Sidi Bou Rouis adalah nama sebuah desa yang ku kunjungi hari sabtu (13/5) kemarin. Jaraknya 160 km sebelah selatan ibukota.
Nama desa ini diambil dari nama orang yang menjadi pioneer berdirinya, Sidi Bou Rousi. Menurut cerita Muaz, beliau adalah seorang wali. Sidi artinya Tuan, diambil dari kata Sayyid. Bou artinya Bapak, berasal dari kata Abu. Sidi Bou Rouis berarti, Sayid Abu Rouis.
Di Tunis ini, cukup banyak tempat atau daerah yang dinamai dengan nama para ulama atau wali. Untuk mengenang jasa dan ilmu mereka. Seperti Sidi Bou Said, Sidi Basyir, Sidi Bou Zaid dan Sidi Bou Mansur. Tidak berbeda dengan penghargaan di negaraku. Banyak pahlawan yang diabadikan namanya pada sebuah tempat atau daerah, sebut saja contohnya Ir. Sukarno, Halim Perdana Kusuma, Pangeran Diponegoro de el el.
Lega rasanya setelah aku berkesempatan dapat mengunjungi desa ini, desa dimana salah seorang kawan kuliahku tinggal, Muaz ar-Rouisy. Sejak lama ia mengajakku untuk berkunjung ke rumahnya. Ada yang mengganjal dalam hatiku ketika ajakannya kusanggupi kala itu, ‘’insya Allah nanti saya akan berkunjung ke rumahmu’’. Ganjalan yang telah lama membatu dalam hatiku itu kini telah sirna, karena janjiku untuk mengunjunginya sudah ku laksanakan.
Jam 12.00 siang aku bersama dua orang kawanku yang sebangsa, berangkat menuju stasiun Kereta Api (KA), karena kami mengira jadwal pemberangkatan KA menuju Sidi Bou Rouis pukul 13.00 tepat. Jika demikian, berangkat pukul 12.00 cukup pas. Perjalanan menuju stasiun kira-kira seperempat jam atau paling lama setengah jam, tidak terlalu lama menunggu keberangkatan KA.
Sabar Dalam Setiap Keadaan
Di stasiun KA. Tidak terlalu lama aku ngantri untuk membeli tiket, ketika itu hanya lima orang termasuk denganku. Kulihat ada enam loket yang masing-masing antriannya tidak terlalu panjang. Hanya delapan orang paling banyak.
Setelah sampai di depan loket, mukaku ku asongkan pada kaca loket berbarengan dengan uang 20 dinar ditanganku. “Mau kemana?’’ tanya penjaga tiket yang mengenakan seragam biru dongker dengan kartu tanda pengenal melekat di saku kanannya. ‘’ke Sidi Bou Rouis’’ jawabku. ‘’Oh, beli tiketnya disebelah kanan sana, di kereta jarak jauh’’ jawabnya dengan menunjuk ke arah loket sebelah kanan stasiun. ‘’Aku kira Sidi Bou Rouis termasuk jarak dekat’’ celoteh kawanku yang mendampingiku kala itu.
Dengan sabar (dan memang harus sabar hehe), aku harus ngantri lagi di loket yang bertuliskan diatasnya khutut ba’idah (jarak jauh). Kali ini, antrian cukup panjang, berbeda dengan loket yang tadi. Orang sabar di sayang Tuhan. Itulah yang menjadi semboyan hatiku saat itu sebagai penawar kekesalan. Sudah ngantri eh “diusir”. Memang, mesti sabar dalam setiap keadaan.
Dari karcis yang kubeli seharga 5,5 dinar (+25 pound), tertulis jadwal keberangkatan KA pukul 14.15, ini artinya aku harus menunggu sekitar satu jam setengah lagi. Waktu yang cukup lama. Kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja. Dua orang kawanku yang rajin foto, sibuk mengambil gambar dirinya secara bergantian dengan backgroud station KA negara mantan jajahan Perancis ini.
Sepanjang perjalanan tak luput pandanganku keluar sana, menembus kaca tebal jendela kereta yang sedang berlari diatas dua buah rel yang panjang, menembus cengkraman sinar mentari yang panas menyengat. Maklum kereta yang kutumpangi kelas ekonomi yang tak ber AC. Hawa panas yang merasuki tubuh sedikit terobati dengan pemandangan indah di luar sana. Perkebunan Zaitun yang hijau ranau, barisan pohon pinus yang menghijau, ladang gandum terbentang luas, pegunungan yang berundak-undak bahkan terlihat juga lapangan luas yang dihijaui oleh rumput dengan kambing-kambing para gembala serta tenda-tenda yang tertanam di pinggiran. “Mereka itu kuli mengembala kambing (mawasyi), mereka tidur di tenda-tenda itu” jelas pemuda Tunisia yang berada disampingku. Sesekali kereta melewati jembatan tinggi diatas sungai kecil yang cukup curam. Airnya mengalir dan berujung pada danau kecil (wadi). Lumayan banyak danau yang dilewati kendaraan panjang yang aku naiki ini. Sedikitnya tiga buah sungai yang dilewati hingga stasiun yang ku tuju.
Setelah tiga jam perjalanan, sampailah ke stasiun Sidi Bou Rouis. Muaz yang mungkin sudah standby dari tadi segera menghampiri kami. “Selamat datang” dengan senyum tersungging manis, kata-kata itu yang pertama kudengar dari bibirnya.
Kesan Pertama
Setelah tanya kabar dan basa basi sealakadarnya, kami menuju rumah Muaz yang tidak begitu jauh dari stasiun KA yang unik. Bangunan khas Perancis yang tinggi berdiri kokoh, dengan hiasan warna putih biru seakan ikut menyambut kedatanganku. “Stasiun itu memang peninggalan Kolonial Perancis”, tutur Muaz. Obrolan mengiringi langkah kami menuju rumah, menyusuri ruas jalan pedesaan yang bersih dan lenggang.
Sidi Bou Rouis adalah desa yang indah, tenang, ramah dan bersahabat. Itulah kesan pertamaku di desa Muaz. Desa yang berada di kabupaten Siliana ini berpenduduk sekitar 2.000 jiwa.
Suasana desa yang asri dan tenang serta lantunan “assalamu’alaikum” yang kerap terlontar dari orang-orang yang berpapasan. Menguatkan kesanku akan desa ini. Berbeda dengan orang-orang di Tunis (baca: kota), lapadz salam sering diganti dengan ucapan aslamah atau shobahul khoir (selamat pagi).
Rumah Punya Kehormatan
Setelah sampai di rumah Muaz yang dikelilingi tembok permanen, keluarganya yang terdiri dari Ayah Ibu dan seorang kakak dan adik laki-lakinya menyambut ramah kedatangan kami. Muaz anak ke tiga dari lima bersaudara. Dua orang kakak dan adik perempuannya sedang tidak ada di rumah. Kakaknya kost di Kaoirouan sedangkan adiknya belum pulang sekolah.
Ukuran rumah Muaz cukup besar, luasnya kurang lebih 80 meter persegi. Halamannya dipenuhi tanaman rindang produktif seperti Tin, Zaitun, Jeruk dan Mis-mis juga Iklil, pohon cantik mirip dengan tumbuhan puteri malu yang berkhasiat untuk mengobati penyakit tertentu. Menambah sejuk dan indah pekarangan rumah. Angin sejuk menerpa tubuhku yang kepanasan sejak dari kereta tadi.
Kuperhatikan sejak dari pertama melangkah menuju rumah Muaz, hampir setiap rumah yang kulewati dipagari dengan tembok permanen. ‘’Iya, semua rumah dipagari tembok, karena rumah juga mempunyai kehormatan. Tidak boleh siapa saja masuk’’ jawab Muaz menjawab pertanyaanku.
Terasa di Kampungku
Menjelang sore, terik mentari sudah tidak menyengat. Sekitar dua jam lagi menjelang magrib. Kami diajak Muaz ke ujung desa yang disana juga terletak kantor kecamatan desa ini, mu’tamidiyyah istilahnya. Tampak bentangan ladang gandum dan tanaman Zaitun yang terbelah oleh jalan, menambah keindahan. Tampak juga undakan gunung yang hijau oleh pepohonan, kuat menamcap cukup jauh disana. Tampak desa-desa kecil di kakinya. Sungai kecil yang membelah jalan dan ladang gandum menambah keasrian desa. Terasa di kampungku. Tampak juga bangunan kuno berbentuk bulat memanjang ke atas. Gudang peninggalan Kolonial Perancis sebagai tempat mengumpulkan biji-bijian dan rempah-rempah, sebelum akhirnya diangkut dengan kereta ke negri mereka.
Tidak terasa hampir dua jam waktu kami habiskan disana, menikmati penomena indahnya alam dan mengabadikannya. Waktu sudah menjelang magrib, kami pun langsung menuju masjid yang tidak jauh dari rumah Muaz, untuk bersujud kepada yang menciptakan keindahan yang baru saja kami nikmati.
Keramahan Keluarga Muaz dan Servis Memuaskan
Keluarga Muaz memang sangat ramah dan baik, sebaik dan seramah orang-orang pedesaan kampungku nun jauh disana. Sangat menghormati tamu dan menyervisnya dengan baik dan istimewa.
Sepulang dari Masjid, lima piring makrunah bumbu merah dan sekerat jumbo daging sapi sudah tersedia diatas meja putih plastik, “wah, makan malam spesial” gerentes hatiku. Tidak terlewat potongan-potongan roti yang menumpuk di tempat khusus, sejenis boboko, serta sebotol jus dan air putih ikut melengkapi makan malam.
Ada kesamaan orang pedesaan Mesir dan Tunis. Dulu, ketika aku di Kairo pernah berkunjung ke salah satu pedesaan daerah selatan Kairo. Aku disambut dengan ramah dan langsung disediakan ayam panggang. Padahal, aku kira, mereka juga sangat jarang memakan ayam panggang tersebut. Mereka sangat menghormati tamu. Mungkin hadits Nabi yang memotivasi mereka untuk berbuat demikian, “…barang siapa beriman kepada Allah dan kepada Hari Akhir, maka muliakanlah tamunya”. Itulah potongan Sabda Rosulullah Saw.
Servis memuaskan juga kudapatkan ketika sarapan pagi. Segelas susu dan telur rebus ditambah dengan fathiroh mengisi perutkku.
Tak Dapat Kursi, Dapat Simpati
Minggu ba’da dhuhur kami pulang dari rumah Muaz. Tiga jam perjalanan pulang aku tidak mendapatkan kursi kosong. Kereta penuh oleh penumpang yang hendak ke Kota. Akhirnya aku duduk dibawah dekat pintu keluar-masuk penumpang, bersama dengan beberapa orang yang senasib denganku. Sungguh tidak nyaman. Jangankan tidur, duduk tenang aja tidak bisa. Setiap ada penumpang yang keluar atau masuk, aku mesti berdiri dulu, memberikan jalan buat mereka. Untung saja aku bawa ear phone, untuk menangkal pusing ku dengarkan mp3 bacaan quran murotalnya Syekh al-Ghamidi yang ada dalam Hpku, kudengarkan juga lagu sunda Doel Sumbang dan lagu-lagu pop Indonesia.
Lagi asyik mendengarkan Mp3, seorang pemuda Tunisia dengan jenggot di cukur tipis menghampiriku. ‘’Indonesia?’’ sapanya ramah kearahku. Kulepas ear phone yang kupakai, ‘’Iya’’ jawabku dengan membalas senyumannya. Kami berkenalan, Fadhil namanya. Akhirnya kami tenggelam dalam obrolan yang cukup lama, kebetulan ia juga satu tujuan denganku, ke Tunis.
Dia sangat senang dan simpati sekali berkenalan denganku. Orang asing yang beragama islam. Lumayan banyak pengetahuan dia tentang Indonesia, bahkan dia juga menuturkan tentang musibah tsunami yang menimpa Aceh 2004 lalu. Ketika kutanya, ma’lumat ini ia dapatkan dari cd pemberian kawan karibnya. Anehnya, dia tidak tahu kalau Indonesia adalah negara yang paling banyak penduduk muslimnya di dunia. Ini mungkin yang menyebabkan ia simpati melihatku, “saya senang sekali bila melihat orang muslim yang non arab” katanya, seraya menjelaskan kepadaku.
Obrolan ahkhirnya terhenti. Ia meminta nomer Hpku. “Insya Allah nanti saya hubungi kamu’’ katanya padaku mengakhiri perbincangan kala itu. Aku juga mulai ngantuk, karena malam kurang tidur. Kuusahakan tidur sambil duduk, dengan kedua tangan kulipat dan diletakkan pada kedua lututku yang juga kulipat. Lumayan beberapa saat aku bisa tidur, sebelum akhirnya terbangun lagi oleh beberapa penumpang yang hendak turun di stasiun.
Tidak ada lagi yang sangat membuatku senang dari kunjungan itu, selain menemukan pemandangan alam yang asri dan indah, janjiku sudah ku tepati. Bagiku, janji adalah hutang yang mesti dibayar. Jangan berjanji bila seandainya tidak akan ditepati.
“Diantara tanda orang munafik adalah, bila berjanji ia inkar”
Di pinggiran kota Tunis
Ulpa@15 Mei 2006