Wednesday, May 17, 2006

Dari Tunis ke Sidi Bou Rouis

Sidi Bou Rouis adalah nama sebuah desa yang ku kunjungi hari sabtu (13/5) kemarin. Jaraknya 160 km sebelah selatan ibukota.

Nama desa ini diambil dari nama orang yang menjadi pioneer berdirinya, Sidi Bou Rousi. Menurut cerita Muaz, beliau adalah seorang wali. Sidi artinya Tuan, diambil dari kata Sayyid. Bou artinya Bapak, berasal dari kata Abu. Sidi Bou Rouis berarti, Sayid Abu Rouis.

Di Tunis ini, cukup banyak tempat atau daerah yang dinamai dengan nama para ulama atau wali. Untuk mengenang jasa dan ilmu mereka. Seperti Sidi Bou Said, Sidi Basyir, Sidi Bou Zaid dan Sidi Bou Mansur. Tidak berbeda dengan penghargaan di negaraku. Banyak pahlawan yang diabadikan namanya pada sebuah tempat atau daerah, sebut saja contohnya Ir. Sukarno, Halim Perdana Kusuma, Pangeran Diponegoro de el el.

Lega rasanya setelah aku berkesempatan dapat mengunjungi desa ini, desa dimana salah seorang kawan kuliahku tinggal, Muaz ar-Rouisy. Sejak lama ia mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Ada yang mengganjal dalam hatiku ketika ajakannya kusanggupi kala itu, ‘’insya Allah nanti saya akan berkunjung ke rumahmu’’. Ganjalan yang telah lama membatu dalam hatiku itu kini telah sirna, karena janjiku untuk mengunjunginya sudah ku laksanakan.

Jam 12.00 siang aku bersama dua orang kawanku yang sebangsa, berangkat menuju stasiun Kereta Api (KA), karena kami mengira jadwal pemberangkatan KA menuju Sidi Bou Rouis pukul 13.00 tepat. Jika demikian, berangkat pukul 12.00 cukup pas. Perjalanan menuju stasiun kira-kira seperempat jam atau paling lama setengah jam, tidak terlalu lama menunggu keberangkatan KA.

Sabar Dalam Setiap Keadaan

Di stasiun KA. Tidak terlalu lama aku ngantri untuk membeli tiket, ketika itu hanya lima orang termasuk denganku. Kulihat ada enam loket yang masing-masing antriannya tidak terlalu panjang. Hanya delapan orang paling banyak.
Setelah sampai di depan loket, mukaku ku asongkan pada kaca loket berbarengan dengan uang 20 dinar ditanganku. “Mau kemana?’’ tanya penjaga tiket yang mengenakan seragam biru dongker dengan kartu tanda pengenal melekat di saku kanannya. ‘’ke Sidi Bou Rouis’’ jawabku. ‘’Oh, beli tiketnya disebelah kanan sana, di kereta jarak jauh’’ jawabnya dengan menunjuk ke arah loket sebelah kanan stasiun. ‘’Aku kira Sidi Bou Rouis termasuk jarak dekat’’ celoteh kawanku yang mendampingiku kala itu.
Dengan sabar (dan memang harus sabar hehe), aku harus ngantri lagi di loket yang bertuliskan diatasnya khutut ba’idah (jarak jauh). Kali ini, antrian cukup panjang, berbeda dengan loket yang tadi. Orang sabar di sayang Tuhan. Itulah yang menjadi semboyan hatiku saat itu sebagai penawar kekesalan. Sudah ngantri eh “diusir”. Memang, mesti sabar dalam setiap keadaan.
Dari karcis yang kubeli seharga 5,5 dinar (+25 pound), tertulis jadwal keberangkatan KA pukul 14.15, ini artinya aku harus menunggu sekitar satu jam setengah lagi. Waktu yang cukup lama. Kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja. Dua orang kawanku yang rajin foto, sibuk mengambil gambar dirinya secara bergantian dengan backgroud station KA negara mantan jajahan Perancis ini.

Sepanjang perjalanan tak luput pandanganku keluar sana, menembus kaca tebal jendela kereta yang sedang berlari diatas dua buah rel yang panjang, menembus cengkraman sinar mentari yang panas menyengat. Maklum kereta yang kutumpangi kelas ekonomi yang tak ber AC. Hawa panas yang merasuki tubuh sedikit terobati dengan pemandangan indah di luar sana. Perkebunan Zaitun yang hijau ranau, barisan pohon pinus yang menghijau, ladang gandum terbentang luas, pegunungan yang berundak-undak bahkan terlihat juga lapangan luas yang dihijaui oleh rumput dengan kambing-kambing para gembala serta tenda-tenda yang tertanam di pinggiran. “Mereka itu kuli mengembala kambing (mawasyi), mereka tidur di tenda-tenda itu” jelas pemuda Tunisia yang berada disampingku. Sesekali kereta melewati jembatan tinggi diatas sungai kecil yang cukup curam. Airnya mengalir dan berujung pada danau kecil (wadi). Lumayan banyak danau yang dilewati kendaraan panjang yang aku naiki ini. Sedikitnya tiga buah sungai yang dilewati hingga stasiun yang ku tuju.

Setelah tiga jam perjalanan, sampailah ke stasiun Sidi Bou Rouis. Muaz yang mungkin sudah standby dari tadi segera menghampiri kami. “Selamat datang” dengan senyum tersungging manis, kata-kata itu yang pertama kudengar dari bibirnya.

Kesan Pertama

Setelah tanya kabar dan basa basi sealakadarnya, kami menuju rumah Muaz yang tidak begitu jauh dari stasiun KA yang unik. Bangunan khas Perancis yang tinggi berdiri kokoh, dengan hiasan warna putih biru seakan ikut menyambut kedatanganku. “Stasiun itu memang peninggalan Kolonial Perancis”, tutur Muaz. Obrolan mengiringi langkah kami menuju rumah, menyusuri ruas jalan pedesaan yang bersih dan lenggang.

Sidi Bou Rouis adalah desa yang indah, tenang, ramah dan bersahabat. Itulah kesan pertamaku di desa Muaz. Desa yang berada di kabupaten Siliana ini berpenduduk sekitar 2.000 jiwa.

Suasana desa yang asri dan tenang serta lantunan “assalamu’alaikum” yang kerap terlontar dari orang-orang yang berpapasan. Menguatkan kesanku akan desa ini. Berbeda dengan orang-orang di Tunis (baca: kota), lapadz salam sering diganti dengan ucapan aslamah atau shobahul khoir (selamat pagi).

Rumah Punya Kehormatan

Setelah sampai di rumah Muaz yang dikelilingi tembok permanen, keluarganya yang terdiri dari Ayah Ibu dan seorang kakak dan adik laki-lakinya menyambut ramah kedatangan kami. Muaz anak ke tiga dari lima bersaudara. Dua orang kakak dan adik perempuannya sedang tidak ada di rumah. Kakaknya kost di Kaoirouan sedangkan adiknya belum pulang sekolah.

Ukuran rumah Muaz cukup besar, luasnya kurang lebih 80 meter persegi. Halamannya dipenuhi tanaman rindang produktif seperti Tin, Zaitun, Jeruk dan Mis-mis juga Iklil, pohon cantik mirip dengan tumbuhan puteri malu yang berkhasiat untuk mengobati penyakit tertentu. Menambah sejuk dan indah pekarangan rumah. Angin sejuk menerpa tubuhku yang kepanasan sejak dari kereta tadi.

Kuperhatikan sejak dari pertama melangkah menuju rumah Muaz, hampir setiap rumah yang kulewati dipagari dengan tembok permanen. ‘’Iya, semua rumah dipagari tembok, karena rumah juga mempunyai kehormatan. Tidak boleh siapa saja masuk’’ jawab Muaz menjawab pertanyaanku.

Terasa di Kampungku

Menjelang sore, terik mentari sudah tidak menyengat. Sekitar dua jam lagi menjelang magrib. Kami diajak Muaz ke ujung desa yang disana juga terletak kantor kecamatan desa ini, mu’tamidiyyah istilahnya. Tampak bentangan ladang gandum dan tanaman Zaitun yang terbelah oleh jalan, menambah keindahan. Tampak juga undakan gunung yang hijau oleh pepohonan, kuat menamcap cukup jauh disana. Tampak desa-desa kecil di kakinya. Sungai kecil yang membelah jalan dan ladang gandum menambah keasrian desa. Terasa di kampungku. Tampak juga bangunan kuno berbentuk bulat memanjang ke atas. Gudang peninggalan Kolonial Perancis sebagai tempat mengumpulkan biji-bijian dan rempah-rempah, sebelum akhirnya diangkut dengan kereta ke negri mereka.

Tidak terasa hampir dua jam waktu kami habiskan disana, menikmati penomena indahnya alam dan mengabadikannya. Waktu sudah menjelang magrib, kami pun langsung menuju masjid yang tidak jauh dari rumah Muaz, untuk bersujud kepada yang menciptakan keindahan yang baru saja kami nikmati.

Keramahan Keluarga Muaz dan Servis Memuaskan

Keluarga Muaz memang sangat ramah dan baik, sebaik dan seramah orang-orang pedesaan kampungku nun jauh disana. Sangat menghormati tamu dan menyervisnya dengan baik dan istimewa.

Sepulang dari Masjid, lima piring makrunah bumbu merah dan sekerat jumbo daging sapi sudah tersedia diatas meja putih plastik, “wah, makan malam spesial” gerentes hatiku. Tidak terlewat potongan-potongan roti yang menumpuk di tempat khusus, sejenis boboko, serta sebotol jus dan air putih ikut melengkapi makan malam.

Ada kesamaan orang pedesaan Mesir dan Tunis. Dulu, ketika aku di Kairo pernah berkunjung ke salah satu pedesaan daerah selatan Kairo. Aku disambut dengan ramah dan langsung disediakan ayam panggang. Padahal, aku kira, mereka juga sangat jarang memakan ayam panggang tersebut. Mereka sangat menghormati tamu. Mungkin hadits Nabi yang memotivasi mereka untuk berbuat demikian, “…barang siapa beriman kepada Allah dan kepada Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya”. Itulah potongan Sabda Rosulullah Saw.

Servis memuaskan juga kudapatkan ketika sarapan pagi. Segelas susu dan telur rebus ditambah dengan fathiroh mengisi perutkku.

Tak Dapat Kursi, Dapat Simpati

Minggu ba’da dhuhur kami pulang dari rumah Muaz. Tiga jam perjalanan pulang aku tidak mendapatkan kursi kosong. Kereta penuh oleh penumpang yang hendak ke Kota. Akhirnya aku duduk dibawah dekat pintu keluar-masuk penumpang, bersama dengan beberapa orang yang senasib denganku. Sungguh tidak nyaman. Jangankan tidur, duduk tenang aja tidak bisa. Setiap ada penumpang yang keluar atau masuk, aku mesti berdiri dulu, memberikan jalan buat mereka. Untung saja aku bawa ear phone, untuk menangkal pusing ku dengarkan mp3 bacaan quran murotalnya Syekh al-Ghamidi yang ada dalam Hpku, kudengarkan juga lagu sunda Doel Sumbang dan lagu-lagu pop Indonesia.

Lagi asyik mendengarkan Mp3, seorang pemuda Tunisia dengan jenggot di cukur tipis menghampiriku. ‘’Indonesia?’’ sapanya ramah kearahku. Kulepas ear phone yang kupakai, ‘’Iya’’ jawabku dengan membalas senyumannya. Kami berkenalan, Fadhil namanya. Akhirnya kami tenggelam dalam obrolan yang cukup lama, kebetulan ia juga satu tujuan denganku, ke Tunis.

Dia sangat senang dan simpati sekali berkenalan denganku. Orang asing yang beragama islam. Lumayan banyak pengetahuan dia tentang Indonesia, bahkan dia juga menuturkan tentang musibah tsunami yang menimpa Aceh 2004 lalu. Ketika kutanya, ma’lumat ini ia dapatkan dari cd pemberian kawan karibnya. Anehnya, dia tidak tahu kalau Indonesia adalah negara yang paling banyak penduduk muslimnya di dunia. Ini mungkin yang menyebabkan ia simpati melihatku, “saya senang sekali bila melihat orang muslim yang non arab” katanya, seraya menjelaskan kepadaku.

Obrolan ahkhirnya terhenti. Ia meminta nomer Hpku. “Insya Allah nanti saya hubungi kamu’’ katanya padaku mengakhiri perbincangan kala itu. Aku juga mulai ngantuk, karena malam kurang tidur. Kuusahakan tidur sambil duduk, dengan kedua tangan kulipat dan diletakkan pada kedua lututku yang juga kulipat. Lumayan beberapa saat aku bisa tidur, sebelum akhirnya terbangun lagi oleh beberapa penumpang yang hendak turun di stasiun.

Tidak ada lagi yang sangat membuatku senang dari kunjungan itu, selain menemukan pemandangan alam yang asri dan indah, janjiku sudah ku tepati. Bagiku, janji adalah hutang yang mesti dibayar. Jangan berjanji bila seandainya tidak akan ditepati.

“Diantara tanda orang munafik adalah, bila berjanji ia inkar”

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@15 Mei 2006


Wawancara

Wawancara Isja (1)

1. Tadi padi bangun jam berapa ?
Alhamdulillah, nggak kesiangan. Aku bangun jam 4.00

Apa yang pertama kamu lakukan ?
Ya, aku langsung ke Wc dan ambil wudlu dong

2. Buku apa yang pertama dibaca hari nih ?
Hm, buku firman Allah. hehe

3. Hari ini pertama dapat sms dari siapa ?
Emm, dari temanku yang di Kairo

4. Hari ini siapa yang pertama kamu kirimin sms ?
Sapa ya? Ya, jawaban smsku pada temanku itu

5. Siapa yang pertama nelpon kamu hari ini ?
Nggak ada

6. Ada masalah hari ini ?
Ya, dikit sich.

7. Apa masalahnya ?
Bt aja, karena smsku nggak dibalas oleh seseorang.

8. Sudah selesai masalahnya ?
Ya, aku sudah usaha untuk melupakan.

9. Oh, iya. Seseorang itu kekasih kamu yah? Kok sampe Bt gitu?
Hmm, yup.

10. Siapa namanya?
Ada dech, nggak usah tahu ya!?

11. Hari ini ketemu dengan dia ?
Nggak

12. Kenapa dia nggak balas sms kamu ?
Nggak ada pulsa kali


13. Hari minggu sering jalan bareng sama dia ?
Nggak pernah

14. Sudah berapa kali nonton bareng sama dia ?
Lum pernah

15. Apa yang menyebabkan kamu tertarik padanya ?
Wah itu rahasia perusahaan dong. Tapi kuberitahu sedikit, diantaranya, karena dia sholehah.

16. Apa yang kamu kurang/tidak sukai dari kekasihmu ?
No comment

17. Kamu butuh perhatian darinya ?
Ya pasti dong

18. Contoh bentuk perhatian menurut kamu ?
Hm, apa ya ? mungkin seperti kirim/jawab sms dan miscall hehe

19. Kamu dapat perhatian darinya ?
Yup

20. Siapa yang terakhir sms kamu hari ini ?
Katresna, temanku yang kerja di KBRI

21. Dapat telpon terakhir dari siapa ?
Nggak ada

22. Ada kenangan hari ini ?
Hm, ga dech.

23. Terkahir, ada pesan buat si dia ?
Hm, pesannya; Setialah selalu dan jangan terlalu ramah terhadap cowok lain hehe.
_____
(1) Isja = Iseng aJa


Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 6 Mei 2006


Wednesday, May 03, 2006

Menjadi Duta Bangsa

Menjadi Duta Bangsa di Pameran

Pagi itu sekitar pukul 9.00, kuliyah hadhoroh Universitas Zaytuna terlihat tidak seperti biasanya. Rabu (26/4) yang lalu. Halaman kampus terlihat lebih bersih, Tugu Tujuh Nopember(1) yang berada di tengah-tengah halaman juga terlihat telah dicat ulang, sehingga tulisan yang terukir pada tugu itu terlihat lebih jelas dan lebih kinclong. Tulisan arab(2) yang terukir pada batu yang terletak di atas gerbang masuk juga terlihat telah berubah bentuk menjadi baru.

Siangan sedikit dari jam sembilan, kuliah hadhoroh lebih ramai lagi, banyak mahasiswa dari beberapa negara seakan sibuk sekali. Membereskan dan menata ruangan yang telah disediakan panitia. Diantara keramaian mahasiswa dari beberapa negara itu, terlihat beberapa mahasiswa Indonesia. Merekapun terlihat sibuk menata dan membereskan ruangan. Ada yang memasang bendera merah putih pada dinding, menempelkan lukisan alam Indonesia, ada yang mem­bereskan meja dan menaplakinya, ada pula yang menata letakkan dua poster Pak Karno yang sedang berpose dengan presiden pertama Tunis, Habib Bourgiba. Juga poster Pak Harto yang berpose dengan presiden kedua Tunis, Ben Ali.

“Jam berapa pembukaan pamerannya Bal” salah seorang diantara mereka bertanya pada kawannya. “Menurut jadwalnya sich pameran akan dibuka pukul 11.00. Dekan fakultas dan dosen-dosen juga akan hadir. Mungkin sebentar lagi perwakilan KBRI juga akan datang” Jawab yang dipanggil Iqbal tadi menjelaskan.

Rupanya, pantas saja pagi itu lain dari yang lain, karena hari itu merupakan hari diadakannya pameran. Untuk memeriahkan pameran ini, pihak universitas juga menggelar berbagai macam perlombaan, seperti: lomba lari, catur dan tenis meja.

Setiap tahun, pameran seperti ini diadakan oleh pihak Universitas Zaytuna, berafiliasi dengan beberapa negara. Pameran ini berupa pengenalan masing-masing negara tentang kultur sosial, budaya (meliputi pakaian adat), dan seni serta hasil produksi dan industri masing-masing negara. Usaha pengenalan ini juga berupa brosur-brosur dan buku yang dibagikan kepada para pengunjung, meskipun dirasakan kurang komprehensif, karena yang dipamer­kan sekarang hanya sekelumit saja. Belum bisa dibilang mewakili, apalagi bagi Negara Indondesia yang begitu luas dan ragam budayanya.

Pameran kali ini hanya diikuti oleh tujuh negara; Nigeria, Mali, Burkina Paso, Sinegal, Oman, Rusia, Magar dan Indonesia. Selama dua hari pameran itu digelar. Dua buah ruangan lantai dua, disediakan panitia sebagai tempat pameran.

Mahasiswa Indonesia yang berada di Tunis mempunyai peran penting dalam kesuksesan program ini, menjadi duta bangsa pada pameran. Terbukti, dengan mandat dari atase pendidikan, KBRI menyerahkan kepada PPI(3) untuk menjadi pelaksana dalam pameran tersebut, sebagai perwakilan dari Indonesia.

Mahasiswa Indonesia yang berjumlah 14 orang ini, masing-masing dibagi tugas untuk menjaga stand. Tugas penjaga; membagikan brosur dan buku-buku serta menerangkan kepada pengunjung akan apa yang dipamerkan, sekaligus harus bisa menjawab pertanyaan pengunjung. “Nanti bilang kepada para pengunjung, bahwa kapal-kapal ini (ex. N250) buatan Indonesia” intruksi ketua PPI saat itu kepada patugas (penjaga) stand Indonesia.

Sesuai dengan schedule time acara, Jam 11.00 adalah pembukaan. Benar yang dikatakan Iqbal, Dekan Fakultas Hadhoroh, Dr. Mehrez Hamdy, beserta para dosen terlihat hadir. Beliaulah yang membuka acara itu. Termasuk dalam schedule time juga, akan ada pameran pakaian adat dari negara-negara yang mengikuti pameran tersebut, termasuk Indonesia. Untuk indonesia, terlihat sudah ada seorang mahasiswa yang memakai pakaian adat. Dia mengenakan baju dan celana hitam, peci sultan juga berwarna hitam dengan keris di tangan kanannya, terlihat berdiri di depan stand Indonesia.

Hari pertama, para pengunjung pameran tidak banyak. Hanya beberapa orang saja yang menyempatkan diri berkeliling mengunjungi stand-stand yang bertengger. Hal ini mungkin disebabkan karena cuaca saat itu tidak bersahabat, hujan turun cukup lebat. Padahal musim telah memasuki semi.

Hari kedua, yang disangka akan banyak pengunjung, ternyata tidak demikian. Hanya beberapa orang saja yang tampak melihat-lihat pameran. Terasa pen­gunjung semakin sepi.

Satu catatan kekurangan untuk pameran kali ini, minimnya publikasi dan iklan dari pihak universitas, sehingga tidak banyak masyarakat ataupun pihak lain yang mengetahui adanya pameran tersebut. Hal ini tampak jelas dari sedikitnya para pengunjung pameran.


Kambing Bakar Hamamsat

Malam harinya, sebagai rasa syukur (tasyakuran) atas selesainya tugas menjadi Duta Negara di pameran, setelah shalat maghrib, para panitia mengadakan pesta kambing bakar di Hamamsat. Kota yang berada sekitar 30 km dari Ibukota. Sengaja, mereka pergi dengan perut kosong, tanpa diisi nasi terlebih dahulu.
Tidak lebih satu jam perjalanan, mini bis (mobil khusus KBRI yang sering dipakai oleh mahasiswa Tunis) sudah tiba di daerah Hamamsat. Sepanjang pinggiran jalan daerah ini, terlihat banyak kedai kambing bakar yang berjejer dan siap menyerpis siapa saja yang datang, pantas jika daerah ini terkenal dengan kambing bakarnya.

Setelah memarkir bis, para panitia keluar dari bis dan menduduki tujuh kursi kosong yang ada di warung itu. Ternyata, tidak semua panitia ikut pada acara tasyakuran ini. Tidak tanggung-tanggung, tiga kilo setengah kambing bakar yang mereka pesan.

Tidak terlalu lama menunggu, tiga piring besar kambing bakar pesanan mereka sudah datang. Daging kambing itu dipotong-potong kecil (lebih besar dari ukuran potongan sate), hanya diberi garam dan dibakar, tidak diberi bumbu lainnya lagi, apalagi kecap dan saos. Anehnya, kambing bakar itu tidak bau sebagaimana kebanyakan kambing Indonesia, memiliki bau yang menyengat. Kambing bakar itu hanya dimakan dengan sambal dan tabunah, sejenis roti atau ‘isynya kalau di Mesir.

Meskipun hanya dimakan dengan sambal dan tabunah, tanpa kecap dan saos. Terlihat mereka sangat lahap dan semangat menyatap kambing bakar tersebut. Diiringi udara malam musim semi, menambah suasana lebih sejuk dan familiar. Dengan minuman coca-cola ukuran besar di meja mereka, dapat memuaskan sekaligus mengenyangkan perut mereka yang sengaja mereka kosongkan. Hilanglah semua capek selama bertugas menjadi Duta Negara.

Tidak banyak yang mereka bincangkan di mobil menuju perjalanan pulang. Karena memang, bila perut kenyang maka mata jadi ngantuk. Itulah yang terjadi pada mereka, teler dan ngantuk. Sesekali ada yang berkelakar, ‘’wah, kenyang daging kambing, bahaya. Besok pagi bisa pada ngantri di WC nich’’. Entah apa maksudnya dari kata-kata ini, penulis sebagai salah seorang diantara mereka juga tidak mengerti maknanya dengan pasti. Hehe…

_______
(1) Tujuh Nopember adalah hari yang sangat bersejarah di Tunis, hari itu merupakan hari ‘’Reformasi’’ (tahawwul). Tidak heran jika angka tujuh (7), menjadi sangat ‘’sakral’’ bagi mereka. Bahkan ada salah satu stasiun TV Tunis yang menggunakan nama TV-7 (tivi tujuh).
(2) Tulisan pada pada batu itu, Jami’ah Az-Zaytuna. Al-Ma’had al-A’la lil Hadhoroh al-Islamiyyah.
(3) PPI adalah kepanjangan dari Persatuan Pelajar Indonesia (Tunisia). Berdiri pada tanggal 26 Februari 1994.


Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 2 Mei 2006