Monday, July 24, 2006

Hakekat Cinta Suci

Mencintai dan dicintai adalah fitrah manusia, karenanya tidak ada seorangpun yang terlepas dari cinta. Cinta juga merupakan karunia dari yang Maha Mencinta.

Karena cinta orang bisa menjadi mulia, juga karena cinta orang bisa menjadi hina. Maka bersyukurlah jika seorang hamba dapat menjadikan cinta sebagai kendaraan menuju ridho dan cinta Ilahi. Dan celakalah bagi hamba yang dibutakan oleh cinta.

Allahpun telah menggambarkan kecintaan manusia terhadap dunia; cinta wanita, anak, perhiasan emas, perak dan berlian serta segala keindahan dunia yang wahh.

Cinta juga bisa menjadikan syafaat (penolong) bagi hamba, dikala rasa cinta itu didasari karena Allah. Dua orang yang mencintai karena Allah, kelak akan mendapatkan perlindungan disaat tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah.

Perasaan insan adalah sama, ingin dicintai dan mencintai, karenanya mencintai seseorang adalah hal yang natural, tidak berhak bagi siapapun untuk melarangnya. Naluri manusia akan berontak tatkala cintanya harus dipendam dalam sanubarinya, lebih jauhnya dilarang.

Sebagai persiapan mental, bila mencintai seseorang harus siap dengan kekecewaan yang akan ditemukan, kecuali bila telah berhasil mencintainya dengan ikhlas. Mencintainya karena Allah. Karena dengan mencintai dan menyayanginya dengan ikhlas, segala kekecewaan yang disebabkannya akan hilang dengan segera dan bahkan –mungkin- tidak akan pernah merasa kecewa.

Bukti Cinta Pada Hamba Dapat Menimbulkan Kecewa
Seakan baru kusadari sekarang, bahwa mencintai seorang hamba itu harus dibarengi dengan bersedianya mental untuk kecewa sekaligus juga dituntut untuk bersikap sabar, dewasa dan bijaksana. Ini terjadi dalam kehidupanku sekarang.

Ada perasaan kecewa dan sedih ketika mendengar kata-kataya kemarin. Kata-katanya yang biasanya ramah dan ‘bersahabat’, kali itu terdengar seakan aku berbicara dengan seorang dewi yang baru ku kenal.

Aku yakin, dia masih ingat dengan apa yang tidak dan aku sukai, bahkan dalam hal ini telah disepakatinya. Diantaranya;
-Diharapkan bisa chating setiap awal bulan (satu bulan sekali), hal ini sebagai salah satu bentuk komunikasi antara aku dengannya.
-Diharapkan menggunakan panggilan yang “kusukai” .
-Diharapkan membalas Mc atau sms (yang perlu balasan/penting), kecuali tidak punya pulsa
-Catatan untuk diriku: Aku tidak boleh frontal atau ekstrim dalam bersikap dan berbicara, karena ini salah satu yang tidak disukainya.

Ada dua sebab yang membuatku kecewa;
1.Kata-kata ana dan antum. Meskipun kalimat ini bentuk penghormatan, tapi tetap karena yang mengatakannya dia, justru membuatku kurang respek dan menimbulkan kecemburuan.
2.Penolakannya yang “frontal” atas ajakan chating. Ternyata penolakan yang frontal itu memang tidak kusukai juga sebagaimana dia tidak menyukai sikap frontalku yang dulu pernah ku katakan kepadanya.

Saat itu ku mengajaknya chating, karena ku merasa telah mempunyai persetujuan bersama untuk chating tiap sekali sebulan. Meskipun kata-kata “nggak mau” itu –katakan saja- hanya bercanda, tapi tetap terasa oleh hati ini begitu janggal.

Kejadian malam itu, sempat membuatku kecewa yang berkepanjangan bahkan sempat membuatku sedih. Terlebih setelah lama tidak ada kabar berita darinya, seakan dia tidak merasa telah membuatku kecewa dan sedih. Mungkin dia sendiri tidak merasa akibat kata-kata dan sikapnya itu telah membuat hatiku tidak stabil.

Timbul banyak pertanyaan yang menyelimuti hatiku; kenapa dia bersikap begitu? Apakah karena aku terlalu sering menghubunginya? Apakah memang karena sibuk hingga membuat dirinya “lepas kontrol”? Apakah dia sedang punya problem pribadi? Atau apakah dia sudah tidak mau “kuhubungi lagi”?

Pertanyaan ini sebenarnya ingin sekali ku tanyakan langsung padanya, hanya saja aku tidak tahu pasti apakah akan menimbulkan kebaikan bagi “ukhuwah” ku dengannya atau bahkan malah menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit.

Akhirnya, semua pertanyaan itu ku jawab sendiri dan ku mencoba mencari seribu satu macam alasan agar aku tidak berprasangka buruk terhadapnya. “Dia memang tidak punya pulsa, dia memang sangat sibuk dan dia tetap masih dan akan selalu setia terhadap cintaku”.

Kesimpulan akhirnya, hatiku telah memaafkan segala kata dan sikapnya malam itu, meskipun dia tidak memohon maaf padaku.

Ucapan Ultah Menetralisir Kesedihan
“Aslm.. “met ulth” mg hr esok bs lbh baik tuk mnggpai ms dpn yg cerah & mg wktu yg tlh brllu bs mnjd tolak ukur tuk bs mlngkh lbh maju..semoga!Wslm..”

Itulah sms yang aku terima tepat jam 12 malam hari ulang tahunku. Meskipun kata-katanya yang kurang akrab, tapi tetap tidak mengurangi subtansinya yang sangat bagus. Harapan dan doanya untukku.

Kesedihanku terasa berkurang setelah mendapatkan dan membaca smsnya itu. Ternyata dia tidak lupa akan tanggal kelahiranku. Dia tidak “membuangku”. Dia masih memperhatikanku.

Hanya Cinta Kepada Allah yang Tidak Pernah Mengecewakan
"Semua kejadian sudah diatur oleh Allah” dan “setiap kejadian itu pasti ada hikmahnya”.

Kuyakini kebenarannya dua penggal kalimat bijak diatas. Apa yang telah terjadi pada diriku memang sudah diatur oleh Allah. Kekecewaan dan kesedihan yang kualami itu sesuai dengan skenario Sang Pencipta. Ini semua kan ku anggap sebagai cobaan dan ujian akan cinta kasihku terhadapnya. Apakah hanya dengan “ujian” seperti sekarang, aku akan menodai cintanya? Apakah hanya dengan “kekhilafan” yang dilakukannya –yang mungkin tidak ia sadari dan tanpa ia sengaja- itu akan menggoyahkan niatku untuk setia kepadanya dan menyayanginya? Ternyata cinta dan kasih sayangku tidak hilang dengan apa yang diperbuatnya.

Aku berlindungan kepada Allah dan mohon pertolongan-Nya untuk tetap dapat memegang janjiku, setia padanya.

Dari kejadian ini juga, aku mendapatkan hikmah yang begitu besar. Bila ku mencintai makhluk Allah, bisa dipastikan aku akan kecewa, atau aku akan menemui kekecewaan. Hal ini dikarenakan tidak adanya manusia yang sempurna. Tidak ada makhluk Allah yang sempurna. Tidak terkecuali dia. Namun, semua kekurangan (kekecewaan) itu hendaknya jangan diperparah dengan berujung pada suatu perpecahan. Juga jangan dijadikan alasan untuk tidak setia memegang janji. Suatu kemustahilan bila mengharapkan kesempurnaan pada makhluk Allah. Hampir tidak akan ditemukan tidak adanya kekurangan pada diri seorang hamba. Justru jadikanlah kekurangan yang terletak pada diri masing-masing sebagai sarana untuk saling melengkapi dan saling memaklumi. Juga bisa dijadikan jalan untuk saling mengingatkan dan saling menasehati. Hanya Allah yang Maha sempurna. Hanya mencintai Allah yang tidak akan pernah kecewa.

Kasih Sayang yang Tulus
Setelah peristiwa malam itu, aku banyak tadabbur dan melakukan introspeksi diri akan cinta kasihku padanya. Ternyata kasih sayangku padanya begitu tulus dan ikhlas, sehingga segala kesalahanya tak membuatku jadi membencinya. Segala kekhilafannya tak membuatku larut dalam emosi dan kemarahan. Itulah hasil dari kontemplasi dan renunganku.

Lalu kenapa malam itu aku kecewa dengan sikapnya yang mendadak kurang bersahabat? Kecewa dengan tidak adanya balasan sms dan Mc darinya? Ini kurasa, karena saat itu emosiku lebih mendominasi diriku dibanding dengan nurani hatiku. Ini kunilai hal yang wajar dan manusiawi sebagai insan yang membutuhkan perhatian dari kekasihnya, sebab bagaimanpun sebuah perhatian sangat dibutuhkan dalam ikatan “ukhuwah”, karena dengan adanya perhatian -yang bisa berbentuk sms atau telepon- keharmonisan suatu “ukhuwah” senantiasa terjaga, adapun nurani hatiku sesungguhnya tetap mencintai dan menyanginya sepenuh hati meskipun dia berbuat yang “mengecewakan”. Hatiku juga telah memaafkan segala kesalahannya.

Cukup lama prosesnya untuk mengetahui bahwa diriku ternyata sudah sampai kepada derajat mencintainya dengan ikhlas. Selama ini hanya kurasakan, sungguh aku sangat menyayangi dan mencintainya sepenuh hati. Karenanya, kulakukan segala usaha untuk tetap menjaga “ukhuwah”ku melalui telepon, sms juga chating. Semoga dengan usahaku itu “ukhuwah ini senantiasa terjalin meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh.

Seandainya saja dia tidak mau itu semua (perhatianku), aku pasti akan mengabulkannya. Jika memang dia tidak bisa menjaga hatinya disebabkan oleh adanya telpon, sms dan chating denganku, aku akan bersedia untuk tidak sering menghubunginya. Asalkan dengan satu komitmen yang sama: Kita saling percaya dan kita tetap saling setia. Marilah kita pasrahkan semuanya pada Allah bagaimana ending hubungan kita nanti dengan tetap menjalankan usaha (ikhtiar). Kita berdoa, semoga Allah menyatukan kita nanti dalam ikatan tali pernikahan yang penuh berkah.

Aku berharap, dia mau mengatakan dan menyampaikan apa yang ia inginkan. Berilah aku peraturan dan undang-undang dalam menjalani ukhuwah dengannya agar aku tidak salah jalan dan menimbulkan “murka” baginya. Karena ku tahu, dia bukan seperti kebanyakan wanita, karenanya aku mesti mengikuti jalan hidupnya. Dan bila semuanya sudah jelas, akan kutaati peraturan dan undang-undang itu tanpa adanya keterpaksaan.

Aku hanya bisa senantiasa berdoa dan berusaha, semoga dia adalah pilihan-Nya yang terbaik buatku dan semoga Allah menyatukanku dengannya nanti dalam ikatan yang halal dan disunnahkan.

Sebenarnya cinta suci itu telah ada lama dalam sanubariku, sebagai buktinya aku telah menyayanginya sebelum kutahu dia menyayangiku. Ku tak pernah berharap balasan dari segala yang telah ku berikan. Dan aku juga tidak membencinya dengan “kesalahan” yang dilakukannya. Namun saat ini, lebih kusadari adanya cinta suci itu pada diriku. Sekarang tinggal memperbaiki dan menjaga ke eksisan cinta suci itu.

Kasih ketahuilah, kasih sayangku padamu tak lagi karena kamu menyayangiku. Kasih sayangku padamu tak lagi karena perhatianmu. Kasih sayangku padamu bukan lagi karena kelebihan yang ada pada dirimu. Aku takkan membencimu selamanya. Satu yang ku pinta, beritahuku jika kelak kamu telah “mengenal” yang lain selain diriku dan menodai kesetiaanku. Kalaupun itu terjadi, hati ini akan tetap menyayangimu. Percayalah aku takkan pernah membencimu dengan berpalingnya kamu dariku. Meskipun sungguh aku tidak mengharapkan sedikitpun hal itu terjadi. Dan semoga hal itu tidak akan pernah terjadi selamanya sehingga aku dapat mencintai dan menyayangimu seutuhnya hingga hidup kita tidak di dunia lagi. Semoga keinginanku untuk dapat membuktikan cinta dan kasih sayangku yang lebih “kongkrit” dalam kehidupanmu nanti bukan sekedar impian dan harapan, namun sebuah realita yang nyata. Semoga…

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 15 Juli 2006