Wednesday, September 27, 2006

Puisi Ulang Tahun

Selasa, 26 September 2006
Kamis, 26 September 1985

Tak terasa sudah...
Hari ini usiamu genap 21 sanah
Moga panjang umur dan barokah
Tetap sejati menjadi mukminah yang kaffah
Tak pernah lelah melaksanakan semua titah ilahiyah

Tak terasa sudah...
252 purnama kau lalui
Dengan sinarnya yang indah nan berseri
Moga menjadikanmu lebih suci
Berbudi tinggi dan senantiasa bening hati

Tak terasa sudah...
1092 pekan kau berkelana di bumi
Menghimpun bekal tuk kembali
Mempersiapkan jemputan ilahi
Yang pasti datang tanpa diketahui

Tak terasa sudah...
7665 kali kau ditemani mentari
Dengan sinarnya yang tak pernah henti
Moga menjadikanmu lebih berarti dan mandiri
Tetap berdiri di atas dustur ilahi.

Biarlah masa lalu...
Pergi dan terbang bak merpati
Pandanglah dia sebagai memori
Jadikan sebagai tolak ukur diri
Sebagai cermin yang jujur menilai pribadi

Biarlah masa lalu...
Hilang tertimbun masa kini
Lupakan canda tawa diri
Juga tangis derita hati
Yang semua itu tak abadi

Ahlan masa depan...
Sambutlah dengan keoptimisan
Berusaha maksimal tuk penuhi harapan
Berjuang keras melawan hambatan
Gigih dan tegar manunaikan semua emban

Ahlan masa depan...
Raihlah dengan penuh keikhlasan
Wujudkan semua idaman dan impian
Dengan tetap menjaga iffah dan keimanan
Juga tak melupakan Yang Maha Rahman


�Selamat Ulang Tahun�
�Semoga momen ultah dijadikan sebagai evaluasi diri dan titik tolak untuk melangkah lebih baik dalam mereka cita dan menata asa masa depan�
�Menyonsong hari esok yang lebih indah dan ceria�
�Smoga hari esok lebih cerah dan bersahabat�

Keep Dzikrullah..!!!
Keep Istiqomah...!!!

Special for someone is there
Happy Birthday

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa�20 September 2006

Thursday, September 14, 2006

Semoga Aku Bukan Seorang Qoti’ur rohim

“Ana harap setelah ini antum masih anggap ana saudara dan tidak memutuskan tali sillaturrahim diantara kita”.

Sengaja kuawali coretan curhat ini dengan kalimat surat terakhirnya. Surat yang dapat membuatku kecewa dan sedih kala itu. Yang kupahami maksud dari suratnya ini, sebuah harapan agar tali persaudaraan seiman yang telah lebih dulu terjalin sebelum terjalinnya “hubungan istimewa” itu tidak aku putuskan, meskipun “hubungan istimewa” itu telah diputuskannya dan aku menerima “pemutusannya”.

Pada dasarnya, jikalaupun dia tidak mengatakan ungkapan diatas, aku tidak berniat sedikitpun untuk memutuskan silaturahmi dan persaudaraan yang telah disatukan oleh ikatan keimanan. Apalagi jika kuingat sabda Rosulullah Saw. yang berbunyi: “Laa yadkhulul jannata qoti’ur rohim”. Tidak akan diperkenankan masuk syurga, orang yang memutuskan tali silaturahmi (persaudaraan). Sungguh hati ini sangat takut untuk memutuskan tali silaturrahmi. Oleh karenanya, aku berusaha mengabulkan harapannya diatas tadi sekaligus aku juga ingin membuktikan niatku untuk tidak memutuskan tali silaturahmi. Kujadikan sms sebagai wasilah silaturahmi, bahkan pada puncaknya aku coba menghubunginya via telepon.

Namun apa yang terjadi, sungguh tak kuduga dan tak kumengerti. Usahaku untuk membuktikan tidak memutuskan tali silaturahmi itu tanpa respon dan balasan (sebagaimana halnya sms). Niat baikku tadi tidak disambutnya. Bunyi telpon berkali-kali itu tidak diangkatnya. Lebih dari tujuh kali aku menghubunginya tetap saja, no answer. Padahal niatku saat itu tidak lebih dari sekedar silaturahmi dan tanya kabar keadaannya. Tidak lebihdari itu.

Seketika itu juga, timbul pertanyaan besar dalam benakku. Apakah aku salah memahami isi poin surat terakhirnya? Atau, apakah perasaan dia kini telah berubah jadi membenciku dan benar-benar ingin memutuskan tali silaturahmi juga? Ah, biarlah…yang terpenting bagiku, aku tidak memutuskan silaturahmi dan bukan aku yang memutuskan persaudaraan itu.

Astaghfirullah…Maafkan aku ya Allah, kalau aku telah berburuk sangka. Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullahal ‘Adhiim…

Ya Allah...hanya Engkaulah tempat segala pengaduanku yang sesungguhnya. Aku sudah buktikan bahwa aku tidak memutuskan tali silaturahmi itu. Aku sudah berusaha untuk terus menjaga persaudaraan. Semoga coretan ini menjadi saksi bahwa aku benar-benar tidak memutuskan tali silaturahmi (persaudaraan).

Ya Allah…semoga aku tidak termasuk Qoti’ur rohim yang dimaksudkan dalam sabda suci Kekasih-Mu. Aku ingin menggapai syurga-Mu ya Rabb. Ku ingin berada dalam dekapan rahmat dan kasihMu. Izinkanlah…

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa® 5 September 2006

Serba-serbi Hari Merdeka

Hari ini ingin kucoretkan di buku curhatku ini pengalaman eksentrikku yang baru sekali ini ku alami. Dengan kata lain, ini adalah pengalaman pertamaku dalam lembaran sejarah kehidupanku. Sebagaimana pengalamanku ‘mengenal wanita’. Sama-sama pertamanya gitu lho. Siapa wanita itu? Siapa lagi kalau bukan dia. Dia itu siapa? Ya, dia itu ya si dia...:-)

Kukira setiap perwakilan di luar negri dalam hal ini KBRI, akan banyak mengadakan kegiatan untuk menyambut hari kemerdekaan yang lebih popular dengan sebutan 17-san, baik di Kairo, Australia atau di Amrik. Pun di KBRI Tunis.

KBRI Tunis (dimana aku salah seorang masyarakatnya) telah menyusun kegiatan perlombaan dari sejak bulan Juli. Kegiatan yang mengikutsertakan para mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang berada di Tunis ini berupa acara hiburan dan perlombaan. Semua mahasiswa indonesia di Tunis yang saat ini jumlahnya hanya 14 orang doang “harus” ikut berpartisipasi. Termasuk aku. Ya tak apalah, yang penting ikut berpastisipasi. Meskipun aku tidak bisa dart apalagi gaple, tak urung aku menyanggupinya ketika panitia bertanya akan persetujuanku untuk ikut cabang permainan tersebut.

Kegiatan perlombaan itu dilaksanakan disela-sela hari libur, yakni hari sabtu dan ahad. Yang pada endingnya, semua perlombaan selesai tepat bulan agustus. Beberapa hari sebelum hari kemerdekaan. Adapun jenis lomba tersebut adalah: Sepak bola (Mahasiswa –memakasi sarung- vs Bapak2 KBRI-memakai daster-), jalan cepat, tenis meja, gaple, dart, dan mancing.

Inilah pengalaman itu.
Nah baiklah, akan kuceritakan pengalaman pertamaku yang diatas sudah sedikit diinformasikan. Apakah itu?
Begini ceritanya.
Nggak tahu siapa yang mengusulkan, tiba-tiba saja aku dipanggil Panitia Agustusan untuk menjadi Paskibra dan menari Indang. Tari Indang itu berasal dari Padang - Sumatra Barat (kalo tidak salah nich), yang personalnya terdiri dari 6 orang; 3 cewek dan 3 cowok. Gambarannya, persis seperti tari Saman yang berasal dari daerah Aceh. Tarian kelompok yang mengutamakan kekompakan.

Wah, sungguh aku sangat terkejut saat itu. Apa nggak salah pilih orang nich panitia. Untuk Paskibra okelah aku sanggupi, kupikir paling hanya baris berdiri, jalan dan mengibarkan bendera. Meskipun aku belum pernah jadi petugas pengibar bendera. Pernah aku jadi petugas semasa SMA (MAK) dulu, itupun hanya jadi pembina upacara bukan pengibar bendera. Tapi untuk menari...wah tunggu dulu dech.

Pertimbangannya, seorang penari tentunya dituntut badannya lentur dan gemulai, sedangkan badanku kurang cocok untuk itu. Aku biasa fitness yang menyebabkan seluruh badanku agak sulit untuk gemulai. Pertimbangan lainnya adalah, harus berdampingan dengan ceweknya itu lho. Aku masih “alergi” dan tidak biasa kalau berdekatan dengan cewek. Dikhawatirkan, aku malah kikuk dan malah tak bisa konsentrasi menari. Aku mohon jangan disuruh nari dech, pliss Bu Panitia!!! ”Masak sih kamu menari” komentar spontan temanku yang di Kairo, ketika dia tanya via sms tentang kegiatanku saat itu.

“Wah ibu ini, kok maksa banget sih, aku nggak bisa dekat cewek tahu, aku nggak biasa!” tentu uring-urangan ini hanya dalam hatiku saja. Toh kenyataanya memang aku “dilarang” menolak oleh Ibu Panitia. Alasannya, “tidak ada orang lagi, yang lain sudah pernah semua”.

Memang menurut mereka sih, itu hal yang wajar dan biasa aja, toh hanya berdampingan dengan cewek sambil menari. Tidak ngapa-ngapain lagi. Tapi bagiku, segitu juga sudah cukup membuat hatiku tidak nyaman dan merasa berdosa. Nggak enjoy. Tapi gimana lagi...

Hari pertama latihan, aku merasakan gerakanku sangat kikuk alias kaku. Hatiku juga tidak “murtah”. Karena selain“ dipaksa” harus berdampingan dengan cewek, gerakanku juga harus lentur dan gemulai. Kayak cewek gitu. Satu lagi, aku harus terus tersenyum ke para penonton. Coba bayangkan!!! BT kan (Butuh Tausiah);)?

Pendek kata, tidak enak dech...Lebih baik aku disuruh ngangkat besi 70 kg dari pada harus menari dengan keadaan seperti saat itu. Tapi, itulah, aku tidak boleh menolak. Apalagi atas mandat Bapak Duta Besar. Aku hanya bisa menjaga hatiku saja, supaya jangan “macam-macam”. Sering hatiku berceloteh, “ya Allah, apakah keadaan ini bisa dikatakan sebagai hal yang dhorurat?” Semoga aja dech ....

Jadi artis di Tunis.
Singkat cerita, setelah selesai upacara bendera yang aku dan dua kawanku sebagai paskibranya. Terhitung sukses. Kami bertiga kompak dalam gerak dan langkah. Saat bubar upacara itulah, banyak peserta upacara yang minta foto bersama (paskibra) termasuk Bapak Duta Besar RI. Bapak Hertomo Reksodiputro. Laksana artis atau seleb. Selain malu, aku juga marasa tersanjung...;-).

Aku tak menyangka setengah dikitpun (maksudnya, lebih kecil dari sedikit;-)), bahwa akan tejadi hal yang tadi itu. Aku harus beberapa kali berdiri tegak mengahadap kamera dengan “harus tersenyum” bersama “fans”. “Jangan dulu ganti baju yah, masih banyak yang minta foto bareng” kata seorang ibu memberitahuku yang saat itu pas mau mengganti kostum paskibra.

Hal seperti tadi terulang lagi (permintaan foto bersama), ketika aku dan lima temanku selesai menari Indang pada malam resepsi. Acara resepsi ini dilaksanakan oleh semua perwakilan (KBRI) yang ada di luar negri. Malam resepsi itu adalah, malam “pesta” hari ulang tahun Republik Indonesia (saat ini ke-61). Acara resepsi ini dihadiri oleh para diplomat dan perwakilan dari banyak kedutaan asing di Tunis. Para Dubes dan pembesar-pembesar Negara. Resepsi diadakan pada malam harinya setelah upacara bendera. Malam 17 Agustus.

Acara resepsi seperti ini, diadakan juga oleh perwakilan-perwakilan negara lain setelah peringatan upacara kemerdekaan negaranya masing-masing.

Inti acara resepsi sebenarnya hanya makan malam dan siltaturahmi, namun KBRI Tunisia ingin menghibur para tamu undangan dengan beberapa hiburan. Diantaranya; Angklung (yang aku juga sebagai salah seorang personalnya), tari Indang dan tari Denso (terdiri dari tiga orang personal wanita).

Menjadi juara.
Sore harinya (tanggal 17 agustus). Setelah matahari mulai surut, sinarnyapun sudah tidak terlalu menyengat. Dilakukanlah acara penurunan bendera. Untuk kedua kalinya aku (paskibra) berbaris tegak (kepanasan euy) untuk melakukan penurunan bendera. Alhamdulillah, penurunan benderapun sukses. Lebih kompak dari pada penaikan bendera sebelumnya.

Acara terakhir hari itu adalah pembagian hadiah kejuaraan. Alhamdulillah lagi...dari sekian jenis perlombaan yang diadakan, lumayan banyak aku menjuarainya. Meskipun tidak menjadi juara umum. Diantaranya; Juara I tenis meja double, Juara II tenis meja campuran, juara III mancing dan juara I (kelompok) sepak bola. Hadiahnya berupa uang tunai yang lumayan besar. Bisa untuk tambah-tambah bayar uang kuliah. Hehe... Insya Allah untuk tahun depan, mudah-mudahan bisa ditingkatkan lagi jadi juaranya. Aamiin
Gitu ceritanya....Tammat.

Dipinggiran kota Tunis
Ulpa® 19 Agustus 2006

Monday, September 04, 2006

“Gray” Memory

Aku telah gagal menjalin hubungan dengan seorang wanita yang (menurutku) sholehah. Setelah hubungan itu berjalan selama kurang lebih tiga bulan. Padahal aku telah berusaha untuk menjaga hubungan (komunikasi) dan berniat untuk selalu setia.
Namun takdir berkata lain, manusia hanya bisa merencanakan. Meskipun dengan segenap usaha yang kurasa maksimal. Tapi...kalau Dia sudah punya kehendak, siapa yang bisa menentang?
Kegagalan sudah menjadi makanan sehari-hari manusia yang hidup di dunia fana ini. Tidak hanya aku, bahkan banyak lelaki selainku pasti pernah mengalami kegagalan. Pada prinsipnya “tidak ada kebetulan di kehidupan ini” semua adalah bagian dari rencanaNya. Begitu juga dengan kegagalan. Allah punya cara berkomunikasi dengan makhluknya (diantaranya aku) yang unik, nah kegagalan itu adalah salah satu cara unik agar aku bisa belajar sesuatu....
Aku hanya bisa mengusap dada dan bersabar serta menahan segala perasaan hati yang bergejolak ketika mendengar pemutusannya atas hubungan yang sudah terjalin cukup lama itu. Keputusannya itu begitu cepat, mendadak dan tanpa kompromi. Membuat aku tak paham, apa sebab yang sangat prinsipil hingga memutuskan hubungannya denganku. Meskipun dengan segala alasan yang dia muntahkan, rasa heranku masih tak hilang. Sangat eksentrik memang…
Jika ada kesalahanku yang tak terasa telah menyakitinya, apakah dia tak bisa memaafkanku dan memberi kesempatan untuk memperbaikinya, karena aku adalah manusia (Al-Insan mahallul khoto wa Annisyan) bukan makhluk langit.
Bukankah selain dengan memutuskan hubungan bisa dengan jalan menasehatiku dan memberikan input padaku, mengingatkanku. Karena sesungguhnya inilah salah satu manfaat adanya hubungan itu; saling menasehati, saling memotivasi dan saling mengingatkan dikala khilaf.

Ternyata Hanya…
Kadang pikiranku memflash back semua kenangan itu. Kembali memoriku dipenuhi perasaan gembira dan ceria. Namun setelah itu berubah sedih dan kecewa yang pada akhirnya aku kadang bisa tersenyum sendiri. Seperti sekarang hehe…

Kegembiraan dan keceriaan datang ketika kuingat saat hubungan itu berjalan “harmonis”. Kesediahan dan kekecewaan hadir tatkala mengingat semua kata dan vokal pemutusannya. Dan terakhir aku tersenyum sendiri, jika kuingat, ternyata semua niat dan rencana untuk terus menjalin hubungan serius (hingga pernikahan) itu hanya niat dan harapanku saja. Niatku yang menggebu, harapanku yang mendalam kini telah terhempaskan bak tiang bangunan yang hancur diserang tsunami nan dahsyat. Dengan kejadian ini, lagi-lagi bertambah keyakinanku akan kelemahanku sebagai hamba. Dialah yang Maha Mengatur segalanya. KahendakNyalah yang pasti akan terjadi.

Saat itu aku begitu yakin dengan pilihanku ini. Hingga semua kata dan bahasa tlah kusampaikan padanya, namun dengan hitungan detik semua itu tinggal kenangan.
Hmm, lucu memang sekaligus mengejutkan. Inilah kehidupan yang selalu disertai dengan tangis dan tawa serta kejutan. Banyak sekali kejutan-kejutan yang telah ku alami dalam kehidupanku. Akan kutunggu, kejutan apalagi yang akan menerpaku kedepan.


Apakah harapanku telah hancur?
Saat kuterima surat dan segala kata serta alasan “qot’ul ‘alaqoh”. Sebagai manusia biasa, persaaanku sangat sedih dan kecewa. Betapa tidak? Disaat hatiku berbunga dengan berbagai asa dan harapan untuk berbagi. Disaat hatiku menemukan orang yang menjadi “harapan” juga “motivasi” dalam langkahku, sekarang orang itu dengan serta merta telah memutuskanku. Mungkin peribahasa “bagaikan petir di siang hari” bisa digunakan ketika aku mendengar “kata putus” darinya, meskipun peribahasa ini terlalu berlebihan, karena kurasa tidak seperti itu realitanya (suara petir itu menggelegar dan menakutkan), aku masih bisa berdiri di atas kakiku dengan tegap. Maklum, namanya juga peribahasa toh Mas.
Hanya kesadaran hati akan takdir Ilahi dan skenarioNya, yang membuat hati ini tidak larut dalam kesedihan dan kekecewaan.
Ya Allah, apakah harapanku untuk menjadikannya sebagai teman hidup dalam mengarungi rihdoMu dan membawa panji-panji dakwah agamaMu telah hancur dan tamat hingga disini?
Tidak ada yang lebih tahu apa yang ada dalam hati manusia dan kejadian yang akan datang kecuali Dia. Karena itulah kini aku hanya bisa pasrah dan berdoa, “ya Allah, jika dia memang pilihanMu yang terbaik untukku, tumbuhkanlah rasa cinta kasih dan sayang dihatinya padaku dan mudahkanlah aku untuk mendapatkannya. Menjadikan dia sebagai ibu dari anak-anakku kelak. Namun jika memang dia bukan pilihanMu untukku, hilangkanlah segera rasa cinta dihatiku padanya. Untuk rasa sayang biarlah tetap ada, agar aku juga tidak membecinya. Alihkanlah rasa cinta dan sayangku pada wanita pilihanMu, calon istriku kelak. Amiin”
“Will be there for me! Wish me luck, guys.....”

Di pinggiaran kota Tunis
29 Juli 2006

Monday, July 24, 2006

Hakekat Cinta Suci

Mencintai dan dicintai adalah fitrah manusia, karenanya tidak ada seorangpun yang terlepas dari cinta. Cinta juga merupakan karunia dari yang Maha Mencinta.

Karena cinta orang bisa menjadi mulia, juga karena cinta orang bisa menjadi hina. Maka bersyukurlah jika seorang hamba dapat menjadikan cinta sebagai kendaraan menuju ridho dan cinta Ilahi. Dan celakalah bagi hamba yang dibutakan oleh cinta.

Allahpun telah menggambarkan kecintaan manusia terhadap dunia; cinta wanita, anak, perhiasan emas, perak dan berlian serta segala keindahan dunia yang wahh.

Cinta juga bisa menjadikan syafaat (penolong) bagi hamba, dikala rasa cinta itu didasari karena Allah. Dua orang yang mencintai karena Allah, kelak akan mendapatkan perlindungan disaat tidak ada perlindungan kecuali perlindungan Allah.

Perasaan insan adalah sama, ingin dicintai dan mencintai, karenanya mencintai seseorang adalah hal yang natural, tidak berhak bagi siapapun untuk melarangnya. Naluri manusia akan berontak tatkala cintanya harus dipendam dalam sanubarinya, lebih jauhnya dilarang.

Sebagai persiapan mental, bila mencintai seseorang harus siap dengan kekecewaan yang akan ditemukan, kecuali bila telah berhasil mencintainya dengan ikhlas. Mencintainya karena Allah. Karena dengan mencintai dan menyayanginya dengan ikhlas, segala kekecewaan yang disebabkannya akan hilang dengan segera dan bahkan –mungkin- tidak akan pernah merasa kecewa.

Bukti Cinta Pada Hamba Dapat Menimbulkan Kecewa
Seakan baru kusadari sekarang, bahwa mencintai seorang hamba itu harus dibarengi dengan bersedianya mental untuk kecewa sekaligus juga dituntut untuk bersikap sabar, dewasa dan bijaksana. Ini terjadi dalam kehidupanku sekarang.

Ada perasaan kecewa dan sedih ketika mendengar kata-kataya kemarin. Kata-katanya yang biasanya ramah dan ‘bersahabat’, kali itu terdengar seakan aku berbicara dengan seorang dewi yang baru ku kenal.

Aku yakin, dia masih ingat dengan apa yang tidak dan aku sukai, bahkan dalam hal ini telah disepakatinya. Diantaranya;
-Diharapkan bisa chating setiap awal bulan (satu bulan sekali), hal ini sebagai salah satu bentuk komunikasi antara aku dengannya.
-Diharapkan menggunakan panggilan yang “kusukai” .
-Diharapkan membalas Mc atau sms (yang perlu balasan/penting), kecuali tidak punya pulsa
-Catatan untuk diriku: Aku tidak boleh frontal atau ekstrim dalam bersikap dan berbicara, karena ini salah satu yang tidak disukainya.

Ada dua sebab yang membuatku kecewa;
1.Kata-kata ana dan antum. Meskipun kalimat ini bentuk penghormatan, tapi tetap karena yang mengatakannya dia, justru membuatku kurang respek dan menimbulkan kecemburuan.
2.Penolakannya yang “frontal” atas ajakan chating. Ternyata penolakan yang frontal itu memang tidak kusukai juga sebagaimana dia tidak menyukai sikap frontalku yang dulu pernah ku katakan kepadanya.

Saat itu ku mengajaknya chating, karena ku merasa telah mempunyai persetujuan bersama untuk chating tiap sekali sebulan. Meskipun kata-kata “nggak mau” itu –katakan saja- hanya bercanda, tapi tetap terasa oleh hati ini begitu janggal.

Kejadian malam itu, sempat membuatku kecewa yang berkepanjangan bahkan sempat membuatku sedih. Terlebih setelah lama tidak ada kabar berita darinya, seakan dia tidak merasa telah membuatku kecewa dan sedih. Mungkin dia sendiri tidak merasa akibat kata-kata dan sikapnya itu telah membuat hatiku tidak stabil.

Timbul banyak pertanyaan yang menyelimuti hatiku; kenapa dia bersikap begitu? Apakah karena aku terlalu sering menghubunginya? Apakah memang karena sibuk hingga membuat dirinya “lepas kontrol”? Apakah dia sedang punya problem pribadi? Atau apakah dia sudah tidak mau “kuhubungi lagi”?

Pertanyaan ini sebenarnya ingin sekali ku tanyakan langsung padanya, hanya saja aku tidak tahu pasti apakah akan menimbulkan kebaikan bagi “ukhuwah” ku dengannya atau bahkan malah menimbulkan permasalahan baru yang lebih rumit.

Akhirnya, semua pertanyaan itu ku jawab sendiri dan ku mencoba mencari seribu satu macam alasan agar aku tidak berprasangka buruk terhadapnya. “Dia memang tidak punya pulsa, dia memang sangat sibuk dan dia tetap masih dan akan selalu setia terhadap cintaku”.

Kesimpulan akhirnya, hatiku telah memaafkan segala kata dan sikapnya malam itu, meskipun dia tidak memohon maaf padaku.

Ucapan Ultah Menetralisir Kesedihan
“Aslm.. “met ulth” mg hr esok bs lbh baik tuk mnggpai ms dpn yg cerah & mg wktu yg tlh brllu bs mnjd tolak ukur tuk bs mlngkh lbh maju..semoga!Wslm..”

Itulah sms yang aku terima tepat jam 12 malam hari ulang tahunku. Meskipun kata-katanya yang kurang akrab, tapi tetap tidak mengurangi subtansinya yang sangat bagus. Harapan dan doanya untukku.

Kesedihanku terasa berkurang setelah mendapatkan dan membaca smsnya itu. Ternyata dia tidak lupa akan tanggal kelahiranku. Dia tidak “membuangku”. Dia masih memperhatikanku.

Hanya Cinta Kepada Allah yang Tidak Pernah Mengecewakan
"Semua kejadian sudah diatur oleh Allah” dan “setiap kejadian itu pasti ada hikmahnya”.

Kuyakini kebenarannya dua penggal kalimat bijak diatas. Apa yang telah terjadi pada diriku memang sudah diatur oleh Allah. Kekecewaan dan kesedihan yang kualami itu sesuai dengan skenario Sang Pencipta. Ini semua kan ku anggap sebagai cobaan dan ujian akan cinta kasihku terhadapnya. Apakah hanya dengan “ujian” seperti sekarang, aku akan menodai cintanya? Apakah hanya dengan “kekhilafan” yang dilakukannya –yang mungkin tidak ia sadari dan tanpa ia sengaja- itu akan menggoyahkan niatku untuk setia kepadanya dan menyayanginya? Ternyata cinta dan kasih sayangku tidak hilang dengan apa yang diperbuatnya.

Aku berlindungan kepada Allah dan mohon pertolongan-Nya untuk tetap dapat memegang janjiku, setia padanya.

Dari kejadian ini juga, aku mendapatkan hikmah yang begitu besar. Bila ku mencintai makhluk Allah, bisa dipastikan aku akan kecewa, atau aku akan menemui kekecewaan. Hal ini dikarenakan tidak adanya manusia yang sempurna. Tidak ada makhluk Allah yang sempurna. Tidak terkecuali dia. Namun, semua kekurangan (kekecewaan) itu hendaknya jangan diperparah dengan berujung pada suatu perpecahan. Juga jangan dijadikan alasan untuk tidak setia memegang janji. Suatu kemustahilan bila mengharapkan kesempurnaan pada makhluk Allah. Hampir tidak akan ditemukan tidak adanya kekurangan pada diri seorang hamba. Justru jadikanlah kekurangan yang terletak pada diri masing-masing sebagai sarana untuk saling melengkapi dan saling memaklumi. Juga bisa dijadikan jalan untuk saling mengingatkan dan saling menasehati. Hanya Allah yang Maha sempurna. Hanya mencintai Allah yang tidak akan pernah kecewa.

Kasih Sayang yang Tulus
Setelah peristiwa malam itu, aku banyak tadabbur dan melakukan introspeksi diri akan cinta kasihku padanya. Ternyata kasih sayangku padanya begitu tulus dan ikhlas, sehingga segala kesalahanya tak membuatku jadi membencinya. Segala kekhilafannya tak membuatku larut dalam emosi dan kemarahan. Itulah hasil dari kontemplasi dan renunganku.

Lalu kenapa malam itu aku kecewa dengan sikapnya yang mendadak kurang bersahabat? Kecewa dengan tidak adanya balasan sms dan Mc darinya? Ini kurasa, karena saat itu emosiku lebih mendominasi diriku dibanding dengan nurani hatiku. Ini kunilai hal yang wajar dan manusiawi sebagai insan yang membutuhkan perhatian dari kekasihnya, sebab bagaimanpun sebuah perhatian sangat dibutuhkan dalam ikatan “ukhuwah”, karena dengan adanya perhatian -yang bisa berbentuk sms atau telepon- keharmonisan suatu “ukhuwah” senantiasa terjaga, adapun nurani hatiku sesungguhnya tetap mencintai dan menyanginya sepenuh hati meskipun dia berbuat yang “mengecewakan”. Hatiku juga telah memaafkan segala kesalahannya.

Cukup lama prosesnya untuk mengetahui bahwa diriku ternyata sudah sampai kepada derajat mencintainya dengan ikhlas. Selama ini hanya kurasakan, sungguh aku sangat menyayangi dan mencintainya sepenuh hati. Karenanya, kulakukan segala usaha untuk tetap menjaga “ukhuwah”ku melalui telepon, sms juga chating. Semoga dengan usahaku itu “ukhuwah ini senantiasa terjalin meskipun dipisahkan oleh jarak yang jauh.

Seandainya saja dia tidak mau itu semua (perhatianku), aku pasti akan mengabulkannya. Jika memang dia tidak bisa menjaga hatinya disebabkan oleh adanya telpon, sms dan chating denganku, aku akan bersedia untuk tidak sering menghubunginya. Asalkan dengan satu komitmen yang sama: Kita saling percaya dan kita tetap saling setia. Marilah kita pasrahkan semuanya pada Allah bagaimana ending hubungan kita nanti dengan tetap menjalankan usaha (ikhtiar). Kita berdoa, semoga Allah menyatukan kita nanti dalam ikatan tali pernikahan yang penuh berkah.

Aku berharap, dia mau mengatakan dan menyampaikan apa yang ia inginkan. Berilah aku peraturan dan undang-undang dalam menjalani ukhuwah dengannya agar aku tidak salah jalan dan menimbulkan “murka” baginya. Karena ku tahu, dia bukan seperti kebanyakan wanita, karenanya aku mesti mengikuti jalan hidupnya. Dan bila semuanya sudah jelas, akan kutaati peraturan dan undang-undang itu tanpa adanya keterpaksaan.

Aku hanya bisa senantiasa berdoa dan berusaha, semoga dia adalah pilihan-Nya yang terbaik buatku dan semoga Allah menyatukanku dengannya nanti dalam ikatan yang halal dan disunnahkan.

Sebenarnya cinta suci itu telah ada lama dalam sanubariku, sebagai buktinya aku telah menyayanginya sebelum kutahu dia menyayangiku. Ku tak pernah berharap balasan dari segala yang telah ku berikan. Dan aku juga tidak membencinya dengan “kesalahan” yang dilakukannya. Namun saat ini, lebih kusadari adanya cinta suci itu pada diriku. Sekarang tinggal memperbaiki dan menjaga ke eksisan cinta suci itu.

Kasih ketahuilah, kasih sayangku padamu tak lagi karena kamu menyayangiku. Kasih sayangku padamu tak lagi karena perhatianmu. Kasih sayangku padamu bukan lagi karena kelebihan yang ada pada dirimu. Aku takkan membencimu selamanya. Satu yang ku pinta, beritahuku jika kelak kamu telah “mengenal” yang lain selain diriku dan menodai kesetiaanku. Kalaupun itu terjadi, hati ini akan tetap menyayangimu. Percayalah aku takkan pernah membencimu dengan berpalingnya kamu dariku. Meskipun sungguh aku tidak mengharapkan sedikitpun hal itu terjadi. Dan semoga hal itu tidak akan pernah terjadi selamanya sehingga aku dapat mencintai dan menyayangimu seutuhnya hingga hidup kita tidak di dunia lagi. Semoga keinginanku untuk dapat membuktikan cinta dan kasih sayangku yang lebih “kongkrit” dalam kehidupanmu nanti bukan sekedar impian dan harapan, namun sebuah realita yang nyata. Semoga…

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa® 15 Juli 2006

Wednesday, May 17, 2006

Dari Tunis ke Sidi Bou Rouis

Sidi Bou Rouis adalah nama sebuah desa yang ku kunjungi hari sabtu (13/5) kemarin. Jaraknya 160 km sebelah selatan ibukota.

Nama desa ini diambil dari nama orang yang menjadi pioneer berdirinya, Sidi Bou Rousi. Menurut cerita Muaz, beliau adalah seorang wali. Sidi artinya Tuan, diambil dari kata Sayyid. Bou artinya Bapak, berasal dari kata Abu. Sidi Bou Rouis berarti, Sayid Abu Rouis.

Di Tunis ini, cukup banyak tempat atau daerah yang dinamai dengan nama para ulama atau wali. Untuk mengenang jasa dan ilmu mereka. Seperti Sidi Bou Said, Sidi Basyir, Sidi Bou Zaid dan Sidi Bou Mansur. Tidak berbeda dengan penghargaan di negaraku. Banyak pahlawan yang diabadikan namanya pada sebuah tempat atau daerah, sebut saja contohnya Ir. Sukarno, Halim Perdana Kusuma, Pangeran Diponegoro de el el.

Lega rasanya setelah aku berkesempatan dapat mengunjungi desa ini, desa dimana salah seorang kawan kuliahku tinggal, Muaz ar-Rouisy. Sejak lama ia mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Ada yang mengganjal dalam hatiku ketika ajakannya kusanggupi kala itu, ‘’insya Allah nanti saya akan berkunjung ke rumahmu’’. Ganjalan yang telah lama membatu dalam hatiku itu kini telah sirna, karena janjiku untuk mengunjunginya sudah ku laksanakan.

Jam 12.00 siang aku bersama dua orang kawanku yang sebangsa, berangkat menuju stasiun Kereta Api (KA), karena kami mengira jadwal pemberangkatan KA menuju Sidi Bou Rouis pukul 13.00 tepat. Jika demikian, berangkat pukul 12.00 cukup pas. Perjalanan menuju stasiun kira-kira seperempat jam atau paling lama setengah jam, tidak terlalu lama menunggu keberangkatan KA.

Sabar Dalam Setiap Keadaan

Di stasiun KA. Tidak terlalu lama aku ngantri untuk membeli tiket, ketika itu hanya lima orang termasuk denganku. Kulihat ada enam loket yang masing-masing antriannya tidak terlalu panjang. Hanya delapan orang paling banyak.
Setelah sampai di depan loket, mukaku ku asongkan pada kaca loket berbarengan dengan uang 20 dinar ditanganku. “Mau kemana?’’ tanya penjaga tiket yang mengenakan seragam biru dongker dengan kartu tanda pengenal melekat di saku kanannya. ‘’ke Sidi Bou Rouis’’ jawabku. ‘’Oh, beli tiketnya disebelah kanan sana, di kereta jarak jauh’’ jawabnya dengan menunjuk ke arah loket sebelah kanan stasiun. ‘’Aku kira Sidi Bou Rouis termasuk jarak dekat’’ celoteh kawanku yang mendampingiku kala itu.
Dengan sabar (dan memang harus sabar hehe), aku harus ngantri lagi di loket yang bertuliskan diatasnya khutut ba’idah (jarak jauh). Kali ini, antrian cukup panjang, berbeda dengan loket yang tadi. Orang sabar di sayang Tuhan. Itulah yang menjadi semboyan hatiku saat itu sebagai penawar kekesalan. Sudah ngantri eh “diusir”. Memang, mesti sabar dalam setiap keadaan.
Dari karcis yang kubeli seharga 5,5 dinar (+25 pound), tertulis jadwal keberangkatan KA pukul 14.15, ini artinya aku harus menunggu sekitar satu jam setengah lagi. Waktu yang cukup lama. Kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja. Dua orang kawanku yang rajin foto, sibuk mengambil gambar dirinya secara bergantian dengan backgroud station KA negara mantan jajahan Perancis ini.

Sepanjang perjalanan tak luput pandanganku keluar sana, menembus kaca tebal jendela kereta yang sedang berlari diatas dua buah rel yang panjang, menembus cengkraman sinar mentari yang panas menyengat. Maklum kereta yang kutumpangi kelas ekonomi yang tak ber AC. Hawa panas yang merasuki tubuh sedikit terobati dengan pemandangan indah di luar sana. Perkebunan Zaitun yang hijau ranau, barisan pohon pinus yang menghijau, ladang gandum terbentang luas, pegunungan yang berundak-undak bahkan terlihat juga lapangan luas yang dihijaui oleh rumput dengan kambing-kambing para gembala serta tenda-tenda yang tertanam di pinggiran. “Mereka itu kuli mengembala kambing (mawasyi), mereka tidur di tenda-tenda itu” jelas pemuda Tunisia yang berada disampingku. Sesekali kereta melewati jembatan tinggi diatas sungai kecil yang cukup curam. Airnya mengalir dan berujung pada danau kecil (wadi). Lumayan banyak danau yang dilewati kendaraan panjang yang aku naiki ini. Sedikitnya tiga buah sungai yang dilewati hingga stasiun yang ku tuju.

Setelah tiga jam perjalanan, sampailah ke stasiun Sidi Bou Rouis. Muaz yang mungkin sudah standby dari tadi segera menghampiri kami. “Selamat datang” dengan senyum tersungging manis, kata-kata itu yang pertama kudengar dari bibirnya.

Kesan Pertama

Setelah tanya kabar dan basa basi sealakadarnya, kami menuju rumah Muaz yang tidak begitu jauh dari stasiun KA yang unik. Bangunan khas Perancis yang tinggi berdiri kokoh, dengan hiasan warna putih biru seakan ikut menyambut kedatanganku. “Stasiun itu memang peninggalan Kolonial Perancis”, tutur Muaz. Obrolan mengiringi langkah kami menuju rumah, menyusuri ruas jalan pedesaan yang bersih dan lenggang.

Sidi Bou Rouis adalah desa yang indah, tenang, ramah dan bersahabat. Itulah kesan pertamaku di desa Muaz. Desa yang berada di kabupaten Siliana ini berpenduduk sekitar 2.000 jiwa.

Suasana desa yang asri dan tenang serta lantunan “assalamu’alaikum” yang kerap terlontar dari orang-orang yang berpapasan. Menguatkan kesanku akan desa ini. Berbeda dengan orang-orang di Tunis (baca: kota), lapadz salam sering diganti dengan ucapan aslamah atau shobahul khoir (selamat pagi).

Rumah Punya Kehormatan

Setelah sampai di rumah Muaz yang dikelilingi tembok permanen, keluarganya yang terdiri dari Ayah Ibu dan seorang kakak dan adik laki-lakinya menyambut ramah kedatangan kami. Muaz anak ke tiga dari lima bersaudara. Dua orang kakak dan adik perempuannya sedang tidak ada di rumah. Kakaknya kost di Kaoirouan sedangkan adiknya belum pulang sekolah.

Ukuran rumah Muaz cukup besar, luasnya kurang lebih 80 meter persegi. Halamannya dipenuhi tanaman rindang produktif seperti Tin, Zaitun, Jeruk dan Mis-mis juga Iklil, pohon cantik mirip dengan tumbuhan puteri malu yang berkhasiat untuk mengobati penyakit tertentu. Menambah sejuk dan indah pekarangan rumah. Angin sejuk menerpa tubuhku yang kepanasan sejak dari kereta tadi.

Kuperhatikan sejak dari pertama melangkah menuju rumah Muaz, hampir setiap rumah yang kulewati dipagari dengan tembok permanen. ‘’Iya, semua rumah dipagari tembok, karena rumah juga mempunyai kehormatan. Tidak boleh siapa saja masuk’’ jawab Muaz menjawab pertanyaanku.

Terasa di Kampungku

Menjelang sore, terik mentari sudah tidak menyengat. Sekitar dua jam lagi menjelang magrib. Kami diajak Muaz ke ujung desa yang disana juga terletak kantor kecamatan desa ini, mu’tamidiyyah istilahnya. Tampak bentangan ladang gandum dan tanaman Zaitun yang terbelah oleh jalan, menambah keindahan. Tampak juga undakan gunung yang hijau oleh pepohonan, kuat menamcap cukup jauh disana. Tampak desa-desa kecil di kakinya. Sungai kecil yang membelah jalan dan ladang gandum menambah keasrian desa. Terasa di kampungku. Tampak juga bangunan kuno berbentuk bulat memanjang ke atas. Gudang peninggalan Kolonial Perancis sebagai tempat mengumpulkan biji-bijian dan rempah-rempah, sebelum akhirnya diangkut dengan kereta ke negri mereka.

Tidak terasa hampir dua jam waktu kami habiskan disana, menikmati penomena indahnya alam dan mengabadikannya. Waktu sudah menjelang magrib, kami pun langsung menuju masjid yang tidak jauh dari rumah Muaz, untuk bersujud kepada yang menciptakan keindahan yang baru saja kami nikmati.

Keramahan Keluarga Muaz dan Servis Memuaskan

Keluarga Muaz memang sangat ramah dan baik, sebaik dan seramah orang-orang pedesaan kampungku nun jauh disana. Sangat menghormati tamu dan menyervisnya dengan baik dan istimewa.

Sepulang dari Masjid, lima piring makrunah bumbu merah dan sekerat jumbo daging sapi sudah tersedia diatas meja putih plastik, “wah, makan malam spesial” gerentes hatiku. Tidak terlewat potongan-potongan roti yang menumpuk di tempat khusus, sejenis boboko, serta sebotol jus dan air putih ikut melengkapi makan malam.

Ada kesamaan orang pedesaan Mesir dan Tunis. Dulu, ketika aku di Kairo pernah berkunjung ke salah satu pedesaan daerah selatan Kairo. Aku disambut dengan ramah dan langsung disediakan ayam panggang. Padahal, aku kira, mereka juga sangat jarang memakan ayam panggang tersebut. Mereka sangat menghormati tamu. Mungkin hadits Nabi yang memotivasi mereka untuk berbuat demikian, “…barang siapa beriman kepada Allah dan kepada Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya”. Itulah potongan Sabda Rosulullah Saw.

Servis memuaskan juga kudapatkan ketika sarapan pagi. Segelas susu dan telur rebus ditambah dengan fathiroh mengisi perutkku.

Tak Dapat Kursi, Dapat Simpati

Minggu ba’da dhuhur kami pulang dari rumah Muaz. Tiga jam perjalanan pulang aku tidak mendapatkan kursi kosong. Kereta penuh oleh penumpang yang hendak ke Kota. Akhirnya aku duduk dibawah dekat pintu keluar-masuk penumpang, bersama dengan beberapa orang yang senasib denganku. Sungguh tidak nyaman. Jangankan tidur, duduk tenang aja tidak bisa. Setiap ada penumpang yang keluar atau masuk, aku mesti berdiri dulu, memberikan jalan buat mereka. Untung saja aku bawa ear phone, untuk menangkal pusing ku dengarkan mp3 bacaan quran murotalnya Syekh al-Ghamidi yang ada dalam Hpku, kudengarkan juga lagu sunda Doel Sumbang dan lagu-lagu pop Indonesia.

Lagi asyik mendengarkan Mp3, seorang pemuda Tunisia dengan jenggot di cukur tipis menghampiriku. ‘’Indonesia?’’ sapanya ramah kearahku. Kulepas ear phone yang kupakai, ‘’Iya’’ jawabku dengan membalas senyumannya. Kami berkenalan, Fadhil namanya. Akhirnya kami tenggelam dalam obrolan yang cukup lama, kebetulan ia juga satu tujuan denganku, ke Tunis.

Dia sangat senang dan simpati sekali berkenalan denganku. Orang asing yang beragama islam. Lumayan banyak pengetahuan dia tentang Indonesia, bahkan dia juga menuturkan tentang musibah tsunami yang menimpa Aceh 2004 lalu. Ketika kutanya, ma’lumat ini ia dapatkan dari cd pemberian kawan karibnya. Anehnya, dia tidak tahu kalau Indonesia adalah negara yang paling banyak penduduk muslimnya di dunia. Ini mungkin yang menyebabkan ia simpati melihatku, “saya senang sekali bila melihat orang muslim yang non arab” katanya, seraya menjelaskan kepadaku.

Obrolan ahkhirnya terhenti. Ia meminta nomer Hpku. “Insya Allah nanti saya hubungi kamu’’ katanya padaku mengakhiri perbincangan kala itu. Aku juga mulai ngantuk, karena malam kurang tidur. Kuusahakan tidur sambil duduk, dengan kedua tangan kulipat dan diletakkan pada kedua lututku yang juga kulipat. Lumayan beberapa saat aku bisa tidur, sebelum akhirnya terbangun lagi oleh beberapa penumpang yang hendak turun di stasiun.

Tidak ada lagi yang sangat membuatku senang dari kunjungan itu, selain menemukan pemandangan alam yang asri dan indah, janjiku sudah ku tepati. Bagiku, janji adalah hutang yang mesti dibayar. Jangan berjanji bila seandainya tidak akan ditepati.

“Diantara tanda orang munafik adalah, bila berjanji ia inkar”

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@15 Mei 2006


Wawancara

Wawancara Isja (1)

1. Tadi padi bangun jam berapa ?
Alhamdulillah, nggak kesiangan. Aku bangun jam 4.00

Apa yang pertama kamu lakukan ?
Ya, aku langsung ke Wc dan ambil wudlu dong

2. Buku apa yang pertama dibaca hari nih ?
Hm, buku firman Allah. hehe

3. Hari ini pertama dapat sms dari siapa ?
Emm, dari temanku yang di Kairo

4. Hari ini siapa yang pertama kamu kirimin sms ?
Sapa ya? Ya, jawaban smsku pada temanku itu

5. Siapa yang pertama nelpon kamu hari ini ?
Nggak ada

6. Ada masalah hari ini ?
Ya, dikit sich.

7. Apa masalahnya ?
Bt aja, karena smsku nggak dibalas oleh seseorang.

8. Sudah selesai masalahnya ?
Ya, aku sudah usaha untuk melupakan.

9. Oh, iya. Seseorang itu kekasih kamu yah? Kok sampe Bt gitu?
Hmm, yup.

10. Siapa namanya?
Ada dech, nggak usah tahu ya!?

11. Hari ini ketemu dengan dia ?
Nggak

12. Kenapa dia nggak balas sms kamu ?
Nggak ada pulsa kali


13. Hari minggu sering jalan bareng sama dia ?
Nggak pernah

14. Sudah berapa kali nonton bareng sama dia ?
Lum pernah

15. Apa yang menyebabkan kamu tertarik padanya ?
Wah itu rahasia perusahaan dong. Tapi kuberitahu sedikit, diantaranya, karena dia sholehah.

16. Apa yang kamu kurang/tidak sukai dari kekasihmu ?
No comment

17. Kamu butuh perhatian darinya ?
Ya pasti dong

18. Contoh bentuk perhatian menurut kamu ?
Hm, apa ya ? mungkin seperti kirim/jawab sms dan miscall hehe

19. Kamu dapat perhatian darinya ?
Yup

20. Siapa yang terakhir sms kamu hari ini ?
Katresna, temanku yang kerja di KBRI

21. Dapat telpon terakhir dari siapa ?
Nggak ada

22. Ada kenangan hari ini ?
Hm, ga dech.

23. Terkahir, ada pesan buat si dia ?
Hm, pesannya; Setialah selalu dan jangan terlalu ramah terhadap cowok lain hehe.
_____
(1) Isja = Iseng aJa


Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 6 Mei 2006


Wednesday, May 03, 2006

Menjadi Duta Bangsa

Menjadi Duta Bangsa di Pameran

Pagi itu sekitar pukul 9.00, kuliyah hadhoroh Universitas Zaytuna terlihat tidak seperti biasanya. Rabu (26/4) yang lalu. Halaman kampus terlihat lebih bersih, Tugu Tujuh Nopember(1) yang berada di tengah-tengah halaman juga terlihat telah dicat ulang, sehingga tulisan yang terukir pada tugu itu terlihat lebih jelas dan lebih kinclong. Tulisan arab(2) yang terukir pada batu yang terletak di atas gerbang masuk juga terlihat telah berubah bentuk menjadi baru.

Siangan sedikit dari jam sembilan, kuliah hadhoroh lebih ramai lagi, banyak mahasiswa dari beberapa negara seakan sibuk sekali. Membereskan dan menata ruangan yang telah disediakan panitia. Diantara keramaian mahasiswa dari beberapa negara itu, terlihat beberapa mahasiswa Indonesia. Merekapun terlihat sibuk menata dan membereskan ruangan. Ada yang memasang bendera merah putih pada dinding, menempelkan lukisan alam Indonesia, ada yang mem­bereskan meja dan menaplakinya, ada pula yang menata letakkan dua poster Pak Karno yang sedang berpose dengan presiden pertama Tunis, Habib Bourgiba. Juga poster Pak Harto yang berpose dengan presiden kedua Tunis, Ben Ali.

“Jam berapa pembukaan pamerannya Bal” salah seorang diantara mereka bertanya pada kawannya. “Menurut jadwalnya sich pameran akan dibuka pukul 11.00. Dekan fakultas dan dosen-dosen juga akan hadir. Mungkin sebentar lagi perwakilan KBRI juga akan datang” Jawab yang dipanggil Iqbal tadi menjelaskan.

Rupanya, pantas saja pagi itu lain dari yang lain, karena hari itu merupakan hari diadakannya pameran. Untuk memeriahkan pameran ini, pihak universitas juga menggelar berbagai macam perlombaan, seperti: lomba lari, catur dan tenis meja.

Setiap tahun, pameran seperti ini diadakan oleh pihak Universitas Zaytuna, berafiliasi dengan beberapa negara. Pameran ini berupa pengenalan masing-masing negara tentang kultur sosial, budaya (meliputi pakaian adat), dan seni serta hasil produksi dan industri masing-masing negara. Usaha pengenalan ini juga berupa brosur-brosur dan buku yang dibagikan kepada para pengunjung, meskipun dirasakan kurang komprehensif, karena yang dipamer­kan sekarang hanya sekelumit saja. Belum bisa dibilang mewakili, apalagi bagi Negara Indondesia yang begitu luas dan ragam budayanya.

Pameran kali ini hanya diikuti oleh tujuh negara; Nigeria, Mali, Burkina Paso, Sinegal, Oman, Rusia, Magar dan Indonesia. Selama dua hari pameran itu digelar. Dua buah ruangan lantai dua, disediakan panitia sebagai tempat pameran.

Mahasiswa Indonesia yang berada di Tunis mempunyai peran penting dalam kesuksesan program ini, menjadi duta bangsa pada pameran. Terbukti, dengan mandat dari atase pendidikan, KBRI menyerahkan kepada PPI(3) untuk menjadi pelaksana dalam pameran tersebut, sebagai perwakilan dari Indonesia.

Mahasiswa Indonesia yang berjumlah 14 orang ini, masing-masing dibagi tugas untuk menjaga stand. Tugas penjaga; membagikan brosur dan buku-buku serta menerangkan kepada pengunjung akan apa yang dipamerkan, sekaligus harus bisa menjawab pertanyaan pengunjung. “Nanti bilang kepada para pengunjung, bahwa kapal-kapal ini (ex. N250) buatan Indonesia” intruksi ketua PPI saat itu kepada patugas (penjaga) stand Indonesia.

Sesuai dengan schedule time acara, Jam 11.00 adalah pembukaan. Benar yang dikatakan Iqbal, Dekan Fakultas Hadhoroh, Dr. Mehrez Hamdy, beserta para dosen terlihat hadir. Beliaulah yang membuka acara itu. Termasuk dalam schedule time juga, akan ada pameran pakaian adat dari negara-negara yang mengikuti pameran tersebut, termasuk Indonesia. Untuk indonesia, terlihat sudah ada seorang mahasiswa yang memakai pakaian adat. Dia mengenakan baju dan celana hitam, peci sultan juga berwarna hitam dengan keris di tangan kanannya, terlihat berdiri di depan stand Indonesia.

Hari pertama, para pengunjung pameran tidak banyak. Hanya beberapa orang saja yang menyempatkan diri berkeliling mengunjungi stand-stand yang bertengger. Hal ini mungkin disebabkan karena cuaca saat itu tidak bersahabat, hujan turun cukup lebat. Padahal musim telah memasuki semi.

Hari kedua, yang disangka akan banyak pengunjung, ternyata tidak demikian. Hanya beberapa orang saja yang tampak melihat-lihat pameran. Terasa pen­gunjung semakin sepi.

Satu catatan kekurangan untuk pameran kali ini, minimnya publikasi dan iklan dari pihak universitas, sehingga tidak banyak masyarakat ataupun pihak lain yang mengetahui adanya pameran tersebut. Hal ini tampak jelas dari sedikitnya para pengunjung pameran.


Kambing Bakar Hamamsat

Malam harinya, sebagai rasa syukur (tasyakuran) atas selesainya tugas menjadi Duta Negara di pameran, setelah shalat maghrib, para panitia mengadakan pesta kambing bakar di Hamamsat. Kota yang berada sekitar 30 km dari Ibukota. Sengaja, mereka pergi dengan perut kosong, tanpa diisi nasi terlebih dahulu.
Tidak lebih satu jam perjalanan, mini bis (mobil khusus KBRI yang sering dipakai oleh mahasiswa Tunis) sudah tiba di daerah Hamamsat. Sepanjang pinggiran jalan daerah ini, terlihat banyak kedai kambing bakar yang berjejer dan siap menyerpis siapa saja yang datang, pantas jika daerah ini terkenal dengan kambing bakarnya.

Setelah memarkir bis, para panitia keluar dari bis dan menduduki tujuh kursi kosong yang ada di warung itu. Ternyata, tidak semua panitia ikut pada acara tasyakuran ini. Tidak tanggung-tanggung, tiga kilo setengah kambing bakar yang mereka pesan.

Tidak terlalu lama menunggu, tiga piring besar kambing bakar pesanan mereka sudah datang. Daging kambing itu dipotong-potong kecil (lebih besar dari ukuran potongan sate), hanya diberi garam dan dibakar, tidak diberi bumbu lainnya lagi, apalagi kecap dan saos. Anehnya, kambing bakar itu tidak bau sebagaimana kebanyakan kambing Indonesia, memiliki bau yang menyengat. Kambing bakar itu hanya dimakan dengan sambal dan tabunah, sejenis roti atau ‘isynya kalau di Mesir.

Meskipun hanya dimakan dengan sambal dan tabunah, tanpa kecap dan saos. Terlihat mereka sangat lahap dan semangat menyatap kambing bakar tersebut. Diiringi udara malam musim semi, menambah suasana lebih sejuk dan familiar. Dengan minuman coca-cola ukuran besar di meja mereka, dapat memuaskan sekaligus mengenyangkan perut mereka yang sengaja mereka kosongkan. Hilanglah semua capek selama bertugas menjadi Duta Negara.

Tidak banyak yang mereka bincangkan di mobil menuju perjalanan pulang. Karena memang, bila perut kenyang maka mata jadi ngantuk. Itulah yang terjadi pada mereka, teler dan ngantuk. Sesekali ada yang berkelakar, ‘’wah, kenyang daging kambing, bahaya. Besok pagi bisa pada ngantri di WC nich’’. Entah apa maksudnya dari kata-kata ini, penulis sebagai salah seorang diantara mereka juga tidak mengerti maknanya dengan pasti. Hehe…

_______
(1) Tujuh Nopember adalah hari yang sangat bersejarah di Tunis, hari itu merupakan hari ‘’Reformasi’’ (tahawwul). Tidak heran jika angka tujuh (7), menjadi sangat ‘’sakral’’ bagi mereka. Bahkan ada salah satu stasiun TV Tunis yang menggunakan nama TV-7 (tivi tujuh).
(2) Tulisan pada pada batu itu, Jami’ah Az-Zaytuna. Al-Ma’had al-A’la lil Hadhoroh al-Islamiyyah.
(3) PPI adalah kepanjangan dari Persatuan Pelajar Indonesia (Tunisia). Berdiri pada tanggal 26 Februari 1994.


Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 2 Mei 2006

Sunday, April 23, 2006

Kairouan

Bis Wisata Sntri yang membawa sekitar lima puluh penumpang mahasiswa Zaytuna sudah mulai bergerak dari depan kampus Zaytuna tepat pukul 8.00, tujuannya ke Kairouan. Rabu (19/4) lalu. Aku salah seorang penumpang bis tersebut.

Kali ini aku tidak ketinggalan lagi rihlah ke kota ini (baca, Rihlah yang Tak Lelah), salah satu kota terpenting dalam sejarah penyebaran Islam ke Afrika Utara. Kota yang berada di posisi 156 km selatan Tunis ini didirikan pada tahun 50 H oleh Uqbah bin Nafi', salah seorang sahabat Nabi. Mesjid besar yang didirikan oleh Uqbah pada tahun 55 H masih berdiri tegar hingga kini. Kairouan juga terkenal dengan kerajinan tapis (permadani).

Aku sudah bersiap-siap sejak ba’da shubuh. Bahkan segala perlengkapan yang dibutuhkan, seperti; buku bacaan, quran kecil dan kamera sudah kumasukkan ke dalam tas kecilku menjelang tidur. Kali ini temanku yang suka lama ‘’mendekam’’ di WC, dipersilahkan lebih dulu dan diperingatkan agar mempercepat diri dalam melaksanakan ‘’hajat’’nya, agar tidak terlambat yang kedua kalinya. Terhitung ini rihlah kedua selama keberadaanku di Tunis. Sedangkan tour perdanaku dulu ke kota Jerba, mengawali tahun baru 2006 (kisahnya, Satu Tahun di Jerba).

Sebenarnya tujuan awalku adalah mengikuti seminar yang diadakan oleh Komite Peneliti Sejarah Kairouan di pusat penelitian islam Kairouan. Kegiatan seminar seperti ini sering diadakan, dengan para peserta dan presentatornya kebanyakan diambil dari universitas Az-Zaytuna. Maklum, Zaytuna sangat dihargai dan telah mendapatkan label universitas islam tertua di kalangan masyarakat Tunis, bahkan di dunia. Tema seminar saat itu berjudul, Al-Bu’du al-Hadhori fi al-Fanni al-Mi’mary al-Islamy (Dimensi Peradaban pada Seni Arsitektur Islam).

Sekitar pukul 11.30 bis telah sampai ke tempat tujuan. Setelah semua mahasiswa istirahat beberapa menit, dengan konsumsi masing-masing segelas kopi dan kueh makroud, seminarpun dimulai.

Ruangan seminar cukup luas, dengan spanduk terpampang jelas tema seminar saat itu (Al-Bu’du al-Hadhori fi al-Fanni al-Mi’mary al-Islamy). Bahkan tiga buah spanduk bergambar Zaenal Abidin Ben Ali, presiden kedua Tunis (presiden pertamanya Habib Bourgiba), yang dipasang satu buah di depan sedangkan sisanya masing-masing dipasang di sebelah kiri dan kanan panggung, ikut menghiasi ruangan seminar. Ada kesan kampanye ketika aku melihat spanduk yang berposter presiden Tunis itu, apalagi bila melihat kata-kata yang tertulis dibawah gambar Ben Ali, Ma’a Ibn Ali li Tunis al Ghod (bersama Ben Ali untuk Tunisia hari esok). Kukira, tidak berlebihan bila acara seminar itu dikatakan sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan dan sekaligus kampanye presiden. Semasa ku di Mesir, hal tersebut tidak kulihat, meskipun Husni Mubarok (presiden Mesir) termasuk diktator (sama halnya dengan Tunis), tapi hal kampanye seperti itu tidak kutemukan, meskipun ada photo Mubarak di ruangan seminar, hanya sealakadarnya dengan ukuran yang kecil, tidak sebesar dan sebanyak di Tunis ini. Bahkan (hampir) di semua toko-toko, warung-warung bahkan (terkadang) di jalan-jalan, Ben Ali selalu kulihat. Kayaknya suatu keharusan gambar Ben Ali harus dipampang.

Kurang lebih lima puluh mahasiswa hadir pada seminar itu. Fasilitas ruangan bertambah lengkap dengan adanya proyektor dan layarnya yang akan digunakan presentator saat menjelaskan berbagai macam gambar bangunan, lukisan dan ornamen arsitektur serta kalighrafi arab. Juga kamera lengkap dengan kameramennya -pun- terlihat siaga.

Acara seminar cukup semarak, lima orang presentator yang terdiri dari tiga orang laki-laki dan dua orang perempuan cukup elegan dalam mempresentasikan makalahnya. Dua orang dari mereka menggunakan proyektor ketika menjelaskan bentuk-bentuk arsitektur klasik serta bangunan kuno jaman doeloe, termasuk sejarah awal adanya tulisan naskh dalam kalighrafi arab, yang tertulis pada dinding-dinding dan tiang bangunan.

Ketika dibuka sesi tanya jawab, para peserta begitu antusias untuk bertanya, diantaranya (yang masih kuingat) ada yang menanyakan, apakah definisi dari arsitektur islam itu? Sayang kesempatan bertanya hanya diberikan kepada lima orang saja. Berhubung waktu yang sangat terbatas.

Tepat pukul 14.00 acara seminar selesai. Kemudian para peserta dipersilahkan untuk istirahat sejenak dan makan siang. Tiga orang kawanku (indonesia) tidak melewatkan kesempatan emas ini, mereka meminta berpose bersama salah seorang presentator wanita yang memang masih muda dan (maaf ya) cantik, sebagaimana hal yang sama mereka lakukan pada saat beberapa menit menjelang keberangkatan bis meninggalkan Tunis, berpose dengan gadis Tunis yang (maaf lagi ya) manis. Adapun aku tidak ikut (dan memang tidak mau) bersama mereka berpose, hanya menoleh sekejap kearah mereka berdiri dari kejauhan, dan kemudian melanjutkan ngobrol dengan sesamaku, sama-sama pria. Maaf ya, aku ‘’alergi’’ wanita hehe…

Ku kira, makan siang itu akan digelar di restoran elit, ruangannya ber AC dan menunya juga spesial. Kenyataannya, aku harus ngantri bersama teman-temanku yang lain, persis seperti di asramaku dulu di Mesir. Menunya juga tidak jauh berbeda; sekerat daging, makrunah dan roti (kalo di Mesir isy), ditambah satu gelas jabady (intisari susu yang sudah diramu). Bedanya, disini, laki-laki dan perempuan digabung ngantrinya (satu baris), begitu juga makannya disatu ruangankan tanpa satir (penghalang). Ini yang membuatku kurang nyaman dan merasa tabu. Ketika makan, sengaja ku mengambil tempat yang paling ujung, jauh dari lawan jenisku, para gadis Tunis.

Setelah makan siang, panitia mengajak para penumpang ziarah. Diantaranya, mengunjungi makam salah seorang shahabat Nabi Abu Zam’ah al-Balawi (wafat 34 H), konon beliaulah tukang cukur Rosulullah Saw. Kubacakan ummul kitab (surat fatihah) dan doa, hadiah untuk beliau sekaligus shalat ashar dan dhuhur (jamak ta’khir) di mesjid yang tidak jauh dari makam.

Setelah ziarah, bispun menuju ibukota. Tidak lupa sebelumnya para penumpang termasuk aku dan tiga temanku membeli kue khas Koirouan, makroud. Rasanya manis, berwarna coklat, bentuknya seperti lempengan ulen yang dipotong-potong sebesar dua jari. Ada juga yang dipotong lebih kecil lagi. Lumayan buat teman-temanku di rumah. Pasti mereka sangat gembira mendapatkan oleh-oleh Kairouan.

Lucunya, kodak yang telah kusiapkan menjelang tidur itu, hanya kubawa selama perjalanan tour, tak satupun kujepretkan. Padahal banyak tempat-tempat yang lokasinya bagus. Entah lupa atau memang malas motret. Kalau kutanya hatiku, memang aku kurang suka diphoto, selain itu malas juga sich hehe. Untung ada salah seorang temanku yang rajin photo-photo, dia mengajakku photo bersama, terkadang menyuruhku diphoto singel. Ya, sekedar gambar kenangan di Kairouan, ada sich.

Bis sampai ke Tunis ba’da magrib. Ketika sampai di kampus, penumpang tinggal beberapa orang saja, karena sebagian besarnya telah ‘’dijatuhkan’’ bis di tempat-tempat yang dekat dengan rumah mereka. Rumahku terhitung paling dekat dengan kampus, karenanya aku dan tiga temanku merupakan orang terakhir turun dari bis. Alhamdulillah sampai dengan selamat.

Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@ 20 April 2006