Wednesday, September 27, 2006

Puisi Ulang Tahun

Selasa, 26 September 2006
Kamis, 26 September 1985

Tak terasa sudah...
Hari ini usiamu genap 21 sanah
Moga panjang umur dan barokah
Tetap sejati menjadi mukminah yang kaffah
Tak pernah lelah melaksanakan semua titah ilahiyah

Tak terasa sudah...
252 purnama kau lalui
Dengan sinarnya yang indah nan berseri
Moga menjadikanmu lebih suci
Berbudi tinggi dan senantiasa bening hati

Tak terasa sudah...
1092 pekan kau berkelana di bumi
Menghimpun bekal tuk kembali
Mempersiapkan jemputan ilahi
Yang pasti datang tanpa diketahui

Tak terasa sudah...
7665 kali kau ditemani mentari
Dengan sinarnya yang tak pernah henti
Moga menjadikanmu lebih berarti dan mandiri
Tetap berdiri di atas dustur ilahi.

Biarlah masa lalu...
Pergi dan terbang bak merpati
Pandanglah dia sebagai memori
Jadikan sebagai tolak ukur diri
Sebagai cermin yang jujur menilai pribadi

Biarlah masa lalu...
Hilang tertimbun masa kini
Lupakan canda tawa diri
Juga tangis derita hati
Yang semua itu tak abadi

Ahlan masa depan...
Sambutlah dengan keoptimisan
Berusaha maksimal tuk penuhi harapan
Berjuang keras melawan hambatan
Gigih dan tegar manunaikan semua emban

Ahlan masa depan...
Raihlah dengan penuh keikhlasan
Wujudkan semua idaman dan impian
Dengan tetap menjaga iffah dan keimanan
Juga tak melupakan Yang Maha Rahman


�Selamat Ulang Tahun�
�Semoga momen ultah dijadikan sebagai evaluasi diri dan titik tolak untuk melangkah lebih baik dalam mereka cita dan menata asa masa depan�
�Menyonsong hari esok yang lebih indah dan ceria�
�Smoga hari esok lebih cerah dan bersahabat�

Keep Dzikrullah..!!!
Keep Istiqomah...!!!

Special for someone is there
Happy Birthday

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa�20 September 2006

Thursday, September 14, 2006

Semoga Aku Bukan Seorang Qoti’ur rohim

“Ana harap setelah ini antum masih anggap ana saudara dan tidak memutuskan tali sillaturrahim diantara kita”.

Sengaja kuawali coretan curhat ini dengan kalimat surat terakhirnya. Surat yang dapat membuatku kecewa dan sedih kala itu. Yang kupahami maksud dari suratnya ini, sebuah harapan agar tali persaudaraan seiman yang telah lebih dulu terjalin sebelum terjalinnya “hubungan istimewa” itu tidak aku putuskan, meskipun “hubungan istimewa” itu telah diputuskannya dan aku menerima “pemutusannya”.

Pada dasarnya, jikalaupun dia tidak mengatakan ungkapan diatas, aku tidak berniat sedikitpun untuk memutuskan silaturahmi dan persaudaraan yang telah disatukan oleh ikatan keimanan. Apalagi jika kuingat sabda Rosulullah Saw. yang berbunyi: “Laa yadkhulul jannata qoti’ur rohim”. Tidak akan diperkenankan masuk syurga, orang yang memutuskan tali silaturahmi (persaudaraan). Sungguh hati ini sangat takut untuk memutuskan tali silaturrahmi. Oleh karenanya, aku berusaha mengabulkan harapannya diatas tadi sekaligus aku juga ingin membuktikan niatku untuk tidak memutuskan tali silaturahmi. Kujadikan sms sebagai wasilah silaturahmi, bahkan pada puncaknya aku coba menghubunginya via telepon.

Namun apa yang terjadi, sungguh tak kuduga dan tak kumengerti. Usahaku untuk membuktikan tidak memutuskan tali silaturahmi itu tanpa respon dan balasan (sebagaimana halnya sms). Niat baikku tadi tidak disambutnya. Bunyi telpon berkali-kali itu tidak diangkatnya. Lebih dari tujuh kali aku menghubunginya tetap saja, no answer. Padahal niatku saat itu tidak lebih dari sekedar silaturahmi dan tanya kabar keadaannya. Tidak lebihdari itu.

Seketika itu juga, timbul pertanyaan besar dalam benakku. Apakah aku salah memahami isi poin surat terakhirnya? Atau, apakah perasaan dia kini telah berubah jadi membenciku dan benar-benar ingin memutuskan tali silaturahmi juga? Ah, biarlah…yang terpenting bagiku, aku tidak memutuskan silaturahmi dan bukan aku yang memutuskan persaudaraan itu.

Astaghfirullah…Maafkan aku ya Allah, kalau aku telah berburuk sangka. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullahal ‘Adhiim…

Ya Allah...hanya Engkaulah tempat segala pengaduanku yang sesungguhnya. Aku sudah buktikan bahwa aku tidak memutuskan tali silaturahmi itu. Aku sudah berusaha untuk terus menjaga persaudaraan. Semoga coretan ini menjadi saksi bahwa aku benar-benar tidak memutuskan tali silaturahmi (persaudaraan).

Ya Allah…semoga aku tidak termasuk Qoti’ur rohim yang dimaksudkan dalam sabda suci Kekasih-Mu. Aku ingin menggapai syurga-Mu ya Rabb. Ku ingin berada dalam dekapan rahmat dan kasihMu. Izinkanlah…

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa® 5 September 2006

Serba-serbi Hari Merdeka

Hari ini ingin kucoretkan di buku curhatku ini pengalaman eksentrikku yang baru sekali ini ku alami. Dengan kata lain, ini adalah pengalaman pertamaku dalam lembaran sejarah kehidupanku. Sebagaimana pengalamanku ‘mengenal wanita’. Sama-sama pertamanya gitu lho. Siapa wanita itu? Siapa lagi kalau bukan dia. Dia itu siapa? Ya, dia itu ya si dia...:-)

Kukira setiap perwakilan di luar negri dalam hal ini KBRI, akan banyak mengadakan kegiatan untuk menyambut hari kemerdekaan yang lebih popular dengan sebutan 17-san, baik di Kairo, Australia atau di Amrik. Pun di KBRI Tunis.

KBRI Tunis (dimana aku salah seorang masyarakatnya) telah menyusun kegiatan perlombaan dari sejak bulan Juli. Kegiatan yang mengikutsertakan para mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang berada di Tunis ini berupa acara hiburan dan perlombaan. Semua mahasiswa indonesia di Tunis yang saat ini jumlahnya hanya 14 orang doang “harus” ikut berpartisipasi. Termasuk aku. Ya tak apalah, yang penting ikut berpastisipasi. Meskipun aku tidak bisa dart apalagi gaple, tak urung aku menyanggupinya ketika panitia bertanya akan persetujuanku untuk ikut cabang permainan tersebut.

Kegiatan perlombaan itu dilaksanakan disela-sela hari libur, yakni hari sabtu dan ahad. Yang pada endingnya, semua perlombaan selesai tepat bulan agustus. Beberapa hari sebelum hari kemerdekaan. Adapun jenis lomba tersebut adalah: Sepak bola (Mahasiswa –memakasi sarung- vs Bapak2 KBRI-memakai daster-), jalan cepat, tenis meja, gaple, dart, dan mancing.

Inilah pengalaman itu.
Nah baiklah, akan kuceritakan pengalaman pertamaku yang diatas sudah sedikit diinformasikan. Apakah itu?
Begini ceritanya.
Nggak tahu siapa yang mengusulkan, tiba-tiba saja aku dipanggil Panitia Agustusan untuk menjadi Paskibra dan menari Indang. Tari Indang itu berasal dari Padang - Sumatra Barat (kalo tidak salah nich), yang personalnya terdiri dari 6 orang; 3 cewek dan 3 cowok. Gambarannya, persis seperti tari Saman yang berasal dari daerah Aceh. Tarian kelompok yang mengutamakan kekompakan.

Wah, sungguh aku sangat terkejut saat itu. Apa nggak salah pilih orang nich panitia. Untuk Paskibra okelah aku sanggupi, kupikir paling hanya baris berdiri, jalan dan mengibarkan bendera. Meskipun aku belum pernah jadi petugas pengibar bendera. Pernah aku jadi petugas semasa SMA (MAK) dulu, itupun hanya jadi pembina upacara bukan pengibar bendera. Tapi untuk menari...wah tunggu dulu dech.

Pertimbangannya, seorang penari tentunya dituntut badannya lentur dan gemulai, sedangkan badanku kurang cocok untuk itu. Aku biasa fitness yang menyebabkan seluruh badanku agak sulit untuk gemulai. Pertimbangan lainnya adalah, harus berdampingan dengan ceweknya itu lho. Aku masih “alergi” dan tidak biasa kalau berdekatan dengan cewek. Dikhawatirkan, aku malah kikuk dan malah tak bisa konsentrasi menari. Aku mohon jangan disuruh nari dech, pliss Bu Panitia!!! ”Masak sih kamu menari” komentar spontan temanku yang di Kairo, ketika dia tanya via sms tentang kegiatanku saat itu.

“Wah ibu ini, kok maksa banget sih, aku nggak bisa dekat cewek tahu, aku nggak biasa!” tentu uring-urangan ini hanya dalam hatiku saja. Toh kenyataanya memang aku “dilarang” menolak oleh Ibu Panitia. Alasannya, “tidak ada orang lagi, yang lain sudah pernah semua”.

Memang menurut mereka sih, itu hal yang wajar dan biasa aja, toh hanya berdampingan dengan cewek sambil menari. Tidak ngapa-ngapain lagi. Tapi bagiku, segitu juga sudah cukup membuat hatiku tidak nyaman dan merasa berdosa. Nggak enjoy. Tapi gimana lagi...

Hari pertama latihan, aku merasakan gerakanku sangat kikuk alias kaku. Hatiku juga tidak “murtah”. Karena selain“ dipaksa” harus berdampingan dengan cewek, gerakanku juga harus lentur dan gemulai. Kayak cewek gitu. Satu lagi, aku harus terus tersenyum ke para penonton. Coba bayangkan!!! BT kan (Butuh Tausiah);)?

Pendek kata, tidak enak dech...Lebih baik aku disuruh ngangkat besi 70 kg dari pada harus menari dengan keadaan seperti saat itu. Tapi, itulah, aku tidak boleh menolak. Apalagi atas mandat Bapak Duta Besar. Aku hanya bisa menjaga hatiku saja, supaya jangan “macam-macam”. Sering hatiku berceloteh, “ya Allah, apakah keadaan ini bisa dikatakan sebagai hal yang dhorurat?” Semoga aja dech ....

Jadi artis di Tunis.
Singkat cerita, setelah selesai upacara bendera yang aku dan dua kawanku sebagai paskibranya. Terhitung sukses. Kami bertiga kompak dalam gerak dan langkah. Saat bubar upacara itulah, banyak peserta upacara yang minta foto bersama (paskibra) termasuk Bapak Duta Besar RI. Bapak Hertomo Reksodiputro. Laksana artis atau seleb. Selain malu, aku juga marasa tersanjung...;-).

Aku tak menyangka setengah dikitpun (maksudnya, lebih kecil dari sedikit;-)), bahwa akan tejadi hal yang tadi itu. Aku harus beberapa kali berdiri tegak mengahadap kamera dengan “harus tersenyum” bersama “fans”. “Jangan dulu ganti baju yah, masih banyak yang minta foto bareng” kata seorang ibu memberitahuku yang saat itu pas mau mengganti kostum paskibra.

Hal seperti tadi terulang lagi (permintaan foto bersama), ketika aku dan lima temanku selesai menari Indang pada malam resepsi. Acara resepsi ini dilaksanakan oleh semua perwakilan (KBRI) yang ada di luar negri. Malam resepsi itu adalah, malam “pesta” hari ulang tahun Republik Indonesia (saat ini ke-61). Acara resepsi ini dihadiri oleh para diplomat dan perwakilan dari banyak kedutaan asing di Tunis. Para Dubes dan pembesar-pembesar Negara. Resepsi diadakan pada malam harinya setelah upacara bendera. Malam 17 Agustus.

Acara resepsi seperti ini, diadakan juga oleh perwakilan-perwakilan negara lain setelah peringatan upacara kemerdekaan negaranya masing-masing.

Inti acara resepsi sebenarnya hanya makan malam dan siltaturahmi, namun KBRI Tunisia ingin menghibur para tamu undangan dengan beberapa hiburan. Diantaranya; Angklung (yang aku juga sebagai salah seorang personalnya), tari Indang dan tari Denso (terdiri dari tiga orang personal wanita).

Menjadi juara.
Sore harinya (tanggal 17 agustus). Setelah matahari mulai surut, sinarnyapun sudah tidak terlalu menyengat. Dilakukanlah acara penurunan bendera. Untuk kedua kalinya aku (paskibra) berbaris tegak (kepanasan euy) untuk melakukan penurunan bendera. Alhamdulillah, penurunan benderapun sukses. Lebih kompak dari pada penaikan bendera sebelumnya.

Acara terakhir hari itu adalah pembagian hadiah kejuaraan. Alhamdulillah lagi...dari sekian jenis perlombaan yang diadakan, lumayan banyak aku menjuarainya. Meskipun tidak menjadi juara umum. Diantaranya; Juara I tenis meja double, Juara II tenis meja campuran, juara III mancing dan juara I (kelompok) sepak bola. Hadiahnya berupa uang tunai yang lumayan besar. Bisa untuk tambah-tambah bayar uang kuliah. Hehe... Insya Allah untuk tahun depan, mudah-mudahan bisa ditingkatkan lagi jadi juaranya. Aamiin
Gitu ceritanya....Tammat.

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa® 19 Agustus 2006

Monday, September 04, 2006

“Gray” Memory

Aku telah gagal menjalin hubungan dengan seorang wanita yang (menurutku) sholehah. Setelah hubungan itu berjalan selama kurang lebih tiga bulan. Padahal aku telah berusaha untuk menjaga hubungan (komunikasi) dan berniat untuk selalu setia.
Namun takdir berkata lain, manusia hanya bisa merencanakan. Meskipun dengan segenap usaha yang kurasa maksimal. Tapi...kalau Dia sudah punya kehendak, siapa yang bisa menentang?
Kegagalan sudah menjadi makanan sehari-hari manusia yang hidup di dunia fana ini. Tidak hanya aku, bahkan banyak lelaki selainku pasti pernah mengalami kegagalan. Pada prinsipnya “tidak ada kebetulan di kehidupan ini” semua adalah bagian dari rencanaNya. Begitu juga dengan kegagalan. Allah punya cara berkomunikasi dengan makhluknya (diantaranya aku) yang unik, nah kegagalan itu adalah salah satu cara unik agar aku bisa belajar sesuatu....
Aku hanya bisa mengusap dada dan bersabar serta menahan segala perasaan hati yang bergejolak ketika mendengar pemutusannya atas hubungan yang sudah terjalin cukup lama itu. Keputusannya itu begitu cepat, mendadak dan tanpa kompromi. Membuat aku tak paham, apa sebab yang sangat prinsipil hingga memutuskan hubungannya denganku. Meskipun dengan segala alasan yang dia muntahkan, rasa heranku masih tak hilang. Sangat eksentrik memang…
Jika ada kesalahanku yang tak terasa telah menyakitinya, apakah dia tak bisa memaafkanku dan memberi kesempatan untuk memperbaikinya, karena aku adalah manusia (Al-Insan mahallul khoto wa Annisyan) bukan makhluk langit.
Bukankah selain dengan memutuskan hubungan bisa dengan jalan menasehatiku dan memberikan input padaku, mengingatkanku. Karena sesungguhnya inilah salah satu manfaat adanya hubungan itu; saling menasehati, saling memotivasi dan saling mengingatkan dikala khilaf.

Ternyata Hanya…
Kadang pikiranku memflash back semua kenangan itu. Kembali memoriku dipenuhi perasaan gembira dan ceria. Namun setelah itu berubah sedih dan kecewa yang pada akhirnya aku kadang bisa tersenyum sendiri. Seperti sekarang hehe…

Kegembiraan dan keceriaan datang ketika kuingat saat hubungan itu berjalan “harmonis”. Kesediahan dan kekecewaan hadir tatkala mengingat semua kata dan vokal pemutusannya. Dan terakhir aku tersenyum sendiri, jika kuingat, ternyata semua niat dan rencana untuk terus menjalin hubungan serius (hingga pernikahan) itu hanya niat dan harapanku saja. Niatku yang menggebu, harapanku yang mendalam kini telah terhempaskan bak tiang bangunan yang hancur diserang tsunami nan dahsyat. Dengan kejadian ini, lagi-lagi bertambah keyakinanku akan kelemahanku sebagai hamba. Dialah yang Maha Mengatur segalanya. KahendakNyalah yang pasti akan terjadi.

Saat itu aku begitu yakin dengan pilihanku ini. Hingga semua kata dan bahasa tlah kusampaikan padanya, namun dengan hitungan detik semua itu tinggal kenangan.
Hmm, lucu memang sekaligus mengejutkan. Inilah kehidupan yang selalu disertai dengan tangis dan tawa serta kejutan. Banyak sekali kejutan-kejutan yang telah ku alami dalam kehidupanku. Akan kutunggu, kejutan apalagi yang akan menerpaku kedepan.


Apakah harapanku telah hancur?
Saat kuterima surat dan segala kata serta alasan “qot’ul ‘alaqoh”. Sebagai manusia biasa, persaaanku sangat sedih dan kecewa. Betapa tidak? Disaat hatiku berbunga dengan berbagai asa dan harapan untuk berbagi. Disaat hatiku menemukan orang yang menjadi “harapan” juga “motivasi” dalam langkahku, sekarang orang itu dengan serta merta telah memutuskanku. Mungkin peribahasa “bagaikan petir di siang hari” bisa digunakan ketika aku mendengar “kata putus” darinya, meskipun peribahasa ini terlalu berlebihan, karena kurasa tidak seperti itu realitanya (suara petir itu menggelegar dan menakutkan), aku masih bisa berdiri di atas kakiku dengan tegap. Maklum, namanya juga peribahasa toh Mas.
Hanya kesadaran hati akan takdir Ilahi dan skenarioNya, yang membuat hati ini tidak larut dalam kesedihan dan kekecewaan.
Ya Allah, apakah harapanku untuk menjadikannya sebagai teman hidup dalam mengarungi rihdoMu dan membawa panji-panji dakwah agamaMu telah hancur dan tamat hingga disini?
Tidak ada yang lebih tahu apa yang ada dalam hati manusia dan kejadian yang akan datang kecuali Dia. Karena itulah kini aku hanya bisa pasrah dan berdoa, “ya Allah, jika dia memang pilihanMu yang terbaik untukku, tumbuhkanlah rasa cinta kasih dan sayang dihatinya padaku dan mudahkanlah aku untuk mendapatkannya. Menjadikan dia sebagai ibu dari anak-anakku kelak. Namun jika memang dia bukan pilihanMu untukku, hilangkanlah segera rasa cinta dihatiku padanya. Untuk rasa sayang biarlah tetap ada, agar aku juga tidak membecinya. Alihkanlah rasa cinta dan sayangku pada wanita pilihanMu, calon istriku kelak. Amiin”
“Will be there for me! Wish me luck, guys.....”

Di pinggiaran kota Tunis
29 Juli 2006