku pernah membuktikan kebenarannya. Ketika aku kelas empat SD, ayahku pernah ‘ribut’ dengan (katakanlah) empat orang preman. Entah apa permasalahan yang sebenarnya, aku juga ingat-ingat lupa, maklum baru kelas empat eSDe:-). Singkatnya, ayahku dikeroyok oleh empat orang preman tersebut. Adu fisikpun terjadi. Satu lawan empat. Untung saja, banyak orang di tempat itu, akhirnya mereka dipisahkan. Empat orang preman tadi banyak yang terluka dan bonyok bahkan terjatuh. Namun ayahku, kulihat wajahnya hanya lecet (dekat matanya) sedikit. Selain itu juga, dia masih bisa berjalan normal, pulang dengan langkah gagah. Pantas aku –sebagai anaknya- sangat respek dan tertarik sekali untuk belajar bela diri. Seperti silat, karate, taekwondo dan kungfu. Mungkin ini juga karena aku adalah keturunan pendekar ksatria kali yah ?hehe…

Masih ku ingat ‘filsapat ksatrianya’ ayahku kala ia masih bersamaku dulu. ‘’Musuh jangan dicari, kalau datang jangan lari’’ itulah filsapatnya. Mungkin kalau dijabarkan filsapat tersebut begini; Aku jangan mencari musuh, konsekuensinya, aku harus selalu bersikap sopan dan sabar (jangan mencari gara-gara). Namun, jika ada orang yang mengusik dan ingin merebut hakku, selaku gentle man, selaku ksatria, untuk mempertahankan hakku itu, aku tidak boleh lari. Mempertahankannya sampai titik darah penghabisan. Begitulah kira-kira interpretasiku terhadap kata filsapat dari Ayahku itu.

Disamping perbedaan dengan adikku dari segi fisik tadi. Ada kesamaan sifat antara aku dan dia, diantaranya, rasa malu. Terutama malu terhadap lawan jenis. Nah, Sifat ini masih melekat padaku juga padanya, hingga sekarang. Diantara sifat baik adikku, suka menabung. Rikrik gemi istilah sundanya.

Karena fatroh tinggal di Cianjurnya tidak selama aku tinggal. Adikku kurang bisa menguasai bahasa sunda halus Cianjur. Tambahnya lagi, sekarang dia tinggal di Jakarta, yang pasti dialognya menggunakan bahasa indonesia. Minimalnya bahasa gaul Jakarta, seperti elo dan gue. Mudah-mudahan adikku tidak terbawa arus negatif pergaulan Ibukota.

Sebelum aku ke Cianjur, aku juga belum bisa bahasa sunda halus, seperti adikku itu. Namun, alhamdulillah, kurang lebih tujuh tahun di Cianjur, aku sudah terbiasa berbahasa sunda halus dengan intonasi asli sunda. Bahkan terhitung, bahasa sundaku paling halus diantara keluargaku di Bekasi, bahkan -mungkin- diantara orang bekasi semuanya. Tak heran, ibuku terkadang bilang terus terang, (bila ku telpon) tidak bisa ngobrol denganku, bila aku menggunakan bahasa sunda Cianjur (sunda halus). Dengan terpaksa –meskipun merasa nggak sopan dan nggak enak body- aku menggunakan bahasa campuran (sunda halus dan kasar) bila ngobrol dengan ibuku.

Yang kutahu, Adikku sangat baik padaku. Dia sangat menghormati, dan penurut terhadapku sebagai kakaknya. Ya memang suatu kemestian seorang adik harus menghormati dan taat terhadap kakaknya (selama tidak menyuruh untuk bermaksiat pada Allah), tapi kan, tidak semua kakak beradik saling menghormati. Tidak semuanya seorang adik menghormati dan taat terhadap kakaknya. Tidak sedikit anak sekarang, jangankan menghormati dan taat terhadap kakaknya, memanggil kakaknyapun langsung namanya, tanpa dibubuhi awalan ‘’kakak’’ atau ‘’aa’’ atau ‘’mas’’ sebelumnya.

Semasa kecilku bersama adikku, di Lemah Abang sana, (menurut ibuku) suka bertengkar. Ya, itu kebiasaan yang alami bagi kakak beradik di masa kecil. Maklum masih belum berpikiran dewasa, yang mendominasi diri mereka biasanya hanya ke-egois-an, emosi dan kepuasan pribadi. Aku mohon maaf bila kebersamaanku dengannya dulu telah mencoretkan tinta merah dalam sejarah masa kecil kehidupannya. Biarkan dan lupakanlah masa lalu, sekarang kita hidup dimasa kini.

Setelah –kurang lebih- lima tahun keberadaanku di Cianjur, Adikku mengikuti jejakku, hijrah ke Cianjur. Tepatnya ke Ponpes Tanwiriyyyah, Sindanglaka-Karangtengah. Memang sudah menjadi keinginan dan cita-citaku sebelumnya untuk mengajaknya hijrah. Keinginan hatiku itu rupanya telah didengar Allah Yang Maha Rahman dan Rohim jauh sebelum aku ungkapkan. Tanpa kuduga, guruku sekaligus pimpinan pondok, menyuruhku untuk membawa adikku itu. Pujian syukur kerap membasahi bibirku kala itu. Alhamdulillah.

Semasa kecil, tidak banyak yang kuingat kenanganku dengannya, karena (keberadaanku) setelah lulus SD aku langsung hijrah ke Cianjur. Justru ke­bersamaan­ku yang hanya –kurang lebih- tiga tahun di Pesantren sangat mengesankan bagiku. Bila kuingat masa-masa kebersamaanku dengannya, mata ini ingin menangis. Seperti saat ini, saat menulis coretan ini. Terasa kebaikan dan kebaktiannya kepadaku yang begitu besar dan ikhlash. Masih teringat di benak pikiranku. Dikala pagi, jika aku belum selesai ‘bertugas’, dia sering mengambil­kan jatah makan pagiku, agar aku bisa langsung makan setelah ‘bertugas’. Tidak ikut thôbŭr (antree) bersama para santri lain terlebih dulu.

Tidak hanya makan pagi yang diambilkannya, dia juga sering mengambilkan makan soreku, bila kebetulan dia pulang sekolah lebih awal. Thob’an aku sangat senang. Bisa langsung makan setelah pulang skul. Lagi-lagi aku tidak ikut ngantree terlebih dahulu.

Ketaatannya padaku juga sudah kubuktikan. Masih teringat di memori pikiranku. Disaat ku menyuruhnya untuk belajar, dia tidak menolak dan mengikuti nasehatku. Aku sering katakan pada dia: “Ce, belajar yang rajin, minimalnya Ace bisa sama rankingnya dengan Aa. Bagus kalau bisa mengalahkan Aa. Nanti aa kasih hadiah”. Meskipun Allah belum meridhoinya untuk menyamai atau mengalahkan rankingku (meskipun peringkat dia sudah termasuk lima besar), namun, semangat dan usahanya yang sungguh-sungguh telah kulihat dengan mata kepalaku sendiri.

Ada kenangan yang tak mungkin kulupakan ketika belajar bersamanya dulu. Waktu itu musim ujian, aku mengajaknya belajar (menghapal) di ruang Aliyah (MAK). Kala itu, bangunan ini termasuk bangunan yang paling bagus di sekolah­ku. Kupilih tempat ini, karena selain sepi juga lampunya terang. Jauh sedikit dari kobong (asrama) tak apalah. Meskipun kadang terasa ada rasa takut juga, maklum tempat ini, menurut cerita teman-temanku, ada jinnya, hihi…Aku belajar sampai larut malam. Ketika dia sudah ngantuk dan ingin pulang, kataku padanya, “belajar sebentar lagi, nanti aa gendong dech pulangnya”. Kata-kataku itu ditaatinya. Dia belajar lagi, sampai ketiduran. Setelah mataku sudah ngantuk, aku sudahi belajarku. Sesuai dengan janjiku padanya, dia kugendong pulang hingga kobong (asrama) lalu ku tidurkan di atas tikar yang sudah tidak bagus.

Begitulah kehidupan santri. Tidur bagaikan ikan pindang, satu kamar bisa diisi tujuh sampai sepuluh orang. Tidak heran jika tidurnya harus disusun berjulur rapi, agar tempatnya cukup. Namun dari itu semua, ku yakin, ada kenangan tersendiri bagi mereka para santri, yang akan menjadi bahan cerita mereka dikala telah mempunyai penerus perjuangannya. ‘’Dulu Bapak pernah mondok. Suka dukanya jadi santri Bapak sudah alami’’, begitulah kira-kira cerita mereka kepada anak-anaknya nanti.

Aku –tentunya- sangat menyayangi adikku yang semata wayang. Semua yang kulakukan dan yang aku perintahkan padanya, tiada lain demi kebaikan­nya semata.

Sekarang, aku jauh dengannya. Jarakku terpisah oleh benua yang tidak mungkin ditempuh dengan perjalan darat ataupun laut. Kasih sayangku hanya dapat kubuktikan dengan untaian kata-kata berbentuk pesan dan nasehat, yang kukirimkan lewat surat (baik klasik ataupun elektronik). Juga telepon yang tidak sering. Tak lupa ku selalu mendoakannya dalam keheningan malam. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat dan perlindungan padanya. Memberikan kesuksesan dan keselamatan padanya. Dinda, Teruslah semangat dalam menjalani hidup ini. Optimis !!! Dinda, aku selalu menyayangimu.

Ya Allah, pertemukanlah aku sekeluarga dalam bingkai kebahagiaan yang tersulam dari benang kasih sayang-Mu. Lalu kami berlabuh dalam samudra rahmat-Mu yang luas, menuju pulau keridhoan-Mu yang maha indah. Amin ya rabbal ‘alamin.

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 7 April 2006

NB : Cepat selesaikan TA nya !!! Hehehe…

Thursday, April 06, 2006

Bakso Party

Sejak sore tadi, tepatnya setelah ashar, aku sibuk belanja ke pasar untuk membeli bahan-bahan yang diperlukan untuk membuat bakso.

Pasalnya, Katresna, salah seorang temanku, ingin mengadakan tasyakuran atas limpahan ‘karunia’ Allah yang ia terima kemarin. Entah apa ‘karunia’ itu, yang jelas, aku ditunjuk olehnya sebagai panitia sekaligus koki untuk membuat bakso.

Meskipun tidak diungkapkannya, aku yakin, motivasi Katresna mengadakan acara tasyakuran, ingin mengamalkan salah satu dari firman Allah yang berbunyi: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (Qs. Ibrahim: 7)

Sebenarnya, keahlian membuat bakso yang ku miliki, tidak terlepas dari bimbingan dan jasa Teteh di Kairo (siapa Teteh? Baca, I Miss You). Semula aku hanya musâ’id bila dia sedang memasak, termasuk bakso. Seiring dengan perjalanan waktu, lama-kelamaan aku disuruhnya membuat bakso sendiri dengan ukuran resep-resepnya dari dia. Mungkin (selama di Kairo) lebih dari tujuh kali aku ‘praktek’ bakso, sampai akhirnya resep dan cara-caranya juga sudah ku hapal.

Sampai sekarang, meskipun aku sudah tidak satu negara lagi dengannya, aku masih suka tanya kabar dan konsultasi, terutama masalah resep-resep yang ‘belum sempurna.’ Ada rasa kangen disana, terutama pada kedua putranya, Asti dan Ucup. Kedua anak ini sering menjadi obat bt (baca: bété) dan stressku ketika aku masih tinggal di Kairo.

Stress? Emang stress itu gimana sich? Emang kamu pernah stress? Hehe…kadar stressku berbeda dengan stressnya orang lain. Bila aku lagi pusing belajar, itu sudah masuk katagori stress menurutku dan itulah stress yang kumaksud. Bila stress yang sebenarnya (sebagaimana syairnya H. Rhoma Irama, si Raja Dangdut), misalnya saja, stress karena putus cinta, wow…tidak lah. Aku bukan tipe pria seperti itu dong. Ku kira, hanya pada pemuda yang kurang ‘iman’ saja terjadi hal itu. Bagiku, no way. Eh…tapi, Aku nggak menjamin kebenaran asumsiku ini, karena aku sendiri belum pernah “putus cinta”.

Ya, aku belum pernah putus cinta, karena sebelumnya aku belum pernah “nyambung cinta” hehe…Entah kalau itu (putus cinta) terjadi padaku sekarang, apakah akan stress dengan sebenarnya? Ah, aku tidak berharap “putus cinta”, karena cintaku “kusambung” bukan untuk “kuputus” tapi terus ingin kujalin dan akan kujaga agar tidak putus, sampai Allah yang memutuskannya dengan memisahkan aku ‘dengannya’ atau memisahkan raga dari nyawaku. Aku berlindung kepada Allah dari segala godaan dan cobaan.

Ups…kok malah cerita stress dan putus cinta sich…Afwan dah ngelantur.

Tidak kusangka, keahlian yang ketika aku berada di Kairo ku anggap biasa saja, ternyata menjadi luar biasa ketika aku pindah negara, tepatnya ke Tunis. Penilaian ‘baksoku enak’ dari para ibu KBRI-Tunisia kerap terdengar. “Wah baksonya enak nih, bulan depan masak buat acara yah?” kata bu Hidayat, salah seorang ibu KBRI, setelah mencoba bakso yang ku buat sebagai respon dari permintaan mereka.

Semula, aku tidak berniat untuk mempublikasikan ‘keahlianku’ ini, apalagi di tempat tinggal baruku. Namun tak kusangka, teman seangkatanku telah mempublikasikannya tanpa sepengetahuan dan izinku, hingga setiap acara kumpul KBRI, mereka (para ibu) kerap menanyakan, mana baksonya? kapan bikin bakso?

Pertanyaan ini membuatku jadi malu sekaligus ingin mengabulkan permintaan mereka. Ya, sekedar membuktikan kabar temanku kepada mereka, bahwa dia (temanku) itu tidak berbohong. Itu aja.

Sampai saat aku menulis coretan ini, sudah lima kali aku membuat bakso, termasuk dengan yang kubuat pada acara tasyakuran Katresna.

Masih ku ingat, pertama kali aku membuat bakso di rumah Bu ‘Aisyah, salah seorang Ibu KBRI. Maksud utama berkunjung ke rumahnya adalah silaturahmi, mengabulkan undangan¬nya. Selingan silaturahmi tadi aku praktek bakso, ini merupakan praktek bakso pertamaku di Tunis. Dari situlah pujian pertama terhadap baksoku ku dengar. Dan dari situ pula, para ibu KBRI semakin yakin terhadap kabar bahwa aku bisa bikin bakso. Maklum, berita para ibu, lebih cepat dari kilatan petir. Islilah sundanya, lewih harus tibatan goong, yang artinya, lebih kencang dari goong. Maksudnya, lebih cepat merambat dan tersebar. Kenapa ya? Bila para ibu (termasuk di dalamnya para calon ibu alias cewek belia) –kebanyakan- sukanya gosif atau ngerumpi sambil ngomong apa aja yang enak diomongin. Akibatnya, bila tidak terkontrol, obrolannya akan menuju kepada ghibah dan namimah. Nauzubillah. Udah gitu, mereka pada pintar ngomong lagi, istilah sundanya, cerewet alias bawel.

Bakso party cukup semarak. Acara dimulai dari ba’da isya. Udara yang sudah tidak dingin lagi seakan menambah kenyamanan suasana. Kurang lebih seratus pentol bakso yang kubuat dari satu kilo daging, kerap menjadi santapan teman-temanku dan nyaris tak tersisa. Tidak kurang dari tujuh pentol bakso jatah untuk masing-masing.

Ah, kalau kemarin bakwan party, sekarang teman-temanku telah merasakan party yang lain, lebih enak (menurut mereka) dan lebih bergizi, betapa tidak, karena bahan utamanya adalah daging (sapi atau ayam) plus putih telur, yakni bakso party. Hanya saja, party yang ini lebih jarang menghiasi rumahku, karena lebih mahal biayanya. Kalau bakwan party bisa dilaksanakan hanya dengan uang tiga dinar, sedangkan bakso party minimalnya memakan biaya sepuluh dinar. Tiga kali lipat memang. Jadi, mesti bakso party lebih enak dan bergizi, bakwan party tidak akan kalah saingan, hehe…tetap dia akan lebih sering kubuat dan menjadi ajang amalanku dalam ‘mengabdikan diri’ pada tullâbul ‘ilmi. Semoga ini salah satu bentuk realisasi dari qoul Junjunanku, yang menyabdakan: khoirunnâs anfa’uhum linnâs (sebaik-sebaiknya manusia diantara kamu adalah orang yang paling bermanfaat). Yah…walaupun ragaku hanya bermanfaat untuk membuat bakwan dan bakso, setidaknya inilah yang bisa kulakukan sekarang. Mudah-mudahan dengan mohon petunjuk dan pertolongan-Nya, aku bisa bermanfaat bagi lingkunganku lebih dari ini semua. Kapankah itu? Setidaknya sudah kumulai dari sekarang. Semoga…

“Ingat 3M”
Mulai dari diri sendiri
Mulai dari hal yang kecil
Mulai dari sekarang

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 31 Maret 2006

Aku (Sedih, Gundah, Kesal)

Aku sedih. Aku Gundah. Aku kesal. Coretan ini terlahir atas dorongan tiga kata sifat yang kusebutkan di awal tadi. Kucoba merefleksikan hatiku yang dipenuhi rasa-rasa tadi.

Kurasakan, tiga hari terakhir ini hidupku terasa tidak menentu. Sampai aku sendiripun merasa bingung. Kenapa kok bisa begini?

Kurasakan kesedihan dan kegundahan serta ketidakmenentuan diriku ini, setidaknya disebabkan oleh dua faktor; pertama, pikiranku masih mengingat dia yang sedang ‘sedih’ dan tak ‘periang’ lagi dikarenakan ijtihadku (baca: Kasih, Jangan Kau Paksa Aku). Meskipun aku sudah minta maaf, tetap saja hatiku merasa belum puas dan ingin sekali aku segera menyelesaikan ‘masalah’ yang terjadi.

Penyebab kedua, yang tidak kalah penting adalah karena tiga malam berturut-turut aku tidak bangun malam. Aku juga heran kenapa kok bisa kesiangan terus? Berturut-turut lagi. Sampai aku juga lupa, apakah beker Nokiaku tidak berbunyi? atau berbunyi tapi aku matikan, lalu aku tertidur lagi. Aku nggak ingat pastinya gimana. Masak sich hanya karena masalah dia doang bisa menyebabkanku tidak ‘bersujud’. Ah, memalukan sekali. Aku kesaaaaaaaaaaal. Ya Allah, maafkan aku. Aku menyesal tidak sujud di malam-Mu. Aku Nyesaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaall.

Mesti kusembunyikan, kesedihan pada rautku ternyata masih tampak, lebih-lebih ketika aku tidak bangun malam. ‘’ada apa fren? Sudah tiga malam kamu nggak tahajjud”, itulah pertanyaan salah seorang temanku (dia sering bergadang). Pertanyaan temanku ini bukti ketidak berhasilan wajahku dalam menyembunyikan kesedihan yang berada dalam hati. “ah, nggak ada apa-apa. Mungkin aku tidur terlalu malam” jawabku.

Aduh, otakku benar-benar lagi kacau. Aku tidak bisa melanjutkan coretan curhatku ini. Pikiranku lagi menemui jalan buntu. Ku tutup aja dech. Yang jelas aku sekarang lagi sedih, gundah dan kesaaaaaaaaaaaaaaaaalll.

Ya Allah, hanya Engkaulah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Dan hanya Engakaulah yang mengetahui semua isi hatiku. Hilangkanlah segera semua perasaan yang merundung hatiku kini. Amiin Ya Rabbal ‘Alamin.

“Hanya dengan mengingat Allah, hati akan tenang”

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 28 Maret 2006